Perjalanan mereka semakin terasa menegangkan dan penuh tekanan seiring dengan berjalannya waktu yang terasa begitu lambat dan penuh misteri. Haneul, yang sebelumnya hanyalah seorang gadis sederhana dari desa kecil dengan kehidupan yang damai, kini dihadapkan pada kenyataan besar yang mengguncang dunia kecilnya. Ia tahu bahwa dirinya memegang peran penting dalam sebuah misi yang belum sepenuhnya ia pahami, sebuah tanggung jawab yang berat dan tidak bisa ia abaikan begitu saja. Perasaan aneh yang menyeruak di dalam dirinya setelah kejadian luar biasa di hutan terus menghantui benaknya. Cahaya terang yang tiba-tiba muncul dari tangannya, energi luar biasa yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya, kini menjadi tanda tanya besar yang membuatnya sulit tidur. Apa arti kekuatan itu? Mengapa kekuatan tersebut muncul dalam dirinya dan bukan orang lain? Dan, yang paling menakutkan, bagaimana ia bisa mengendalikannya saat menghadapi bahaya besar yang sudah menunggu di masa depan? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar dalam pikirannya, menambah beban emosional yang sudah berat.
Mira dan Jaewon, meskipun terlihat tenang dan percaya diri di permukaan, tampak menyembunyikan kekhawatiran mereka sendiri yang cukup mendalam. Haneul dapat melihat bahwa setelah insiden tersebut, keduanya menjadi lebih pendiam, seolah-olah pikiran mereka terfokus pada sesuatu yang berat dan penuh misteri. Tatapan mereka sering kali mengarah jauh ke depan, seolah mengantisipasi bahaya yang mungkin muncul kapan saja tanpa peringatan. Meskipun mereka tidak mengungkapkan rasa cemas itu secara verbal, Haneul dapat merasakannya melalui gerakan-gerakan kecil dan kebisuan yang tidak biasa. Namun, ketegangan itu tidak mematahkan tekad mereka sedikit pun untuk melindungi Haneul dan memastikan bahwa perjalanan ini tetap berjalan sesuai rencana. Mereka memiliki tujuan yang jelas, yaitu mencapai sebuah gua kuno di kaki Gunung Celestial, tempat yang dikatakan sebagai kunci untuk memahami potensi kekuatan Haneul. Namun, perjalanan menuju gua itu penuh dengan tantangan yang terasa semakin berat di setiap langkah mereka.
Saat mereka melangkah lebih jauh ke dalam hutan yang semakin gelap, suasana sekitar berubah drastis menjadi semakin menekan. Hutan yang tadinya tampak biasa kini seperti menjelma menjadi labirin misterius yang penuh rahasia gelap. Pohon-pohon besar dengan batang kokoh berdiri tegak seperti penjaga yang bisu, cabang-cabangnya menjalin atap alami yang menghalangi cahaya matahari untuk menembus. Bayangan panjang yang tercipta oleh dahan dan daun-daun lebat menciptakan pola aneh di tanah, seolah-olah ada mata yang terus mengintai dari segala arah. Aroma lembap tanah bercampur dengan daun-daun kering yang mulai membusuk memenuhi udara, menciptakan atmosfer yang semakin mencekam dan membuat Haneul merasa sesak. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan menarik napas dalam-dalam, tetapi desiran angin dingin yang tiba-tiba menyentuh kulitnya seperti membawa peringatan akan bahaya yang tidak terlihat.
