Bab 6: Bayangan yang Menunggu
Suasana di sekitar gerbang terasa semakin tegang. Haneul berdiri di sana, tangan masih menyentuh pintu batu hitam yang dingin, matanya memandang ke dalam kegelapan yang terhampar di depan mereka. Suara bisikan yang menggetarkan hatinya terus mengiang di telinganya, namun ia tak bisa sepenuhnya memahami makna dari suara itu. Apa yang sebenarnya diminta? Apa yang harus ia lakukan?
Jaewon berdiri di sampingnya, memperhatikan dengan seksama, seolah bisa merasakan kegelisahan yang melanda Haneul. “Haneul, kau bisa melakukannya,” kata Jaewon, suaranya rendah namun penuh keyakinan. “Ini bukan hanya tentang menyelamatkan Arangyeon. Ini juga tentang dirimu sendiri. Kamu telah dilahirkan untuk menghadapi ini.”
Haneul menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. “Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa. Apa yang akan terjadi jika aku salah?”
Elder Yoon yang berdiri di belakang mereka tiba-tiba bersuara. “Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi, Haneul. Namun satu hal yang pasti, kekuatan yang ada dalam dirimu sangat besar. Jangan takut untuk menghadapinya.”
Saat itu, suara angin semakin kencang, membawa kegelapan yang menggelayut di sekitar mereka. Haneul bisa merasakan kekuatan itu semakin dekat, semakin kuat. Seperti ada sesuatu yang menunggu, sesuatu yang bersembunyi dalam bayang-bayang dunia ini.
Tiba-tiba, gerbang itu bergemuruh, seolah merespon sentuhan Haneul. Batu-batu besar yang membentuk gerbang itu mulai bergerak, menciptakan celah yang semakin lebar. Ketegangan itu semakin terasa, dan Haneul merasakan sebuah tarikan kuat yang membuatnya terhuyung maju. Dalam sekejap, ia melangkah melewati ambang gerbang, memasuki dunia yang sama sekali berbeda.
Ketika Haneul membuka matanya, ia merasa seperti berada di tempat yang tidak dikenal. Tanah di bawahnya terasa lembut, dipenuhi tanaman aneh yang berkilau dengan cahaya lembut. Langit di atas mereka berwarna biru keunguan, dengan awan yang tampak bergerak perlahan, seolah mengikuti irama waktu yang berbeda. Tidak ada suara burung atau hewan, hanya kesunyian yang menenangkan namun penuh misteri.
Mira yang mengikuti Haneul dari belakang tampak terpesona dengan pemandangan tersebut, namun juga jelas terlihat kewaspadaannya. “Tempat ini… bukan Arangyeon yang kita kenal,” katanya pelan, matanya memindai setiap sudut dengan hati-hati.
Jaewon menggenggam pedangnya erat, siap untuk menghadapi apa pun yang mungkin datang. “Kami tidak berada di tempat yang aman,” katanya, wajahnya serius. “Ini adalah dunia antara—tempat di mana semua energi bertemu, tempat yang sangat berbahaya.”
Elder Yoon berjalan mendekat, matanya penuh pengetahuan yang dalam. “Dunia antara adalah ruang transisi. Di sini, waktu dan ruang tidak terikat seperti di dunia kita. Kita harus berhati-hati, karena di sini segala sesuatu bisa berubah dalam sekejap.”
Haneul merasa cemas. “Apa yang harus kita lakukan di sini? Mengapa kita dibawa ke tempat seperti ini?”
Elder Yoon menatapnya dengan tatapan yang lebih serius, seperti menyadari betapa besar tanggung jawab yang kini diemban oleh Haneul. “Kau harus menemukan pusat energi di dunia ini, Haneul. Tempat di mana kekuatan terbesar mengalir, dan hanya di situlah kunci untuk menyelamatkan dunia Arangyeon.”
Haneul menggigit bibirnya, merasa terbebani. “Tapi bagaimana aku bisa menemukan tempat itu? Aku bahkan tidak tahu di mana kita berada.”
