Bab 50 – Lembah Tenggelam
Kabut menyelimuti dunia seperti jubah waktu. Lembah Tenggelam bukan hanya wilayah terlarang, tapi nadi rahasia Arangyeon yang terlupakan—tempat sihir purba dan dosa masa lalu saling mengunci dalam tidur panjang. Langit di atasnya tak pernah biru, hanya abu-abu suram yang membungkam cahaya bulan.
Seo Haneul melangkah sendirian, hanya berbekal jubah pelindung dan liontin ibunya yang kini nyaris tidak bercahaya. Di sekelilingnya, kabut seperti makhluk hidup—bergerak mengelilingi, menyentuh kulit, berbisik dengan suara yang tidak berasal dari bumi maupun dimensi manapun.
“Kenapa kau datang?” bisik kabut, dalam suara ratusan jiwa.
Haneul tidak menjawab. Ia terus melangkah, menembus semak dan batu raksasa yang tertutup lumut tua. Dalam hatinya, ia merasakan kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Bukan karena takut, tapi karena merasa… sedang diawasi oleh masa lalu.
Lorong batu
Bab 50 – Lembah TenggelamKabut menyelimuti dunia seperti jubah waktu. Lembah Tenggelam bukan hanya wilayah terlarang, tapi nadi rahasia Arangyeon yang terlupakan—tempat sihir purba dan dosa masa lalu saling mengunci dalam tidur panjang. Langit di atasnya tak pernah biru, hanya abu-abu suram yang membungkam cahaya bulan.Seo Haneul melangkah sendirian, hanya berbekal jubah pelindung dan liontin ibunya yang kini nyaris tidak bercahaya. Di sekelilingnya, kabut seperti makhluk hidup—bergerak mengelilingi, menyentuh kulit, berbisik dengan suara yang tidak berasal dari bumi maupun dimensi manapun.“Kenapa kau datang?” bisik kabut, dalam suara ratusan jiwa.Haneul tidak menjawab. Ia terus melangkah, menembus semak dan batu raksasa yang tertutup lumut tua. Dalam hatinya, ia merasakan kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Bukan karena takut, tapi karena merasa… sedang diawasi oleh masa lalu.Lorong batu
Bab 49 – Bayangan dalam DarahAngin malam Arangyeon berembus lirih, namun menusuk lebih dalam dari biasanya. Udara dipenuhi aroma lembap tanah yang baru saja disiram hujan sihir. Di kejauhan, langit masih retak, menyisakan luka di langit yang tak bisa dijahit hanya dengan kemenangan. Di permukaan, seolah dunia kembali tenang. Namun di dalam, semua orang tahu: badai sesungguhnya baru akan dimulai.Seo Haneul berdiri di balkon Menara Bintang, tubuhnya diam, tapi pikirannya tidak. Sejak pertempuran melawan Jihoon, sesuatu dalam dirinya berubah. Bukan hanya karena dia selamat, tapi karena dia merasa... ditinggalkan.“Ibuku memilih untuk menghilang,” gumamnya lirih. “Tapi kenapa aku merasa dia masih menyembunyikan sesuatu dariku?”Suara langkah pelan terdengar di belakang. Jaewon.“Kau belum tidur lagi,” katanya, bersandar di sisi balkon.Haneul hanya mengangguk pel
Bab 48 – Gerbang yang Retak Langit Arangyeon tampak sekarat. Awan ungu pekat menyelimuti horizon, berkilat-kilat seperti luka terbuka di angkasa. Di balik kabut, gema retakan terdengar pelan namun menusuk, menandakan batas antar dunia mulai melebur. Suara burung-burung roh telah menghilang, digantikan oleh senyap yang terlalu sempurna—pertanda bahwa dunia sihir sedang menahan napas.Seo Haneul berdiri di pelataran Menara Bintang, matanya menatap langit yang tak lagi murni. Aura hangat dari kristal peninggalan ibunya kini berdenyut cepat di telapak tangannya—seolah merasakan bahaya yang mendekat. Tak jauh darinya, Jaewon, Mira, dan Elder Yoon bersiap siaga, dikelilingi oleh para penjaga Arangyeon yang membentuk formasi sihir perlindungan.“Retakannya semakin besar,” ujar Mira pelan. “Energi dari Seowon menyusup ke dalam aliran sihir Arangyeon. Jika dibiarkan, dunia kita bisa runtuh dari dalam.”“Ini bukan retakan biasa,” Elder Yoon menyempitkan matanya. “Ini lubang dimensi. Dan seseora
Bab 47 – Bayangan dari SeowonKabut tipis mengambang di koridor-koridor kaca Divisi 7. Suara langkah mereka dipantulkan berkali-kali oleh dinding logam yang dingin dan steril. Di dunia ini, suara manusia kalah oleh dengungan mesin dan napas algoritma. Dunia yang dulu Haneul kenal kini hanya bayangannya sendiri—lebih sunyi, lebih kosong.Di setiap layar hologram yang mereka lewati, wajah Haneul muncul dengan label "Target Aktif: Kode ∆-HA032". Di sisi lain, sensor di dinding mendeteksi jejak aura sihir dalam tubuh mereka.“Seberapa dalam kita harus turun?” tanya Hamin, berbisik sambil memegang jimat pelindung.Haneul menatap layar kecil di gelangnya. “Hanya satu lantai lagi. Ruang pusat penyimpanan kenangan ada di bawah Biolab. Di sanalah fragmen Ibu kemungkinan masih bertahan.”Mereka berbelok ke koridor sempit. Aroma antiseptik bercampur ozon menusuk hidung. Setiap detik yang lewat membuat Haneul merasa seakan napasnya tak lagi miliknya sendiri.Namun sebelum mereka mencapai pintu pu
Bab 46 – Gerbang KembaliFajar belum juga muncul ketika Haneul berdiri di depan Gerbang Serpih, titik paling rapuh di batas sihir Arangyeon yang mengarah ke dunia asal mereka: Seowon. Udara di sekeliling gerbang mengalir tak stabil, berdenyut seperti nadi, seolah menyadari bahwa yang akan melintas bukan sekadar pelintas waktu — melainkan pewaris dua kekuatan yang belum sepenuhnya diakui oleh dunia mana pun.Hamin berdiri di sampingnya, mengenakan jubah penjaga ringan dan sarung tangan pelindung sihir. Di matanya ada keyakinan yang lahir dari luka — dan kebebasan yang baru saja diraihnya. Namun sesekali, ia menggenggam liontin kecil yang pernah diberikan Haneul bertahun-tahun lalu, seolah ingin memastikan bahwa hatinya tetap terikat pada satu hal: keluarga.Jaewon menyerahkan dua cincin kecil berukir simbol Dimensi Ketiga.“Sesuatu untuk menyamarkan identitas energi kalian. Tapi ini hanya bertahan..