Tiba-tiba, suara gemerisik dari arah semak-semak memecah keheningan yang terasa hampir menyiksa. Semua orang langsung berhenti, tubuh mereka menegang dalam sikap siaga penuh. Mata Haneul membesar saat ia mencoba mencari sumber suara itu dengan panik. Bayangan gelap bergerak cepat di antara pepohonan, menciptakan rasa cemas yang menusuk hatinya seperti jarum tajam. Detak jantung Haneul semakin cepat, berdebar kencang seperti genderang perang, dan ia merasa bahwa sesuatu yang besar dan berbahaya sedang mengintai mereka dari kejauhan. Ini bukan sekadar suara biasa dari hewan liar atau angin yang menerpa dedaunan. Ia tahu, seperti halnya Mira dan Jaewon, bahwa bahaya kini benar-benar berada di sekitar mereka, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Mira, yang berjalan di depan dengan penuh kewaspadaan, segera memegang tongkat kayunya lebih erat. Cahaya lembut dari tongkat itu mulai bersinar lebih terang, seolah-olah merespons energi gelap yang mendekat dengan cepat. Wajahnya yang biasanya tenang kini menunjukkan ekspresi serius, penuh konsentrasi. "Kita harus berhati-hati," bisiknya dengan nada rendah namun tegas. "Ada sesuatu di sini. Aku tidak bisa memastikan apa itu, tapi aku yakin kita sedang diawasi dengan sangat dekat." Ucapannya membuat suasana semakin tegang, dan Haneul merasa tubuhnya mulai gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi setiap serat di tubuhnya memperingatkan bahwa ini adalah ancaman yang nyata.
Jaewon, yang selalu penuh kewaspadaan dan memiliki insting tajam, menarik pedangnya dengan gerakan pelan namun pasti. Suara gesekan logam pedang terdengar samar, tetapi cukup untuk memberikan rasa aman bagi Haneul. "Haneul, tetap di belakang kami," katanya dengan nada tegas namun lembut, seperti seorang kakak yang melindungi adiknya. "Apa pun yang terjadi, jangan bergerak terlalu jauh dari kami. Kami akan melindungimu apa pun yang terjadi." Matanya tajam mengamati setiap sudut hutan, seolah mampu melihat melalui kegelapan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa bahaya ini tidak akan mudah diatasi, tetapi ia tidak akan membiarkan rasa takut menguasainya.
Namun, Haneul tidak bisa mengabaikan rasa takut yang perlahan menguasai dirinya, merambat seperti kabut dingin yang membekukan keberanian. Ia mencoba untuk tetap tenang, tetapi bayangan dari kejadian sebelumnya di hutan masih segar di pikirannya, menghantui setiap langkahnya. Ia teringat akan suara lembut yang muncul dari dalam dirinya, yang memberinya dorongan untuk mengeluarkan kekuatan misterius itu. Kini, suara tersebut kembali terdengar, memberikan bisikan lembut yang menenangkan, seperti sebuah pelukan hangat di tengah malam yang dingin. "Percayalah pada kekuatanmu, Haneul. Kau memiliki potensi besar di dalam dirimu. Jangan takut untuk menggunakannya. Dunia membutuhkanmu."
Saat itu, makhluk gelap muncul dari balik pepohonan seperti bayangan yang menjelma menjadi nyata. Sosoknya besar, dengan tubuh yang tampak seperti kabut hitam yang bergerak hidup, dan mata merah menyala yang memancarkan kebencian mendalam. Makhluk itu mendesis dengan suara serak yang menakutkan, seperti bisikan ribuan suara yang saling bersahutan. Kehadirannya membuat udara di sekitar menjadi dingin, hampir membekukan, dan bahkan langkah kecilnya membuat tanah bergetar seperti ada sesuatu yang sangat besar mendekat.
Mira segera mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, mengucapkan mantra dalam bahasa kuno yang tidak dimengerti oleh Haneul. Cahaya dari tongkatnya menjadi semakin terang, menciptakan lingkaran perlindungan di sekitar mereka yang memancarkan kehangatan di tengah kegelapan. "Ini akan menahan serangannya untuk sementara waktu," katanya dengan nada tegas dan penuh otoritas. "Tapi kita harus bertindak cepat. Makhluk ini tidak akan mundur begitu saja, dan energi gelapnya sangat kuat." Ucapannya menjadi pengingat bahwa waktu mereka sangat terbatas, dan mereka harus bertindak dengan cepat dan hati-hati.
