Aku dan ummi segera mengunjungi Alina. Kata ibunya, Alina sedang tidak enak badan. Bibi Ayna baru saja mengirimkan pesan kepada ummi. Abi segera ke kantor karena abi harus menemui beberapa klien dari Qatar. Jadi aku yang menemani ummi ke rumah Alina.
Di rumah megah itu, aku segera turun dan berjalan masuk. Bibi Ayna menyambut kami dengan sangat ramah.
“Kecapean mungkin, Ayna,” sahut Ummi kepada sahabatnya itu. Kami duduk di ruang tamu. Aku menatap bibi Ayna yang terlihat panik.
“Nggak tahu juga nih Sarah.”
“Tadi malam, setelah pulang dari rumah sakit, Alina sudah demam. Mungkin kebanyakan shiff malam. Tapi biasanya nggak begitu juga sih.”
Seorang wanita paruh baya datang dan memberikan kami secangkir air hangat. “Mau lihat Alina?” tanya Ummi. Dia menatapku. Aku menganggukan kepala dengan cepat. Aku ikut panik mendengarkan kabar jika calon istriku tiba-tiba sakit.
Aku masuk ke dalam kamar itu. Aku hanya berdiri di depan pintu. Tidak berani untuk masuk ke dalam. Ku lihat, dia berbaring lemas di tempat tidur. Bibi Ayna sudah mengatakan kepada Alina jika aku ingin melihatnya sehingga wanita itu segera memakai jilbab.
Wajah Alina terlihat pucat namun dia masih saja tersenyum memandangiku.
“Mas Faizal nggak usah terlalu repot datang.”
“Hanya demam biasa kok.” Suaranya terdengar serak. Aku menggeleng. “Kamu sakit, itu bukan demam biasa,” jawabku dengan cepat.
Dia terdiam namun senyuman masih saja terlihat di wajahnya yang cantik.
“Mas dari mana?” tanyanya.
“Lagi temani Ummi di panti tadi. Aku sekalian ke sini. Panik dengar kamu sakit,” jelasku.
“Insyallah akan sembuh kok Mas, aku kan dokter,” serunya. Aku tersenyum. Ummi menghampiri kami. Ummi masuk ke dalam kamar.
“Faizal, bisa pergi sebentar nggak?”
“Ada yang perlu ummi jelaskan kepada Alina,” serunya. Aku menatap Alina.
“Oke Ummi.”
Aku segera pergi meninggalkan kedua wanita cantik itu. Di ruang tamu, aku menunggu ummi. Bibi Ayna sibuk menyiapkan cemilan untuk kami. Dia juga bertanya mengenai aku yang sedang mengajar di kampus sekaligus membantu abi di perusahaan.
Semua orang mendukung apa yang aku kerjakan. Mereka melihatku sebagai sosok yang keren karena bisa bekerja di berbagai tempat. Nyatanya, aku tidak sekeren itu. Allah lah yang mempermudah setiap jalanku.
Ummi keluar beberapa menit kemudian, dia menatapku dengan sangat lama. Aku sama sekali tidak mengerti arti tatapan ummi. Apa yang ingin dia katakan?
“Tadi lagi bahas apa sih?” kekehku. Ummi tersenyum dan kembali duduk di sampingku.
“Urusan perempuan!” bisiknya.
Setelah berbicara dengan bibi Ayna, kami kembali pulang. Ku lihat Ummi terdiam cukup lama di dalam mobil. Tidak seperti biasanya.
“Ada apa sih Ummi?”
“Dari panti tadi kok, Ummi diam terus?”
“Ummi sakit?” tanyaku dengan cepat. Aku sangat takut jika Ummi sakit. Wanita yang ku cintai itu menggelengkan kepala.
“Nggak Faizal, hanya saja Ummi sedikit bingung.”
“Bingung?” tanyaku tidak mengerti. Ummi memandangiku. Dia menyentuh tanganku dengan lembut.
“Kamu sudah yakin ingin menikahi Alina?” Mobil berhenti tiba-tiba. Aku menatap Ummi dengan terheran.
“Kok Ummi tanya gitu sih?” tanyaku. Ummi menatapku tanpa berkedib sedikit pun. Dia menunggu jawabanku saat ini. Aku menghela napas panjang.
“Insyallah.”
“Kamu yakin Faizal?” ulang Ummi lagi. Aku menatap Ummi sambil menganggukan kepala. “Insyallah Ummi, Faizal yakin menikahi Alina. Lagi pula, Alina adalah wanita baik, keluarganya pun sudah ummi kenal dengan baik, bukan?”
Ummi melepaskan gengaman tangannya. Dia menghela napas panjang.
