Bab 45 – Api di Balik Cermin
Langit Arangyeon berubah warna. Bukan karena waktu, tetapi karena benturan dua kekuatan yang tak seharusnya bertemu. Di tepi Danau Serunai, sihir membelah udara, membakar dedaunan, dan memecah tanah. Suara pertempuran bergema seperti ratapan alam yang dikhianati.
Elara berdiri tegak, wajahnya kini datar tanpa emosi. Sinar merah menyala di matanya, menandakan aktivasi penuh program kendali dari Divisi 7. Gerakannya presisi, menyerang tanpa ampun. Tapi serangan itu tak lagi menyerupai ibu Hamin—melainkan mesin.
Hamin terpental beberapa langkah, tubuhnya bergetar. Meski sihir pertahanannya telah bangkit, dia masih belum sepenuhnya stabil. Daya dalam dirinya besar, tapi belum terkendali.
“Hamin!” suara Haneul menggema dari sisi danau. Ia melompat ke medan pertempuran, tubuhnya diselimuti aura emas kebiruan, mata menyala tajam. Di belakangnya, Jaewon dan Mira menyusul, sihir mereka siap mena
Bab 46 – Gerbang KembaliFajar belum juga muncul ketika Haneul berdiri di depan Gerbang Serpih, titik paling rapuh di batas sihir Arangyeon yang mengarah ke dunia asal mereka: Seowon. Udara di sekeliling gerbang mengalir tak stabil, berdenyut seperti nadi, seolah menyadari bahwa yang akan melintas bukan sekadar pelintas waktu — melainkan pewaris dua kekuatan yang belum sepenuhnya diakui oleh dunia mana pun.Hamin berdiri di sampingnya, mengenakan jubah penjaga ringan dan sarung tangan pelindung sihir. Di matanya ada keyakinan yang lahir dari luka — dan kebebasan yang baru saja diraihnya. Namun sesekali, ia menggenggam liontin kecil yang pernah diberikan Haneul bertahun-tahun lalu, seolah ingin memastikan bahwa hatinya tetap terikat pada satu hal: keluarga.Jaewon menyerahkan dua cincin kecil berukir simbol Dimensi Ketiga.“Sesuatu untuk menyamarkan identitas energi kalian. Tapi ini hanya bertahan..
Bab 45 – Api di Balik CerminLangit Arangyeon berubah warna. Bukan karena waktu, tetapi karena benturan dua kekuatan yang tak seharusnya bertemu. Di tepi Danau Serunai, sihir membelah udara, membakar dedaunan, dan memecah tanah. Suara pertempuran bergema seperti ratapan alam yang dikhianati.Elara berdiri tegak, wajahnya kini datar tanpa emosi. Sinar merah menyala di matanya, menandakan aktivasi penuh program kendali dari Divisi 7. Gerakannya presisi, menyerang tanpa ampun. Tapi serangan itu tak lagi menyerupai ibu Hamin—melainkan mesin.Hamin terpental beberapa langkah, tubuhnya bergetar. Meski sihir pertahanannya telah bangkit, dia masih belum sepenuhnya stabil. Daya dalam dirinya besar, tapi belum terkendali.“Hamin!” suara Haneul menggema dari sisi danau. Ia melompat ke medan pertempuran, tubuhnya diselimuti aura emas kebiruan, mata menyala tajam. Di belakangnya, Jaewon dan Mira menyusul, sihir mereka siap mena
Bab 44 – Wajah yang Tak TerlupakanKabut tipis menyelimuti pinggiran Hutan Nysar ketika malam turun pelan seperti bayangan yang merambat. Di antara pepohonan tua dan aliran energi sihir yang masih belum stabil, empat sosok bergerak diam-diam, nyaris tak meninggalkan jejak.Elara berjalan paling depan. Langkahnya ringan, tubuhnya membungkus aura putih yang menipu—terlihat damai, tapi penuh ketegangan. Di belakangnya, tiga agen berseragam Divisi 7 memantau denyut energi di medan, masing-masing dilengkapi dengan pengacak sihir dan pelacak resonansi.“Kita memasuki perimeter Arangyeon,” lapor salah satu agen, suara teredam masker. “Target dua telah terdeteksi. Hamin berada di sektor barat daya, sendirian.”Elara berhenti.“Tidak,” katanya lirih. “Aku akan menemuinya sendiri. Jika kalian muncul bersama, dia akan lari.”Agen saling bertukar pandang. Salah satu dari mereka
Bab 43 – Mata yang MengintaiFajar menggantung rendah di langit Arangyeon, menyelimuti pegunungan dengan kabut ungu keperakan. Di desa Eshar, tempat pertemuan para penjaga sihir, penduduk belum berani keluar rumah. Ada ketegangan di udara, sesuatu yang tak terlihat tapi terasa: dunia ini sedang diawasi.Seo Haneul berdiri di balkon rumah peristirahatan Elder Yoon, memandangi tanah di bawahnya yang baru saja terselamatkan dari kehancuran. Tapi pikirannya melayang—bukan pada kemenangan, melainkan pada suara-suara yang tak lagi bisa ia abaikan. Suara dari masa lalunya di Seowon, suara teknologi dan ambisi, kini kembali memanggil.Di belakangnya, Hamin duduk di ambang jendela. “Kau tidak tidur?”“Tidak bisa,” jawab Haneul lirih. “Rasanya... seperti kita baru saja membuka kotak yang seharusnya tetap tertutup.”“Dimensi Ketiga,” Hamin mengangguk. “Kekuatan yang bukan milik
Bab 42 – Benteng yang Terkunci Angin kering menyapu permukaan bebatuan hitam di dataran selatan Arangyeon, tempat benteng tua menjulang seperti luka terbuka di tengah tanah mati. Benteng Gyerim. Pusat kekuatan Ordo Kegelapan. Dan penjara bagi Seo Hamin—adik yang tak pernah Haneul sangka akan hilang di antara sihir dan pengkhianatan.Seo Haneul berdiri di puncak bukit berbatu, memandang lautan kabut gelap yang mengelilingi benteng seperti pengawal setia. Di sampingnya, Jaewon menyentuhkan tangan ke tanah, mengamati aliran energi yang tidak wajar.“Mereka menyiapkan sesuatu. Bukan hanya penghalang biasa, ini... ritual,” gumam Jaewon.“Ritual pemindahan jiwa?” tanya Haneul, matanya membelalak.Jaewon mengangguk. “Jika mereka berhasil menggunakan tubuh Hamin sebagai wadah bagi entitas Bayang Tertinggi, maka seluruh lapisan sihir Arangyeon bisa terbalik. Dunia akan runtuh dari dalam.”
