Udara Jakarta pagi itu seolah berat. Awan menggantung rendah seperti mengintai sesuatu yang akan pecah—entah langit atau hati-hati manusia di bawahnya.Di apartemen yang kini dijaga ketat oleh tim Indra, Maya sedang bersiap. Rambutnya dikuncir rapi ke belakang. Ia mengenakan blazer abu-abu muda dan celana bahan, pakaian yang tak biasa baginya. Tapi hari ini, ia akan menjadi saksi utama dalam operasi penangkapan jaringan gelap yang selama ini hanya berjalan dalam bisik-bisik.Di sudut ruangan, Indra sedang berbicara lewat telepon dengan seseorang yang suaranya tak begitu keras tapi terdengar tegang.“Target bergerak. Dino tampaknya menyadari pergerakan kita. Tapi kita masih punya waktu.”Maya menarik napas panjang. “Kalau Dino tahu aku akan bersaksi, dia bisa menyerang siapa pun, kan?”Indra menatapnya. “Kami sudah evakuasi titik-titik rawan. Termasuk rumah Nayla. Tapi…”“Tapi dia keras kepala,” potong Maya. “Dia nggak akan mau pergi tanpa alasan jelas.”**Sementara itu, di sisi lain
Suara detik jam di dinding terdengar begitu nyata malam itu. Di dalam kamar yang pencahayaannya lembut, Maya duduk di depan laptop dengan mata bengkak. Ia menulis pesan yang entah akan dikirim atau disimpan. Raka tertidur di sampingnya, masih mengenakan kemeja setengah terbuka, tampak kelelahan usai rapat dadakan dengan kuasa hukum dan tim keamanannya.Maya memandang wajah pria itu lama—pilar yang kini menopangnya. Tapi dalam pikirannya, suara Dino terus terngiang. Ancaman, rekaman masa lalu, dan tatapan penuh kuasa gelap itu membuat tubuhnya kembali dingin.Ia membuka laci meja kecil, mengeluarkan kotak kecil yang telah lama ia simpan. Di dalamnya, ada SIM lama, foto-foto lama, dan kartu nama seseorang dari masa lalu: “Indra Saputra – Konsultan Keamanan Swasta”. Orang ini dulu pernah menyelamatkannya dari razia, sebelum akhirnya ia benar-benar keluar dari dunia malam.Jari-jarinya bergetar saat menekan nomor di kartu itu.Telepon tersambung.“Halo?”“Mas Indra?” suara Maya nyaris ber
Hari itu, langit Jakarta diguyur hujan deras. Awan kelabu menggantung rendah, seolah menekan seluruh beban kota ke bahu para penghuninya. Di dalam sebuah coffee shop bergaya industrial di sudut Kemang, Maya duduk sendirian menatap gelas cappuccino yang sudah mendingin.Ia menunggu Nayla yang katanya akan menemuinya setelah dari kantor media, namun hingga lebih dari setengah jam, bayangan adik Raka itu belum juga muncul. Maya menghela napas pelan, lalu memandangi jendela kaca yang mulai buram oleh embun.Dan di sanalah, sosok itu muncul. Pria jangkung dengan jaket kulit hitam dan tatapan yang dulu membuat Maya tak bisa tidur malam-malam panjang. Pria yang pernah menuntunnya ke jalan kelam, tapi juga satu-satunya orang yang tahu betapa gelapnya lubang yang pernah ia jatuh ke dalamnya.Dino.“Lama nggak ketemu, Say,” sapanya ringan, seperti pertemuan biasa antara dua teman lama.Maya terdiam, jantungnya berdetak tak beraturan. Tangannya mengepal di atas paha di bawah meja.“Kenapa kau di
Udara malam menyapa dengan lembut saat lift terbuka di lantai paling atas. Raka menggandeng tangan Maya, sementara Nayla berjalan di depan dengan semangat. Di tangannya, kamera mini sudah siap merekam, meskipun ia tahu tak semua bagian dari malam ini akan terekam lensa.Rooftop itu dihiasi lampu gantung kecil yang menggantung melintang, berpendar hangat seperti kunang-kunang kota. Di tengahnya, sebuah meja bundar telah dipersiapkan. Di sekelilingnya, kursi empuk berwarna putih gading dan vas bunga lili segar menambah kesan intim.Rayyan sudah duduk menunggu, mengenakan kemeja hitam yang digulung hingga siku. Ia berdiri begitu melihat mereka, memberikan pelukan ringan kepada Raka.“Selamat datang,” ucapnya dengan nada lebih lunak dari pertemuan sebelumnya. “Malam ini… aku ingin membuka banyak hal.”Setelah makanan disajikan—makanan Eropa modern yang tertata rapi—mereka duduk dan saling bertukar senyum gugup.“Ayah kita,” buka Rayyan sambil memutar gelas anggurnya perlahan, “adalah pria
Pagi itu, udara Jakarta terasa berbeda. Bukan karena hujan atau panasnya yang khas, tapi karena sesuatu di dada Raka dan Maya yang belum bisa mereka tafsirkan. Mereka duduk berdampingan dalam mobil sedan hitam milik perusahaan, menuju sebuah apartemen mewah di kawasan SCBD.Apartemen itu adalah tempat tinggal Rayyan Putra Alkarami — adik tiri Raka yang selama ini menjadi bayangan samar di masa lalu ayahnya.Di kursi belakang, Nayla memainkan kamera kecil yang baru saja dibelikan Raka. Bukan karena iseng, tapi karena Nayla sedang serius menekuni hobi barunya: membuat dokumenter. Ia berniat mengangkat kisah ibunya ke dalam tayangan singkat bertajuk “Dari Gelap ke Terang.”“Deg-degan nggak?” tanya Nayla pelan kepada Raka.“Jujur aja, ya… iya.”“Kenapa?”Raka menghela napas. “Karena aku nggak tahu harus ketemu versi seperti apa dari seseorang yang katanya adikku. Dia bisa jadi marah, atau malah tidak mau diakui.”Maya menggenggam tangan Raka.“Tenang. Kadang keluarga datang bukan untuk me
Pagi itu, hujan turun perlahan di halaman belakang rumah Maya. Bukan hujan deras yang menghantam tanah dan membuat becek di mana-mana. Tapi hujan pelan, gerimis tipis, seperti langit tengah meredakan emosi setelah tangis panjang malam sebelumnya.Di balik jendela besar kamar lantai dua, Maya memandang keluar. Cangkir teh melati di tangannya mengepul tenang, sementara pikirannya belum sepenuhnya lepas dari amplop tua dan isi surat yang dibacanya kemarin. Kata-kata almarhum ibunya terus terngiang, mengalun seperti mantra penuh luka sekaligus kelegaan.Ardi. Nama itu kini memiliki makna baru.Bukan lagi sekadar bayangan lelaki masa lalu, tapi ayah Nayla yang sesungguhnya. Lelaki yang pernah memperjuangkan Maya dalam diam, yang kini tinggal dalam surat dan kenangan, namun menghadirkan cahaya dalam hidup mereka yang selama ini terkungkung gelap.Nayla mengetuk pintu perlahan. “Bu… boleh masuk?”“Masuk, Sayang.”Nayla datang dengan sebuah kotak kayu di tangannya. “Aku nemu ini di gudang tan