“Ya sudah!” suaranya hampir saja tidak terdengar sedikit pun.
Sesampai di rumah, aku segera berganti pakaian. Besok, aku akan mengajar di kelas Bea. Tentu saja, moment seperti itu adalah hal yang ku nanti. Wajahnya yang cemberut dan kesal adalah kesukaanku. Memikirkan gadis aneh itu, entah mengapa aku malah tersenyum tidak jelas. Ya ampun.
Dring!
Ponselku berbunyi. Dengan cepat aku mengangkatnya.
“Nanti kamu datang ke kantor?”
“Ada yang abi mau bicarakan.” Suara abi terdengar dengan jelas dari sambungan telepon.
“Apa abi?” tanyaku dengan cepat.
“Tadi, anak pak Rudi datang. Hafid, kamu kenal anaknya?” Tentu saja aku mengenal Hafid. Dia adalah sahabatku saat magister dulu.
“Iya Hafid, kami pernah ketemu kok Bi, ada apa?”
“Minta tolong temui dia lagi. Abi ada urusan dengannya. Nanti abi kirimkan berkasnya.” Setelah mengatakan itu, Abi menutup sambungan telepon dengan salam.
Sesuai keinginan Abi. Aku menemui Hafid di sebuah cafe. Aku mengirimkan pesan kepadanya. Hafid seorang desainer dan abi selalu memakai jasanya. Sejujurnya abi ingin Hafid bekerja di perusahaan kami.
Di cafe Organik miliknya, aku menemui dirinya.
“Abi cari tuh!” kekehku saat aku masuk ke dalam cafe dan dia segera menyambutku.
“Proyek kemarin, nggak bisa aku tanggani Faizal. Lagi sibuk banget,” jawabnya. Aku duduk tepat di depannya.
“Jadi gimana? Mana abi sukanya sama kamu,” gumamku. Hafid menghela napas panjang. Dia mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung juga saat ini.
“Ya sudah deh, nanti aku pikir lagi,” serunya. Setelah membahas pekerjaan, Hafid cukup tahu perjalanan cintaku.
“Katanya kamu dah mau menikah yah?”
Aku tersenyum.
“Bisa dibilang gitu sih,” gerutuku.
“Padahal aku baru mau kenalin kamu sama seorang perempuan. Mana cakep lagi,” kekeh Hafid mengoda.
“Ini!”
Dia memperlihatkan layar ponselnya ke arahku. Bola mataku terbelalak melihat foto Bea di dalam sana.
“Kamu kenal Bea?”
Hafid cukup terkejut saat aku mengatakan nama Bea.
“Wanita yang di samping Laura ini, namanya Bea?”
“Kamu nggak tahu, Hafid?” tanyaku terheran. Hafid menggeleng. “Maksud aku, perempuan yang mau aku kenalin ke kamu tuh, si Laura, bukan Bea,” ucapnya mengoreksi.
Hafid menyimpan ponselnya kembali.
“Aku kenal Bea, baru kenal sih. Anaknya asik. Baru beberapa bulan kenal sama dia. Manis banget orangnya. Aku satu tim di taekwondo dulu.”
Aku mendengarkan Hafid membahas Bea. Dari tatapan wajahnya, sepertinya Hafid tertarik dengan Bea.
“Sudah, sudah, nggak usah bahas perempuan itu.”
“Besok, aku ada acara taekwondo. Semacam reunian. Dia pasti datang,” jelasnya lagi. Entah mengapa saat dia tersenyum waktu menyebut nama Bea, hatiku menjadi tidak karuan. Aku tidak suka saja.
“Lo kapan nikah Faiza? Sebulan lagi kan yah?” tanya Hafid membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk.
“Iya, sebulan lagi,” ucapku malas. Sejujurnya aku menjadi malas menatap Hafid.
“Ya sudah, kalo kamu sibuk, langsung aja besok ke kantor. Ketemu abi dan bahas proyek desain ini. Abi sangat percaya sama kamu loh Hafid,” ucapku. Aku berdiri dari tempat duduk.
“Mau langsung pulang?” tanyanya terheran. Aku mengangguk.
“Ya, ada urusan penting,” seruku dengan cepat.
Tanpa menunggu waktu lama, aku segera pergi dari cafe itu. Aku tidak suka melihat wajah Hafid yang tersenyum saat menyebut nama Bea. Apa dia menyukai gadis aneh itu? Ya ampun!
Di dalam mobil, aku menghubungi Bea. Ah, dia tidak membaca pesanku. Tanpa menunggu waktu lama, aku segera meneleponnya saja.
