Share

Bab 2 Mulai Curiga

Sudah genap satu bulan. Mas Dani sering pulang larut setiap malam Senin dan malam Kamis. Sekarang pun dia memberiku kabar kembali, bahwa malam ini dia akan pulang terlambat.

Malam ini adalah malam Senin ke sekian kalinya mas Dani sering pulang larut. Memang kerjaannya di kantor kan setiap hari Minggu itu libur. Namun ia bilang sedang mencoba merintis usaha baru bersama rekannya. Makanya mereka menggunakan waktu luang yaitu hari ini, hari Minggu.

Setiap ku tanya alasannya memang selalu masuk akal. Tapi yang tidak masuk akal itu adalah penampilannya. Semakin wangi, semakin kece pula. Aku memang tidak masalah, karena ada peran istri dalam penampilan keren suami. Yang aku heran, kenapa setiap hari Rabu dan Minggu dia selalu berpenampilan menarik. Tapi hari-hari lainnya biasa-biasa saja. Malah dia jarang keluar rumah. Pulang ngantor pun pukul empat sudah di rumah.

Keganjalan ini berdasarkan fakta yang ku perhatikan selama satu bulan terakhir.

Setiap aku tanya bisnisnya apa, dia selalu bilang investasi. Bertemu calon klien untuk membangun usaha mereka. Ya suamiku dan rekannya.

Ah, aku pusing. Ingin rasanya meremas-remas rambut sambil berteriak aku benar-benar dibuat bingung. Hukh.

Hening.

Dona sudah tertidur seperti biasa. Dan seperti biasa pula, aku masih menunggu dan berbaring di sofa. Tepatnya ini adalah sofa baru. Kalau kemarin di rumah ini masih ada kursi minimalis yang tempat duduknya sudah hampir jebol, kini kursi itu telah kami simpan di gudang dan di ganti dengan sofa. Uangnya di kasih langsung oleh mas Dani.

Sejak beberapa bulan terakhir, suamiku sering sekali mendapatkan bonus. Kalau di bilang dia simpanan bosnya tak mungkin. Karena jelas-jelas bos suamiku di kantor itu laki-laki. Pak Harun Widyatmoko. Berharap sih itu benar-benar karena prestasinya. Dan semoga dia bisa segera naik jabatan.

Tak lama kemudian.

Akhirnya rambut ini benar-benar ku remas. Tak tahan otak ini memutar dan berfikir. Kok rasanya ada yang aneh dari mas Dani.

"Berfikir Diandra, kamu itu bukan wanita bodoh," tegurku pada diri sendiri.

"Kamu itu seorang ibu rumah tangga lulusan sarjana," gerutu batinku.

Hah, sejak aku menikah sepenuhnya ku abdikan diri ini. Di larang bekerja, dan kini aku benar-benar pasif di rumah. Tak tahu apapun.

Aku harus susun rencana untuk membuktikan kecurigaan ini secepatnya.

Menghembuskan nafas kasar.

Kalau untuk kasih sayang dan uang bulanan jelas tak ada sedikitpun yang berubah. Hanya yang di permasalahkan olehku adalah melihat penampilannya. Itu pula hanya di hari-hari tertentu. Hem, apa mungkin benar. Setiap hari Rabu dan Minggu suamiku mencari-cari calon klien. Balik sana balik sini mengurusi sesuatu? Dengan pakaian non formalnya?

Rambutku mulai berantakan karena sering ku remas.

"Hukh. Memangnya usaha apa seperti itu? Benar-benar mencurigakan."

Jam dinding masih terus memutar. Jarum pendeknya sudah menunjuk ke angka sepuluh, sedang jarum panjangnya menuju angka empat. Jelas sebentar lagi akan tepat pukul setengah sebelas malam.

Hengkang dari sofa empuk. Berdiri dan bolak balik. Kadang melihat-lihat ke arah jendela, kadang pula melihat ke kamar dimana Dona tertidur. Takutnya dia terbangun dan terjatuh. Namun sepertinya Dona tidur pulas sekali. Bahkan setiap malam. Apalagi segelas susu putih selalu menjadi penghangat badannya setiap malam sebelum tidur.

Detikan jam terdengar berisik sekali di telinga. Apalagi jam dinding di rumah amat besar, karena suamiku baru membelinya lusa lewat jalur online. Sampai-sampai merogoh kocek hingga jutaan rupiah. Memang uangnya sendiri, tapi rasanya sayang sekali. Toh yang kemarin juga masih bagus. Tidak terlalu berisik pula. Yang ini, sudah besar berisik pula. Padahal yang namanya jam pasti semuanya sama. Angkanya dari satu sampai dua belas. Satu jarum pendek, satu jarum panjang untuk menitan dan satu lagi jarum panjang untuk menghitung detikan.

Memang beberapa bulan terakhir ini banyak sekali barang-barang baru masuk rumah. Padahal harganya juga lumayan pada mahal. Aku sih bersyukur sekali karena mas Dani mengalami kemajuan yang amat pesat.

Tapi tetap saja aku belum mengetahui apa bisnis sampingannya. Setiap ku tanya dia bilang akan memberitahuku jika usahanya sudah membesar.

Bukan tak ingin aku mencaritahunya sekarang, tapi dengan usia Dona saat ini ... Mana jauh pula dengan rumah orang tua kami. Tak mungkin aku menitipkannya pada mereka yang masing-masing berada di luar kota. Menitip pada tetangga juga rasanya kurang enak.

Aduh, kok aku seperti orang bodoh seperti ini sih?

