LOGIN"Ethan…"
"Kenapa bukan Kaisar yang seperti itu?" lirih Isabella. "Ya? Anda mengatakan apa, Permaisuri?" Ethan tidak terlalu mendengar karena kekhawatirannya, terlebih suara Isabella sangat begitu pelan. Isabella tersenyum miris menatap Ethan. Ia tidak menjawab apa pun dan hanya menggeleng lemah. "Sepertinya Anda butuh istirahat, Permaisuri. Tenaga Anda terkuras," ucap Ethan lembut. "Tadi kau sempat bicara tidak formal padaku… bicaralah seperti tadi. Aku lebih suka begitu," sahut Isabella pelan. Ethan tidak langsung menjawab, hanya menatap Isabella dalam-dalam. Entah kenapa, seolah ia bisa menyelami setiap perasaan wanita itu hanya dari raut wajahnya. Ada kesedihan besar—tersembunyi, tetapi jelas terasa. "Ethan…" Ethan mengerjap, tersadar dari lamunan. "Anda istirahat dulu. Biar saya memikirkan apa sebenarnya yang terjadi pada Anda. Kesimpulannya… Anda akan membiru jika disentuh oleh lawan jenis selain saya ." Isabella menghela napas tipis. "Kau sudah mau pergi?" Belum sempat Ethan menjawab, Lusi mengetuk dari luar. "Yang Mulia, Ibu Suri meminta untuk makan siang besar, dan mengajak tabib ikut serta," seru Lusi. Makan siang besar adalah jamuan keluarga istana. Biasanya makan siang dilakukan masing-masing, dan hanya pada saat-saat tertentu—seperti penyambutan tamu penting, perintah Kaisar, atau keinginan Ibu Suri—semua berkumpul. Meski kedudukannya tinggi, Isabella tidak pernah memerintahkan jamuan besar; ia sadar kehadirannya tidak begitu disukai di istana. "Yang Mulia? Boleh saya masuk?" panggil Lusi lagi. Ethan yang melihat Isabella diam saja segera bangkit dan membuka pintu. "Yang Mulia, Anda kenapa?" Lusi buru-buru menghampiri Isabella, wajahnya khawatir. Tubuh Isabella tidak lagi membiru, hanya ada sisa peluh di pelipis yang mulai mengering. "Aku lelah…" jawab Isabella sambil tersenyum samar. "Apa boleh aku tidak ikut makan siang?" Isabella memang tidak suka keramaian. Biasanya, semua berakhir dengan obrolan yang menyinggung penyakitnya. "Masih ada sekitar satu jam sebelum makan siang, Yang Mulia. Ibu Suri memerintahkan Anda beristirahat dulu jika lelah, tapi tetap… mewajibkan Anda hadir," jelas Lusi, tampak prihatin. Sebenarnya Lusi berharap Isabella tidak ikut, tetapi ia hanya dayang—yang tak bisa melawan perintah. Ethan memperhatikan keduanya. Ia menghela napas panjang, lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya—sebuah kotak kecil coklat tua. Ia menyerahkannya pada Isabella. "Berbaringlah sebentar, Permaisuri. Minum obat ini. Itu akan memulihkan tenaga Anda sebelum jamuan berlangsung." Isabella menerima kotak itu dan membukanya. Ada beberapa pil bulat kecil di dalamnya. "Terima kasih, Ethan." Isabella tersenyum tulus. Deg. Ethan terpaku. Seumur hidup, ia bertemu banyak wanita cantik—bangsawan, rakyat biasa, semua. Namun tidak satupun membuatnya tergoda. Ia seperti mati rasa, makanya ia dipilih langsung oleh ketua Kuil Havana sebagai tabib agung terbaik. Tapi sekarang… hatinya berdesir hanya karena senyum Isabella. Dibalik penderitaannya, dia masih bisa memberi senyum yang begitu indah… batin Ethan. "Sama-sama, Permaisuri." Ethan