Bab 7: Cermin Masa Lalu
Langit Arangyeon berubah keabu-abuan ketika langkah-langkah mereka mendekati bagian terdalam dari Hutan Gaema. Kabut turun perlahan seperti tirai tipis, menyelimuti pepohonan yang menjulang tinggi dan meredam suara-suara alam. Cahaya matahari terhalang oleh rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana suram namun memikat. Seo Haneul memeluk jubahnya erat-erat, mencoba mengusir dingin yang menembus kulitnya.
“Ada sesuatu yang berbeda di sini,” gumam Mira, matanya tajam mengamati sekitar. Tangannya siaga di dekat kantung jimatnya, siap merapal mantra jika keadaan berubah.
Jaewon melangkah pelan namun pasti di depan mereka, matanya tak pernah berhenti menyapu tanah dan pepohonan. “Energinya berubah. Ini bukan hanya hutan biasa. Kita sudah masuk ke dalam wilayah Cermin Masa.”
Elder Yoon berjalan paling belakang, suaranya rendah namun menggema. “Cermin Masa adalah tempat yang tidak hanya mengungkap masa lalu... tapi juga luka terdalam dalam jiwa. Hanya mereka yang siap menghadapi kebenaran yang bisa keluar dengan utuh.”
Perkataan itu membuat Haneul menggigit bibir bawahnya. Sejak kilasan ingatan samar muncul dalam tidurnya semalam, ia merasa hatinya semakin berat. Ada bagian dalam dirinya yang mulai memberontak—mengingat, meronta, dan memaksanya untuk melihat sesuatu yang selama ini ia pendam jauh.
Tak lama kemudian, dari balik kabut, muncul sebuah bangunan batu setengah runtuh dengan pilar-pilar melengkung dan lumut yang tumbuh tebal di dindingnya. Di tengah reruntuhan itu berdiri sebuah cermin besar setinggi dua kali tubuh manusia. Permukaannya tidak memantulkan apa pun, melainkan berkilauan seperti air yang beku.
“Cermin itu hidup,” bisik Mira pelan. “Ia melihat ke dalam jiwa.”
Jaewon menarik napas panjang, lalu menoleh ke Haneul. “Kalau kau merasa tidak siap, kita bisa kembali nanti.”
Namun Haneul melangkah maju, seolah kakinya digerakkan oleh kekuatan yang tak bisa ia kendalikan. “Tidak. Aku harus tahu siapa diriku. Aku harus tahu kenapa aku ada di sini.”
Begitu Haneul berdiri di depan cermin, udara di sekitarnya mendadak berubah. Permukaan cermin bergelombang, lalu perlahan menampakkan bayangan—bukan Haneul dewasa, tapi seorang gadis kecil dengan mata penuh amarah, berdiri di tengah puing-puing bangunan yang terbakar.
“Aku tahu tempat ini...” bisik Haneul, tubuhnya gemetar.
Kilasan demi kilasan meluncur di permukaan cermin. Seorang wanita—mungkin ibunya—berteriak, mencoba melindunginya dari sesuatu. Lalu sosok berjubah hitam muncul, berdiri diam saat api membakar segalanya. Teriakan berubah menjadi bisikan, bisikan menjadi kesunyian yang menyayat.
Tiba-tiba Haneul terhuyung, memegangi kepalanya. Rasa sakit itu datang seperti ombak yang menghantam batu karang. Jaewon memegang bahunya, khawatir. “Haneul, kau tidak perlu memaksakan diri!”
Namun Haneul menggeleng dengan mata terpejam. “Aku... aku harus tahu siapa yang menghancurkan hidupku.”
Saat itulah, dari bayangan cermin, sosok berjubah hitam itu melangkah keluar perlahan—bukan bayangan, tapi wujud nyata. Suasana mendadak membeku. Mira bersiap, Elder Yoon menyalurkan energi pelindung.
“Seo Haneul,” suara pria itu serak namun menggema. “Akhirnya kau mengingatku. Lama sekali aku menunggu saat ini.”