“Assalamualaikum,” ucapku.
“Waalaikumsalam, ada apa pak?” tanyanya ketus. Suaranya terdengar sangat dingin. Tidak seceriah kemarin. Apa karena aku tidak mengatakan dia cantik? Apa seperti itu dirinya? Haus akan pujian?
“Kamu ada urusan besok?”
“Aku mau ke panti, ada urusan yang diberika abi terkait proyek kemarin. Kamu sibuk? Aku nggak tahu wilayah pesantren. Lagi pula, setelah dari kampus, aku akan ke sana. Sekalian saja kamu ikut,” jelasku panjang lebar.
Bea terdiam, dia tidak menjawab pesanku.
“Insyallah besok saya temani pak Faizal,” jawabnya.
“Oke, besok yah.”
“Assalamulaiakum.”
Setelah berbicara dengannya, aku memutuskan sambungan telepon. Aku segera menghubungi Abi lagi membahas pertemuan dengan Hafid dan juga beberapa proyek.
“Assalamualaikum abi,” jawabku.
“Walaikumsalam nak, bagaimana dengan Hafid? Apa dia masih mau terima proyek dari abi? Soalnya abi suka jika dia yang handel proyek desain ini,” jelas abi kemudian.
“Katanya dia sedikit sibuk, tapi kalo abi yang minta langsung, aku yakin dia akan luluh. Oh yah abi, mengenai proyek yang kemarin. Nggak usah lah si Hafid yang datang ke panti. Aku juga bisa kok surveynya,” jelasku dengan cepat. Abi tertawa.
“Faizal, mana mungkin? Apa kemarin kamu ambil kelas desain? Yang tahu masalah itu kan si Hafid,” jawab abi. Suara abi yang tertawa terdengar jelas.
“Kemarin di Inggris, Faizal belajar kok abi, lagi pula di Fisika bukan hitung-hitungan saja. Kalo abi nggak percaya, nanti Faizal yang datang bersama Hafid, tapi Faizal harus datang. Nggak enak gitu kalo Hafid sendiri. Pasti dia merasa aneh aja.”
Aku berusaha menjelaskan banyak hal kepada abi.
“Ya sudah, terserah kamu saja.”
“Besok, kamu saja yang urus,” gumam abi. Aku tersenyum.
“Baik abi, assalamulaikum.”
Aku memutuskan sambungan telepon dan merasa bahagia. Ah sungguh, perasaan seperti apa ini?
***
Hai gusy, bagaimana bab ini? Koment dong biar aku tahu kalian suka atau tidak ^^
Faizal PovAku mengantar Bea ke rumah sakit sebelum berangkat ke kampus. Suasana cukup hening di rumah. Ummi berkunjung ke rumah Ummi Asna. Aku sudah lama tidak melihat wanita itu. Ummi Asna datang dan Ummi selalu mengunjungi rumah madunya bersama abi. Melihat kedua istrinya bersahabat, Abi selalu menganggap aku bisa mempersatukan Alina dan Bea juga. Aku merasa tertekan. Orang-orang menganggap aku mampu. Sejatinya, aku tidak sanggup. Aku tidak tahu, mengapa Ummi Asna lebih memilih berkeliling dunia dan sangat jarang di rumahnya. Ummi Asna menghabiskan waktunya di luar dan abi tidak pernah keberatan. Dan juga, ummi tidak pernah terlihat cemburu dengan ummi Asna. Aku sangat penasaran, bagaimana Abi membuat kedua istrinya terlihat sangat akur dan bersahabat. Di kampus, Abdullah mengagetkanku. Dia menyodorkan buah apple di sampingku. “Kok melamun sih?” tanyanya. Aku menutup layar laptop dan menoleh ke belakang. “Bingung,” seruku singkat. Abdullah memiliki nama yang sama persis dengan
Faizal PovPagi ini, kami kembali ke Jakarta. Bea ingin pulang. Selama dua minggu di Singapura, dia merasa bosan. Abi dan Ummi sudah lebih dahulu pulang ke Indonesia. Aku secara terpaksa mengikuti keinginan Bea. “Kalo aku nggak sembuh mas, gimana?” Dia menatapku. Di dalam mobil, hanya ada aku dan Bea. “Mas nggak akan membiarkanmu pergi, Bea.”“Jika ini takdir, bagaimana?” tanyanya lagi. Dia menatapku sangat dalam. “Mas nggak mau sayang,” jawabku. Kami kembali ke rumah. Aku bisa melihat bagaimana Alina begitu semangat menunggu kami. Dia memakai tongkat dan berjalan dengan pelan menuju gerbang rumah. Aku mengendong Bea menuju kursi roda. Setelah melakukan pengobatan radioterapi, kami harus menjalani beberapa rangkaian pengobatan khusus para pejuang kanker. “Sudah pulang, Mas?”Aku tidak menjawab ucapannya. Dengan cepat, aku mendorong kursi roda milik Bea masuk ke dalam rumah. Bea menatapku dari bawah. Dia terlihat tidak suka dengan sikapku kepada Alina. Ummi menegurku. Jujur, aku
