Home / Historical / Di Balik Tirai Permaisuri / 06- Sentuhan Yang Membakar

Share

06- Sentuhan Yang Membakar

Author: Tinta cinta
last update Last Updated: 2025-11-10 18:17:13

Pagi itu, usai pertemuan dengan para selir, Isabella memilih berdiam di kamarnya. Hari ini, Tabib Ethan akan datang kembali, sesuai janji mereka kemarin.

Di meja telah tersusun hidangan ringan, lengkap dengan teh peony kesukaannya.

Sambil menanti, Isabella menyibukkan diri dengan menyulam. Jarum dan benang menari di antara jemarinya yang lentik, menenangkan pikirannya yang masih gelisah.

“Sepertinya Anda sedang sibuk, Permaisuri?”

Suara itu terdengar lembut namun tiba-tiba, membuat Isabella menoleh. Di sana, berdiri Ethan dengan pakaian rapi — kemeja putih bersih berbalut rompi hitam yang menegaskan bahunya yang tegap.

“Kau sudah datang?” ucap Isabella, mencoba menutupi senyum kagumnya.

Namun Ethan justru menatapnya tajam. “Wajah Anda tampak sembab, Permaisuri.”

Isabella sontak tertegun. Padahal ia sudah menutup bekas tangisan semalam dengan riasan cukup tebal, tapi tampaknya mata Ethan terlalu jeli untuk tertipu.

“Malamku berakhir berantakan lagi,” lirih Isabella, meletakkan sulamannya dan beranjak ke meja. “Duduklah.”

Ethan menuruti perintah itu.

“Bukankah kemarin sudah teratasi?” tanyanya ragu.

Isabella menatap kosong pada permukaan teh. “Kupikir begitu... tapi ternyata belum.”

Ethan menarik napas pelan. “Kalau begitu, kita perlu memastikan. Mungkin Anda belum benar-benar sembuh.”

Isabella menuangkan teh ke dalam cangkir dan menyodorkannya padanya.

“Bagaimana bisa begitu?”

“Cairan yang saya berikan kemarin bukan obat penyembuh, Permaisuri. Itu hanya untuk memastikan apakah penyebabnya penyakit... atau kutukan.”

Ethan berhenti sejenak, menatap dalam wajah Isabella yang murung.

Deg.

Tanpa aba-aba, ia menggenggam tangan Isabella. Gerakan itu spontan, membuat Isabella tersentak dan segera menarik tangannya.

“Apa yang kau lakukan, Ethan?” serunya kaget.

Ethan tak menjawab. Matanya memandangi tangan Isabella, lalu menatap wajahnya lagi.

Tidak ada perubahan warna. Tidak ada rasa sakit.

“Lihat, Anda baik-baik saja, Permaisuri.”

Isabella menatap kulitnya, tak percaya. “Tapi... semalam aku kembali membiru! Aku merasakannya sendiri!”

Ethan mengerutkan dahi. “Aneh...” gumamnya pelan. Ia menyesap teh, pikirannya berputar cepat.

Jika bukan penyakit, dan efek itu tak muncul padanya — berarti hanya terjadi saat disentuh Kaisar?

“Bagaimana kalau kita mencoba sesuatu yang lain?” katanya akhirnya.

Isabella menatap curiga. “Maksudmu, membiarkan semua pria menyentuhku begitu saja?”

Ethan menggeleng cepat. “Tidak, Permaisuri. Cukup satu orang saja. Kita perlu tahu pasti apa yang terjadi pada tubuh Anda.”

Isabella terdiam lama. Meski tersinggung, logika Ethan masuk akal. Reaksi itu memang hanya muncul saat bersama Kaisar — atau, jangan-jangan... tubuhnya hanya bereaksi berbeda pada Ethan?

“Lusi!” panggilnya lantang.

“Ya, Yang Mulia?” sahut dayangnya dari balik pintu.

“Beritahu Ibu Suri, aku membutuhkan seorang pria untuk percobaan.”

Lusi terkejut sejenak, tapi kemudian menunduk patuh dan berlalu. Isabella tahu, percobaan ini harus dilakukan dengan rahasia penuh.

