#Dua
Malam menebar kabut kelabu di sudut kota tua St. Louis yang jauh dari riuh kehidupan.Gedung tua bergaya industrial itu berdiri membisu di pinggir pelabuhan terlantar.Cahaya redup dari lampu-lampu gantung menggoreskan bayangan panjang di lantai beton yang dingin. Aroma besi berkarat dan minyak tua memenuhi udara, menyatu dengan dingin yang menggigit.Di tengah ruangan yang sunyi, terdengar derap langkah pelan namun pasti.Seorang pria tinggi bersetelan gelap berdiri membelakangi pintu, memandangi peta yang terbentang di atas meja besi.Sosoknya diliputi aura kekuasaan dan kegelapan. Wajahnya tak sepenuhnya tampak, tersembunyi oleh cahaya yang hanya menyentuh sebagian rahangnya yang tegas.Dia The Ironshade, begitu para pengikutnya menyebutnya — pemimpin dari jaringan bawah tanah paling ditakuti di wilayah timur.Pintu logam tua itu berderit terbuka.Dua pria bertubuh tegap memasuki ruangan. Keduanya mengenakan jaket kulit hitam dengan emblem perisai perak di dada kiri—simbol kelompok
Itu adalah satu minggu kemudian, saat matahari menyusup tenang melalui kaca-kaca tinggi gedung ADG, menimpa permukaan meja kerja yang tertata rapi dan memberikan kesan hangat di tengah suhu ruangan yang tetap dijaga sejuk.Di lantai sekian, divisi Urban Development Planning tengah berada dalam suasana yang lebih rileks dari biasanya.Suara ketukan keyboard berpadu dengan derik kertas dan bisik percakapan ringan para staf.Catelyn Adams duduk di meja kerjanya, membenahi beberapa cetak biru kawasan revitalisasi pemukiman padat di selatan Denver. Matanya fokus, tetapi sudut bibirnya menyiratkan ketenangan yang baru-baru ini jarang ia rasakan.Dalam diam, ia bersyukur bisa berada di tempat ini. Meninggalkan masa lalu yang kelam tak pernah mudah, tetapi pekerjaan ini, dengan segala kompleksitasnya, justru menjadi jangkar yang menahannya agar tidak kembali tenggelam.Tiba-tiba, Dana mendekat. Perempuan berambut pendek itu membawa tablet dan map berlabel ‘Rencana Peremajaan Zona D5’.“Cately
Catelyn mengangguk pelan. “Ya. Ceritanya panjang. Tapi aku memang kembali ke ADG lagi. Aku sekarang pegawai tetap.”“Selamat, Cat! Itu keren!” Pujian tulus dan bangga terlontar dari Brian.“Ya, itu keren,” Catelyn membeo pelan.Brian memperhatikan wajahnya. Ia mengenal raut murung yang tak bisa disembunyikan di balik senyum pura-pura. Ia tahu gadis itu terlalu pandai menelan rahasia luka dengan diam.“Bagaimana kabarmu sebenarnya?”Catelyn tak menjawab segera.Ia memotong kue itu, mencicipinya perlahan, sebelum akhirnya bersuara dengan lirih. “Brian… Menurutmu, apa artinya jika seorang pria enggan mengenalkan kekasihnya pada orangtuanya?”Pertanyaan itu meluncur seperti kabut tipis di udara dingin. Brian memandanginya sejenak. Lama.“Kau sedang membicarakan seseorang,” ujarnya tenang. “Atau dirimu sendiri?”Catelyn menunduk, menggenggam sendok kecil di tangannya. “Hanya ingin tahu.”Brian menarik napas, bersandar di sandaran kursinya. “Bisa jadi… pria itu memang tidak serius. Bisa juga
Langit siang tampak cerah di atas pusat kota Denver, namun suasana hati Catelyn Adams tetap mendung.Di dalam gedung kaca modern milik Aurora Development Group (ADG), deretan meja kerja tertata rapi seperti biasanya. Namun di antara keramaian kantor yang hidup dengan suara ketikan dan langkah kaki, ada satu sudut yang terasa sunyi.Catelyn duduk diam di balik layar monitornya, menatap kosong pada dokumen yang sudah sejak satu jam lalu tak lagi ia sentuh.Jemarinya hanya menggenggam pena, namun tak satu pun kata mengalir ke catatannya.Pikirannya terpecah—kabur, terganggu. Bukan oleh beban pekerjaan, melainkan oleh satu nama yang terus berputar di benaknya.Ethan.Percakapan terakhir mereka masih terputar jelas dalam ingatannya.Suara Ethan, tatapannya, dan terutama caranya menatap Catelyn seolah ada dinding tak terlihat yang kembali tumbuh di antara mereka.Catelyn menggigit bibir bawahnya pelan, lalu memejamkan mata sebentar, seolah bisa mengusir bayangan itu dengan sekali helaan nap
Pintu apartemen tertutup perlahan.Bukan dengan bentakan atau amarah, tapi dengan keheningan yang jauh lebih menyakitkan.Ethan berdiri di depan pintu selama beberapa detik. Ia menatap gagang pintu itu, seolah berharap keajaiban akan terjadi dan Catelyn akan membuka kembali.Namun tidak. Yang menjawabnya hanya suara lift yang terbuka di ujung koridor.Ethan menarik napas panjang, menekan kedua pelipisnya. Rasa frustrasi menyelimuti dadanya.Saat itu ia mendengar langkah kaki di belakang. Axel berdiri tegak, menjaga jarak beberapa meter darinya.“Axel.”“Ya, Tuan?”Ethan menatapnya dengan mata tajam. “Apa ada yang terjadi sebelum aku datang?”Axel ragu sejenak, lalu berkata, “Nona Adams bertanya tentang orangtua Anda. Tuan Wayne dan terutama, tentang Nyonya.”Hening.Wajah Ethan mengeras. “Apa yang kau katakan padanya?”“Saya tidak berani, Tuan,” jawab Axel jujur. “Saya hanya mengatakan bahwa Tuan Wayne tinggal di Madison. Tapi tentang Nyonya, saya tidak menjelaskan apapun dan tepat saa
Axel membuka mulut, tampak ingin menjawab—lalu menutupnya kembali.“Axel, jika aku ingin diterima kedua orangtua Ethan, bukankah aku harus tahu siapa dan bagaimana mereka?”“Nona, saya tidak yakin bisa—”“Catelyn.” Suara bariton yang familiar itu datang dari sisi lain trotoar.Catelyn menoleh cepat.Ethan Wayne berjalan menghampiri mereka, setelan hitamnya sempurna, dasi perak terikat rapi di lehernya. Udara di sekitarnya seolah berubah saat ia hadir—menenangkan, dan terarah.Axel segera memberi hormat kecil dan mundur.Ethan menatap Catelyn, lalu Axel. “Apakah ada masalah?”“Tidak,” jawab Catelyn cepat. Ia berusaha menetralisir nada suaranya. “Aku hanya sedang... bertanya tentang sesuatu.”“Pada Axel?”“Ya.” Catelyn menatap mata biru Ethan. “Kenapa?”“Apa tidak bisa ditanyakan padaku?”“Bisa.”“Mengapa kau tidak menanyakannya padaku saja, hm?” Ethan meraih tangan Catelyn, namun gadis itu menepisnya secara halus.Mata biru pria tampan itu melirik sekilas, lalu kembali bertanya pada sa