Home / Romansa / Di Antara Keajaiban / (Mereka) Pesimis

Share

(Mereka) Pesimis

Author: frianniya
last update Last Updated: 2021-09-08 15:09:35

Menjalani hari-hari tanpa dukungan dari keluarga dan teman-teman, tidak membuatku pesimis akan mimpiku yang akan terwujud ini. Meskipun aku harus menepis semua omongan-omongan yang keluar dari mulut semua orang yang berkata buruk tentang impianku. Mereka semua tidak memiliki mimpi, tidak seperti aku.

“Kak, ibu pamit mau kerja dulu ya” Pamit ibuku, pukul 6 pagi.

Ibuku bernama Xena wulandari, beliau pernah bermimpi ingin memiliki butik terkenal di kota Yogya, akan tetapi impiannya kandas ketika mendapatkan kabar bahwa orang tua beliau meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, yang menyebabkan ibuku harus bekerja serabutan untuk hidup bersama saudara-saudaranya.  Sayangnya, setelah kegagalan yang bertubi-tubi menyebabkan ibuku tidak percaya akan mimpinya lagi, maka sampai hari ini, beliau hanyalah seorang buruh cuci di salah satu rumah pengusaha di kota yogya, selain itu terkadang ibuku juga harus mencari tambahan uang untuk bisa membayar buku sekolahku.

“Ibu nanti pulang jam berapa? Biar aku bisa masakin ibu?” Tanyaku dengan ibu, yang sedang mengeluarkan sepedanya.

Setiap hari ibuku harus menganyuh sepedanya kurang lebih 10 km untuk sampai ke rumah majikannya, melihat ibu yang selalu kecapaian setelah pulang kerja, aku selalu tidak tega dengan beliau. Akan tetapi, ibu selalu membantahku jika aku berfikir jika beliau capek. Padahal semua jelas dapat dilihat dari raut wajahnya.

“Ibu mungkin nanti pulang jam 5 sore kak, tidak usah masak ya. Hari ini ibu tidak punya uang untuk beli beras, kita hari ini makan singkong dulu gapapa kan kak?” Pinta ibuku.

“Ara masih punya uang buat beli beras bu, nanti ara belikan beras ya bu” Tanyaku dengan ibu, karna aku tidak tega jika harus melihat ibuku hanya makan singkong setelah capek bekerja seharian.

“Tidak usah kak, uangnya kamu tabung saja ya. Ibu berangkat dulu” Ibuku menolak tawaranku, lalu menghampiriku untuk berpamitan denganku.

Setelah ibu sudah pergi dan tidak terlihat lagi, aku masuk ke dalam rumah untuk segera pergi mandi agar tidak telat sampai sekolah. Aku masih kelas 12 smk, mengambil jurusan tata boga, karna di desaku hanya ada 1 sekolahan saja, dengan jurusan hanya tata boga dan akuntansi. Aku mengambil tata boga, karna aku memiliki hobbi memasak dan ingin membuka usaha kuliner. Sebenarnya aku ingin sekali membuat donat untuk di titipkan ke warung-warung, tapi sayangnya aku tidak memiliki modal untuk berjualan, dan untuk menghutang di warung tidak di izinkan oleh orang tuaku. Karna mereka takut jika tidak bisa melunasinya.

“Bapak, ara pamit mau sekolah dulu” Ucapku dengan bapak pukul setengah 7 pagi. Saat itu bapak sedang meminum segelas teh hangat yang aku siapkan di atas meja makan.

“Maaf ya kak, hari ini bapak tidak bisa ngasih kamu uang saku dulu, bapak belum mendapat bayaran dari pak darman” Suara bapakku lirih, mencoba menjelaskan tentang keadaan beliau.

“Tidak apa bapak, ara masih ada uang. Nanti ara pulang pagi kok, jadi nggak mungkin lapar juga di sekolah, ini ara juga udah bawa air putih kok pak” Jawabku sambil menunjukkan botol minumku.

“Kamu hati-hati ya berangkatnya, nanti bapak pulang sore, bapak hari ini ada kerjaan di kecamatan sebelah” Perintah bapak.

Bapakku seorang buruh bangunan, akan tetapi tidak setiap hari selalu mendapatkan panggilan untuk bekerja, dan selalu di bayar dengan upah yang tidak terlalu banyak, karna di desa kami upah untuk buruh bangunan masih relatif kecil. Saat tidak mendapatkan panggilan, biasanya bapakku mengerjakan sawah milik pak darman, beliau adalah seorang lurah di desa ku. Beliau sangat ramah dengan semua warganya, dan selalu membantu warganya ketika ada yang tertimpa musibah.