Haneul melangkah mundur, tubuhnya gemetar. “Siapa kau?”
Sosok itu membuka tudungnya perlahan. Wajahnya tidak sepenuhnya tampak, seolah tertutup oleh bayangan yang hidup. Namun tatapan matanya menusuk, penuh dendam dan luka lama.
“Aku adalah bagian dari masa lalumu. Yang kau lupakan. Yang kau tinggalkan. Dan sekarang, aku akan mengambil kembali yang menjadi milikku.”
Kilatan energi gelap meledak dari tangannya, menciptakan retakan di tanah. Jaewon menyerang, namun sosok itu menghilang dalam pusaran bayangan sebelum bisa disentuh.
“Temui aku di Menara yang Runtuh,” suaranya terdengar samar, menghilang bersama angin. “Di sanalah semua akan berakhir... atau dimulai kembali.”
Haneul jatuh berlutut, napasnya tersengal. Mira segera memeriksa keadaannya sementara Elder Yoon menatap cermin yang kini retak di beberapa sisi.
“Kau baru saja membuka segel pertama, Haneul,” kata Elder Yoon. “Kebenaran akan datang seperti badai. Dan kau harus siap menghadapinya.”
Haneul mengusap air matanya. “Aku tidak tahu siapa dia... tapi aku merasa seperti mengenalnya. Sangat dekat. Seperti... bagian dari diriku yang hilang.”
Jaewon menatapnya, kali ini dengan lebih dalam. “Mungkin bukan hanya masa lalu yang terhubung padamu. Tapi juga masa depan dunia ini.”
Dan di dalam dirinya, Haneul tahu—apa pun yang menantinya di Menara yang Runtuh, itu akan mengubah segalanya.
Bab 61: Tanah yang Tidak Pernah Dijanjikan Udara di sekitar Retakan Timur terasa lebih tipis dari biasanya. Bahkan angin pun seakan enggan mendekat, menghormati batas yang memisahkan realitas. Cahaya biru lembut berdenyut di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh, seperti napas panjang dari entitas tak terlihat. Dunia Antara… bukan lagi sekadar batas. Ia hidup, bernapas, dan bereaksi. Seo Haneul berdiri di ambang jurang, jubah ungu tua berkibar perlahan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan Seowon bersiaga dengan alat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang menemani langkahnya: Hamin. "Aku tahu aku berjanji akan menunggumu," kata Hamin, memeriksa sarung tangannya yang dilapisi pelindung dimensi. "Tapi aku tak bisa tinggal diam saat kau melangkah ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuh." Haneul tersenyum tipis. "Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu." Jaewon mendekat, menyerahkan kristal se
Bab 60: Gerbang yang Tak Pernah SepiUdara di sekitar Retakan Timur menipis. Bahkan angin pun enggan menyentuh batas yang membelah kenyataan. Cahaya biru lembut bergetar di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh seperti napas panjang dari makhluk yang belum terlihat. Dunia Antara… tidak lagi sekadar batas. Ia hidup. Ia merespons.Seo Haneul berdiri di tepi celah itu, jubah ungu-kelamnya berkibar pelan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan dari Seowon menunggu dengan perangkat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang melangkah bersamanya: Hamin.“Aku tahu aku berjanji akan menunggumu,” kata Hamin sambil memeriksa sarung tangannya yang berlapis pembungkus dimensi. “Tapi aku tak bisa diam saja jika kau masuk ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuhnya.”Haneul menatapnya, tersenyum kecil. “Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu.”Jaewon mendekat, menyer