“Untuk sementara, nikmatilah camilan itu,” ujar Isabella datar, mencoba menenangkan suasana yang mendadak canggung.

---

Tak lama kemudian, Lusi kembali bersama Ibu Suri dan dua orang lainnya — bibi dayang tua dan seorang pengawal dari kediaman sang Ratu Ibu.

Ethan berdiri dan menunduk sopan. “Yang Mulia, mohon maaf, bisakah Anda meninggalkan kami sebentar? Pengobatan ini lebih baik dilakukan tanpa banyak orang.”

“Aku ingin tahu hasilnya,” sahut Ibu Suri hati-hati.

“Saya akan melaporkan hasilnya nanti. Tapi proses ini akan terasa canggung bila disaksikan banyak mata.”

Ibu Suri berpikir sejenak, lalu mengangguk dan keluar bersama Lusi serta dayang tua itu.

Kini, hanya mereka bertiga yang tersisa di kamar: Isabella, Ethan, dan sang pengawal.

“Permaisuri, silakan sodorkan tangan Anda,” ucap Ethan.

Isabella mengulurkan tangannya perlahan. Ethan lalu menatap pengawal itu.

“Cobalah sentuh tangan Permaisuri.”

Pengawal menelan ludah, jelas gugup.

“Julurkan tanganmu... dan tundukkan pandanganmu,” titah Isabella tegas.

Dengan ragu, pengawal menunduk, memejamkan mata, lalu menyentuhkan ujung jemarinya ke tangan sang Permaisuri.

Sekejap, tubuh Isabella menegang. Napasnya memburu, dadanya mulai sesak. Ia menahan diri sejenak, lalu menepis tangan kasar itu sebelum rasa sakit semakin parah.

“Pergilah. Jangan menoleh ke arah Permaisuri,” perintah Ethan cepat.

Pengawal segera bergegas keluar, meninggalkan keheningan tegang.

Ethan mendekat, menatap wajah Isabella yang kini pucat dan menggigil. Tanpa pikir panjang, ia memegang kedua bahu wanita itu.

“Permaisuri, buka mata Anda. Tatap saya,” suaranya tegas namun lembut.

Isabella membuka mata perlahan, tubuhnya masih gemetar.

“Sakit...,” lirihnya.

“Tenanglah... tenangkan diri Anda, Permaisuri. Saya di sini. Anda tidak sendiri,” ucap Ethan, matanya memancarkan ketulusan yang sulit dipungkiri.

Isabella menatap wajahnya. Di balik pandangan teduh itu, ia merasakan sesuatu yang lain — bukan sekadar belas kasih, tapi empati yang dalam. Air matanya menetes tanpa bisa dicegah.

“Bukankah aku menjijikkan, Ethan?” suaranya pecah, nyaris tak terdengar.

Dada Ethan bergemuruh. Ia tidak tahu kenapa, tapi hatinya perih mendengar kalimat itu. Spontan, ia menarik Isabella ke dalam pelukannya.

“Kau tidak menjijikkan. Kau akan baik-baik saja. Aku berjanji akan menyembuhkanmu.”

Pelukannya kuat, namun penuh kehati-hatian.

“Tenanglah... tenanglah, Permaisuri,” bisiknya lembut.

Aroma mint dari tubuh Ethan menguar, menenangkan pikiran Isabella. Perlahan, rasa sesak di dadanya mereda, warna biru di kulitnya pun menghilang.

Ketika kesadarannya pulih, ia baru menyadari dirinya masih dalam pelukan pria asing itu. Tapi tenaganya sudah terkuras, membuatnya tak kuasa menolak.

“Permaisuri...” suara Ethan pelan, menatapnya dengan cemas.

Ia melepaskan pelukan, lalu menatap mata Isabella. Hembusan napasnya yang hangat menyapu wajah sang Permaisuri.

“Syukurlah... kau baik-baik saja,” ucapnya tulus.

Isabella terpaku. Dada yang tadi sakit kini berganti dengan debar aneh yang tak bisa dijelaskan.

“Lelaki ini... kenapa memperlakukanku begitu lembut?” batinnya menjerit.

