Share

16. Hempaskan Semua Pengganggu!

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-05-10 13:53:25
Marwa tersenyum tenang. Ia tahu betul siapa yang sedang ia hadapi. "Saya ingin tinggal kembali di sini, Bu. Sebagai permulaan, saya sudah membeli rumah kontrakan lama dari Bu Ida."

Seketika, pandangan Bu Nurma dan Bu Tutik bertemu. Ada sorot kaget yang mereka coba sembunyikan, tapi gagal. Kalimat Marwa barusan menyulut rasa penasaran baru.

"Oh, kamu sekarang sudah kaya, ya?" tanya Bu Nurma, nada suaranya menggoda. "Pasti kamu sudah menikah dengan orang kaya. Makanya bisa membeli rumah."

Marwa mengangkat alis, lalu menjawab dengan nada datar namun penuh wibawa.

"Saya belum menikah, Bu. Tapi saya memang sudah kaya. Untuk menjadi kaya itu kuncinya adalah harus bekerja keras. Bukan hanya harus menikah dengan orang kaya."

"Memangnya kamu kerja apa sekarang? Jadi artis? Perasaan aku tidak pernah melihat wajahmu di TV," sindir Bu Tutik sinis. Ia sudah panas saat mendengar Marwa mampu membeli rumah lamanya.

"Selain berkarier sebagai seorang dokter, saya juga mempunyai beberapa bisnis lain di
Suzy Wiryanty

Hallo, Readersku tersayang. Selalu support Author ya? Author akan update setiap pukul 1 siang setiap harinya, insyaallah 😊

| 17
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Agustina Suzartiany
semangat ka Suzy ......
goodnovel comment avatar
Yosefa Wahyu
semangat Kak!!!
goodnovel comment avatar
Lala Nurkomala
siap Thor ditunggu updatenya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   32. Kebodohan Perempuan.

    “Sumpah, saya tidak menyangka kalau Dokter Arga itu laki banget!” Suster Ayu dengan semangat bergosip. Jam makan siang seperti ini memang waktunya bergosip ria di kantin rumah sakit. Saat ini ia makan siang bersama Suster Erna dan Dokter Marwa. “Bayangkan, ia menjadikan dirinya tameng untuk melindungi Dokter Marwa. Kami semua merasa seperti melihat drama Korea secara live tadi,” imbuhnya lagi.“Dokter beruntung banget ya, bertemu Dokter Arga waktu itu?” timpal Suster Erna yang ikut mendengar gosip.“Beliau yang beruntung bertemu denganku,” jawab Marwa kalem. Mendengar kata-kata Marwa, Suster Erna dan Suster Ayu terkekeh. Cara bercanda Marwa memang tidak biasa.“Eh, tapi saya penasaran, Bu Winda itu depresinya karena apa sih?” tanya Suster Erna pada Suster Ayu.“Menurut cerita Bu Emi—ibunya Bu Winda—semua berawal dari patah hati yang datang bertubi-tubi. Awalnya, Bu Winda mengalami pengkhianatan besar: suaminya berselingkuh dengan teman sekantornya sendiri, yang tak lain adalah sahaba

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   31. Insiden di Rumah Sakit.

    Marwa sedang melakukan visit pagi rutin di bangsal ketika teriakan panik memecah keheningan. Ia segera berbalik. Dari bed sebelah, kekacauan pecah-Winda Asifa, pasien yang semalam masuk rumah sakit karena menenggak racun serangga, kembali beraksi.Dengan tangan gemetar, Winda memecahkan gelas di samping ranjang, lalu mengacungkan pisau buah ke arah pergelangan tangannya sendiri. Suasana di kamar itu, yang berisi tiga pasien, sontak berubah ricuh."Winda, letakkan pisaunya, ya, Nak?" bujuk ibu Winda dengan suara bergetar, penuh kekhawatiran. Winda, dengan wajah pucat dan mata sembap, menggenggam pisaunya erat-erat. Ia menatap liar ke setiap penjuru kamar sambil terus menggeram. Tangis sedih ibunya, serta tangis ketakutan para pembesuk pasien lainnya, tak menggoyahkan hatinya. Ia hanya ingin mati!"Biarkan aku mati! Aku sudah bosan terus dipermainkan! Semua laki-laki memang biadab!" teriak Winda histeris.Ingatan akan para pria yang menyakitinya membuat amarahnya membara. Atmosfer di r

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   30. Cemburu Menguras Hati.

