Di bawah langit yang muram, di bawah bayang-bayang istana yang menjulang angkuh, Selir Song Qian merajut rencananya dengan ketelitian yang nyaris berbahaya. Kabut kesedihan Kaisar Xian Shen terhadap Permaisuri Zhi Yang—meskipun telah lama wafat—tetap melingkupinya seperti selimut tak kasat mata, menjadi benteng besar yang menghalangi ambisinya. Namun, tekad Song Qian kokoh, seperti baja yang tak mudah goyah. Dalam bisikan tersembunyi, ia mulai meraih orang-orang yang bersedia mengabdi padanya, menebar janji-janji manis di satu sisi dan ancaman di sisi lain, mengumpulkan dukungan di balik layar.
Pada suatu malam yang sunyi, dalam kamar megah berhiaskan lampu minyak yang menerangi dengan temaram, Song Qian berhadapan dengan dayang kepercayaannya, Meilan. Mereka duduk berhadapan dengan cermin besar, tempat Song Qian biasa mempercantik dirinya dengan penuh dedikasi sebelum bertemu sang kaisar.
“Meilan,” bisiknya, suara Song Qian lirih namun tegas, sementara tangannya menyisir rambut panjangnya yang hitam berkilau. “Pastikan, tak ada satu pun gangguan yang bisa menjauhkan kaisar dariku setiap malam.”
Wajah Meilan sedikit meredup, matanya berkedip ragu. “Tentu, Nyonya. Namun... apakah Anda yakin akan berhasil? Kaisar masih sangat merindukan Permaisuri Zhi Yang.”
Tangan Song Qian berhenti bergerak, dan matanya menatap tajam pada bayangan di cermin, pantulan wajahnya penuh tekad yang tak kenal lelah. “Aku tahu. Tapi aku tak punya pilihan lain. Jika aku bisa lebih sering bersamanya, jika aku bisa memberikan kenyamanan yang dia butuhkan… siapa tahu? Mungkin suatu hari nanti aku bisa memberinya seorang putra.”
Meilan menarik napas dalam-dalam, mengangguk pelan. “Itu akan mengubah segalanya, Nyonya. Seorang putra akan mengukuhkan posisi Anda.”
Setiap malam, Song Qian bersiap dengan cermat, tubuhnya dililit jubah sutra yang lembut menyentuh kulitnya. Aroma melati memenuhi udara di sekelilingnya, membungkusnya dalam wangi yang lembut namun kuat, berharap bahwa Kaisar Xian Shen akan tertarik pada pesonanya. Saat bersamanya, ia selalu hadir dengan senyum yang penuh arti, berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Permaisuri Zhi Yang.
Suatu malam yang hening, mereka duduk berdua di taman istana, di antara bunga-bunga yang menguarkan wewangian samar dalam sejuknya angin malam. Song Qian membuka percakapan, suaranya seakan berbaur dengan bisikan angin yang tenang.
“Yang Mulia,” katanya pelan, matanya menatap lembut pada sosok sang kaisar. “Apakah Anda pernah memikirkan masa depan garis keturunan Anda? Kekaisaran membutuhkan penerus.”
Sang Kaisar hanya diam sesaat, matanya terpaku pada kegelapan yang menyelimuti taman, seolah mengingat kembali kenangan akan Zhi Yang. “Song Qian,” katanya perlahan, suara yang berat oleh kesedihan, “kau tahu bahwa hatiku masih bersama Zhi Yang. Bagaimana mungkin aku berpikir tentang hal itu sekarang?”
Song Qian menundukkan wajahnya, menyembunyikan luka di hatinya di balik tatapan lembut. “Saya mengerti, Yang Mulia. Namun, kerajaan ini tak bisa menunggu selamanya. Anda adalah harapan kami semua.”
Sang kaisar menghela napas panjang, seperti beban dunia tergantung pada pundaknya. “Aku tahu kau benar, tapi perasaanku tak bisa dipaksakan. Kau ada di sisiku, tapi kehilangan Zhi Yang tak pernah benar-benar sirna dari hatiku.”
Malam itu, ketika sang kaisar beranjak kembali ke kamarnya, Song Qian merasakan kekalahan pahit yang menghujam. Ia tahu bahwa tubuhnya memang disambut, namun tidak hatinya. Baginya, ia tak lebih dari bayangan tanpa kedalaman, sementara sang kaisar tetap terjerat dalam cinta yang telah mati.
