Setelah pulang dari perkebunan suasana hati Hasan benar-benar berbunga-bunga. Senyumnya tidak pernah lekang dari bibirnya, semua orang yang memandangnya begitu takjub dan terpesona karena selama ini dia dikenal dengan pribadi yang dingin, tatapan mata hangatnya saja jarang terlihat. Melihatnya seperti itu menjadi keajaiban dunia bagi orang sekitarnya terutama keluarga dan rekan-rekan kerjanya di kantor pemerintah. Hasan sendiri merasa asing dengan perubahan yang terjadi pada dirinya, namun suasana seperti ini benar-benar menakjubkan.Ah ... Jatuh cinta memang seindah ini.Perasaan seperti ini baru ini lelaki itu mengalaminya, aneh memang. Usianya menjelang dua puluh delapan tahun, namun belum pernah dia mengalami perasaan jatuh cinta, jika jatuh cinta itu semeledak itu rasanya, wajar saja jika raja Mughal, Shah Jahan membangun Taj mahal untuk istri tercintanya atau Rakai Pitakan yang membangun candi Prambanan untuk wanita yang dicintainya, Roro Jonggrang.Hasan tidak pernah membiarka
Pulang kerja hari ini rencana Hasan ingin menemui ibunya Aina secara khusus. Dia ingin melamar Aina secepatnya, rasanya sudah tidak tahan menjalani hubungan jarak jauh seperti ini. Bukankah Aina ingin melanjutkan kuliah? Kuliah bisa kan setelah menikah.Dari kantor Hasan sudah semangat empat lima, namun ketika dia sampai rumah, nampak Syarif sudah menyambutnya di teras."Rif? Kapan datang? Urusannya di Palembang sudah selesai?" tanyanya."Bang, ada yang harus aku diskusikan sama Abang." Bukannya menjawab pertanyaan Hasan, Syarif malah langsung menyatakan maksudnya.Di teras rumah, duduk dengan tenang seorang anak muda, ketika Hasan mencapai teras, pemuda gagah dengan rambut diikat itu langsung menyalaminya."Assalamualaikum, pak Hasan," sapa pemuda itu dengan hormat."Walaikumsalam, siapa ini?""Oh, ini asistenku Efendi," jawab Syarif."Fendi? Fendi teman Aina?" tanya Hasan penasaran."Oh, benar, pak. Saya teman Aina," jawab Fendi.Hasan mengamati pemuda itu dengan mengernyitkan kedua
Ketika Syarif sampai perkebunan hari sudah menjelang petang. Aina sangat bahagia mendapat pesanan zat hitam dari tangan pemuda itu, Syarif sedikit penasaran apa isi kardus tersebut sebab Aina selalu mengingatkannya untuk jangan lupa mengambil di tempat ibunya. Tentu saja penasaran Syarif hanya sekedar penasaran saja, mana mau Aina membongkar rahasianya.Fendi di tempatkan di area perumahan yang di tempati para bujangan, namun sesekali dia akan menginap di ruang tengah atau ruang tamu rumah Syarif. Seperti hari ini, setelah pulang dari Palembang, Fendi menginap di rumah Syarif karena banyak pekerjaaan yang membutuhkan bantuannya."Oh iya, tadi ada titipan dari bang Hasan," ujar Syarif.Mereka tengah makan malam bersama, Aina terperangah mendengar perkataan Syarif, hatinya tiba-tiba berdegup kencang mendengar nama laki-laki itu disebut oleh Syarif. Rasanya dia ingin berteriak saking senangnya, namun otaknya masih waras, dia hanya tersenyum simpul, namun binar matanya tidak dapat memboh
"Kami sedang bekerja keras mencari investor untuk membangun pabrik, jika bang Hasan belum juga menemukan investor, kemungkinan dia harus menikah dengan anak wakil bupati Jambi timur, demi perusahaan, demi para pekerja yang menggantungkan hidupnya di sini." Perkataan Syarif membuat Aina berhenti, ini bukan hanya sekedar naik wahana halilintar, ini sebuah bom yang tepat menghantam tubuhnya. Menikah demi perusahaan? Abang Hasan mau menikah? Perasaannya kini tidak baik-baik saja, wajahnya bahkan memucat, namun dia dengan cepat dapat menguasai diri, bukankah lelaki itu sudah mengirim pesan untuk menunggu dan mempercayainya? Tidak ada hubungan yang bisa langgeng jika tidak saling percaya. Aina berusaha mempercayai lelaki itu dan menekan semua rasa cemas dan takut kehilangan di hatinya. Yah, jika memang jodoh, Allah pasti mempertemukannya dengan lelaki pujaannya. Sekali lagi dia menggantungkan semua nasib hidupnya hanya kepada Allah. Memikirkan semua itu, senyum di bibirnya yang sempat me
