Share

19. Curiga.

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-12 13:46:26

Haryo tertegun saat menyadari bahwa dokter yang mengoperasi mantan mertuanya adalah Marwa. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Kata-katanya dulu kepada Arif dan Budi kini terbukti menjadi kenyataan.

Ia masih ingat betul kejadian itu—saat menerima minuman dari Marwa, dua temannya sesama pemain basket menertawakannya. Mereka mencibir dan mengoloknya berselera rendah, karena lebih memilih minuman dari Marwa—si anak LC dibandingkan dari adik-adik kelas lainnya.

Waktu itu ia membalas dengan mengatakan pada teman-teman suatu saat Marwa pasti akan berhasil jadi orang walau ia terlahir dari keluarga berantakan. Marwa itu pintar, sopan dan berani. Ada tambahan lagi yang pasti mereka akui dalam hati tapi tidak berani mereka diutarakan. Marwa itu siswi paling cantik satu sekolahan.

Ia sering memergoki teman-temannya— bahkan Arif dan Budi memandangi Marwa dari kejauhan. Mereka hanya terlalu pengecut dianggap punya selera murahan. Padahal dalam hati mereka sama saja—sama-sama terpikat oleh M
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Agustina Suzartiany
siapakah "na" ituuu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   30. Cemburu Menguras Hati.

    Sementara itu, setelah makan siang di kantin, Marwa bergegas menuju ruang staf dokter. Ia ingin mengecek jadwal operasi berikutnya. Namun, baru beberapa langkah, sebuah suara menghentikannya."Marwa."Langkah Marwa melambat, lalu berhenti. Ia menoleh—Arga berdiri di ujung lorong, menunggunya.Marwa mendecakkan lidah. Sebenarnya ia malas sekali menghadapi Arga berduaan. Tapi ia sadar, cepat atau lambat ini pasti terjadi."Ada apa... Dokter?" tanyanya datar.Arga menarik napas panjang mendengar sebutan Marwa padanya. Dokter—bukan Mas Arga, seperti dulu. Nada suaranya juga dingin dan menjaga jarak."Aku..." Arga berdehem pelan. "Aku cuma mau bicara.""Kalau soal pekerjaan, silakan," sahut Marwa cepat. "Tapi kalau soal pribadi, saya tidak tertarik."Arga menelan ludah. Marwa benar-benar sulit didekati."Setidaknya... bisakah kamu membuka blokiran WhatsApp-ku? Kita ini satu profesi di rumah sakit yang sama. Ke depannya kita akan sering berkomunikasi, bukan?""Oke, akan saya buka. Tapi deng

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   29. Bertemu Mantan Pacar.

    Siang itu, kantin Rumah Sakit Harapan Sehat dipenuhi oleh para dokter dan nakes yang sedang menikmati makan siang. Aroma lezat makanan menguar di udara, berpadu dengan suara piring dan peralatan makan yang beradu. Marwa duduk di salah satu meja bersama Dokter Bertha, Dokter Emilia, dan Suster Erna. Mereka menikmati nasi campur sederhana sambil bercengkerama ria. Marwa memang lebih suka makan di kantin kalau jadwal operasinya mepet." "Enak sekali ya sambal terasi Mbok Jum hari ini. Muantep poll!" gumam Dokter Emilia sambil mendesah dan mengipas-ngipas mulutnya yang kepedasan.Marwa baru saja menyuap sayur asem saat mendengar gumam riuh dan bisik-bisik dari arah belakang. Sekelompok perawat muda tampak heboh. Pandangan mereka tertuju ke pintu masuk kantin. Suster Erna, yang duduk tepat di depan Marwa, ikut-ikutan menoleh. "Eh, itu dia! Yang baru datang itu loh... dokter jantung baru, katanya sih cakepnya kebangetan," bisiknya sambil menyikut Dokter Bertha penuh semangat.Marwa ikut me

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   28. Jejak Masa Lalu.