Di dalam kamar yang luas dan dingin, Song Qian memandang bulan yang tinggi di langit, matanya mengkilap dalam kebisuan yang merasuk. Tangannya mengepal, mencoba mengendalikan gejolak perasaan yang mengguncang dirinya. “Mengapa?” bisiknya dengan suara lirih, “Mengapa aku masih tidak bisa menyentuh hatinya?”
Meilan, yang datang mendekat dalam keheningan, bertanya hati-hati. “Nyonya, apa rencana Anda selanjutnya?”
Song Qian berbalik, memandang tajam pada dayangnya. Matanya menyala dengan tekad yang tak mengenal ampun. “Kita belum selesai, Meilan. Jika kelembutan tidak berhasil, mungkin aku harus menemukan jalan lain. Kaisar harus sadar bahwa aku bukan sekadar pelengkap di sisinya.”
Dayangnya hanya mengangguk pelan, menyadari bahwa tak peduli seberapa gelap dan berbatu jalan di depan, nyonyanya takkan mundur. Song Qian bertekad, meski itu berarti mengorbankan segalanya, ia akan memastikan dirinya lebih dari sekadar bayangan dalam hidup Kaisar Xian Shen.
***
Malam demi malam berlalu seperti arus deras yang tak bisa dihentikan. Song Qian semakin terbenam dalam rencana-rencananya yang rumit, meracik strategi di tengah bayang-bayang istana yang diam-diam menyimpan rahasia. Senyum lembutnya saat berada di hadapan kaisar kian matang, menjadi alat yang tajam dalam permainannya. Dengan lembut namun penuh tekad, ia mulai menguasai istana, menyusup melalui bisikan-bisikan yang ia sebarkan melalui orang-orang yang telah ia kendalikan.
Di setiap sudut, ia meninggalkan jejak, memberikan perintah-perintah terselubung yang tak bisa disangkal. Para pejabat, dayang, bahkan penjaga istana mulai tunduk padanya, beberapa dari mereka dengan sukarela, sementara lainnya karena ketakutan. Song Qian tahu bahwa setiap langkah harus diperhitungkan. Kaisar masih terkurung dalam kenangan akan Zhi Yang, dan ia harus mencabut kenangan itu, menggantikannya dengan bayangannya sendiri.
Suatu malam, di taman yang berkelok di bawah pohon sakura yang mulai meranggas, Song Qian melangkah mendekati Kaisar Xian Shen, suaranya hampir berbisik ketika ia berbicara. "Yang Mulia," katanya, nada bicaranya penuh dengan kelembutan, hampir seperti rayuan, "bukankah waktu telah berlalu? Luka terdalam pun, pada akhirnya, akan sembuh."
Kaisar menatap langit dengan mata suram, seolah mencari bintang yang tak terlihat. “Luka itu… tetap ada, Song Qian. Zhi Yang bukan hanya permaisuriku; ia adalah jiwaku.”
Song Qian merasa jantungnya berdegup kencang, tetapi senyumnya tetap tenang. “Tentu, tidak ada yang bisa menggantikan seseorang seistimewa itu, Yang Mulia. Namun, barangkali hanya seseorang yang mengasihi Anda bisa menghapus sebagian kesedihan itu.” Ia berhenti sejenak, menatap ke arah bunga yang mulai layu di taman. “Jika saya diizinkan… saya ingin menjadi orang itu, Yang Mulia.”
Kaisar menoleh, menatapnya dengan pandangan yang penuh keraguan dan rasa bersalah, tetapi ia tak berkata sepatah kata pun. Mata mereka bertemu, dan dalam diam, Song Qian merasakan bahwa untuk sesaat, tembok antara mereka mungkin mulai retak.
Malam itu, ketika Kaisar beranjak meninggalkannya, Song Qian tahu langkah-langkahnya tak akan kembali lagi ke masa lalu. Ia menyusuri taman istana yang sunyi, merasakan kelembapan udara dan aroma bunga yang memudar, semakin tenggelam dalam obsesi yang memenuhi pikirannya. "Jika kelembutan ini tak berhasil," gumamnya, menatap bayangan rembulan di permukaan air kolam, “maka aku tak punya pilihan lain selain menunjukkan ketegasan.”
***
Dalam minggu-minggu berikutnya, Song Qian diam-diam memperkuat pengaruhnya di antara para pejabat. Seorang pejabat tua yang biasanya diam kini mulai berbisik tentang perlunya penerus, seolah pikiran itu lahir dari dirinya sendiri. Penjaga pintu istana mulai menyebarkan rumor tentang bagaimana seorang permaisuri baru dapat membawa ketenangan bagi kaisar. Bahkan, beberapa dayang mulai mengagumi kecantikan Song Qian secara terbuka, membicarakan betapa ia layak berada di samping kaisar.