Aku berangkat sekolah dengan berjalan kaki, jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, hanya 15 menit untuk berjalan kaki. Lagi pula teman-teman sedesaku juga berjalan kaki semua, jadinya kami pulang dan pergi ke sekolah selalu beramai-ramai, yang menjadikan jarak rumah ke sekolah tidak terasa.

“Itu ara” Tunjuk wulan ke arahku, yang sudah menunggu di gang desa.

“Woooo lama sekali kamu, capek kami menunggunya” Protes Dea ke aku.

“Maaf ya, tadi dandan yang cantik dulu biar dapat pacar hahahah” Jawabku sambil tertawa melihat muka teman-temanku yang sudah kusam.

“Halah-halah, masih pagi udah ketinggian lagi mimpinya” Ejek wulan ke arahku. Wulan memang temanku yang paling cerewet dan paling sering membully di antara teman-temanku yang lain, akan tetapi sebenarnya hatinya mudah rapuh, hanya saja tertutup dengan penampilannya yang tomboi.

“Stop!! Ayo jalan, keburu telat” Bentak Ria.

“ehh.. oke baiklah, sendika dawuh ratu” ucapku sanbil menunduk dan tertawa. Ria memang terkenal paling galak di antara kami. Dia pendiam, akan tetapi sekalinya membuka mulut, tidak bisa pelan suaranya, mungkin memang sudah terlahir menjadi komandan upacara. Walaupun penampilannya yang feminim, tetapi dia adalah juara silat antar desa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Antara Keajaiban   Pulang

    Aku melangkahkan kaki ku pelan-pelan menuju rumah. Sepanjang jalan aku hanya diam, menganggap diriku sangat egois. Tidak berfikir bapa yang akan tetangga ucapkan jika melihatku dan aryo di gang malam-malam.“ Kalau malam ini orang tuanya clara belum pulang, mama nginep di rumah clara ya pa” Ucap mamanya aryo meminta izin dengan suaminya.“ Ya ma, gapapa. Mama jagain clara di rumah aja ya, sambil nunggu orang tuanya pulang” Jawab papa aryo mengizinkan.Aku mendengar percakapan itu, sontak membuatku menangis. Aku merasa bersalah telah lari dari rumah malam-malam. Aku malu dengan apa yang aku lakukan, hanya memikirkan diriku sendiri, tidak memikirkan orang-orang baik di sekitarku.“ Paman, bibi. Clara minta maaf ya, clara sudah banyak merepotkan, clara nggak berfikir bagaimana harga diri keluarga paman dan bagaimana harga diri keluarga clara. Maafin clara ya, clara nyesel sudah lari dari rumah malam-malam, clara egois!!” Ucapku kepada orang tua aryo sambil meneteskan air mata lagi.Aku m

  • Di Antara Keajaiban   Egoku

    Aku mondar-mandir di halaman rumah, jam semakin berjalan ke kanan, sudah semakin larut. Tetapi orang tuaku belum juga kembali ke rumah. Berkali-kali melihat jam yang terpasang di tanganku, tapi jarumnya seakan-akan berhenti, aku membuka mataku lebar-lebar barangkali mataku yang bermasalah karna melihat jam yang tidak kunjung berpindah posisi."Mbak clara, duduklah disini!" Perintah pak darman, papa aryo.Aku hanya menengok ke arah mereka, dan terus mondar-mandir di depan rumah. Akhirnya aku memutuskan untuk berlari pergi dari rumah, yang membuat keluarga aryo panik."Clara mau kemana?" Teriak mama aryo, yang membuat Aryo dan papanya langsung melihat ke jalan.Aku tidak menggubris apa yang di teriakkan oleh mamanya aryo."Dek, kejar clara buru. Udah setengah 11 malam ini. Takut ada apa-apa" Mama aryo panik, aryo langsung mengejarku. Beberapa kali ia meneriaki namaku, tapi aku terus berlari ke gang ujung desa sambil menangis, berharap orang tuaku aka

  • Di Antara Keajaiban   Jangan menangis lagi!!!