    Dulu, di sepanjang jalan ini, berjejer warung-warung kecil. Warung Bu Aminah, Pak Darto, Mbak Sri—semuanya tempat Marwa kecil menitipkan kue buatannya. Bolu kukus, risoles, pastel—dibungkus rapi dalam plastik bening. Setiap sore, selepas pulang sekolah, ia akan berkeliling menagih hasil jualan. Kadang pendapatannya cukup banyak hingga bisa membeli sembako. Tapi kadang hanya cukup untuk menjadi modal untuk esok harinya. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Di usianya yang belia, ia sudah mengerti arti kerja keras.Kini, yang tersisa hanya kenangan. Warung-warung itu telah lenyap, berganti tembok kokoh toko-toko besar.Tak berapa lama, langkahnya terhenti di depan gerbang sekolah Nusa Persada. Tempatnya bersekolah dari SD hingga SMP. Gerbang besi tampak tertutup rapat. Sekolah tampak lengang. Tidak ada suara anak-anak berlarian, suara teriakan guru, atau pun tawa ceria anak-anak.Wajar, pikir Marwa. Ini hari Minggu.Ia meraih pagar gerbang dan menempelkan dahinya sesaat di sana, matanya menyu

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   27. Bertemu Pembully.

    Marwa menunduk dalam-dalam, pura-pura sibuk meniup uap bakso di hadapannya. Sesekali ia menusuk bakso dengan garpu, mengunyah perlahan, seolah dunia hanya sebatas mangkuk di depannya. Ia sama sekali tak ingin mengangkat wajah, apalagi bertukar basa-basi busuk dengan lelaki itu.Suara langkah kaki berat bergema di lantai keramik warung sederhana Mang Ucup. Sejurus kemudian aroma parfum maskulin yang samar langsung membanjiri indra penciumannya. Marwa berdecak. Akhir-akhir ini ia sudah terlalu sering menghidu aroma ini. "Wih, si Haryo makin berumur makan seksoy, euy," bisik Tiwi.Haryo masuk ke dalam warung dan mengangguk singkat ke arah mereka bertiga atau berempat dengan Marwa. Marwa tidak tahu jelas karena ia sama sekali tidak melihat ke arah Haryo. Tiwi, Dewi, dan Aini membalas anggukkan Haryo dengan senyum ramah, sementara Marwa mencebik dalam diamnya.Sambil tetap menunduk, telinga Marwa menangkap obrolan antara Haryo dan Mang Ucup di balik meja kasir kecil."Hallo, Mang. Apa kab

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   26. Orang Jahat Susah Matinya.

    "Aku tinggal dengan Opa dan Oma di Surabaya sampai aku menyelesaikan PPDS dan resmi menyandang gelar Sp.B. alias dokter bedah. Setahun kemudian, Opa meninggal di susul Oma karena usia. Setelah urusanku di sana selesai, baru aku balik ke sini untuk menyelesaikan masa lalu yang menggantung," ujar Marwa apa adanya. "Tapi Wa, aku penasaran deh. Kamu kok bisa menjadi dokter bedah secepat ini? Baru tiga puluh tahun, kamu sudah menjadi dokter spesialis. Aku saja umur segini masih struggling dengan klien-klien yang menyebalkan," Dewi mendecakkan lidah."Iya, Wa. Banyak teman-temanku yang dokter, mau masuk PPDS saja harus antri. Lha, kok kamu kayak ngebut begitu." Kali ini Tiwi yang penasaran. Marwa tersenyum pahit sambil meletakkan sendok baksonya."Aku juga tidak menyangka bisa sampai di titik ini. Tapi ya... semua dimulai dari rasa kehilangan. Di malam saat kebakaran itu, satu-satunya yang ada di kepalaku adalah: aku harus keluar dari rumah hidup-hidup-secara harfiah maupun kiasan." Marwa

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   25. Menyelidiki Masa Lalu.

    "Jadi benar ya, Pak, kalau almarhum Pak Marno dulu ingin membalik nama salah satu rumah kontrakannya? Makanya beliau bermaksud memecah PBB?" Di Minggu pagi yang cerah Marwa mengunjungi Pak Rahmad sekaligus memulai penyelidikannya. Sebagai ketua RT di masa itu, sedikit banyak Pak Rahmad pasti mengetahui perihal dokumen-dokumen Pak Marno. Pak Rahmad mengangguk. "Iya, betul. Waktu itu ia sempat datang ke sini. Mau urus pemecahan PBB, katanya. Tapi ya... belum sempat selesai, malah kecelakaan duluan."Marwa menegakkan punggungnya. Ia mulai tertarik mendengarnya. "Akhirnya tidak jadi dipecah ya, Pak?""Jadi. Tapi bukan oleh Pak Marno.""Lho jadi oleh siapa? Bu Ida?" tanya Marwa lagi.Pak Rahmad menggeleng. "Bukan, Bu Ida. Tapi Haryo. Setahun setelah Pak Marno meninggal, Haryo mengurus pemecahan PBB yang sebelumnya global menjadi beberapa rumah. Katanya, ibunya sudah tidak mau mengurus usaha kontrakan lagi. Terlalu banyak kenangan yang menyakitkan, katanya." "Setelah diurus, lantas bagaim

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   24. An Eye For An Eye.

