Catelyn tertawa kecil sambil menggeleng. Ia merapikan tas kosmetik sebelum masuk ke salah satu bilik toilet.Misha dan Inez menyusul ke bilik sebelahnya sambil terus saling mengoceh bersahutan.Sementara Dana masih merapikan lipstik sebelum ikut masuk ke bilik lain.“Katakan Cat, seberapa puas kau di ranjang bersama pria idaman satu benua itu?” celoteh Misha keras.“Lumayan,” jawab Catelyn.“Apa? Hanya lumayan? Kau bercanda!”“Kau pikir Catelyn akan membeberkan hal itu pada kita? Jangan bodoh,” Dana menyahut.“Oh dia memang bodoh. Tentu saja Catelyn akan menutupi kehebatan kekasihnya! Jika itu aku, aku pun akan mengurung dan menyembunyikan Mr Wayne dari gadis-gadis genit sepertimu, Misha!” sambung Inez. Di luar, Axel berdiri tegak. Tubuhnya yang kekar kontras dengan lalu-lalang para pengunjung mall.Tentu saja ia tidak bisa ikut masuk ke dalam area toilet wanita.Namun mendengar samar tawa Inez dan Misha yang riang, membuatnya sedikit menghela napas lega—tanda bahwa para wanita itu
Tak lama, balasan datang cepat, singkat.[Tentu saja, Kitty. Have fun.]Catelyn mendengkus kecil, wajahnya merengut. Ia rindu, ingin kalimat panjang penuh hangat, bukan jawaban sependek itu.Namun denting notifikasi lain segera menyusul.Gadis itu menunduk—m-banking. Angka pada layar membuatnya terbelalak.[US$ 35,000.00 telah masuk ke rekening Anda.]Ia segera mengetik, [Apa-apaan uang ini, Ethan?]Balasan masuk. [Seperti kubilang, have fun. Pergilah.]Catelyn mendesah. Kedua alisnya berkerut, bersiap membalas lagi. Tetapi pesan kedua muncul sebelum ia sempat mengetik.[Tidak terima penolakan. Kirim pesan lagi padaku hanya jika uangnya kurang.]Catelyn terdiam, menatap layar ponsel lama sekali.Campuran geli, kesal, dan hangat berputar dalam dadanya.35.000 dolar terkirim tanpa ragu, seolah itu uang receh bagi Ethan.Pada akhirnya ia mengembuskan napas panjang, meletakkan ponsel di meja.‘Aku akan mengembalikan uang ini ketika kau kembali ke Denver,’ batinnya.Beberapa saat kemudian,
Malam itu udara Denver cukup dingin, langit mulai menghitam meski belum terlalu larut. Lampu jalan berderet sepanjang trotoar, memantulkan cahaya lembut ke permukaan aspal yang sedikit basah.Catelyn bersandar di jok kursi penumpang, menatap keluar jendela mobil yang dikendarai Axel.Ia baru saja pulang dari kantor, lelah dengan rapat panjang dan revisi data yang membuat kepalanya sedikit pening.Namun begitu, ia tetap meminta Axel untuk berhenti di sebuah mini market kecil di sudut jalan—tempat yang sering ia datangi untuk membeli kebutuhan sehari-hari.“Bisa mampir sebentar, Axel?” tanyanya pelan.Axel melirik lewat kaca spion, lalu mengangguk singkat. “Tentu, Nona. Saya akan menunggu di sini.”Begitu turun dari mobil, Catelyn merapatkan coat tipis yang ia kenakan.Angin malam menusuk, membuatnya berjalan sedikit lebih cepat menuju pintu kaca mini market.Bel berbunyi lembut saat ia mendorong pintu, aroma khas ruangan berpendingin segera menyambut.Lorong-lorongnya tidak terlalu ram
Catelyn tergagap, wajahnya semakin merona. “Ti—tidak… sama sekali, Mr. Wayne,” ujarnya terbata.Ethan justru menoleh santai, matanya berbinar dengan gurauan nakal. “Sebenarnya, kedatangan Ayah kurang tepat waktu.”“Ethan!” Catelyn memukul pelan bahunya, membuat Ethan tertawa kecil.Dengan suara mantap, Ethan lalu memperkenalkan, “Ayah, ini Catelyn. Kekasihku yang aku ceritakan sebelumnya.”Gerard menatap Catelyn beberapa saat. Bukannya menilai dengan dingin, senyumnya justru merekah hangat.Ia mengulurkan tangan besar dan kokoh ke arah Catelyn. “Senang bertemu denganmu, Catelyn. Panggil saja aku Gerard.”Kejutan itu membuat Catelyn nyaris kehilangan kata-kata.Ia membalas uluran tangan itu dengan hati-hati, terperangah pada kehangatan yang terpancar dari lelaki yang jelas-jelas memiliki wibawa seorang pemimpin.Di balik rasa malu yang masih tersisa, Catelyn mendapati dirinya menilai sosok Gerard.Ya, ia telah mencari tahu dan membaca semua berita tentang Gerard Wayne, saudara kandung J
Tatapan biru itu hanya sepersekian detik, namun cukup membuat Catelyn menyadarinya. Ia meremas jemari, lalu menunduk sedikit. Mengira bahwa Ethan memperhatikan dirinya karena memakai sesuatu tanpa izin.“Maaf,” ucapnya cepat. “Aku hanya memakai pakaian yang ada di… walk-in closet kamar itu. Kau tahu, aku tidak membawa apapun dari Denver.”Ethan menghela napas pelan, senyumnya tipis. “Semua yang ada di kamar itu memang disiapkan untukmu, Catelyn. Kau boleh memakai dan menggunakan apapun di sana.”“Kau menatapku tadi,” tuding Catelyn lirih.Kepala pria tampan itu menggeleng kecil dan terkekeh ringan. “Kau tidak ingin mengetahui isi kepalaku,” ujarnya lalu meneguk whiskey di tangannya.“Benar-benar sulit menahan diri melihatmu dalam baju tidur tipis itu,” bisiknya lagi, lebih pelan.“Apa?”“Tidak,” sahut Ethan. “Mengapa kau belum tidur?”Catelyn menatap pria bermata biru itu beberapa detik, lalu melangkah mendekat. Mereka duduk berhadapan, meja bar memisahkan jarak.“Mengapa selarut ini
Gerbang besi hitam berornamen ukiran klasik terbuka perlahan, menyingkap halaman luas yang tertata rapi dengan deretan pohon mapel dan lampu taman yang temaram.Rolls-Royce yang mereka tumpangi melaju pelan di atas jalan berlapis batu, melewati air mancur besar yang memancarkan gemericik lembut.Ketika mobil berhenti di pelataran, Catelyn terdiam.Matanya menyapu seluruh fasad bangunan di hadapannya—mansion besar bergaya kolonial, dindingnya putih dengan pilar-pilar tinggi, jendela-jendela besar yang memantulkan cahaya lampu dari dalam.Setiap detailnya berbicara tentang kemapanan yang telah bertahan selama sekian dekade.Ethan turun lebih dulu, lalu mengulurkan tangan. “Tadinya,” katanya dengan nada lembut, “Aku ingin membawamu ke apartemenku. Tapi… aku khawatir kau akan merasa canggung tinggal bersamaku di sana. Jadi, aku membawamu ke rumah ini. Tempat aku dibesarkan.”Catelyn menatap Ethan, menatap pintu ganda megah di hadapannya dan termangu sesaat, sebelum ia lalu menarik napas p