Jaewon maju dengan penuh keberanian, pedangnya berkilauan dalam cahaya yang dipancarkan oleh tongkat Mira. "Haneul, tetap di sini," katanya sambil menatapnya dengan serius dan penuh tanggung jawab. "Aku dan Mira akan mencoba melemahkannya. Jika kau merasa siap, gunakan kekuatanmu. Kami percaya padamu." Kata-katanya penuh kepercayaan, meskipun situasinya sangat menegangkan.
Bab 7: Cermin Masa LaluLangit Arangyeon berubah keabu-abuan ketika langkah-langkah mereka mendekati bagian terdalam dari Hutan Gaema. Kabut turun perlahan seperti tirai tipis, menyelimuti pepohonan yang menjulang tinggi dan meredam suara-suara alam. Cahaya matahari terhalang oleh rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana suram namun memikat. Seo Haneul memeluk jubahnya erat-erat, mencoba mengusir dingin yang menembus kulitnya.“Ada sesuatu yang berbeda di sini,” gumam Mira, matanya tajam mengamati sekitar. Tangannya siaga di dekat kantung jimatnya, siap merapal mantra jika keadaan berubah.Jaewon melangkah pelan namun pasti di depan mereka, matanya tak pernah berhenti menyapu tanah dan pepohonan. “Energinya berubah. Ini bukan hanya hutan biasa. Kita sudah masuk ke dalam wilayah Cermin Masa.”Elder Yoon berjalan paling belakang, suaranya rendah namun menggema. “Cermin Masa adalah tempat yang tidak hanya mengungkap masa lalu... tapi juga luka terdalam dalam jiwa. Hanya mereka yang siap me
Bab 8: Jejak yang HilangMalam telah turun perlahan ketika mereka kembali dari Hutan Gaema, membawa keheningan yang tidak nyaman dan hawa dingin yang menusuk tulang. Langit Arangyeon berubah kelabu gelap, bertabur bintang yang tampak lebih muram dari biasanya—seakan ikut menanggung beban yang mulai menyelimuti hati Haneul. Angin malam berembus pelan, menyentuh kulit seperti bisikan rahasia yang menyuruhnya untuk bersiap menghadapi masa lalu.Di aula kayu milik Elder Yoon, lentera-lentera kecil menggantung di setiap sudut ruangan, memancarkan cahaya temaram yang menenangkan sekaligus membangun ketegangan. Aroma kayu bakar dan rempah-rempah memenuhi udara, tetapi tidak mampu menenangkan kegelisahan yang mencengkeram Haneul.Haneul duduk diam di sudut ruangan, kedua tangannya meremas lutut. Pandangannya kosong, pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang yang muncul dari Cermin Masa—terutama sosok berjubah hitam itu. Sosok yang mengucapkan namanya seolah mengenalnya. Seolah tahu setiap luka y
Bab 9: Menara yang RuntuhKabut pagi menyelimuti Arangyeon saat Haneul, Jaewon, dan Mira bersiap meninggalkan desa Elder Yoon. Angin yang menggigit mengiringi langkah mereka menuju utara—ke tanah terlarang di mana puing-puing masa lalu terkubur di bawah reruntuhan dan bayangan. Menara yang Runtuh berdiri jauh di tengah Dataran Kelabu, tempat yang konon tidak pernah dikunjungi siapa pun sejak tragedi dua puluh tahun lalu."Aku masih tidak percaya kita benar-benar akan ke sana," gumam Mira, menegakkan tudung jubahnya. "Banyak yang bilang, suara arwah masih terdengar dari balik dinding batu.""Jika ada sesuatu yang tersisa dari masa lalu, tempat itu pasti menyimpannya," sahut Jaewon, matanya lurus menatap jalan berbatu di depan. "Tapi jangan percaya semua legenda. Beberapa di antaranya... sengaja dibuat untuk menakut-nakuti."Haneul tak banyak bicara. Langkahnya mantap, meski pikirannya terus bergolak. Potongan-potongan kenangan samar mulai muncul dalam mimpi-mimpinya: suara perempuan yan