Pada suatu hari, di tengah heningnya aula yang dipenuhi ornamen emas dan ukiran naga, Song Qian bertemu dengan Menteri Liu, pria tua dengan wajah berkerut yang memegang peran penting di istana. Menteri Liu telah lama berpihak pada Song Qian, tetapi kali ini, ia memiliki satu peringatan. “Selir Song,” ucapnya, wajahnya tak menunjukkan emosi, “jika Anda benar-benar menginginkan tempat di hati kaisar, berhati-hatilah. Kenangan adalah musuh yang tak terlihat namun kuat. Banyak yang mencoba dan gagal menghadapi kekuatan seperti itu.”
Song Qian tersenyum tipis, pandangannya penuh dengan tekad. “Aku tidak akan menyerah, Tuan Liu. Jika kenangan itu adalah musuhku, maka aku akan melawannya. Aku akan menggantikan kenangan itu dengan kehadiranku, dengan janji bahwa aku bisa membawa masa depan yang baru bagi Yang Mulia.”
Menteri Liu mengangguk perlahan, seolah mengakui bahwa tekadnya sulit untuk dihentikan. "Baiklah, Selir Song. Tapi ingat, di istana ini, setiap langkah yang Anda ambil akan meninggalkan jejak, dan ada mata di setiap sudut."
Song Qian hanya tersenyum kecil. “Tidak masalah. Aku sudah bersiap untuk apa pun.”
***
Waktu terus berjalan, dan Song Qian tak lagi bertindak dengan kelembutan semata. Ia kini menggunakan kekuasaannya secara lebih nyata, memanfaatkan setiap kesempatan untuk mendekati Kaisar Xian Shen. Saat berada di sampingnya, ia berbicara tentang masa depan kekaisaran, tentang kedamaian dan stabilitas, dan tentang penerus yang harus segera hadir.
Namun, dalam momen yang sunyi, di dalam kamarnya yang megah dan dingin, Song Qian sering merasa hampa. Bayang-bayang Permaisuri Zhi Yang seolah masih menari di sekelilingnya, menghantuinya di dalam keremangan cahaya lilin yang berkedip. Dalam sepi itu, ketika tak seorang pun mendengar, kadang Song Qian merasa terjebak, seolah tak akan pernah benar-benar mengisi kekosongan yang begitu dalam di hati kaisar.
Namun, ia tak akan berhenti. Meskipun gelap, meskipun jalan di depan penuh duri dan rintangan, Song Qian telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mendaki hingga ke puncak. Ia akan menjadi sesuatu yang tak dapat diabaikan, bahkan jika itu berarti mengorbankan setiap keping dari dirinya.
Di dalam bayang-bayang istana, rencana-rencana Song Qian mulai menyatu dengan kegelapan, dan malam yang penuh rahasia terus berjalan, mengisyaratkan masa depan yang penuh intrik dan ambisi.
Kaisar Xian Shen berdiri di balkon istananya, memandang luas ke arah cakrawala Benua Timur yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan dedaunan, namun hatinya bergolak dengan amarah yang membara. Para raja di bawah kekuasaannya telah mengabaikan panggilannya untuk bersatu dalam pertempuran penting, meninggalkan kekaisaran dalam keadaan rentan.Raja-raja ini lebih mementingkan wilayahnya sendiri dan menolak untuk mengirim pasukan ke East City untuk meredam invasi dai Necromancer beserta asukannya yang ingin menghancurkan Dinasti Xian."Bagaimana mungkin mereka berani mengkhianati kepercayaan dan sumpah setia mereka?" gumamnya dengan suara bergetar, tinjunya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Kaisar Xian Shen memerintahkan pengerahan pasukan besar untuk menaklukkan semua kerajaan yang membangkang. Satu per satu, kerajaan-kerajaan itu ditundukkan dan diubah menjadi distrik provinsi yang langsung berada di bawah
Awan kelam menggulung di langit malam, kilatan petir menyambar tanpa ampun, menerangi medan pertempuran yang dipenuhi jeritan dan denting senjata. Di tengah kekacauan itu, Necromancer Agung melangkah maju, jubah hitamnya berkibar liar, mengeluarkan semburan energi gelap yang membangkitkan pasukan mayat hidup dengan rintihan mengerikan.Kaisar Xian Shen berdiri di garis depan, matanya menatap tajam ke arah musuh. "Pasukan Dinasti Xian, jangan gentar! Pertahankan tanah air kita!" serunya, suaranya menggema di antara deru pertempuran.Di sampingnya, Panglima Xian Heng menghunus pedangnya, kilauan tajam memantulkan cahaya petir. "Majulah! Hancurkan mereka!" teriaknya, memimpin serangan langsung ke barisan mayat hidup.Sun Wu Long, dengan pedang spiritualnya, mengeluarkan mantra api yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu. "Kekuatan elemen akan membersihkan kegelapan ini!" katanya, semburan api memancar dari tongkatnya, menerangi medan perang.Sakuntala Dewa, dengan gerakan anggun, memang
