Seminggu berlalu semenjak hari terakhir aku bertemu dengan Clara. Seminggu tanpa gadis manis bermata sipit itu, kuhabiskan waktu seperti sedia kala. Bermain game, membaca komik, menonton film, dan semacamnya.
Aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton TV bersama dengan adikku, Lina. Merasa bosan karena melakukan hal yang sama setiap harinya. Sementara itu, Lina terus menatap layar smartphone miliknya. Biasalah. Adikku sudah terkena virus kekinian yang tak bisa hidup tanpa smartphone, kamera, medsos, dan alat-alat kekinian lainnya.
“Lagi ngapain, sih, dari tadi serius amat?” aku bertanya sembari menatap Lina yang tengah sibuk menari-narikan jempol tangan di atas layar smartphone miliknya.
“Lina lagi upload foto-foto selfie, Kak!” jawab gadis berumur 14 tahun ini tanpa menoleh ke arahku.
“Selfie? Kenapa nggak suruh si Selfie itu aja buat upload sendiri foto-foto
Sampai jam sekolah berakhir, kekesalanku tak berkurang. Bukan hanya kejadian tadi pagi, tapi juga pada jam istirahat, sosok gadis berkulit putih itu tak juga menyapa. Malah, ia terus memain-mainkan alat kekiniannya. Sudah pasti ini merupakan sesuatu yang aneh. Pertama kalinya dalam sejarah gadis bernama Clara bersikap layaknya gadis-gadis normal kekinian lainnya. Itu benar-benar tidak anggun menurutku.Ketika sadar bahwa memang ada keanehan yang terjadi pada sikap Clara, aku berniat untuk meyelidiki. Karena itu, sepulang sekolah, aku melewati taman Udayana di kota Mataram. Kutemukan Clara sedang duduk seorang diri pada salah satu bangku taman di bawah sebuah pohon. Dari raut wajah kegelisahannya, sepertinya Clara sedang menunggu seseorang.Kayaknya dia lagi nunggu pacar barunya, nih!Berbagai macam pendapat singgah di kepala. Sebelum mengetahui yang sebenarnya, tentu saja aku tidak akan bisa menarik kesimpulan apa yang selama ini ada d
“Seiring berlalunya waktu, kebersamaan kita menjadi benih-benih penumbuh cinta di antara kita. Sejuta senyum dan air mata yang kita lalui, tak akan membuatku berpaling dari cinta kokohmu.”Satu setengah tahun aku dan Clara resmi menjadi sepasang kekasih. Tak pernah bisa terbayang, kini aku telah menjadi milik sesosok gadis perhatian tersebut. Satu setengah tahun sudah tercipta kenangan-kenangan indah dan pahit dalam ikatan kami. Terabadikan di dalam memori jangka panjang.Kini aku juga sudah menduduki bangku kelas 12 SMA. Setengah tahun lagi masa putih dan abuku berakhir. Aku sudah menentukan rencana masa depan. Apa yang ingin kuraih. Alasan apa yang membuatku ingin menggapai mimpiku telah kuperhitungkan segalanya.Pagi ini aku tak lagi berangkat sekolah seorang diri. Melainkan selalu bersama Clara dengan si merah semenjak hari di mana kami resmi menjalin hubungan asmara. Setiap hari a
“Benih cinta tumbuh dari pandangan di kedua matamu. Kemudian, tersirami kebersamaan dan kedekatan. Menjadi indah ketika kita saling tersenyum. Menenangkan.”Aku berlari secepat kilat, melewati gerbang sekolah dengan selamat. Kuhentikan langkah dengan posisi setengah berdiri dan kedua tangan berada di lutut. Terengah-engah, aku mengembus dan menarik napas. Sedangkan bulir keringat juga mulai menyembul melalui pori-pori kulit di leher dan keningku.“Wah, wah! Kamu nggak pernah absen terlambat, ya. Setiap hari kamu terus yang jadi langganan.” Pak Satpam berdalih sambil menutup pintu gerbang.Tak heran. Apa yang dikatakan satpam sekolah tadi memang kenyataan. Meski berkata seperti itu, aku hanya terdiam, tak merespons apa yang dikatakannya.Ketika napas sudah mulai teratur, dengan perlahan kuhadapkan wajah ke depan. Aku melihat sepasang mata mengerikan dengan segores ker