Bab 10: Darah dan WarisanKilatan cahaya menyambar langit saat tanah di bawah kaki mereka runtuh. Haneul, Jaewon, dan Mira terjatuh ke dalam kegelapan, tubuh mereka dihantam puing dan debu reruntuhan. Suara batu-batu besar bergemuruh di atas kepala, seakan Menara yang Runtuh benar-benar memutuskan untuk mengubur masa lalunya sekali lagi—bersama mereka.Cahaya biru lembut muncul dari gelang pelindung yang dikenakan Mira. Energi sihirnya membentuk perisai tipis yang melindungi mereka dari jatuhan batu terakhir sebelum akhirnya mereka mendarat keras di lantai batu yang dingin dan lembab. Aroma debu dan tanah tua menyengat hidung mereka, menyelimuti ruangan dengan rasa tak dikenal—antara sejarah dan kematian."Apa kalian—" suara Mira tersendat oleh batuk. "Apa kalian baik-baik saja?"Jaewon mengangguk, berdiri meski bahunya terluka. "Kita harus keluar sebelum semuanya benar-benar runtuh."Namun Haneul tidak menjawab. Ia berdiri terpaku di tengah lorong bawah tanah, matanya menatap dinding
Bab 11: Perjanjian Cahaya dan BayanganAngin malam menari lembut di antara reruntuhan Menara yang Runtuh, membawa aroma batu tua dan tanah basah yang baru saja tersentuh sihir kuno. Di dalam ruangan kristal yang tersembunyi jauh di bawah tanah, Haneul berdiri dalam keheningan, tubuhnya dikelilingi cahaya biru yang mengalir seperti riak air. Detik itu, ia bukan lagi seorang gadis biasa dari Seowon. Ia adalah titik temu antara dua dunia—kunci dari sejarah yang belum selesai ditulis.“Aku… keturunan dua dunia,” bisiknya. Suaranya terdengar jelas, meski hanya setinggi desahan napas. “Darah ibuku dari Arangyeon. Ayahku… dari Seowon. Aku bukan kesalahan. Aku adalah pertanyaan yang belum dijawab.”Kim Jaewon melangkah ke depan, matanya memancarkan kekhawatiran yang dalam. “Haneul, kau baru saja membangkitkan kekuatan yang telah lama tersegel. Kekuatan seperti itu… tidak muncul tanpa konsekuensi.”“Lalu, apa artinya ini semua?” tanya Haneul, masih terpaku pada altar yang kini memantulkan cahay
Bab 12: Bayangan dari TimurLangit Arangyeon bergemuruh. Bukan karena badai petir biasa, tapi karena sesuatu yang jauh lebih purba—getaran dari dunia lain yang mulai merobek batas realitas. Di ufuk timur, awan bergulung hitam, sesekali menyala biru listrik. Gerbang Cahaya—yang selama seribu tahun tertutup rapat—mulai merekah.Seo Haneul berdiri di atas menara observatorium tua, matanya menatap langit yang berubah warna. Di sampingnya, Kim Jaewon bersandar pada pilar retak, sorot matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.“Mereka datang,” gumam Jaewon.Haneul mengangguk perlahan. “Aku bisa merasakannya. Seperti gema dalam tubuhku. Seowon… menarikku kembali.”“Bukan hanya kamu,” sahut Jaewon. “Mereka menginginkan kekuatan Arangyeon. Dan mereka tahu satu-satunya cara masuk… adalah melalui darahmu.”Di bawah menara, pasukan penjaga Arangyeon bersiap. Panah sihir, pedang bayangan, dan mantra-mantra pelindung dilafalkan dengan cepat. Namun semua tahu, musuh yang mereka hadapi kali ini ber
Bab 13: Jejak yang TersembunyiPagi itu, udara Arangyeon terasa lebih berat dari biasanya. Meskipun cahaya matahari masih memancar lembut dari horizon, suasana desa sudah berubah. Mungkin karena pertempuran semalam yang menyisakan kerusakan yang tak terhitung jumlahnya, atau mungkin karena ancaman yang semakin dekat. Haneul merasa sesak di dadanya. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat. Dunia ini, dunia yang semula tampak indah dan damai, kini terasa penuh dengan bayang-bayang yang semakin mengintai.Ia duduk di tepi sungai kecil yang mengalir melalui desa, tangan memegang batu licin yang telah ia temukan di sana. Airnya mengalir tenang, tetapi Haneul tahu—begitu banyak hal yang terendam di bawah permukaan yang tenang itu. Seperti dirinya, seperti Arangyeon. Mereka semua memiliki rahasia yang tak pernah diceritakan, hingga kini.“Bagaimana perasaanmu?” suara Jaewon memecah keheningan.Haneul menoleh, melihat pria itu berdiri beberapa langkah di belakangnya. Wajah Jaewon terli