mengangguk canggung, akhirnya sadar dari ketertarikannya. Ia mohon diri untuk keluar dari kamar Isabella dan berniat menemui Ibu Suri. --- Isabella berjalan agak tergesa menuju ruang makan yang berada di tengah istana utama. Meski ia Permaisuri, ia tidak tinggal di istana utama, melainkan di Paviliun Mentari. Paviliun Mentari memang dekat, tapi tetap menunjukkan kedudukannya yang… tidak sepenting seharusnya. Pada masa Kaisar terdahulu, Permaisuri selalu tinggal di istana utama. "Pelan-pelan, Yang Mulia," ucap Lusi yang mengikuti di belakang. "Aku rasa kita terlambat, Lusi. Aku tidak mau Kaisar marah." Setelah meminum pil dari Ethan, rasa kantuknya datang begitu cepat, membuatnya tidur sangat nyenyak meski hanya satu jam. "Ada Ibu Suri di sana. Kaisar tidak akan memarahi Anda," hibur Lusi. Isabella tidak menghiraukan dan tetap mempercepat langkahnya. "Yang Mulia, Anda bisa terjatuh jika begitu cepat." Isabella akhirnya berhenti. Ia menyingsing sedikit bagian bawah gaunnya yang panjang dan berjalan lebih pelan. Ia ingat betul pernah terjatuh karena mengejar langkah Kaisar… dan Kaisar tidak membantunya. Hal itu menjadi bahan ejekan, meski Isabella tetap berusaha memaklumi—menyalahkan penyakitnya sendiri. --- Isabella memasuki ruang makan utama. Dua pengawal di depan pintu mengangguk hormat, lalu mengumumkan kedatangannya dan mempersilakan masuk. Dengan anggun ia melangkah. Di meja makan, semua orang sudah berkumpul: Kaisar, Ibu Suri, Ethan, dan ketiga selir. Kaisar duduk di kursi tunggal. Di sampingnya Ibu Suri, lalu kursi kosong untuk Permaisuri. Ethan duduk di sisi lain, berdekatan dengan Ibu Suri. Para pelayan berbaris rapi di belakang meja, siap melayani. "Sepertinya kau menganggap waktuku tidak berharga sampai berani membuatku menunggu," suara Julius yang sarkastis langsung menyambut kedatangannya. Isabella menggenggam erat sisi gaunnya. Baru saja duduk, ia sudah disindir. "Julius," Ibu Suri menggeram pelan, memperingatkan. "Maaf… aku tadi kelelahan," jawab Isabella pelan. "Memangnya Anda selesai melakukan kegiatan apa, Yang Mulia?" Selir Ivony menyela, memperkeruh suasana. Isabella menatap Ivony tajam. Pandangan mereka bertemu—dan Isabella menangkap seringai kecil di bibir wanita itu. "Apa—" "Sepertinya tidak pantas seorang selir meragukan ucapan Permaisuri." Bukan Isabella, bukan Ibu Suri. Itu Ethan. "Kau—" Ivony hendak membalas, tapi Ibu Suri mengangkat tangan, menginterupsi. "Berhenti membuat keributan di meja makan." Keheningan kembali turun, tapi Julius masih melemparkan duri. "Lihat? Dirimu selalu jadi pemicu masalah," ucap Kaisar sinis. Isabella menatapnya penuh ketidakpercayaan—apakah ia tidak bisa menahan diri barang sebentar? "Lain kali, coba lebih disiplin. Sadari posisimu. Jangan ceroboh," tekan Kaisar lagi. Wajah Isabella memanas. Ia benar-benar kehilangan muka sekarang. Di hadapan selir… dan di hadapan Ethan. "Maaf menyela, Yang Mulia. Tadi Permaisuri sempat tidak sadarkan diri. Saya yang memberinya obat," ucap Ethan, tenang namun tegas. Semua tatapan tertuju padanya. Isabella menahan napas. Kenapa Ethan membelaku? Dengan takut-takut ia