Gong perang berdentang nyaring, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut Pelabuhan East City. Di bawah langit yang mulai gelap, ribuan prajurit Dinasti Xian bergegas mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah cahaya obor. Mereka membentuk barisan kokoh di sepanjang tembok kota, tombak-tombak terangkat tinggi, busur-busur siap dengan anak panah yang mengarah ke cakrawala, sementara katapel raksasa diisi dengan batu-batu besar yang dilumuri minyak, siap dilemparkan.Di atas mereka, Naga Vikrama melayang gagah, sayapnya yang luas membelah angin malam. Raungannya menggetarkan hati, mata tajamnya memantau setiap gerakan di bawah.Di kejauhan, pasukan Kegelapan mulai tampak seperti gelombang hitam yang mendekat. Barisan Orc dengan armor berat berderap maju, langkah mereka mengguncang tanah. Di samping mereka, Dark Dwarf mengoperasikan mesin perang besar—menara pengepung dan katapel raksasa yang mampu meruntuhkan tembok dalam satu serangan. Para Necromancer berjubah hitam mengangkat tanga
Langit di atas Pelabuhan East City mendadak gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung, seakan-akan hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Angin kencang berdesir tajam, menerbangkan debu dan menerjang ombak hingga membantingnya ke tebing-tebing batu dengan suara gemuruh. Para penjaga di menara pengawas, yang tadinya berjaga dengan santai, kini menegang. Salah satu dari mereka nyaris menjatuhkan tombaknya saat melihat bayangan besar melayang di antara awan."NAGA!" teriak seorang prajurit dengan suara melengking, segera meraih palu besar dan membunyikan lonceng tanda bahaya. Dentang logamnya menggema ke seluruh pelabuhan, mengguncang ketenangan kota ini.Di atas punggung Naga Vikrama, Xian Ling berdiri dengan gagah. Rambut panjangnya menari liar ditiup angin, sementara jubah putihnya berkibar seperti bendera perang yang mengancam. Matanya menyala penuh keyakinan. Di belakangnya, Sakuntala Dewa dan Sun Wu Long duduk waspada, jari-jari mereka sudah menggenggam gagang senjata, siap mena
Pertempuran di Lembah Iblis benar-benar di luar dugaan Xian Ling. Angin dingin menyapu lembah, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran masih terngiang di telinganya. Xian Ling berdiri di tengah medan yang porak-poranda, napasnya tersengal, sementara matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan.Ia tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Mahasura Arya, Pendekar Dewa Naga yang diyakini oleh Kitab Nirvana Surgawi mampu menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Kekecewaan menyelimuti hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi pandangannya.Bahkan, ia juga tidak mengetahui mengapa Qirani dan Qirana terjerumus ke dalam kegelapan dan menentangnya, padahal ia sama sekali belum pernah bertemu dengan pemimpin Lembah Iblis ini. Pengkhianatan mereka menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisik yang ia derita."Tuan Putri, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita di Benua Selatan ini?" tanya Sun Wu Long, suaranya penu
Sakuntala dan Sun Wu Long yang dikepung oleh puluhan murid Perguruan Lembah Iblis mulai merasakan kesulitan menghadapi mereka. Sakuntala memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai angin yang menghantam musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah. Sun Wu Long bergerak seperti bayangan, pedangnya menari-nari, memotong setiap lawan yang mendekat dengan presisi mematikan.Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran, muncul sosok tinggi dengan aura gelap yang menakutkan. Dia adalah Panglima Kegelapan, tangan kanan Qirana, yang dikenal karena kekejamannya. Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil makhluk-makhluk bayangan yang langsung menyerbu ke arah Sakuntala dan Sun Wu Long.Sakuntala mengerutkan kening, menyadari ancaman baru ini. "Wu Long, kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya!" Sun Wu Long mengangguk, dan mereka berdua bergerak serentak, menyerang Panglima Kegelapan dengan kombinasi serangan yang terkoordinasi. Namun, Panglima