Bab 14: Perjalanan yang Tak TerlihatAngin kencang berhembus, mengirimkan serpihan daun kering terbang ke udara. Langit di atas Arangyeon tampak gelap, dibayangi awan hitam yang menggantung rendah, menyiratkan pertempuran yang tak dapat dihindari. Haneul berdiri tegak, tatapannya tertuju pada makhluk besar yang semakin mendekat. Rasanya, detak jantungnya begitu keras hingga hampir bisa didengar. Seluruh tubuhnya bergetar, namun di dalam hatinya, ada secercah keberanian yang mulai tumbuh, perlahan menggantikan rasa takut yang begitu mendalam.Makhluk itu—atau yang lebih tepat disebut monster—memancarkan energi gelap yang begitu kuat hingga Haneul hampir bisa merasakannya menusuk kulitnya. Mata merah menyala, tubuhnya yang besar dan dilapisi lapisan hitam seperti batu, bergerak menuju mereka dengan kecepatan yang luar biasa. Setiap langkahnya mengguncang tanah, membuat udara sekitar bergetar.Jaewon berdiri di samping Haneul, tidak sedikit pun menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, ia terli
Bab 40 – Retakan TakdirSaat tangan Haneul terulur dalam keheningan ruang cermin, waktu seolah menahan napas. Di sekeliling mereka, bayangan membeku di udara, seperti lukisan yang belum selesai. Cermin-cermin tidak lagi bergetar. Mereka hanya menunggu. Menanti pilihan.Hamin memandangi tangan itu—tangan kakaknya, penuh luka, penuh harapan. Tapi dalam dirinya, dua suara saling bertarung: satu ingin meraih dan memeluk masa lalu, satu lagi ingin melepaskan segalanya dan membakar sisa dunia.“Apa kau benar-benar masih percaya pada dunia ini?” tanya Hamin, suaranya nyaris seperti bisikan angin malam.“Bukan pada dunia. Tapi pada kita,” jawab Haneul mantap. “Kita pernah menjadi cahaya bagi satu sama lain. Mungkin cahaya itu redup sekara
Bab 39 – Bayangan dalam CerminLorong di balik Jantung Dimensi terasa seperti masuk ke dalam pikiran seseorang—segalanya tak beraturan, melengkung, dan penuh gema yang bukan berasal dari dunia nyata. Seo Haneul dan Kael berjalan perlahan, langkah mereka bergema aneh di lantai kristal yang memantulkan cahaya dan bayangan secara bersamaan. Dinding-dindingnya terbuat dari cermin hitam, tetapi bukan cermin biasa—cermin itu bergerak, membentuk ulang bayangan mereka, mencerminkan ketakutan dan ingatan yang terkubur dalam.“Ini... bukan ruang biasa,” bisik Kael. “Ini semacam ruang antara. Dimensi di mana batin seseorang dihadapkan pada bentuk terkelamnya.”Haneul mengangguk pelan. Ia merasa tubuhnya ringan tapi jiwanya berat. Di setiap pantulan cermin, ia melihat sosok Hamin—terse
Bab 38 – Gerbang Cahaya yang TerkunciLangit Arangyeon memudar menuju senja saat Seo Haneul menapaki lorong batu di Menara Elaris. Setiap langkahnya terasa berat, seolah bebannya tidak hanya berasal dari tubuh, tetapi juga dari ribuan takdir yang bergantung padanya. Cahaya obor yang redup menari di sepanjang dinding, memantulkan bayangan yang membesar dan menyusut—menggambarkan keraguan yang terus bergolak di dalam dadanya.Di tangan kanannya, sebuah pecahan Kunci Kuno berdenyut lembut dengan kilau biru keperakan. Benda itu terasa hidup, seolah mengetahui bahwa saatnya telah tiba. Di tangan kirinya, tergenggam peta tua bertinta sihir, yang membimbingnya ke lokasi tersembunyi yang dikenal hanya lewat bisikan: Gerbang Cahaya, gerbang terakhir yang bisa menyatukan atau menghancurkan dua dimensi.