menoleh ke Kaisar. Benar saja—wajah Julius memerah menahan amarah. "Kau—" "Kaisar, hentikan!" Ibu Suri menatap putranya tajam. Julius mendengus keras lalu membuang muka. "Kita mulai makan siangnya," ucap Kaisar akhirnya, berusaha menguasai diri.Makan siang berlangsung cepat, namun terasa panjang dan menyesakkan. Suasananya memanas, dipenuhi aura kemarahan Kaisar yang begitu kuat hingga udara di sekitar meja makan seperti menekan. Terlebih untuk Isabella, setiap suapan terasa sulit turun ke tenggorokan. Dadanya sesak.Julius paling tidak suka dibantah, tapi karena tadi sempat ditegur Ibu Suri, ia memilih menahan diri. Namun Isabella sangat tahu—diamnya kaisar bukanlah tanda mereda, melainkan badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak."Ethan… kamu cari mati…" batin Isabella menegang. Hatinya menjerit khawatir, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada tabib itu.“Aku selesai. Kalian bisa lanjutkan makanan kalian.”Kaisar bangkit sambil mengelap bibirnya, gerakannya dingin dan angkuh.Semua yang ada di meja mengangguk, menjaga sopan santun.“Dan kamu—selesaikan pekerjaanmu lalu cepat kembali. Jangan menganggap istana seperti rumahmu.” Tatapan Julius menancap lurus pada Ethan.“Yang Mulia tidak perlu khawatir,” Ethan m
"Ethan…""Kenapa bukan Kaisar yang seperti itu?" lirih Isabella."Ya? Anda mengatakan apa, Permaisuri?" Ethan tidak terlalu mendengar karena kekhawatirannya, terlebih suara Isabella sangat begitu pelan.Isabella tersenyum miris menatap Ethan. Ia tidak menjawab apa pun dan hanya menggeleng lemah."Sepertinya Anda butuh istirahat, Permaisuri. Tenaga Anda terkuras," ucap Ethan lembut."Tadi kau sempat bicara tidak formal padaku… bicaralah seperti tadi. Aku lebih suka begitu," sahut Isabella pelan.Ethan tidak langsung menjawab, hanya menatap Isabella dalam-dalam. Entah kenapa, seolah ia bisa menyelami setiap perasaan wanita itu hanya dari raut wajahnya. Ada kesedihan besar—tersembunyi, tetapi jelas terasa."Ethan…"Ethan mengerjap, tersadar dari lamunan."Anda istirahat dulu. Biar saya memikirkan apa sebenarnya yang terjadi pada Anda. Kesimpulannya… Anda akan membiru jika disentuh oleh lawan jenis selain saya ."Isabella menghela napas tipis."Kau sudah mau pergi?"Belum sempat Ethan men
Pagi itu, usai pertemuan dengan para selir, Isabella memilih berdiam di kamarnya. Hari ini, Tabib Ethan akan datang kembali, sesuai janji mereka kemarin.Di meja telah tersusun hidangan ringan, lengkap dengan teh peony kesukaannya.Sambil menanti, Isabella menyibukkan diri dengan menyulam. Jarum dan benang menari di antara jemarinya yang lentik, menenangkan pikirannya yang masih gelisah. “Sepertinya Anda sedang sibuk, Permaisuri?”Suara itu terdengar lembut namun tiba-tiba, membuat Isabella menoleh. Di sana, berdiri Ethan dengan pakaian rapi — kemeja putih bersih berbalut rompi hitam yang menegaskan bahunya yang tegap.“Kau sudah datang?” ucap Isabella, mencoba menutupi senyum kagumnya.Namun Ethan justru menatapnya tajam. “Wajah Anda tampak sembab, Permaisuri.”Isabella sontak tertegun. Padahal ia sudah menutup bekas tangisan semalam dengan riasan cukup tebal, tapi tampaknya mata Ethan terlalu jeli untuk tertipu.“Malamku berakhir berantakan lagi,” lirih Isabella, meletakkan sulaman