Alina POVHari ini, aku sendiri. Setiap pagi, aku mengurus keperluanku sendiri. Beruntung asisten rumah tangga mas Faizal membantuku. Aku tidak tahu, apa yang terjadi kepada Bea. Kata asisten rumah tangga mas Faizal, Bea sedang sakit parah. Seluruh keluarga Tuan Abdullah segera berangkat ke Singapura demi Bea. “Ada Nona Alina, Buk. Hanya dia yang ada di rumah.”Aku menoleh ke belakang saat bibi Uni, asisten rumah tangga mas Faizal sedang berbicara. Dengan kursi roda yang menemaniku, aku mendorongnya menuju ruang tamu. Wanita itu tersenyum hangat ke arahku. “Alina?” panggilnya.“Dia mengenalku?” Aku mendorong kursi rodaku agar semakin mendekat ke arahnya. Wanita itu sangat cantik. Wajahnya teduh. “Ini istri kedua Tuan Abdullah. Ummi Asna,” ucap Bi Uni memperkenalkan dirinya. Apa? Jadi, wanita ini yang merebut Abi Abdullah dari Ummi Nisa? Aku tahu sedikit kisah tentang mereka. Aku juga tahu bahwa Abi Abdullah memiliki dua istri. “Alina,” panggilnya lagi. Wanita itu berdiri lalu b
Alina PovAku melarikan diri dari rumah mas Faizal. Aku berharap Faizal ingin menikahiku dan mengejarku. Aku ingin memberikan hukuman kepada Bea. Andai saja dia tidak menipuku, mungkin aku sudah menjadi istri mas Faizal sekarang.Dengan sekuat tenaga, aku menerima perjodohan dari ibuku. Aku ingin Faizal menjadi suamiku. Namun, Bea malah menipuku. Dia mengatakan jika aku akan menderita jika bersama Faizal.Hari itu, aku memikirkan semuanya. Hidup bersama lelaki yang tidak mencintaiku, semua akan menjadi buruk. Aku memutuskan untuk pergi di hari pernikahanku. Aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal di rumah salah satu sahabatku, Nabila. Aku bersembunyi di sana. Aku merenungkan banyak hal.Ibu dan ayah mencariku. Namun, mereka tidak menemukan dimana aku berada. Ku pikir, semua akan baik-baik saja. Nyatanya tidak! Wanita licik itu menikah dengan Faizal. Aku bodoh! Dia melakukan segala cara untuk menikah dengan Faizal.Semua orang menyanyangi Bea. Ummi Nisa dan abi Abdullah. Mereka tampak s
Faizal PovSetelah berbicara dengan Bea di ruang perawatan, aku duduk sendiri di taman rumah sakit. Berkali-kali aku mengacak rambutku. Aku frustasi. “Lo kenapa?” Hafid mengagetkanku. Aku membalik dan menatapnya. Aku menyeka air mataku dengan cepat. “Ada apa? Jangan-jangan lo menangis karena Alina? Dia udah dipindahkan, Faizal. Udah di ruang perawatan. Ada apa sih?”Aku terus terdiam. Bingung harus memulainya dari mana. “Bea?” tanyanya. “Dia sakit!” “Sakit apa?”“Tumor,” sergapku. Air yang berada di tangan Hafid terjatuh seketika. “Serius lo? Jangan bohong!” “Ya ampun, Faizal. Kenapa kamu baru tahu?” “Bea berusaha menutupi semua ini, Hafid. Dokter Anya yang mengatakan hal itu kepadaku. Aku menghela napas panjang. Hafid sama frustasinya denganku. Namun kali ini, dia tidak segila diriku. Aku sangat gila. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang. “Aku akan bawah Bea kemana pun negara yang bisa menyembuhkannya!” ucapku. Malam itu, aku dan Hafid tidak banyak bicara. Aku sed