    Sampai sore aku menunggu orang tuaku pulang, ternyata masih belum ada tanda-tanda sama sekali, padahal langit sudah semakin gelap, matahari sudah tidak nampak lagi di desaku. Aku masih duduk di depan rumah bersama aryo, hanya saling diam. Tidak membicarakan apapun, sudah tidak tahu juga mau membahas apa. Sedari pagi melihat mukanya yang tampan, dan sedari pagi juga ia menemaniku di rumah. Sosok lelaki yang sangat bertanggung jawab dengan wanita, walaupun hanya karna tidak sengaja lewat depan rumahku, tetapi malah ia yang menjagaku seharian ini."Sudah gelap yo, kamu tidak pulang? Nanti di cari bapakmu" Tanyaku ke dia."Aku sudah mengiriminya pesan bahwa aku pulang agak larut, menjagamu sampai orang tuamu pulang. Kalau orang tuamu masih belum pulang, ayah dan ibuku akan kesini juga. Kita bermalam disini untuk menjagamu bersama-sama, tidak apa-apa kan?'Aku terkejut bukan main, sebegitu khawatirnya dia denganku. Sungguh di luar nalarku, aku sendiri tidak ter

  • Di Antara Keajaiban   Rumah Clara

    Aku masih meratapi nasibku, masih terbawa emosi tentang kelakuanku. Sedangkan, aryo masih duduk di depan rumah menungguiku. Aku semakin tidak paham dengan apa yang aku alami, semakin di luar dugaan. Tidak pernah merasakan seperti ini, sangat mengagetkan untukku dan untuk orang-orang sekitarku. Terkesan sangat acuh, itulah yang aku rasakan hari ini. Tidak memperdulikan dan mendengarkan semua ucapan orang lain, padahal mereka ingin membantuku."Ke rumah clara yuk nanti, aku nggak enak sama dia" Wulan mengajak dea dan ria."Okay" Mereka berdua menjawab kompak.Aku melihat jam di dinding kamarku, baru jam 12 siang. Hari ini rasanya sangat lama, mungkin karna aku menunggui kedua orang tuaku pulang ke rumah. Aku berkali-kali melihat jam, rasanya tidak gerak sama skali. Aku menengok ke depan rumah, menengok aryo yang sudah merebahkan kepalanya di atas meja."Aryo, sudah jam 12. Kamu mau ke masjid tidak?" Tanyaku membangunkan aryo yang sedang tidur di meja.

  • Di Antara Keajaiban   Terimakasih

    Aku dan aryo meninggalkan persawah, kami berjalan menuju ke sekolahan lagi. Di sepanjang jalan aryo menceramahi tentang tindakanku. Tidak aku dengarkan sama sekali, aku tidak peduli."Jangan di ulangin ya ra. Kamu boleh sedih, tapi kamu harus kuat. Orang lain nggak perlu tahu kalau kamu itu baru sedih. Ra!! Nggak semua masalah harus di selesaikan dengan nangis dan teriak-teriak, coba berfikir lebih positif lagi, apa dampaknya. Kamu boleh mengeluarkan kesedihan mu, tapi ingat ra. Kamu jangan lupa bersyukur juga, di luar sana banyak yang lebih dari kamu" Aryo sudah mulai berceramah, sudah layaknya ustadz desa."Ya" Jawabku singkat, dengan suara sedikit tegas.Sesampainya di sekolah, gerbang sudah di gembok lagi. Mulailah drama part 2 nya antara aryo dan pak satpam yang sangat menaati peraturan itu."Kalian lagi, dari mana ?" Omel pak satpam yang sedang duduk di meja kerjanya sambil meminum segelas teh hangat."Kami cuman mau ambil tas pak

  • Di Antara Keajaiban   Tak Terkendali

    Setelah perdebatan yang cukup menguras waktu dan tenaga, kami di izinkan untuk masuk ke sekolah tanpa memanggil orang tua. Aku tidak tahu betul, apa yang di katakan aryo kepada guru bk sehingga kita di izinkan untuk masuk tanpa ada drama-drama keliling sekolah atau memanggil orang tua ke sekolah.Aku berjalan masuk ke kelas dengan tidak ada semangat untuk mengikuti jam pelajaran ke 3, aku sudah yakin jika bakal ada drama-drama lagi jika aku masuk saat jam itu. Tapi sudahlah, otakku sudah tidak bisa berfikir, aku hanya mengikuti kaki ku berjalan ke arah kelas, tidak berfikir untuk mengeremnya atau pindah haluan ke kantin misalnya.Aku mengetuk pintu kelas “ Tok-tok-tok” lalu membuk pintu kelas dengan hati-hati dan menutupnya kembali rapat-rapat.“Kok baru datang mbak?” Ketus guru yang mengajar di kelasku.“Maaf bu, ada masalah tadi” Jawabku cuek.“Baik, silahkan duduk mbak. Jangan di ulangi lagi” Guru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status