Bab 37 – Kunci Kuno dan Bayangan Masa LaluLangit Arangyeon mulai menjingga kehitaman. Bukan senja yang indah seperti biasanya, melainkan warna yang diselimuti kegelisahan. Awan bergulung seperti raksasa yang terbangun dari tidur panjang, dan angin membawa aroma aneh—seperti abu dan logam yang dipanggang matahari.Seo Haneul berdiri di balkon tertinggi Menara Elaris, matanya terpaku pada artefak di tengah ruang suci. Artefak Penyeimbang, yang selama ini menjadi penopang kestabilan dimensi Arangyeon, memancarkan cahaya yang tidak stabil. Bergetar, menyentak seperti denyut jantung yang ketakutan.“Apa kau tahu... saat pertama kali aku melihat artefak ini, cahayanya tenang. Hangat. Seperti ibuku sedang memelukku,” suara Haneul lirih, nyaris tak terdengar. Ia berbicara pada dirinya sendiri, atau mungkin pada angin.Langkah ringan terdengar dari belakangnya. Liora datang membawa selembar gulungan tua yang terikat dengan pita perak. Wajahnya pucat dan matanya sembab, seperti belum tidur sem
Bab 36: Dunia yang Tidak Pernah AdaLangit di dunia ini tak mengenal malam. Dua matahari menggantung tinggi di cakrawala: satu bersinar keemasan, menyinari tanah dengan kehangatan lembut; yang satu lagi—bercahaya biru pucat seperti embun beku—mengirimkan bayangan tak wajar yang menari-nari di permukaan tanah. Tak ada suara serangga, tak ada nyanyian burung. Hanya desir angin yang membawa bisikan seakan dunia ini sedang bernapas... pelan, berat, dan penuh misteri.Seo Haneul berdiri mematung di atas bukit kecil. Rambutnya yang panjang diikat setengah, berkibar oleh angin asing yang membawa aroma logam dan bunga liar. Di bawah bukit, Mira dan Jaewon tengah menyusun peralatan sihir, membuat lingkaran pelindung agar mereka tak tertelan ilusi dunia yang baru mereka masuki.Hamin berdiri agak terpisah dari mereka. Matanya menelusuri horison yang tak berujung. Dunia ini—dunia antara realita dan kehampaan—terlalu asing bahkan bag
Bab 35: Dua Takdir, Satu JiwaGelap. Hening. Tak ada suara selain detak jantung Seo Haneul yang bergema seperti gema di ruang hampa. Ia melayang di antara kehampaan—tidak ada tanah, tidak ada langit. Hanya kekosongan berwarna abu pekat yang bergerak perlahan, seperti napas dari dimensi yang belum lahir."Haneul..."Suara itu datang bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya sendiri. Sebuah suara yang penuh luka dan harapan yang nyaris punah. Haneul menoleh ke segala arah, dan dari kehampaan itu muncullah secercah cahaya—seperti denyut jantung yang baru saja hidup kembali.Cahaya itu membentuk siluet. Langkah demi langkah, Haneul mendekat, dan wajah itu menjadi jelas."Seo Hamin…" bisiknya.Namun Hamin yang berdiri di hadapannya bukanlah sosok penuh dendam yang barusan menancapkan Jantung Waktu di Kuil Cermin. Ini adalah Hamin yang dulu—matanya jernih, penuh rasa ingin tahu dan sedikit getir."Ap