Dalam hatinya, Isabella tahu kedekatan ini tidak pantas. Namun di sudut hatinya yang paling dalam, ia tak bisa membohongi diri—bahwa pelukan itu membuatnya merasa dihargai, diterima, bahkan... dicintai.

“Ethan...”

“Kenapa bukan Kaisar yang seperti itu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Tirai Permaisuri   08- Rasa Terima Kasih

    Makan siang berlangsung cepat, namun terasa panjang dan menyesakkan. Suasananya memanas, dipenuhi aura kemarahan Kaisar yang begitu kuat hingga udara di sekitar meja makan seperti menekan. Terlebih untuk Isabella, setiap suapan terasa sulit turun ke tenggorokan. Dadanya sesak.Julius paling tidak suka dibantah, tapi karena tadi sempat ditegur Ibu Suri, ia memilih menahan diri. Namun Isabella sangat tahu—diamnya kaisar bukanlah tanda mereda, melainkan badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak."Ethan… kamu cari mati…" batin Isabella menegang. Hatinya menjerit khawatir, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada tabib itu.“Aku selesai. Kalian bisa lanjutkan makanan kalian.”Kaisar bangkit sambil mengelap bibirnya, gerakannya dingin dan angkuh.Semua yang ada di meja mengangguk, menjaga sopan santun.“Dan kamu—selesaikan pekerjaanmu lalu cepat kembali. Jangan menganggap istana seperti rumahmu.” Tatapan Julius menancap lurus pada Ethan.“Yang Mulia tidak perlu khawatir,” Ethan m

  • Di Balik Tirai Permaisuri   07- Meja Makan

    "Ethan…""Kenapa bukan Kaisar yang seperti itu?" lirih Isabella."Ya? Anda mengatakan apa, Permaisuri?" Ethan tidak terlalu mendengar karena kekhawatirannya, terlebih suara Isabella sangat begitu pelan.Isabella tersenyum miris menatap Ethan. Ia tidak menjawab apa pun dan hanya menggeleng lemah."Sepertinya Anda butuh istirahat, Permaisuri. Tenaga Anda terkuras," ucap Ethan lembut."Tadi kau sempat bicara tidak formal padaku… bicaralah seperti tadi. Aku lebih suka begitu," sahut Isabella pelan.Ethan tidak langsung menjawab, hanya menatap Isabella dalam-dalam. Entah kenapa, seolah ia bisa menyelami setiap perasaan wanita itu hanya dari raut wajahnya. Ada kesedihan besar—tersembunyi, tetapi jelas terasa."Ethan…"Ethan mengerjap, tersadar dari lamunan."Anda istirahat dulu. Biar saya memikirkan apa sebenarnya yang terjadi pada Anda. Kesimpulannya… Anda akan membiru jika disentuh oleh lawan jenis selain saya ."Isabella menghela napas tipis."Kau sudah mau pergi?"Belum sempat Ethan men

  • Di Balik Tirai Permaisuri   06- Sentuhan Yang Membakar

    Pagi itu, usai pertemuan dengan para selir, Isabella memilih berdiam di kamarnya. Hari ini, Tabib Ethan akan datang kembali, sesuai janji mereka kemarin.Di meja telah tersusun hidangan ringan, lengkap dengan teh peony kesukaannya.Sambil menanti, Isabella menyibukkan diri dengan menyulam. Jarum dan benang menari di antara jemarinya yang lentik, menenangkan pikirannya yang masih gelisah. “Sepertinya Anda sedang sibuk, Permaisuri?”Suara itu terdengar lembut namun tiba-tiba, membuat Isabella menoleh. Di sana, berdiri Ethan dengan pakaian rapi — kemeja putih bersih berbalut rompi hitam yang menegaskan bahunya yang tegap.“Kau sudah datang?” ucap Isabella, mencoba menutupi senyum kagumnya.Namun Ethan justru menatapnya tajam. “Wajah Anda tampak sembab, Permaisuri.”Isabella sontak tertegun. Padahal ia sudah menutup bekas tangisan semalam dengan riasan cukup tebal, tapi tampaknya mata Ethan terlalu jeli untuk tertipu.“Malamku berakhir berantakan lagi,” lirih Isabella, meletakkan sulaman