“Percayalah,” kata Jaewon, “Kita akan menemukannya. Dunia ini akan menunjukkan jalannya, hanya jika kau siap menghadapinya.”
Perjalanan mereka berlanjut, namun semakin jauh mereka melangkah, semakin kuat perasaan bahwa mereka sedang diawasi. Bayangan hitam muncul sesekali di antara pepohonan, bergerak cepat dan hampir tidak terlihat. Haneul bisa merasakannya—sesuatu yang gelap dan jahat mengintai mereka, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.
Di tengah ketegangan itu, Haneul merasa ada sesuatu yang mulai bergolak dalam dirinya. Sebuah kekuatan yang tidak pernah ia sadari sebelumnya, seolah bangkit dari dalam dirinya sendiri. Ia merasakan aura yang berbeda, lebih kuat, lebih gelap. Tangan kirinya mulai bergetar, dan seketika udara di sekitarnya terasa lebih berat. Apa yang sedang terjadi padanya? Apa yang sebenarnya tersembunyi dalam darahnya?
Elder Yoon yang melihat perubahan itu hanya mengangguk, seolah sudah menduga. “Kekuatanmu mulai bangkit, Haneul. Tetapi kau harus berhati-hati. Itu adalah kekuatan yang dapat menghancurkan segalanya jika tidak dikendalikan.”
Mira menatap Haneul dengan khawatir. “Kita harus segera menemukan pusat energi itu, Haneul. Waktu kita semakin terbatas.”
Di dalam hati, Haneul tahu bahwa mereka tidak hanya berjuang untuk menyelamatkan Arangyeon. Mereka juga berjuang untuk mengendalikan kekuatan yang mengalir dalam dirinya, kekuatan yang bisa menghancurkan atau menyelamatkan dunia ini.
Bab ini membawa Haneul lebih dekat pada kekuatan yang tidak ia pahami, serta memperkenalkan elemen-elemen misterius dari dunia antara. Sebagai pembaca, kalian pasti bisa merasakan ketegangan yang semakin mendalam, bukan? Kekuatan apa yang akan muncul dalam dirinya selanjutnya?
Bab 61: Tanah yang Tidak Pernah Dijanjikan Udara di sekitar Retakan Timur terasa lebih tipis dari biasanya. Bahkan angin pun seakan enggan mendekat, menghormati batas yang memisahkan realitas. Cahaya biru lembut berdenyut di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh, seperti napas panjang dari entitas tak terlihat. Dunia Antara… bukan lagi sekadar batas. Ia hidup, bernapas, dan bereaksi. Seo Haneul berdiri di ambang jurang, jubah ungu tua berkibar perlahan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan Seowon bersiaga dengan alat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang menemani langkahnya: Hamin. "Aku tahu aku berjanji akan menunggumu," kata Hamin, memeriksa sarung tangannya yang dilapisi pelindung dimensi. "Tapi aku tak bisa tinggal diam saat kau melangkah ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuh." Haneul tersenyum tipis. "Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu." Jaewon mendekat, menyerahkan kristal se
Bab 60: Gerbang yang Tak Pernah SepiUdara di sekitar Retakan Timur menipis. Bahkan angin pun enggan menyentuh batas yang membelah kenyataan. Cahaya biru lembut bergetar di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh seperti napas panjang dari makhluk yang belum terlihat. Dunia Antara… tidak lagi sekadar batas. Ia hidup. Ia merespons.Seo Haneul berdiri di tepi celah itu, jubah ungu-kelamnya berkibar pelan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan dari Seowon menunggu dengan perangkat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang melangkah bersamanya: Hamin.“Aku tahu aku berjanji akan menunggumu,” kata Hamin sambil memeriksa sarung tangannya yang berlapis pembungkus dimensi. “Tapi aku tak bisa diam saja jika kau masuk ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuhnya.”Haneul menatapnya, tersenyum kecil. “Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu.”Jaewon mendekat, menyer
