Catelyn, menyadari diamnya Ethan, akhirnya bersuara pada Gabriel. “Mungkin… tahun depan kami akan datang lagi dan menikmati festival itu.” Nadanya lembut, tak ada penyesalan di sana. Hanya pengertian.Noah menoleh dari depan, tertawa pelan. “Padahal waktu remaja, Festival Musim Gugur adalah hari besar buat Cat. Ia selalu ikut lomba membuat pumpkin pie dan hiasan daun dari ranting maple. Itu adalah acara yang tidak pernah dilewatkan Catelyn kita.”“Kau benar,” sambut Gabriel.Noah kembali menyambung. “Gabe dan aku bahkan pernah bikin gerobak sendiri untuk ikut parade, dan Cat jadi Ratu Festival waktu umur lima belas. Dia terlihat seperti—”“Noah,” potong Catelyn, pura-pura memelototi kakaknya sambil tersipu.Tapi penuturan Noah itu tidak lewat begitu saja di benak Ethan.Pria itu menoleh, menatap Catelyn yang sedang menunduk, menyembunyikan senyum malu.Kilasan bayangan masa lalu gadis itu menyusup ke dalam hatinya—seorang Catelyn muda yang penuh semangat, berlarian di antara lapak fest
Setelah jeda singkat di titik finish bersama Noah dan Gabriel, Catelyn mengajak Ethan mencoba jalur yang lebih ringan, hanya berdua.Lintasan itu menurun lembut, membelah hutan pinus bersalju yang seolah tak tersentuh waktu.“Awas, jalur ini lebih banyak tikungan,” seru Catelyn sambil meluncur lebih dulu, senyumnya terpantul di kaca pelindung helm. “Karena kau berhasil mengimbangi kakakku, sekarang ayo bertanding denganku!”Ethan mengejarnya dengan mudah, tubuhnya mengikuti aliran salju seolah telah menyatu dengan alam.Ia mendekat perlahan, lalu berseru, “Kau yakin ingin bertanding denganku, Kitty? Dengan senang hati! Bahkan bisa-bisa aku jadi ketagihan.”Catelyn tertawa ringan. “Anggap saja kau bertanding dengan pemandu lokal.”“Tapi pemandu biasanya tidak secantik ini,” ucap Ethan, menyusul ke sisi kirinya.Catelyn menoleh cepat, hendak membalas, namun lengah oleh lirikan Ethan yang menggoda—dan dalam sepersekian detik, ujung ski-nya terpeleset oleh gundukan salju kecil.“Aaah!”Re
Pagi itu, udara di Maroon Bells menggigit lembut kulit, menyelusup melalui sela jaket dan sarung tangan.Salju menghampar seperti samudra putih yang sunyi, memantulkan sinar matahari yang menerobos langit cerah pegunungan Aspen. Pepohonan pinus berdiri membeku, dan di kejauhan, lekuk-lekuk gunung tampak megah dalam diamnya.Catelyn sedang mengencangkan pengait sepatu ski-nya, sementara Gabriel memeriksa helm dan kacamata pelindung.Noah, seperti biasa, paling banyak bicara, paling sibuk bercanda. Ia melirik Ethan yang sedang berdiri tenang, mengenakan perlengkapan ski dengan gerakan efisien, seolah ini bukan kali pertama ia melakukannya.“Jadi,” ucap Noah, melinting senyumnya lebar sambil menggenggam tongkat ski dan melangkah lebih dekat ke arah Ethan, “Kalau kau ingin masuk ke keluarga Adams, Ethan... ada satu syarat yang tak tertulis.”Ethan mengangkat alis tipis. “Oh ya? Apa itu?”“Harus bisa ski,” ujar Noah sambil tertawa kecil. “Dan bukan sekadar bisa. Tapi harus cukup berani unt
“Begini Vincent, aku minta maaf soal sebelumnya. Aku tidak bermaksud bertindak tidak senonoh pada Catelyn. Aku―”“Maksudmu kau mau menciumnya tadi?” sergah Vincent datar. “Aku tidak memanggilmu untuk membahas hal itu.”Ethan berdeham canggung.Kini ia tahu, malam ini bukan sekadar percakapan ringan antara kakak pacar dan pria yang sedang mencoba mengenal keluarganya.Vincent duduk di seberangnya, kedua tangan bertaut di atas meja, lengan kemejanya sedikit kusut namun tetap mencerminkan wibawa seorang kepala polisi.“Sebelum kau bicara tentang niatmu pada adikku, aku ingin menyampaikan satu hal terlebih dahulu, Ethan,” ucap Vincent, suaranya dalam dan tenang. “Kami, aku dan kedua saudaraku, bukan tipe pria yang mudah percaya. Terutama pada pria yang datang membawa pesona, dengan senyum ramah dan kata-kata indah.”Ethan menelan napas. Tidak bicara, hanya mendengarkan.“Kami membesarkan Catelyn bersama. Dia bukan hanya adik kami, dia satu-satunya keluarga yang tersisa setelah ayah dan ibu
