"Eh? Kamu yang ada tempat Sofian waktu itu, kan?" seru lelaki itu bersemangat.Aku tercekat mendengar pertanyaannya, tidak menyangka akan bertemu lelaki mesum ini di sini, tenggorokan tiba-tiba terasa kering, melihat kembali lelaki ini di depanku rasanya kejadian horor itu terulang kembali. Syarif dan lelaki satunya tampak bingung dengan perkataan lelaki itu."Sofian? Sofian yang di Bukit Cinto itu, Pak?" tanya lelaki empat puluhan di sebelah lelaki itu, tatapan lelaki ini tampak menjijikan, pandangannya memindaiku dari kepala sampai kaki."Yah, Sofian mana lagi? Kamu juga sering kan ke Bukit Cinto?" cibir lelaki itu."Sebenarnya apa yang Bapak-Bapak bicarakan?" Akhirnya Syarif menanyakan, aku tahu dia juga penasaran.Syarif tidak tahu apa-apa dengan masalah yang kualami, kami bertemu juga baru empat hari, aku tidak tahu bagaimana reaksinya jika mengetahui kejadian yang menimpaku, tapi aku percaya dengan kepribadiannya dia tidak akan merendahkan aku."Oh, tidak apa-apa, Pak Syarif. S
"Yang bener?""Iya, makanya bini aku kutinggal di Medan sana, kasihan kali la kau ini, bini pakai diajak segala, mati kutulah kau." Lagi-lagi kelakarnya membuat semua tertawa. "Wah, pantasan pak Syarif menyimpan dia untuk diri sendiri," balas yang lain "Diam! Tidak pantas kalian menjelekkan atasan kalian seperti itu!" Bentakku Aku benar-benar marah, melengos dan sedikit berlari bergegas ke arah lapangan. Kudengar suara-suara di belakangku tampak marah, mereka mengejek, bahkan menghina."Dasar cewek gak tahu diri, sudah mending kutawarkan diri.""Jelek saja belagu!""Sudah wajahnya jelek, kelakuannya jelek juga.""Gak ada sopan-sopannya, kita ini kan atasannya dia."Walau aku tidak menghiraukan perkataan mereka, tetapi telingaku tetap mendengarnya dan itu membuatku sedikit sakit hati. Gara-gara si mesum Herman, semua orang memandang diriku sekarang, jika hanya aku saja yang dihina masih bisa kuterima, tetapi ini membawa-bawa bang Syarif yang tidak tahu apa-apa, jelas aku tidak terim
Sudah seminggu sejak peristiwa malam baku hantam, kini keadaannya kembali damai. Walau hasilnya bang Syarif memarahiku lantaran dia tahunya aku tebar pesona sama Azhari dan Jefri yang menyebabkan kedua pemuda itu baku hantam memperebutkan aku. Walau semua itu tidak benar, tapi ya mau tidak mau aku mengakui saja, aku justru takut dia mendengar bahwa semua bawahannya tengah menyebar fitnah tentang dirinya dan berusaha melawannya, aku gak mau saja dia sedih. Yah, walau di belakang banyak orang yang menertawakan pernyataan pak Suyono, memperebutkan Aina? Heh, orang bodoh juga akan tahu kalau itu ngarang. Tapi Azhari acuh tak acuh terhadap berita itu, dia masih saja nempel denganku ketika pulang kerja, kalau Jefri melihatku dari jauh saja sudah jijik. Bang Syarif jarang berada di lokasi perkebunan sekarang, dia kadang akan dinas luar mengurus surat-surat legalitas perusahaan atau melobi perusahaan lain untuk bekerja sama. Dia keluar biasanya akan ditemani pak Faisal, sehingga pekerjaan in
Dalam keadaan linglung, tak kusangka lelaki itu berlari ke arahku dan Dengan kekuatan penuh memeluk tubuhku, sepenuhnya aku tenggelam dalam dekapannya."Aina! Tidak aku sangka aku akan bertemu denganmu di sini."Aroma tubuh lelaki itu begitu segar tercium, samar-samar juga tercium bau mint dan nikotin di bajunya. Aku berusaha melepaskan dekapannya, diapun melonggarkan tangannya dan menatapku hangat. Setelah dekapannya terlepas, aku menatap sekitar dengan perasaan jengah dan malu, sekeliling menatap kami berdua dengan tatapan heran, mulut Amran bahkan menganga. Kami kini bisa dikatakan tinggal di desa, berpelukan di depan umum masih sangat tabu. Apalagi yang memelukku seorang pemuda gagah, sedang aku hanya gadis jelek, orang-orang pasti akan mengatakan jika pemuda ini sudah buta matanya.Yah, dia memang tampak gagah sekarang, sikap slenge'annya sudah bertransformasi lebih dewasa, penampilannya seperti coboy Amerika, badan dan ototnya bertambah kekar, orang tidak akan menyangka jika pem