Malam itu, Isabella mengenakan pakaian baru—gaun tidur tipis berwarna merah, yang sebelumnya dibelikan oleh Lusi atas perintahnya sendiri. Rambutnya yang bergelombang ia biarkan terurai, memantulkan cahaya lentera yang temaram. Sejak tadi, senyum bahagia tak henti menghiasi wajahnya. Ethan benar-benar tabib yang sakti; hanya dengan satu kali perawatan, ia sudah merasa sembuh. Namun, demi memastikan keadaannya benar-benar pulih, Ethan berjanji akan datang lagi besok. “Kaisar Julius telah tiba,” suara pengawal dari balik pintu membuyarkan lamunan Isabella di depan cermin. “Suamiku?” sambutnya dengan wajah berbinar. Kaisar masuk dengan ekspresi datar. Tanpa ragu, Isabella segera bangkit dan membuka jubah luarnya. “Kau terlihat begitu senang,” ujar Julius singkat. “Karena malam ini aku akan menjadi istri yang sempurna untukmu,” jawab Isabella riang, tak peduli pada sikap dingin suaminya. Ia yakin, setelah malam ini, hati Julius akan luluh dan berubah. “Kalau begitu, biarkan aku y
Mereka bertiga akhirnya tiba di kamar Permaisuri. Ibu Suri memilih meninggalkan ruangan terlebih dahulu, memberikan ruang bagi Isabella dan sang tabib untuk berbicara berdua.“Perkenalkan dirimu,” ucap Isabella agak canggung. Ini pertama kalinya ia berada dalam satu ruangan dengan pria lain selain suaminya.“Nama saya Ethan,” jawab tabib itu singkat.Isabella mengernyit. Perkenalan yang terlalu singkat, pikirnya.“Sebelumnya, bisakah kau mendongak? Aku kesulitan melihat wajahmu yang terus menunduk sejak tadi,” ujarnya akhirnya.Ethan pun mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Seketika, udara di sekitar mereka berubah—seolah waktu berhenti. Isabella terpaku pada sepasang mata tenang itu.“Tampan…” bisik hatinya.Ia selalu mengira Kaisar adalah lelaki tertampan di kekaisaran ini, tapi ternyata ada seseorang dengan wajah yang jauh lebih lembut… dan menenangkan.“Permaisuri?” panggil Ethan, membuyarkan lamunannya.“Ah, maaf… aku hanya sedikit terkejut,” ucap Isabella tergagap. Ethan
Isabella datang ke kediaman Ibu Suri bersama Lusi. Di taman, tampak Ibu Suri sedang menikmati teh sore. Namun ternyata beliau tidak sendirian — di seberang mejanya duduk sang Kaisar, entah sejak kapan berada di sana."Salam hormat kepada Ibu Suri, salam hormat kepada Kaisar. Semoga kesejahteraan senantiasa menyertai kalian," ucap Isabella sopan sambil menunduk."Duduklah, Permaisuri," perintah Ibu Suri dengan senyum lembut.Isabella duduk di kursi yang tersisa. Meja bulat di tengah taman itu hanya memiliki tiga kursi, melambangkan kedekatan yang tidak bisa dihindari.“Tampilanmu berubah begitu cepat,” komentar Kaisar sambil menilik penampilan Isabella dari atas ke bawah.“Maafkan aku, Suamiku,” ucap Isabella lirih, mengingat kejadian semalam.“Jangan panggil aku Suamiku di luar,” tekan Kaisar dingin.Isabella menunduk, hanya mengangguk pelan.“Sudahlah, jangan terlalu kaku pada Isabella,” sela Ibu Suri menengahi. “Dia tetap istrimu, tidak salah kalau memanggil suaminya sendiri.”“Istr