    Sementara itu, setelah makan siang di kantin, Marwa bergegas menuju ruang staf dokter. Ia ingin mengecek jadwal operasi berikutnya. Namun, baru beberapa langkah, sebuah suara menghentikannya."Marwa."Langkah Marwa melambat, lalu berhenti. Ia menoleh—Arga berdiri di ujung lorong, menunggunya.Marwa mendecakkan lidah. Sebenarnya ia malas sekali menghadapi Arga berduaan. Tapi ia sadar, cepat atau lambat ini pasti terjadi."Ada apa... Dokter?" tanyanya datar.Arga menarik napas panjang mendengar sebutan Marwa padanya. Dokter—bukan Mas Arga, seperti dulu. Nada suaranya juga dingin dan menjaga jarak."Aku..." Arga berdehem pelan. "Aku cuma mau bicara.""Kalau soal pekerjaan, silakan," sahut Marwa cepat. "Tapi kalau soal pribadi, saya tidak tertarik."Arga menelan ludah. Marwa benar-benar sulit didekati."Setidaknya... bisakah kamu membuka blokiran WhatsApp-ku? Kita ini satu profesi di rumah sakit yang sama. Ke depannya kita akan sering berkomunikasi, bukan?""Oke, akan saya buka. Tapi deng

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   29. Bertemu Mantan Pacar.

    Siang itu, kantin Rumah Sakit Harapan Sehat dipenuhi oleh para dokter dan nakes yang sedang menikmati makan siang. Aroma lezat makanan menguar di udara, berpadu dengan suara piring dan peralatan makan yang beradu. Marwa duduk di salah satu meja bersama Dokter Bertha, Dokter Emilia, dan Suster Erna. Mereka menikmati nasi campur sederhana sambil bercengkerama ria. Marwa memang lebih suka makan di kantin kalau jadwal operasinya mepet." "Enak sekali ya sambal terasi Mbok Jum hari ini. Muantep poll!" gumam Dokter Emilia sambil mendesah dan mengipas-ngipas mulutnya yang kepedasan.Marwa baru saja menyuap sayur asem saat mendengar gumam riuh dan bisik-bisik dari arah belakang. Sekelompok perawat muda tampak heboh. Pandangan mereka tertuju ke pintu masuk kantin. Suster Erna, yang duduk tepat di depan Marwa, ikut-ikutan menoleh. "Eh, itu dia! Yang baru datang itu loh... dokter jantung baru, katanya sih cakepnya kebangetan," bisiknya sambil menyikut Dokter Bertha penuh semangat.Marwa ikut me

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   28. Jejak Masa Lalu.

    Dulu, di sepanjang jalan ini, berjejer warung-warung kecil. Warung Bu Aminah, Pak Darto, Mbak Sri—semuanya tempat Marwa kecil menitipkan kue buatannya. Bolu kukus, risoles, pastel—dibungkus rapi dalam plastik bening. Setiap sore, selepas pulang sekolah, ia akan berkeliling menagih hasil jualan. Kadang pendapatannya cukup banyak hingga bisa membeli sembako. Tapi kadang hanya cukup untuk menjadi modal untuk esok harinya. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Di usianya yang belia, ia sudah mengerti arti kerja keras.Kini, yang tersisa hanya kenangan. Warung-warung itu telah lenyap, berganti tembok kokoh toko-toko besar.Tak berapa lama, langkahnya terhenti di depan gerbang sekolah Nusa Persada. Tempatnya bersekolah dari SD hingga SMP. Gerbang besi tampak tertutup rapat. Sekolah tampak lengang. Tidak ada suara anak-anak berlarian, suara teriakan guru, atau pun tawa ceria anak-anak.Wajar, pikir Marwa. Ini hari Minggu.Ia meraih pagar gerbang dan menempelkan dahinya sesaat di sana, matanya menyu

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   27. Bertemu Pembully.

    Marwa menunduk dalam-dalam, pura-pura sibuk meniup uap bakso di hadapannya. Sesekali ia menusuk bakso dengan garpu, mengunyah perlahan, seolah dunia hanya sebatas mangkuk di depannya. Ia sama sekali tak ingin mengangkat wajah, apalagi bertukar basa-basi busuk dengan lelaki itu.Suara langkah kaki berat bergema di lantai keramik warung sederhana Mang Ucup. Sejurus kemudian aroma parfum maskulin yang samar langsung membanjiri indra penciumannya. Marwa berdecak. Akhir-akhir ini ia sudah terlalu sering menghidu aroma ini. "Wih, si Haryo makin berumur makan seksoy, euy," bisik Tiwi.Haryo masuk ke dalam warung dan mengangguk singkat ke arah mereka bertiga atau berempat dengan Marwa. Marwa tidak tahu jelas karena ia sama sekali tidak melihat ke arah Haryo. Tiwi, Dewi, dan Aini membalas anggukkan Haryo dengan senyum ramah, sementara Marwa mencebik dalam diamnya.Sambil tetap menunduk, telinga Marwa menangkap obrolan antara Haryo dan Mang Ucup di balik meja kasir kecil."Hallo, Mang. Apa kab

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   26. Orang Jahat Susah Matinya.