Jeda sebentar.

Mengambil gawai dan berharap ada pesan masuk. Namun tak ada sama sekali. Hanya ada pesan chat jam tujuh malam tadi. Itupun waktu terakhir dia membuka aplikasinya. Berarti, sejak dia mengirim pesan W******p tadi gawainya langsung ia matikan.

Aduh, kok aku makin suudzon saja.

Mencoba menelepon ke nomornya juga selalu saja tidak di angkat. Saat aku menanyakannya ketika ia pulang, dia bilang memang tidak bisa mengangkat telepon karena membuat meetingnya tak nyaman. Se formal itukah? Perasaan meeting formal di kantor pun tidak segitunya?

Kembali ku lihat jam di dinding. Aduh, detik demi detik berlalu sangat cepat sekali. Sudah hampir pukul sebelas mas Dani belum juga pulang.

Terdiam kesal. Komat kamit sendirian seperti sedang membaca jampi-jampi. Ya, jampi-jampi kapan suami pulang.

Dor dor dor!

"Mas Dani!"

Segera aku bergegas. Menengok ke arah pintu dan berjalan dengan cepat.

Ku raih gagang pintu dan membukanya.

"Assalammualaikum," ucap salamnya.

Huh, nafasku terbuang lega. Benar saja, mas Dani pulang dengan wajah yang senyam-senyum.

Tanpa berfikir lagi ku balas salamnya. Seraya meraih tangannya dan mencium punggung tangannya dengan khidmat nan takzim.

"Bau parfumnya kok beda?" kejutku dalam hati saat mencium punggung tangan suami.

"Kamu kenapa?" tanya mas Dani heran.

Segera aku berbasa-basi.

"Enggak, Mas. Ini seperti ada kotoran sedikit," jawabku sambil tersenyum.

Berbalik arah menuju sofa setelah kembali menutup pintu.

Ku perhatikan langkah mas Dani yang sedikit lesu. Lalu dia duduk sambil membuka dua kancing bajunya.

"Huh, malam ini capek sekali," katanya dengan wajah lelah, letih dan lesu.

Segera aku mendekat.

Duduk di sampingnya dengan perasaan kesal.

"Memangnya kerja apa, Mas? Kelihatannya memang capek banget," ketusku.

Kedua tangannya melipat di belakang kepala sambil memandangi atap-atap rumah yang warnanya kini sudah mulai kusam.

"Itu, tadi aku harus bolak-balik menemui klien. Sampai tiga orang."

Begitulah jawabannya.

Hah? Tiga orang dalam satu malam? Eh tapi dia berangkat setelah adzan Ashar.

Memang meeting harus sampai malam? Entahlah, aku tak ingin menjadi wanita bodoh yang tak tahu apa-apa. Besok-besok harus ku selidiki, apa usaha suamiku? Jangan-jangan dia jual beli barang ilegal. Astaghfirullah aladzim!

"Ya, bagus dong, Mas. Tapi, kenapa harus sampai malam? Siang saja enggak bisa gitu?" tungkasku.

Dia kembali menarik nafas.

Membuangnya dengan kasar.

"Pagi sampai sore aku kan ngantor. Makanya aku kerja sepulang ngantor bersama teman-teman. Merintis usaha dari bawah. Ya, memang sulit sekali ternyata. Lebih baik kamu nunggu hasil dan berdoa saja," jawabnya santai.

"Kalau itu selalu, Mas. Setiap waktu doaku selalu menyertaimu," ulasku.

Mataku memandang sayup melihat lantai keramik berwarna putih. Menunduk dan masih bingung. Apa salahnya kalau dia memberitahuku tentang bisnisnya sejak dini. Mungkin aku juga bisa membantu!

Kalau aku tanya bertele-tele pasti dia mengiraku tidak percayaan. Ini, lah. Itu, lah, dan ujung-ujungnya saling emosi.

Dengan berat hati inipun harus berusaha percaya. Tak ingin aku menambah fikiran suamiku dengan omongan-omongan juga pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuatnya makin pusing.

"Ya sudah, kita tidur, yuk!" ajakku padanya.

Mas Dani malah tak menjawab. Eh setelah ku lihat dia malah sudah tertidur di sofa. Kepalanya menyender lipatan kedua lengan.

"Mas, mas! kasihan sekali kamu. Kerja banting tulang sendiri. Tapi memang ini kemauan kamu juga, makanya waktu aku kerja dulu kamu tak menyetujuinya."

Belum reda rasa penasaran ini. Belum ingin juga aku hengkang dari sampingnya.

Wajahnya amat kusam apalagi dengan cucuran bulir-bulir keringat. Aroma tubuhnya menyengat sekali seperti selesai bercumbu dan melakukan hubungan badan.

"Ya Tuhan, jangan-jangan ...?"

"Oh, tidak, tidak."

Ah, fikiranku makin semrawut.

Suamiku berkulit sawo matang lebih cenderung kuning langsat. Tampan dan menawan. Gaya rambut barunya menambah ketampanannya kali ini. Membuatku terlena memandang. Suamiku memang tampan, tapi wajahku juga tak kalah cantik.

Apa mungkin dia selingkuh? Aroma parfumnya ...? Kalau benar ...?

Parfum wanita ini sangat menyengat sekali di tubuhnya. Ini benar-benar harus di selidiki.

Tadi saat ia pulang juga wajahnya sumringah namun lesu. Ada apa ini?

–––

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
laki kau jadi gigolo. kau aja yg sok pintar dan banyak bacot dlm hati
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status