Share

(Mereka) Pesimis

Menjalani hari-hari tanpa dukungan dari keluarga dan teman-teman, tidak membuatku pesimis akan mimpiku yang akan terwujud ini. Meskipun aku harus menepis semua omongan-omongan yang keluar dari mulut semua orang yang berkata buruk tentang impianku. Mereka semua tidak memiliki mimpi, tidak seperti aku.

“Kak, ibu pamit mau kerja dulu ya” Pamit ibuku, pukul 6 pagi.

Ibuku bernama Xena wulandari, beliau pernah bermimpi ingin memiliki butik terkenal di kota Yogya, akan tetapi impiannya kandas ketika mendapatkan kabar bahwa orang tua beliau meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, yang menyebabkan ibuku harus bekerja serabutan untuk hidup bersama saudara-saudaranya.  Sayangnya, setelah kegagalan yang bertubi-tubi menyebabkan ibuku tidak percaya akan mimpinya lagi, maka sampai hari ini, beliau hanyalah seorang buruh cuci di salah satu rumah pengusaha di kota yogya, selain itu terkadang ibuku juga harus mencari tambahan uang untuk bisa membayar buku sekolahku.

“Ibu nanti pulang jam berapa? Biar aku bisa masakin ibu?” Tanyaku dengan ibu, yang sedang mengeluarkan sepedanya.

Setiap hari ibuku harus menganyuh sepedanya kurang lebih 10 km untuk sampai ke rumah majikannya, melihat ibu yang selalu kecapaian setelah pulang kerja, aku selalu tidak tega dengan beliau. Akan tetapi, ibu selalu membantahku jika aku berfikir jika beliau capek. Padahal semua jelas dapat dilihat dari raut wajahnya.

“Ibu mungkin nanti pulang jam 5 sore kak, tidak usah masak ya. Hari ini ibu tidak punya uang untuk beli beras, kita hari ini makan singkong dulu gapapa kan kak?” Pinta ibuku.

“Ara masih punya uang buat beli beras bu, nanti ara belikan beras ya bu” Tanyaku dengan ibu, karna aku tidak tega jika harus melihat ibuku hanya makan singkong setelah capek bekerja seharian.

“Tidak usah kak, uangnya kamu tabung saja ya. Ibu berangkat dulu” Ibuku menolak tawaranku, lalu menghampiriku untuk berpamitan denganku.

Setelah ibu sudah pergi dan tidak terlihat lagi, aku masuk ke dalam rumah untuk segera pergi mandi agar tidak telat sampai sekolah. Aku masih kelas 12 smk, mengambil jurusan tata boga, karna di desaku hanya ada 1 sekolahan saja, dengan jurusan hanya tata boga dan akuntansi. Aku mengambil tata boga, karna aku memiliki hobbi memasak dan ingin membuka usaha kuliner. Sebenarnya aku ingin sekali membuat donat untuk di titipkan ke warung-warung, tapi sayangnya aku tidak memiliki modal untuk berjualan, dan untuk menghutang di warung tidak di izinkan oleh orang tuaku. Karna mereka takut jika tidak bisa melunasinya.

“Bapak, ara pamit mau sekolah dulu” Ucapku dengan bapak pukul setengah 7 pagi. Saat itu bapak sedang meminum segelas teh hangat yang aku siapkan di atas meja makan.

“Maaf ya kak, hari ini bapak tidak bisa ngasih kamu uang saku dulu, bapak belum mendapat bayaran dari pak darman” Suara bapakku lirih, mencoba menjelaskan tentang keadaan beliau.

“Tidak apa bapak, ara masih ada uang. Nanti ara pulang pagi kok, jadi nggak mungkin lapar juga di sekolah, ini ara juga udah bawa air putih kok pak” Jawabku sambil menunjukkan botol minumku.

“Kamu hati-hati ya berangkatnya, nanti bapak pulang sore, bapak hari ini ada kerjaan di kecamatan sebelah” Perintah bapak.

Bapakku seorang buruh bangunan, akan tetapi tidak setiap hari selalu mendapatkan panggilan untuk bekerja, dan selalu di bayar dengan upah yang tidak terlalu banyak, karna di desa kami upah untuk buruh bangunan masih relatif kecil. Saat tidak mendapatkan panggilan, biasanya bapakku mengerjakan sawah milik pak darman, beliau adalah seorang lurah di desa ku. Beliau sangat ramah dengan semua warganya, dan selalu membantu warganya ketika ada yang tertimpa musibah.

Aku berangkat sekolah dengan berjalan kaki, jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, hanya 15 menit untuk berjalan kaki. Lagi pula teman-teman sedesaku juga berjalan kaki semua, jadinya kami pulang dan pergi ke sekolah selalu beramai-ramai, yang menjadikan jarak rumah ke sekolah tidak terasa.

“Itu ara” Tunjuk wulan ke arahku, yang sudah menunggu di gang desa.

“Woooo lama sekali kamu, capek kami menunggunya” Protes Dea ke aku.

“Maaf ya, tadi dandan yang cantik dulu biar dapat pacar hahahah” Jawabku sambil tertawa melihat muka teman-temanku yang sudah kusam.

“Halah-halah, masih pagi udah ketinggian lagi mimpinya” Ejek wulan ke arahku. Wulan memang temanku yang paling cerewet dan paling sering membully di antara teman-temanku yang lain, akan tetapi sebenarnya hatinya mudah rapuh, hanya saja tertutup dengan penampilannya yang tomboi.

“Stop!! Ayo jalan, keburu telat” Bentak Ria.

“ehh.. oke baiklah, sendika dawuh ratu” ucapku sanbil menunduk dan tertawa. Ria memang terkenal paling galak di antara kami. Dia pendiam, akan tetapi sekalinya membuka mulut, tidak bisa pelan suaranya, mungkin memang sudah terlahir menjadi komandan upacara. Walaupun penampilannya yang feminim, tetapi dia adalah juara silat antar desa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status