Bab 34: Langkah di Tengah RetakanLangit Arangyeon tidak lagi biru. Sejak retakan muncul di atas reruntuhan Kuil Cermin, warna langit perlahan memudar menjadi abu-abu pucat, seakan dunia sendiri kehilangan denyut hidupnya. Retakan itu terus melebar, menganga seperti luka yang tidak bisa disembuhkan, menyedot cahaya, udara, bahkan suara. Di bawahnya, tanah bergetar dalam interval tidak teratur—kadang pelan, kadang seperti ada jantung raksasa yang berdetak dari kedalaman dunia.Seo Haneul berdiri di bibir jurang sihir, diiringi Jaewon dan Mira yang menatapnya dengan kegelisahan yang disembunyikan di balik jubah Vestra mereka. Angin membawa bau logam—bukan dari darah, tapi dari sesuatu yang lebih tua, lebih purba. Dari masa lalu yang bahkan tidak tercatat dalam gulungan tertua di Perpustakaan Langit.Di tengah pusaran kekacauan itu, berdirilah sosok yang dulu ia panggil “saudara”—Seo Hamin. Tapi sosok itu tak lagi sama
Bab 33: Di Ambang Cahaya dan KegelapanLangit Arangyeon terbelah oleh cahaya biru kelam, seperti bekas luka yang belum sempat dijahit. Cahaya itu bukan milik matahari atau bulan—itu adalah sinyal, bahwa keseimbangan antara dunia mulai tergeser. Retakan dimensi tumbuh, menjalar seperti akar gelap dari sesuatu yang lebih tua, lebih dalam… dan lebih berbahaya dari apa pun yang pernah dikenal dunia ini.Di dalam Kuil Pelindung Cahaya, Seo Haneul berdiri di depan altar utama. Ia mengenakan jubah perak Vestra, dihiasi lambang Phoenix membara di bagian dada—simbol harapan baru, namun beban di pundaknya lebih berat dari baju perang mana pun. Di tangannya, kristal resonansi yang baru ia aktifkan bergetar pelan, terhubung langsung ke energi Jantung Waktu.Suara langkah kaki bergema dari lorong. Mira muncul dengan rambut berantakan dan gulungan peta ley-line di tangannya.“Retakan di utara… mulai menyerap waktu,&rdquo
Bab 32: Warisan TersembunyiLangit Arangyeon perlahan kembali menampakkan bintang-bintangnya, namun tak ada yang benar-benar merasa damai. Setelah retakan Dimensi Ketiga ditutup sementara oleh kekuatan gabungan Haneul dan Vestra, seluruh penjuru dunia terasa menahan napas. Seolah alam pun tahu: ini hanya jeda, bukan akhir.Seo Hamin kini ditahan dalam lingkaran sihir Vestra yang menjaga keseimbangan antara dunia dan dimensi. Di dalam ruang bawah tanah Istana Bintang, tubuhnya terbaring lemah, namun pikirannya masih menyala—berperang dengan ingatan dan suara-suara dari Dimensi Ketiga yang masih menggerogotinya dalam diam.Haneul duduk di dekat jendela ruang observatorium, memandang jauh ke cakrawala. Tongkat Vestra kini bersandar di sisinya, tapi tidak menyala. Sejak pertarungan terakhir, kekuatan sihirnya terasa berubah… lebih berat, lebih dalam, seolah ada bagian dari Dimensi Ketiga yang kini hidup dalam dirinya.“Dia