"Tuan muda, Aina ... Apa yang kalian lakukan di sini?" ujar Bik Nur dengan perasaan yang mencelos menyaksikan apa yang mereka lakukan."Bik Nur ... Mari kita bicara," ujar Hasan sambil memegang tangan Aina dan mendudukkannya di tepi ranjang.Bik Nur segera menghampiri mereka dan duduk di kursi meja rias."Bik Nur ... Saya mencintai anak Bik Nur ...," ujar Hasan dengan suara lemah lembut. Nur yang mendengar perkataan Hasan terperangah, dia senang bahwa laki-laki muda dihadapannya memiliki perasaan khusus terhadap anaknya, lelaki ini lelaki yang bertanggung jawab, dia juga merasa sangat berhutang Budi pada lelaki ini, karena lelaki ini yang telah menemukan Aina ketika diculik."Sejak kapan tuan muda menyukai Aina?""Sejak lama.""Apakah sejak tuan muda tahu jika paras Aina rupawan?""Saya baru mengetahui wajah asli Aina dua Minggu yang lalu ketika saya pergi ke perkebunan, menurut Bik Nur, untuk apa saya pergi ke perkebunan?" ujar Hasan, nada bicaranya masih lemah lembut."Memangnya un
Tak jauh dari mereka, seorang lelaki gagah memakai baju batik lengan panjang pres body tengah memasuki lokasi acara dengan menggandeng gadis cantik yang memakai gaun brokat warna silver, rambut gadis itu di sanggul dengan anak rambut yang menjuntai di dekat telinganya, gadis itu memakai riasan tipis, namun wajah cantiknya bersinar bagai bulan, tak pelak pasangan ini sangat menarik perhatian. Pandangan Nurma nanar menatap gadis yang digandeng Hasan, bukankah gadis itu yang diaku Hasan sebagai istrinya dari Jakarta? Sehebat apa wanita itu? Aina hanya mampu menundukkan pandangannya, dia sungguh tidak berani menatap orang di sekitarnya. Dia sangat takut jika dikenali oleh orang lain. Hasan membawa Aina menuju meja ayahnya, di meja itu duduk juga ibu tirinya, Ayuni dan Nurma, masih ada satu bangku yang kosong. Acara tukar cincin sudah dilaksanakan, sekarang di panggung diisi dengan suara nyanyian tim organ tunggal, suara soundsystem-nya terdengar sangat nyaring. "Hei, sini ... Sini .
Aina melangkah dengan gontai, dia sudah mendekati tempat acara, ketika seseorang menegurnya."Hai, cantik."Aina terkesima, pemuda itu tersenyum dengan seringai menggoda. Aina hanya bisa menghela napas berat, pemuda itu mendekatinya dengan jarak yang semakin dekat."Halo, aku Haris Latief. Aku melihatmu bersama abangku tadi," ujarnya sambil mengulurkan tangan."Naina," balas Aina dengan cepat menarik tangannya yang menjabat Haris.Aina tahu seberapa bajingannya pemuda di depannya, dia tentu sudah tahu karakter pemuda ini yang sebenarnya, entah berapa gadis yang sudah digodanya, rata-rata para gadis itu menyerahkan dirinya dengan suka rela setelah mendengar rayuan gombal lelaki itu."Naina? Hmm, nama yang cantik, secantik orangnya. Ada hubungan apa kau dan abangku?" Pemuda itu bicara dengan jarak yang terlalu dekat, membuat Aina merasa tidak nyaman."Menurutmu?" tanya Aina dengan memundurkan langkah."Abangku itu akan bertunangan, mungkin kau hanya dijadikan selir. Daripada dijadikan s
Hasan mendorong Nurma dengan kuat sehingga perempuan itu terlepas darinya, dengan perasaan jijik dia lap bibirnya dengan lengan bajunya, wajahnya sudah merah padam karena emosi yang membludak. Nurma terhuyung hampir terjatuh untung saja dia mampu menyeimbangkan tubuhnya karena dari remaja rajin latihan fisik. "Nurma! Apa kau tidak punya malu? Berani benar kau menciumku di depan umum. Di mana harga dirimu sebagai perempuan? Perempuan tak tahu malu sepertimu ingin menjadi istriku? Mimpi saja kau!" hardik Hasan dengan suara keras. Suasana acara yang penuh kegembiraan tiba-tiba menjadi hening karena peristiwa itu, Hasan bukan lelaki yang bisa menahan amarahnya, dia akan spontan memaki jika dia merasa tidak senang, dia sebenarnya sudah cukup sabar ketika ayahnya menjodoh-jodohkannya dengan sengaja di panggung tadi, namun melihat keagresifan gadis itu, dia tidak bisa menyembunyikan rasa jijik di hatinya. Sebenarnya sikap Hasan yang temperamen itu sangat mirip dengan ayahnya, makanya kedua