Bab 59: Saat Batas Menyatu Langit Aeloria kini terbentang tanpa batas: tidak lagi terbelah oleh sihir dan teknologi, tidak lagi dipagari oleh dogma atau dendam. Setelah penyatuan Menara Ketiga, udara di antara dunia terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup. Tapi juga rapuh, seperti benang cahaya yang masih menunggu untuk dijalin agar tak tercerai kembali.Di puncak menara, Seo Haneul berdiri membisu. Angin baru menyapu rambutnya, membawa aroma tanah Arangyeon dan logam dingin dari kota Seowon. Dunia telah berubah. Namun dirinya… belum sepenuhnya utuh.“Kau terlihat seperti orang yang baru dilahirkan kembali,” ujar Jaewon dari belakang, suaranya rendah.Haneul menoleh, senyum tipis menghiasi wajah letihnya. “Aku merasa seperti itu. Tapi juga seperti... seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”Jaewon berjalan mendekat, menatap hamparan langit yang kini bersih dari pet
Bab 58: Dua Jiwa di Satu LangitLangit Aeloria terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang kehilangan warna. Di tengah pusaran cahaya dan bayangan, Haneul berdiri berdampingan dengan Hamin—jiwa kembar yang terpisah dunia, namun menyatu oleh takdir. Di antara mereka, seberkas cahaya berdenyut perlahan, seolah menjadi jembatan dari seluruh kemungkinan masa depan yang belum dipilih.Bayangan dari dunia yang gagal masih menggantung di udara. Ia tak memiliki bentuk tetap, matanya kosong namun memancarkan rasa kehilangan yang mendalam. Sosok itu bukan sekadar musuh—ia adalah sisa dari harapan yang gagal, jiwa yang terlambat memilih.“Kalian datang terlalu jauh,” suara itu bergema, retak dan tajam. “Kalian berpikir cinta dan pengorbanan bisa menebus dunia? Tidak ada yang bisa menghapus apa yang telah hancur.”Hamin melangkah maju. Suaranya rendah, tetapi mengandung kekuatan yang baru ia temukan dalam dirinya.
Bab 57: Cermin dari Dunia yang Gagal“Setiap pilihan yang tidak diambil tetap hidup, sebagai bayangan dari keputusan yang telah dibuat. Dan di dalam bayangan itu, dunia terus bernapas—dalam kehancuran yang tak pernah terjadi.”Gelap. Bukan malam, bukan kehampaan, tapi kegelapan yang basah, padat, dan berat. Ketika Haneul membuka matanya, ia tahu bahwa ini bukan Aeloria. Udara terasa pahit. Tanah yang dipijaknya seperti abu. Langit di atasnya retak, memancarkan kilatan merah dari celahnya, seolah langit sendiri menahan tangis yang tak bisa ditumpahkan.Ia berdiri di tengah kota. Atau yang dulunya kota.Gedung-gedung runtuh, ditelan akar logam dan api. Jalan-jalan penuh puing dan potongan peradaban: buku-buku terbakar setengah, robot penjaga yang membeku dalam posisi seperti berdoa, dan... sumpah-sumpah yang tertulis pada kelopak pohon kini berubah menjadi abu hitam.Di tengah reruntuhan, berdiri s
Bab 56: Tanda dari Langit Merah“Kebebasan adalah cahaya pertama yang dibutuhkan dunia. Tapi yang kedua adalah ujian: apakah cahaya itu cukup untuk bertahan di tengah kegelapan yang datang tanpa alasan.”Langit Aeloria pagi itu tidak seperti biasanya. Bukan karena warnanya—tetap biru lembut dengan semburat keemasan—melainkan karena keheningan yang turun begitu pekat, seolah alam sedang menahan napas. Di barat, kabut menggantung di antara pepohonan tinggi hutan Qairan, dan di tengahnya… berdiri sesuatu yang belum pernah dilihat siapa pun.Kristal merah gelap.Menancap di tengah padang, tertanam dalam tanah, dan berdenyut perlahan seolah memiliki detak jantungnya sendiri.“Dari langit semalam,” gumam Mira, saat ia berdiri bersama Haneul, Hamin, dan Jaewon di perbatasan hutan. “Itu bukan bintang. Bukan benda langit. Rasanya… seperti pesan.”“Bukan hany