"Di mana saja kamu berada sepertinya ada saja penggemarmu ya?" kata laki-laki itu menyindirku."Apa maksudmu?" Aku benar-benar tidak tahu apa yang dia maksudkan, sebenarnya tahu, cuma ya pura-pura gak tahu saja, memangnya aku sebego itu?"Bisa tidak kau tidak terlalu akrab bergaul dengan lelaki?" "Loh memangnya kenapa?"Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah mencubit pipiku dengan gemas, aku tentu saja melawan, cubitan itu sangat sakit."Di sini jarang ada perempuan yang sebaya denganku, apa salahnya jika aku berteman dengan para pria," ujarku."Tidak ada yang salah, cuma aku tidak suka kalau kau terlalu akrab, nanti mereka akan salah paham.""Maksudmu mereka naksir padaku? Aneh sekali pemikiranmu, mereka juga laki-laki yang masih waras, mana mungkin suka denganku." aku terkekeh menanggapi perkataannya."Aina! Kenapa kau kalau dibilangin suka ngeyel? Aku hanya mengkuatirkan kamu," ujarnya dengan mimik wajah kesal."Oh, mengkuatirkan aku? Oke deh aku terima, asal jangan saja kau cem
Aku berangkat ke kantor dengan mengendarai sepeda motor, terasa sekali energik lebih efesien, sampai kantor masih wangi tidak keringatan lagi, dan waktunya juga lebih singkat, sehingga masih ada waktu berleha-leha di kantor. Amran dan Wandi merasa surprise melihatku mengendarai motor. "Motor siapa, Ai? Bagus banget," ujar Amran "Kau bisa mengendarai motor, Ai?" seru Wandi "He ... He ... He..., Aku baru belajar kemarin diajari Fendi," jawabku sambil cengengesan. "Itu motor Fendi?" Amran yang belum kujawab pertanyaannya langsung tidak sabaran. "Bukan, motor abangku." "Wah, ternyata abangmu cukup kaya juga ya? Memangnya motornya tidak dipakai abangmu?" tanya Wendi sambil mengelus motor itu. "Abangku sedang pergi, selagi motornya nganggur akan terus kubawa," jawabku. Teman kantorku memang tidak tahu hubunganku dengan bang Syarif, mereka tidak tinggal di komplek ini, Wandi berulang dari desa sebelah mengendarai motor bebek, sementara Amran dan Ayu tinggal di kecamatan, karena kant
Hari ini aku disibukkan kembali oleh tugas seperti biasa, aku harus menginput data harian dengan teratur di buku besar, kalau ketinggalan sehari saja sudah keteteran, jumlah pekerja harian lepas perkebunan cukup banyak, satu orang mandor bisa mengawasi dua hingga tiga puluh orang, sedangkan jumlah mandor ada dua puluh lima, kalikan saja, bisa sekitar tujuh ratusan orang yang ku-input data harian kerja(HK)-nya.Sejak membawa motor sendiri aku bisa sampai di kantor sekitar jam setengah delapan atau jam delapan pagi, tidak apa-apa cepat datang, kalau kerjaan sudah selesai, jam empat sore sudah boleh pulang.Tepat jam sembilan pagi Ayu Soraya datang diantar oleh lelaki paruh baya, sepertinya ayahnya. Namun bukan itu yang menjadi perhatian kami, penampilannya yang berbedalah yang membuat kami tercengang. Dia memakai make up tebal seperti dirias jadi pengantin, bahkan memakai bulu mata palsu, jika penampilannya untuk manggung atau jadi penyambut tamu acara nikahan sih nggak apa-apa, lah ini
Sudah dua hari aku tidak berkunjung ke lokasi proyek Fendi. Pekerjaan yang menumpuk membuatku enggan ke sana, jarak dari lokasi proyek ke rumah berjarak 1 KM, cukup jauh jika ditempuh jalan kaki, namun jika pakai motor ya sebentar saja. Sebenarnya bukan karena pekerjaan juga sih alasannya, sejak malam pak Suyono bilang Azhari pacarku, Fendi tampak marah-marah tidak jelas dan langsung pergi dari rumahku. Apa anak itu cemburu? Tapi bukan kapasitasku menenangkannya, kan aku bukan pacarnya? Jadi terserah dia sajalah, secuek itu sebenarnya diriku. Hari ini pak Faisal sudah mengambil cuti tiga hari mau menghadiri resepsi pernikahan adik iparnya, si Ayu Soraya sudah kembali ke wujud aslinya. "Ai! Cepet kerjakan proposal ini, contoh proposal ya ini," perintahnya. "Kok aku yang ngerjakan? Pekerjaanku cuma merekap HK pekerja," jawabku tak kalah ketus. "Heh! Kalau kusuruh kau mengerjakan ini ya kerjakan!" Dia mulai berteriak tidak sabaran. "Siapa kamu nyuruh-nyuruh, bos-ku saja bukan," jaw