    Marwa menoleh ke belakang. Ada Hani dan seorang laki-laki yang menuntun bocah kecil. Tebakannya, mereka adalah suami dan anak Hani."Jaga ucapanmu, Han!" Haryo memelototi sang adik."Hani, sudahlah. Jangan membuat keributan di rumah sakit," sang suami memperingatkan Hani.Marwa yang merasa tidak punya urusan lagi di rumah sakit, melenggang pergi. Bisa sakit kuning kalau ia terlalu lama berada di dekat Hani dan Haryo."Mau ke mana kamu?" Hani menegur Marwa yang baru saja berjalan beberapa langkah. Mendengar teguran itu, Marwa membalikkan badan."Aku mau mengambil mobil di mal. Tadi, setelah menolong ibumu yang kolaps, aku memanggil ambulans sekaligus ikut masuk untuk memantau jantung ibumu."Hani terdiam. Ia tidak menyangka kalau Marwa-lah yang menolong ibunya. Sekarang, ia jadi merasa serba salah."Ibu Dokter juga menemani Wawa di mobil, uiw uiw, Tante. Wawa takut sekali," ujar Najwa tiba-tiba, berdiri di samping Marwa dan menyelipkan jemari mungilnya ke tangan Marwa. Hani makin meras

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   23. Pertolongan Tak Terduga.

    Minggu sore yang seharusnya santai berubah tegang dalam sekejap. Marwa tengah menyusuri deretan butik di lantai dua pusat perbelanjaan ketika sebuah teriakan panik memecah riuh rendah musik dan obrolan.“Tolong! Ada yang pingsan!” teriak seorang pramuniaga dari lantai bawah.Seperti ditarik magnet, para pengunjung segera berkerumun ke arah suara. Marwa yang penasaran ikut mendekat, lalu bertanya pada seorang wanita yang baru saja meninggalkan kerumunan.“Ada apa, Bu?” tanya Marwa penasaran.“Ada ibu-ibu pingsan waktu belanja. Kasian sekali. Mana bawa cucu lagi."Marwa mengangguk dan menatap sekeliling. Sekonyong-konyong matanya tiba-tiba menangkap sosok kecil yang dikenalnya—Najwa, putri kecil Haryo. Gadis mungil itu berdiri mematung di tepi kerumunan, tubuhnya gemetar, air mata membasahi pipi.“Wawa?” Marwa memanggil sang gadis kecil. Najwa menoleh dan saat matanya menangkap sosok Marwa, dia langsung berlari dan memeluk kaki Marwa dengan erat."Dokter... Nenek jatuh... Nenek jatuh...

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   22. Bertemu Imbang.

    Tante Hilda terdiam sesaat, lalu berkata pelan, “Tapi bukannya dulu polisi bilang itu akibat korsleting listrik?”“Aku yakin bukan,” jawab Marwa tegas. “Pasti ada yang sengaja membakarnya. Dan aku akan cari tahu siapa pelakunya, sampai ketemu.”Tante Hilda menghela napas panjang. “Terserah lo aja. Tapi saran gue lo harus belajar menerima masa lalu sebagai bagaian dari perjalanan hidup lo. Dengan begitu hidup lo akan lebih enteng dan syukur-syukur bisa bahagia." Marwa belum sempat menjawab saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Siska meneleponnya. "Ya, Sis?" Marwa mengangkat telepon dari Siska. "Kamu jam berapa ke sini, Wa? Aku sudah mati kutu ini ditawarin mobil terus oleh sales-sales di sini. Cepetan dong ah kesininya. Kamu jadi beli mobil kan?" "Iya, jadi. Aku ke sana sekarang." Marwa menutup telepon dan berpamitan dengan Tante Hilda. KTP Jakartanya sudah keluar. Oleh karenanya ia sudah bisa membeli mobil. *** Showroom mobil Jepang dengan logo tiga bulatan merah tampak mencolok da

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status