“Jadi, bisa kau ceritakan mengapa kau menutupi tentangku?” Suara Ethan tenang dan dalam saat ia melangkah masuk ke dalam kamar Catelyn.Udara musim gugur yang sejuk menyusup melalui celah-celah jendela, membawa aroma pinus dan kayu basah. Di lantai atas rumah bergaya country itu, lampu temaram menyala di kamar yang tak pernah benar-benar ditinggalkan: kamar Catelyn.Ethan berdiri di tengah ruangan, mengamati setiap detail.Dinding berwarna sage green masih utuh, rak buku kecil di sudut ruangan penuh dengan novel-novel lama, dan di atas bufet kayu ek, terletak sebuah album foto berbalut kain linen krem.Aroma lavender samar dari bantal dan seprai membangkitkan rasa damai, seakan waktu berhenti sejak Catelyn pergi enam tahun lalu.Catelyn masih diam. Alih-alih menjawab pertanyaan Ethan, ia malah berkata, “Kata Noah, Vincent pindah ke kamar lantai atas bertukar dengan kamar Noah sejak aku pergi, dan selalu membersihkan kamarku ini dengan rutin.”Mengetahui keengganan Catelyn menjelaskan,
Basalt, rumah keluarga Adams – malam hari.Mobil Ethan berhenti tepat di depan rumah kayu dua lantai bergaya country sederhana yang berdiri di kaki bukit Basalt.Lampu-lampu hangat menerangi jalan masuk, memantulkan bayangan keemasan ke dedaunan maple yang mulai berguguran.Catelyn menarik napas dalam, lalu menoleh pada Ethan. “Siap?”Ethan mengangguk―tenang, namun tak dipungkiri ia menyimpan kegugupan. Meski demikian, tangan pria tampan itu menyentuh lembut punggung Catelyn ketika mereka berjalan menuju teras.Pintu dibuka oleh Gabriel, yang langsung tersenyum lebar melihat adik perempuannya.“Catelyn,” sapa Gabriel, lalu beralih pada pria bermata biru di samping Catelyn. “Dan ini adalah…”“Kau bisa memanggilku Ethan,” tukas Ethan dengan senyum sopan mengulurkan tangan yang langsung disambut Gabriel dengan hangat.“Gabriel. Kakak pertama Catelyn.”Noah muncul tak lama setelahnya, mengenakan kemeja santai dan syal panjang yang dililit sembarangan.Ia memeluk Catelyn dengan gaya khasnya
Dear ReeFellows, Author mohon maaf belum update dan tidak update rutin sejak beberapa hari lalu. Author sedang mengerjakan suatu social project yang memang menyita waktu.Ini hampir selesai, besok malam Author sudah bisa kembali update.Terima kasih banget masih tetap setia di sini dan juga menyapa Author. Sering2 bawelin Author yak di kolom komen... biar berasa punya alarm pribadi. Hehehe.. ^,^Oya, kalian juga boleh tulis di komentar jika ada hal-hal seputar novel atau tokohnya, yang ingin kalian tanyain... You are very welcome to do so!Sampai ketemu besok malam ya... Luv y'all
Sambungan berakhir tanpa salam. Hanya bunyi klik tajam di seberang.Namun Ethan mencatat semua itu dalam pikirannya. Setiap kata. Setiap intonasi.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku, melangkah masuk.Aroma masakannya telah meresap memenuhi ruangan. Uap tipis naik dari panci, membentuk bayangan samar di udara.Lalu—langkah ringan terdengar dari arah ruang makan.Catelyn muncul, rambutnya di ikat rapi ke belakang, wajahnya tampak segar setelah membasuh diri.Mata hazelnya menatap Ethan yang masih berdiri di balik dapur.“Apa benar-benar kau yang memasak?” tanyanya dengan nada tak percaya, namun ada kilau lembut dalam suaranya.Ethan menoleh, bibirnya melengkung ringan. “Apa kau lupa? Aku pernah memasakkan sesuatu untukmu sebelumnya.”Catelyn terdiam sejenak.Kenangan itu menyeruak pelan dalam benaknya.Aroma kopi dan roti panggang pagi hari, Ethan yang mengenakan setelan bersahaja, sibuk mengaduk saus pasta di dapur kecil apartemen dulu.Itu sebelum ia tahu siapa Ethan sebenarnya. Seb
Ethan, dengan tubuh atletis yang terbalut kemeja putih―membiarkan dua kancing atasnya terbuka, berdiri di ambang pintu.Dada bidang dan otot-otot yang terukir sempurna terlihat jelas di balik kain itu, sengaja dipamerkan untuk menarik perhatian Catelyn Adams yang berdiri memunggunginya.Wanita cantik itu berdiri menatap perbukitan Raven Ridge Heights yang terbentang indah dan menciptakan suasana romantis, namun suasana hati Catelyn Adams masih tidak selaras dengan keindahan itu.Di belakangnya, Ethan tersenyum tipis, tatapannya bersinar jahil.Dengan senyum menggoda di bibirnya dan sepasang manik biru yang berkilauan, ia mendekati Catelyn perlahan."Untukmu," bisiknya, suaranya rendah dan sensual, saat ia melingkarkan sebelah tangan yang memegang setangkai mawar putih melalui pinggang Catelyn.Catelyn terkesiap dan segera berbalik menghadap Ethan dan seketika kehilangan fokus.Pandangannya secara refleks tertuju pada dada Ethan