Bea POVHidup ini indah, tapi mungkin tidak untuk hidupku. Ayah dan ibu pergi. Aku dititip di panti dan malaikat bernama ibu Jubaidah merawatku. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada lelaki yang berumur lebih tua di atasku. Dia hidup bahagia dengan keluarganya yang terkenal Islami. Aku ingin merasakan hal itu juga. Ibu Jubaidah selalu menceritakan kepadaku mengenai Tuan Abdullah dan keluarganya. Kepalaku selalu terasa sakit. Darah selalu keluar dari hidungku. Entah sudah berapa kali aku pingsan dan hari itu, aku memberanikan diri bertemu dengan dokter Fani. Dia adalah dokter yang sering mengunjungi kami di panti. Dia mengenalku sejak lama. “Sampai kapan bisa bertahan?” tanyaku. Wanita berbaju putih itu sesekali menghela napas panjang. “Tidak ada yang tahu mengenai umur, Bea.”“Aku ingin tahu!” tegasku kepadanya. “Sudah stadium 4.”“Mengapa baru menyadarinya, Bea?”Aku menunduk. Aku bingung harus berkata apa. Aku ingin merasakan cinta. Aku ingin merasakan bagaimana orang-orang m
“Tertembak?” sahutku tidak percaya. Beberapa saat, pihak kepolisian menghadang tempat kami berada. Aku membawah Bea ke rumah sakit lalu Hafid mengurus Alina. Jujur, hatiku tidak tenang. Aku terus memikirkan Alina. “Bodoh, mengapa dia nekad mengorbankan dirinya?” ucapku kesal. Dengan cepat aku mengirimkan kabar kepada Abi dan Ummi. Seperti biasa, Ummi panik bukan main. Mereka segera berangkat ke Bandung. Aku tidak bisa menyembunyikan mengenai Alina kepada mereka. Alina dibawah ke rumah sakit terdekat. Setelah Bea di bawah ke ruang perawatan, aku segera ke ruang UGD untuk melihat kondisi Alina. Rupanya pistol itu menembak perut bagian kirinya. Alina tidak sadarkan diri dan dia langsung dibawah ke ruang ICU. Tubuhku bergetar hebat. Aku panik bukan main. Aku hanya bisa menunggu dan berharap dia bisa tersadarkan. “Dia perempuan gila!” ucap Hafid yang datang tiba-tiba. Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Aku menatap Hafid yang sedang memotong roti menjadi dua. “Kau belum makan dari sian
Tuan Takur adalah lelaki kaya raya. Dia memiliki banyak properti di Bandung. Restoran, hotel dan lain sebagainya. Saat tiba di depan rumah lelaki itu. Ada dua penjaga yang menghampiri kami. Hafid dan ayahnya memiliki beberapa kekuasaan di daerah sini. Ayah Hafid adalah pengusaha sekelas Tuan Takur. Jadi, mereka seimbang. Dengan terpaksa, Hafid meminta bantuan ayahnya. Sejujurnya, Hafid tidak tertarik menghubungi ayahnya. Tapi, karena desakanku lah, Tuan Takur memperhitungkan kami. Dia ingin bertemu denganku. Saat masuk ke dalam rumah, seorang lelaki berperut buncit dan berkepala plontos memandangi kami dari jauh. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa urusanmu ke sini? Kau anaknya Iskandar?” Lelaki itu menunjuk Hafid. Hafid mengangguk. “Ya, apa ayahku sudah menghubungimu?” “Duduklah!” perintahnya. Kami duduk saling berhadapan.“Gini Pak, Ullie bersahabat dengan istri sahabat saya. Sampai sekarang, istri sahabat saya tidak ditemukan dimana pun. Kemungkinan dia ber
Hafid membuat pertemuan di café L. Setelah kegiatan di kampus selesai, aku segera menghampiri Hafid di kantornya dan kami bersama berangkat ke café L. Rupanya Alina sudah lebih dahulu di tempat itu. Hal yang paling aku senangi adalah, Alina ingin bertemu. “Dari tadi?” tanyaku berbasa-basi. Aku memandanginya dan bola mata kami bertemu. Hafid duduk di sampingku. “Mas Hafid boleh pergi sebentar nggak? Ada yang mau aku omongin sama mas Faizal.”Aku dan Hafid saling pandang dalam kebingungan. “Loh, bukan gitu Alina. Kita bertiga harus bicara,” sergapku.“Tapi aku hanya mau bicara sama mas Faizal!” balasnya. Aku menghela napas panjang. Hafid menyerah. Dia berpamitan keluar dari dalam cafe sesuai keinginan Alina. Sekarang, aku duduk berhadapan dengan Alina. Suasana menjadi hening seketika. “Aku tidak siap berpoligami. Meskipun abi dan ummi mengizinkan hal itu. Aku tidak ingin!” jawabku berterus terang. “Aku tidak siap, ini bukan perkara mudah dan coba-coba,” tegasku. Dia terlihat marah