Bab 45 – Api di Balik CerminLangit Arangyeon berubah warna. Bukan karena waktu, tetapi karena benturan dua kekuatan yang tak seharusnya bertemu. Di tepi Danau Serunai, sihir membelah udara, membakar dedaunan, dan memecah tanah. Suara pertempuran bergema seperti ratapan alam yang dikhianati.Elara berdiri tegak, wajahnya kini datar tanpa emosi. Sinar merah menyala di matanya, menandakan aktivasi penuh program kendali dari Divisi 7. Gerakannya presisi, menyerang tanpa ampun. Tapi serangan itu tak lagi menyerupai ibu Hamin—melainkan mesin.Hamin terpental beberapa langkah, tubuhnya bergetar. Meski sihir pertahanannya telah bangkit, dia masih belum sepenuhnya stabil. Daya dalam dirinya besar, tapi belum terkendali.“Hamin!” suara Haneul menggema dari sisi danau. Ia melompat ke medan pertempuran, tubuhnya diselimuti aura emas kebiruan, mata menyala tajam. Di belakangnya, Jaewon dan Mira menyusul, sihir mereka siap mena
Bab 44 – Wajah yang Tak TerlupakanKabut tipis menyelimuti pinggiran Hutan Nysar ketika malam turun pelan seperti bayangan yang merambat. Di antara pepohonan tua dan aliran energi sihir yang masih belum stabil, empat sosok bergerak diam-diam, nyaris tak meninggalkan jejak.Elara berjalan paling depan. Langkahnya ringan, tubuhnya membungkus aura putih yang menipu—terlihat damai, tapi penuh ketegangan. Di belakangnya, tiga agen berseragam Divisi 7 memantau denyut energi di medan, masing-masing dilengkapi dengan pengacak sihir dan pelacak resonansi.“Kita memasuki perimeter Arangyeon,” lapor salah satu agen, suara teredam masker. “Target dua telah terdeteksi. Hamin berada di sektor barat daya, sendirian.”Elara berhenti.“Tidak,” katanya lirih. “Aku akan menemuinya sendiri. Jika kalian muncul bersama, dia akan lari.”Agen saling bertukar pandang. Salah satu dari mereka
Bab 43 – Mata yang MengintaiFajar menggantung rendah di langit Arangyeon, menyelimuti pegunungan dengan kabut ungu keperakan. Di desa Eshar, tempat pertemuan para penjaga sihir, penduduk belum berani keluar rumah. Ada ketegangan di udara, sesuatu yang tak terlihat tapi terasa: dunia ini sedang diawasi.Seo Haneul berdiri di balkon rumah peristirahatan Elder Yoon, memandangi tanah di bawahnya yang baru saja terselamatkan dari kehancuran. Tapi pikirannya melayang—bukan pada kemenangan, melainkan pada suara-suara yang tak lagi bisa ia abaikan. Suara dari masa lalunya di Seowon, suara teknologi dan ambisi, kini kembali memanggil.Di belakangnya, Hamin duduk di ambang jendela. “Kau tidak tidur?”“Tidak bisa,” jawab Haneul lirih. “Rasanya... seperti kita baru saja membuka kotak yang seharusnya tetap tertutup.”“Dimensi Ketiga,” Hamin mengangguk. “Kekuatan yang bukan milik
Bab 42 – Benteng yang Terkunci Angin kering menyapu permukaan bebatuan hitam di dataran selatan Arangyeon, tempat benteng tua menjulang seperti luka terbuka di tengah tanah mati. Benteng Gyerim. Pusat kekuatan Ordo Kegelapan. Dan penjara bagi Seo Hamin—adik yang tak pernah Haneul sangka akan hilang di antara sihir dan pengkhianatan.Seo Haneul berdiri di puncak bukit berbatu, memandang lautan kabut gelap yang mengelilingi benteng seperti pengawal setia. Di sampingnya, Jaewon menyentuhkan tangan ke tanah, mengamati aliran energi yang tidak wajar.“Mereka menyiapkan sesuatu. Bukan hanya penghalang biasa, ini... ritual,” gumam Jaewon.“Ritual pemindahan jiwa?” tanya Haneul, matanya membelalak.Jaewon mengangguk. “Jika mereka berhasil menggunakan tubuh Hamin sebagai wadah bagi entitas Bayang Tertinggi, maka seluruh lapisan sihir Arangyeon bisa terbalik. Dunia akan runtuh dari dalam.”