Bel tanda pergantian jam pelajaran sudah berbunyi. Aku bergegas menuju kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.Seperti biasa, saat kaki mulai memasuki pintu kelas, semua pandangan menjijikkan, kurasa, tertuju padaku. Ini hal yang biasa. Jadi, tak terlalu kupikirkan. Aku segera duduk pada bangku kesayanganku yang berada di pojok kiri deretan paling belakang. Selain menjadi tak terlihat, aku juga bisa mendengarkan siswa-siswi di kelas ketika membicarakan hal-hal yang buruk tentang orang lain. Pun bisa tidur dengan bebas ketika sedang malas memperhatikan guru yang mengajar.Capek banget hari ini.Aku mulai dengan menyentuhkan pipi di atas meja. Dengan mata yang sayu, lelah sehabis berlari di lapangan basket, aku terlelap dan tak sadarkan diri.--xxx--Beberapa menit mungkin telah berlalu. Kubuka kedua mata dengan perlahan, kemudian menolehkan pandangan ke depan. Meja guru di depan papan tulis kudapati telah kosong.Lo
“Keindahan itu tercipta di kedua mata, kemudian menjadi puing-puing kenangan yang terabadikan.”Aku melangkah pelan dengan segores senyum yang kali pertamanya terpahat di wajah. Ketika menjejakkan langkah melewati koridor kelas, seseorang menyerukan namaku. Kutolehkan pandangan dan mencari sumber suara. Sang empunya suara ternyata Bu Yuni. Ia berdiri di depan ruang konseling di sebelah barat.“Ada apa, Bu?” aku bertanya setelah berada di hadapan sang guru sejuta pesona.“Tumben kamu datang sepagi ini?” Ia berucap seakan tak percaya. Menatap wajahku yang menggores senyum dengan lekat.“Memang salah kalau datang sepagi ini, Bu?”“Tidak. Itu malah bagus, kok.” Bu Yuni tersenyum manis kemudian. “Oh iya. Ibu bisa minta tolong?” sambungnya.“Minta tolong apa, Bu?”“Tolong kamu antarkan d
Sepulang sekolah, di dalam ruangan kosong ber-AC, aku dan seorang guru saling berhadapan. Aku berniat memenuhi janji untuk memberikan jawaban kepadanya jika sudah memikirkan dengan matang tawarannya tempo hari. Guru bernama Sri itu menawarkan padaku untuk memasuki program khusus Teknologi Informatika. Walau bisa dibilang bahwa aku menyukai dan sedikit ahli dalam bidang teknologi, tapi belum saatnya aku disibukkan dengan hal-hal semacam itu. Apalagi beban pikirannya sangat berat.“Jadi, bagaimana keputusan kamu, Nak?” Bu Sri bertanya sambil menatapku penuh harap. Aku tertunduk, tak mampu menyorotkan tatapan mengecewakanku.“Maaf, Bu. Saat ini saya belum bisa menerima tawaran Ibu. Sekali lagi maaf.”Mendengar jawabanku yang memang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, ia mendesah pelan. “Baiklah kalau begitu. Kalau kamu berubah pikiran nanti, kamu bisa langsung ngomong sama Ibu, ya.” Pandangannya sekarang mengandung sebuah ke
“Biarkan aku selalu di sisimu. Ketika pedih menyapa, biarkan aku mengusirnya dengan pancaran senyumku. Sandarkan jiwamu pada kasihku, maka kebahagiaan akan tercipta.”Satu minggu telah berlalu semenjak Kalisa datang ke rumah sakit untuk melihat keadaanku. Dengan waktu istirahat satu minggu penuh, keadaanku sudah benar-benar membaik. Hari ini aku sudah boleh pulang dan melakukan aktivitas sehari-hari.Lina, adikku satu-satunya, ia datang menghampiri. Bukan hanya Lina, tapi juga kedua orang tuaku. Karena kedua orang tuaku merupakan orang yang pekerja keras dan selalu sibuk, mereka sangat jarang memiliki waktu luang. Karena mungkin menurut mereka aku adalah anak yang penting plus tersayang, mereka pun bisa datang hari ini.“Kak Rio!” sapa Lina yang sedari tadi sudah ada di hadapanku. Seperti biasa, Lina selalu tampak antusias dalam melakukan hal apa pun.&ldquo
Gadis berambut sebahu yang dihiasi pita manis berwarna merah muda. Gadis yang merupakan teman sekelasku ini tampak sedang menunggu seseorang. Disedekapkan tangan sambil kedua matanya sibuk melirik ke jalan yang ramai di depan sekolah. Gadis yang aku maksud tak lain adalah Clara, yang baru saja aku kenal, walaupun nyatanya Clara memang teman sekelasku.Clara menolehkan pandangan, mata kami saling bertemu setelahnya. “Rio. Mau pulang?”“Iya. Kamu sedang nungguin siapa?” aku bertanya seraya terus berjalan.“Aku justru lagi nunggu kamu, loh!” Senyum Clara melebar. Kedua pipinya yang seperti bakpao semakin menggemaskan.“Nu-nungguin aku? Emang mau ngapain?” Aku belum mengerti maksud Clara.“Aku cuma mau jalan bareng sama kamu aja, kok. Kita, kan, teman sekelas.”“Benar juga, sih. Rumah kamu di mana?”“Rumah aku satu jalur sama rumah kamu.”Justru jaw