LOGINBAB 55: Kematian Lelana yang Pertama
Part 1 — Bayangan yang Tak Mau MatiLangit sore menggantung bagai kain lembut yang basah oleh cahaya terakhir. Di tepi dataran yang dulu menjadi medan pertempuran Kelabang, kini hanya tersisa batu-batu hitam dan sisa kabut yang berbau logam. Aaron berdiri di sana dengan tangan bergetar, sementara Ilham berlutut di tanah, memeluk tubuh Lelana yang nyaris tanpa napas.
Dunia sedang tenang — tapi terlalu tenang. Seolah setiap roh, setiap daun, bahkan udara menahan diri untuk tidak bergetar. Lelana terbaring dalam pelukan Ilham, wajahnya pucat, bibirnya masih menyisakan senyum tipis. Bukan senyum bahagia, melainkan semacam penerimaan halus terhadap sesuatu yang tak bisa ia ubah.
“Dia… belum pergi,” bisik Aaron pelan, nyaris tanpa suara.
“Aku tahu,” jawab Ilham. Suaranya retak, seperti kaca yang digores kuku. “Tapi jiwanya sudah tidak di sini.”Udara di sekitar
BAB 59: Ilham Melawan Saudaranya Part 1 — Awal Konflik SaudaraAngin lembut berhembus di atas puncak sarang yang baru tenang. Cahaya lembayung menari di antara bayangan yang kini damai, seolah memberi selamat atas berakhirnya perang saudara sebelumnya. Namun, di balik kedamaian yang tampak, Ilham merasakan getaran aneh. Sebuah energi familiar namun berbeda, seperti gema dari masa lalu yang menolak menyerah.Ilham berdiri di tepi inti pusat, memandang ke arah lembah energi yang bersinar lembut. Tiba-tiba, bayangan gelap muncul, menyatu dengan cahaya, tetapi bergerak dengan ritme yang asing. Ada aura yang mengingatkannya pada masa kecil, pada saudara yang pernah ia kenal, tetapi kini berbeda.“Ilham…” suara itu terdengar samar, seperti bayangan yang mencoba berbisik melalui ruang dan waktu.Ilham menatap tajam. Energi itu terasa seperti separuh dari dirinya sendiri, namun diwarnai kemarahan dan kebingungan yang intens. Ia menyadari, dengan perasaan cam
BAB 58: Aaron Menjadi Raja KelabangPart 1 — Awal Takhta dan Gelombang PertamaSetelah kedamaian yang perlahan menyejukkan sarang, Aaron berdiri di atas puncak menara pusat, menyaksikan gelombang cahaya lembayung dan bayangan yang kini menari harmonis di seluruh sarang. Atmosfer terasa berat sekaligus ringan; energi yang dulu liar kini tersaring menjadi aliran yang jelas, menuntun setiap makhluk dan setiap bayangan menuju keseimbangan. Ia bisa merasakan setiap denyut kehidupan, bukan hanya fisik, tapi metafisik—jiwa sarang seakan bernapas bersama dirinya.Aaron memejamkan mata sejenak, membiarkan energi baru itu meresap ke dalam dirinya. Ia merasakan sensasi yang asing namun familiar—perpaduan antara kekuatan primitif T-Rex yang pernah ia warisi dan kesadaran yang kini berkembang dari bayangan-bayangan yang diterima. Ini bukan hanya kekuatan fisik, tetapi energi kosmik yang beresonansi dengan jiwa seluruh sarang.“Sekarang, ini tangg