Bab 59: Saat Batas Menyatu Langit Aeloria kini terbentang tanpa batas: tidak lagi terbelah oleh sihir dan teknologi, tidak lagi dipagari oleh dogma atau dendam. Setelah penyatuan Menara Ketiga, udara di antara dunia terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup. Tapi juga rapuh, seperti benang cahaya yang masih menunggu untuk dijalin agar tak tercerai kembali.Di puncak menara, Seo Haneul berdiri membisu. Angin baru menyapu rambutnya, membawa aroma tanah Arangyeon dan logam dingin dari kota Seowon. Dunia telah berubah. Namun dirinya… belum sepenuhnya utuh.“Kau terlihat seperti orang yang baru dilahirkan kembali,” ujar Jaewon dari belakang, suaranya rendah.Haneul menoleh, senyum tipis menghiasi wajah letihnya. “Aku merasa seperti itu. Tapi juga seperti... seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”Jaewon berjalan mendekat, menatap hamparan langit yang kini bersih dari pet
Bab 58: Dua Jiwa di Satu LangitLangit Aeloria terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang kehilangan warna. Di tengah pusaran cahaya dan bayangan, Haneul berdiri berdampingan dengan Hamin—jiwa kembar yang terpisah dunia, namun menyatu oleh takdir. Di antara mereka, seberkas cahaya berdenyut perlahan, seolah menjadi jembatan dari seluruh kemungkinan masa depan yang belum dipilih.Bayangan dari dunia yang gagal masih menggantung di udara. Ia tak memiliki bentuk tetap, matanya kosong namun memancarkan rasa kehilangan yang mendalam. Sosok itu bukan sekadar musuh—ia adalah sisa dari harapan yang gagal, jiwa yang terlambat memilih.“Kalian datang terlalu jauh,” suara itu bergema, retak dan tajam. “Kalian berpikir cinta dan pengorbanan bisa menebus dunia? Tidak ada yang bisa menghapus apa yang telah hancur.”Hamin melangkah maju. Suaranya rendah, tetapi mengandung kekuatan yang baru ia temukan dalam dirinya.
Bab 57: Cermin dari Dunia yang Gagal“Setiap pilihan yang tidak diambil tetap hidup, sebagai bayangan dari keputusan yang telah dibuat. Dan di dalam bayangan itu, dunia terus bernapas—dalam kehancuran yang tak pernah terjadi.”Gelap. Bukan malam, bukan kehampaan, tapi kegelapan yang basah, padat, dan berat. Ketika Haneul membuka matanya, ia tahu bahwa ini bukan Aeloria. Udara terasa pahit. Tanah yang dipijaknya seperti abu. Langit di atasnya retak, memancarkan kilatan merah dari celahnya, seolah langit sendiri menahan tangis yang tak bisa ditumpahkan.Ia berdiri di tengah kota. Atau yang dulunya kota.Gedung-gedung runtuh, ditelan akar logam dan api. Jalan-jalan penuh puing dan potongan peradaban: buku-buku terbakar setengah, robot penjaga yang membeku dalam posisi seperti berdoa, dan... sumpah-sumpah yang tertulis pada kelopak pohon kini berubah menjadi abu hitam.Di tengah reruntuhan, berdiri s
Bab 56: Tanda dari Langit Merah“Kebebasan adalah cahaya pertama yang dibutuhkan dunia. Tapi yang kedua adalah ujian: apakah cahaya itu cukup untuk bertahan di tengah kegelapan yang datang tanpa alasan.”Langit Aeloria pagi itu tidak seperti biasanya. Bukan karena warnanya—tetap biru lembut dengan semburat keemasan—melainkan karena keheningan yang turun begitu pekat, seolah alam sedang menahan napas. Di barat, kabut menggantung di antara pepohonan tinggi hutan Qairan, dan di tengahnya… berdiri sesuatu yang belum pernah dilihat siapa pun.Kristal merah gelap.Menancap di tengah padang, tertanam dalam tanah, dan berdenyut perlahan seolah memiliki detak jantungnya sendiri.“Dari langit semalam,” gumam Mira, saat ia berdiri bersama Haneul, Hamin, dan Jaewon di perbatasan hutan. “Itu bukan bintang. Bukan benda langit. Rasanya… seperti pesan.”“Bukan hany