  • Di Balik Tirai Permaisuri   05- Malam Yang Kembali Membiru

    Malam itu, Isabella mengenakan pakaian baru—gaun tidur tipis berwarna merah, yang sebelumnya dibelikan oleh Lusi atas perintahnya sendiri. Rambutnya yang bergelombang ia biarkan terurai, memantulkan cahaya lentera yang temaram. Sejak tadi, senyum bahagia tak henti menghiasi wajahnya. Ethan benar-benar tabib yang sakti; hanya dengan satu kali perawatan, ia sudah merasa sembuh. Namun, demi memastikan keadaannya benar-benar pulih, Ethan berjanji akan datang lagi besok. “Kaisar Julius telah tiba,” suara pengawal dari balik pintu membuyarkan lamunan Isabella di depan cermin. “Suamiku?” sambutnya dengan wajah berbinar. Kaisar masuk dengan ekspresi datar. Tanpa ragu, Isabella segera bangkit dan membuka jubah luarnya. “Kau terlihat begitu senang,” ujar Julius singkat. “Karena malam ini aku akan menjadi istri yang sempurna untukmu,” jawab Isabella riang, tak peduli pada sikap dingin suaminya. Ia yakin, setelah malam ini, hati Julius akan luluh dan berubah. “Kalau begitu, biarkan aku y

  • Di Balik Tirai Permaisuri   04-Sentuhan Pertama

    Mereka bertiga akhirnya tiba di kamar Permaisuri. Ibu Suri memilih meninggalkan ruangan terlebih dahulu, memberikan ruang bagi Isabella dan sang tabib untuk berbicara berdua.“Perkenalkan dirimu,” ucap Isabella agak canggung. Ini pertama kalinya ia berada dalam satu ruangan dengan pria lain selain suaminya.“Nama saya Ethan,” jawab tabib itu singkat.Isabella mengernyit. Perkenalan yang terlalu singkat, pikirnya.“Sebelumnya, bisakah kau mendongak? Aku kesulitan melihat wajahmu yang terus menunduk sejak tadi,” ujarnya akhirnya.Ethan pun mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Seketika, udara di sekitar mereka berubah—seolah waktu berhenti. Isabella terpaku pada sepasang mata tenang itu.“Tampan…” bisik hatinya.Ia selalu mengira Kaisar adalah lelaki tertampan di kekaisaran ini, tapi ternyata ada seseorang dengan wajah yang jauh lebih lembut… dan menenangkan.“Permaisuri?” panggil Ethan, membuyarkan lamunannya.“Ah, maaf… aku hanya sedikit terkejut,” ucap Isabella tergagap. Ethan

  • Di Balik Tirai Permaisuri   03- Tabib Dari Kuil Havana

    Isabella datang ke kediaman Ibu Suri bersama Lusi. Di taman, tampak Ibu Suri sedang menikmati teh sore. Namun ternyata beliau tidak sendirian — di seberang mejanya duduk sang Kaisar, entah sejak kapan berada di sana."Salam hormat kepada Ibu Suri, salam hormat kepada Kaisar. Semoga kesejahteraan senantiasa menyertai kalian," ucap Isabella sopan sambil menunduk."Duduklah, Permaisuri," perintah Ibu Suri dengan senyum lembut.Isabella duduk di kursi yang tersisa. Meja bulat di tengah taman itu hanya memiliki tiga kursi, melambangkan kedekatan yang tidak bisa dihindari.“Tampilanmu berubah begitu cepat,” komentar Kaisar sambil menilik penampilan Isabella dari atas ke bawah.“Maafkan aku, Suamiku,” ucap Isabella lirih, mengingat kejadian semalam.“Jangan panggil aku Suamiku di luar,” tekan Kaisar dingin.Isabella menunduk, hanya mengangguk pelan.“Sudahlah, jangan terlalu kaku pada Isabella,” sela Ibu Suri menengahi. “Dia tetap istrimu, tidak salah kalau memanggil suaminya sendiri.”“Istr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status