Bab 41 – Cahaya dalam KegelapanLangit Arangyeon memudar menjadi kelabu perak saat Haneul berdiri di depan Gerbang Kuil Cahaya. Angin menggulung dari lembah utara, membawa suara-suara bisu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang menyimpan sihir dalam darah. Udara sekelilingnya tebal dengan energi, seperti bumi sendiri sedang menahan napas, menunggu keputusan yang akan mengubah takdir dua dunia.Di belakangnya, Jiwoo—saudara seperguruan Jaewon yang kini menjadi pelindung Arangyeon—berdiri dengan wajah cemas. “Kekuatan dalam kuil itu bukan main-main, Haneul. Bahkan Elder tertua pun tak berani menyentuh pusaran cahaya dan bayangan bersamaan.”Haneul menggenggam liontin biru yang ditinggalkan ibunya. Sejak bangkitnya Menara yang Runtuh, dan terungkapnya warisan darah dari dua dunia, ia tahu—ia tidak bisa lagi hanya menjadi seorang pengembara tanpa arah. Ia adalah pusat badai. Titik temu antara kehancuran dan harapan.“Aku harus melakukannya, Jiwoo. Jika aku tak bisa menyatukan kekuatan
Bab 40 – Retakan TakdirSaat tangan Haneul terulur dalam keheningan ruang cermin, waktu seolah menahan napas. Di sekeliling mereka, bayangan membeku di udara, seperti lukisan yang belum selesai. Cermin-cermin tidak lagi bergetar. Mereka hanya menunggu. Menanti pilihan.Hamin memandangi tangan itu—tangan kakaknya, penuh luka, penuh harapan. Tapi dalam dirinya, dua suara saling bertarung: satu ingin meraih dan memeluk masa lalu, satu lagi ingin melepaskan segalanya dan membakar sisa dunia.“Apa kau benar-benar masih percaya pada dunia ini?” tanya Hamin, suaranya nyaris seperti bisikan angin malam.“Bukan pada dunia. Tapi pada kita,” jawab Haneul mantap. “Kita pernah menjadi cahaya bagi satu sama lain. Mungkin cahaya itu redup sekarang, tapi aku yakin ia belum padam.”Seketika, suara retakan terdengar. Namun bukan dari cermin—melainkan dari dalam tubuh Hamin sendiri. Cahaya hitam yang melingkupi tubuhnya bergoyang, retak, lalu pecah menjadi kabut yang perlahan menghilang. Tubuhnya gemetar
Bab 39 – Bayangan dalam CerminLorong di balik Jantung Dimensi terasa seperti masuk ke dalam pikiran seseorang—segalanya tak beraturan, melengkung, dan penuh gema yang bukan berasal dari dunia nyata. Seo Haneul dan Kael berjalan perlahan, langkah mereka bergema aneh di lantai kristal yang memantulkan cahaya dan bayangan secara bersamaan. Dinding-dindingnya terbuat dari cermin hitam, tetapi bukan cermin biasa—cermin itu bergerak, membentuk ulang bayangan mereka, mencerminkan ketakutan dan ingatan yang terkubur dalam.“Ini... bukan ruang biasa,” bisik Kael. “Ini semacam ruang antara. Dimensi di mana batin seseorang dihadapkan pada bentuk terkelamnya.”Haneul mengangguk pelan. Ia merasa tubuhnya ringan tapi jiwanya berat. Di setiap pantulan cermin, ia melihat sosok Hamin—terse
Bab 38 – Gerbang Cahaya yang TerkunciLangit Arangyeon memudar menuju senja saat Seo Haneul menapaki lorong batu di Menara Elaris. Setiap langkahnya terasa berat, seolah bebannya tidak hanya berasal dari tubuh, tetapi juga dari ribuan takdir yang bergantung padanya. Cahaya obor yang redup menari di sepanjang dinding, memantulkan bayangan yang membesar dan menyusut—menggambarkan keraguan yang terus bergolak di dalam dadanya.Di tangan kanannya, sebuah pecahan Kunci Kuno berdenyut lembut dengan kilau biru keperakan. Benda itu terasa hidup, seolah mengetahui bahwa saatnya telah tiba. Di tangan kirinya, tergenggam peta tua bertinta sihir, yang membimbingnya ke lokasi tersembunyi yang dikenal hanya lewat bisikan: Gerbang Cahaya, gerbang terakhir yang bisa menyatukan atau menghancurkan dua dimensi.