    "Aku tinggal dengan Opa dan Oma di Surabaya sampai aku menyelesaikan PPDS dan resmi menyandang gelar Sp.B. alias dokter bedah. Setahun kemudian, Opa meninggal di susul Oma karena usia. Setelah urusanku di sana selesai, baru aku balik ke sini untuk menyelesaikan masa lalu yang menggantung," ujar Marwa apa adanya. "Tapi Wa, aku penasaran deh. Kamu kok bisa menjadi dokter bedah secepat ini? Baru tiga puluh tahun, kamu sudah menjadi dokter spesialis. Aku saja umur segini masih struggling dengan klien-klien yang menyebalkan," Dewi mendecakkan lidah."Iya, Wa. Banyak teman-temanku yang dokter, mau masuk PPDS saja harus antri. Lha, kok kamu kayak ngebut begitu." Kali ini Tiwi yang penasaran. Marwa tersenyum pahit sambil meletakkan sendok baksonya."Aku juga tidak menyangka bisa sampai di titik ini. Tapi ya... semua dimulai dari rasa kehilangan. Di malam saat kebakaran itu, satu-satunya yang ada di kepalaku adalah: aku harus keluar dari rumah hidup-hidup-secara harfiah maupun kiasan." Marwa

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   25. Menyelidiki Masa Lalu.

    "Jadi benar ya, Pak, kalau almarhum Pak Marno dulu ingin membalik nama salah satu rumah kontrakannya? Makanya beliau bermaksud memecah PBB?" Di Minggu pagi yang cerah Marwa mengunjungi Pak Rahmad sekaligus memulai penyelidikannya. Sebagai ketua RT di masa itu, sedikit banyak Pak Rahmad pasti mengetahui perihal dokumen-dokumen Pak Marno. Pak Rahmad mengangguk. "Iya, betul. Waktu itu ia sempat datang ke sini. Mau urus pemecahan PBB, katanya. Tapi ya... belum sempat selesai, malah kecelakaan duluan."Marwa menegakkan punggungnya. Ia mulai tertarik mendengarnya. "Akhirnya tidak jadi dipecah ya, Pak?""Jadi. Tapi bukan oleh Pak Marno.""Lho jadi oleh siapa? Bu Ida?" tanya Marwa lagi.Pak Rahmad menggeleng. "Bukan, Bu Ida. Tapi Haryo. Setahun setelah Pak Marno meninggal, Haryo mengurus pemecahan PBB yang sebelumnya global menjadi beberapa rumah. Katanya, ibunya sudah tidak mau mengurus usaha kontrakan lagi. Terlalu banyak kenangan yang menyakitkan, katanya." "Setelah diurus, lantas bagaim

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   24. An Eye For An Eye.

    Marwa menoleh ke belakang. Ada Hani dan seorang laki-laki yang menuntun bocah kecil. Tebakannya, mereka adalah suami dan anak Hani."Jaga ucapanmu, Han!" Haryo memelototi sang adik."Hani, sudahlah. Jangan membuat keributan di rumah sakit," sang suami memperingatkan Hani.Marwa yang merasa tidak punya urusan lagi di rumah sakit, melenggang pergi. Bisa sakit kuning kalau ia terlalu lama berada di dekat Hani dan Haryo."Mau ke mana kamu?" Hani menegur Marwa yang baru saja berjalan beberapa langkah. Mendengar teguran itu, Marwa membalikkan badan."Aku mau mengambil mobil di mal. Tadi, setelah menolong ibumu yang kolaps, aku memanggil ambulans sekaligus ikut masuk untuk memantau jantung ibumu."Hani terdiam. Ia tidak menyangka kalau Marwa-lah yang menolong ibunya. Sekarang, ia jadi merasa serba salah."Ibu Dokter juga menemani Wawa di mobil, uiw uiw, Tante. Wawa takut sekali," ujar Najwa tiba-tiba, berdiri di samping Marwa dan menyelipkan jemari mungilnya ke tangan Marwa. Hani makin meras

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status