BAB 57: Perang Saudara di SarangPart 1 — Bayangan yang Berbagi RahasiaSarang Kelabang terbentang luas di bawah permukaan bumi, jaringan lorong dan ruang yang berkilau lembayung oleh cahaya organik yang terpancar dari dinding-dinding yang hidup. Setiap lekuk, setiap pori, berdenyut seolah makhluk itu sendiri bernapas. Udara di dalam sarang kental, bercampur aroma tanah basah, resin purba, dan sesuatu yang asing tapi memikat; energi yang bergetar seiring denyut hati makhluk-makhluk yang menghuni tempat ini.Aaron berdiri di pintu masuk salah satu lorong utama, menatap gelap yang mengular seperti sungai berkelok. Ilham ada di sisinya, matanya yang kini mampu menembus bayangan, menyapu setiap sudut, menyingkap rahasia yang tersembunyi dalam gelap. Bayangan-bayangan yang dulu menakutkan kini tampak lebih jinak, berbaur dengan cahaya lembayung, tapi tetap memancarkan peringatan: ada sesuatu yang sedang bergerak di balik kegelapan.“Kau merasakannya
BAB 56: Kebangkitan Lelana sebagai KelabangPart 1 — Getaran Pertama Kelahiran BaruSarang bawah tanah bergetar lembut, seakan dunia itu sendiri menahan napas. Setiap dinding batu yang pekat, setiap terowongan sempit, bergetar bersama dengan denyut energi yang baru terbentuk. Di tengah ruang utama, tubuh Lelana yang pernah fana terbaring diam, tapi kini cahaya lembayung mulai merembes melalui celah-celah sisik yang mengeras, menciptakan pola iridesen yang menakjubkan. Cahaya itu berdenyut, berkoordinasi dengan napas bumi, dan menghasilkan resonansi yang bisa dirasakan hingga ke dalam tulang Aaron dan Ilham.Aaron menatap dengan mata terbuka lebar, dada berdebar tidak hanya karena kekaguman, tapi juga karena rasa takut dan harapan bercampur. Energi yang terpancar dari Lelana berbeda dari apapun yang pernah mereka alami — bukan sekadar kekuatan fisik atau spiritual, tetapi kombinasi dari kesadaran purba, ingatan yang hilang, dan rasa empati yang mendalam
BAB 55: Kematian Lelana yang PertamaPart 1 — Bayangan yang Tak Mau MatiLangit sore menggantung bagai kain lembut yang basah oleh cahaya terakhir. Di tepi dataran yang dulu menjadi medan pertempuran Kelabang, kini hanya tersisa batu-batu hitam dan sisa kabut yang berbau logam. Aaron berdiri di sana dengan tangan bergetar, sementara Ilham berlutut di tanah, memeluk tubuh Lelana yang nyaris tanpa napas.Dunia sedang tenang — tapi terlalu tenang. Seolah setiap roh, setiap daun, bahkan udara menahan diri untuk tidak bergetar. Lelana terbaring dalam pelukan Ilham, wajahnya pucat, bibirnya masih menyisakan senyum tipis. Bukan senyum bahagia, melainkan semacam penerimaan halus terhadap sesuatu yang tak bisa ia ubah.“Dia… belum pergi,” bisik Aaron pelan, nyaris tanpa suara.“Aku tahu,” jawab Ilham. Suaranya retak, seperti kaca yang digores kuku. “Tapi jiwanya sudah tidak di sini.”Udara di sekitar
BAB 54: “Jagat yang Belajar Bernapas”BAB 54 — Part 1: Denyut Pertama Dunia BaruHening itu bukan sekadar ketiadaan suara — ia adalah napas pertama sebuah dunia.Setelah Putusan Jagat dilafalkan, waktu berhenti bukan karena kehabisan tenaga, melainkan karena sedang menata ulang arti keberadaannya. Di antara reruntuhan cahaya dan puing-puing realitas yang menguap seperti debu bintang, Aaron dan Ilham berdiri — bukan sebagai manusia, bukan pula sebagai anomali. Mereka adalah saksi dari sesuatu yang baru saja lahir.Tanah di bawah kaki mereka terasa lembut, seolah baru saja diukir dari doa-doa yang belum selesai. Warna-warna melayang di udara, bukan sebagai cahaya, tapi sebagai perasaan. Setiap nuansa biru menenangkan, setiap semburat jingga membawa rasa hangat yang belum pernah ada sebelumnya. Angin berhembus seperti tangan dunia yang ragu menyentuh kulit mereka — lembut, gugup, seperti bayi yang baru mengenal ibunya.







