Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Maria duduk di ruang tamu rumahnya, dikelilingi oleh keheningan yang berat. Di luar, hanya suara angin malam yang berdesir di antara dedaunan. Namun, di dalam pikirannya, ribuan skenario mengerikan terus bermain. Wajah Putri dan Arif—wajah anak-anaknya yang polos—terus membayang di benaknya, bersanding dengan senyum dingin Rizal dan ancaman yang kini terasa semakin dekat.
Di ponselnya, pesan dari Rizal masih terpampang di layar: “Anak-anakmu terlihat manis, ya?” Pesan itu disertai dengan gambar Putri dan Arif, diambil dari luar jendela ruang tamu. Mereka sedang bermain bersama Dewi, tampak ceria dan tanpa beban. Tetapi bagi Maria, gambar itu adalah pengingat bahwa tidak ada tempat aman. Rizal tidak hanya ingin mengancam; ia ingin menghancurkan setiap kepingan rasa aman yang tersisa di hidup Maria.
Maria menggenggam ponselnya erat, matanya menyala oleh amarah. Namun, di balik kemarahan itu, ada ketakutan yang dalam. Bukan untuk dirinya, tetapi untuk anak-anaknya. Mereka tidak pantas hidup seperti ini, di bawah bayang-bayang ancaman yang terus menghantui setiap detik.
Ketika Maria akhirnya mencoba tidur malam itu, mimpi buruk menghantamnya. Dalam mimpinya, Rizal berdiri di depan pintu rumahnya, tersenyum seperti yang selalu ia lakukan di masa lalu—senyum yang dulu tampak hangat tetapi kini terasa seperti ancaman dingin. Dalam mimpi itu, ia mendengar suara pintu terbuka, lalu langkah kaki Rizal yang berat memenuhi lorong. Ia mencoba berteriak, mencoba melindungi anak-anaknya, tetapi suaranya tidak keluar. Tubuhnya seperti terkunci, tak mampu bergerak.
Ketika ia akhirnya terbangun, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Ia menatap sekeliling kamar, memastikan semuanya aman. Tetapi meskipun kamar itu kosong, perasaan terancam tetap menempel di kulitnya.
Keesokan paginya, Maria pergi ke kantor polisi dengan perasaan putus asa yang semakin dalam. Ia membawa ponselnya dan menunjukkan pesan ancaman yang dikirim Rizal kepada Inspektur Farhan. Saat Farhan membaca pesan itu, rahangnya mengencang. Ia menatap Maria dengan pandangan penuh keprihatinan.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Farhan akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh tekad. “Kami akan meningkatkan pengawasan di sekitar rumah Anda. Dan kami akan mencoba melacak pengirim pesan ini, meskipun saya yakin dia menggunakan metode yang sulit dilacak.”
Maria mengangguk pelan, meskipun hatinya tidak sepenuhnya tenang. Ia sudah kehilangan kepercayaan pada sistem. Rizal selalu selangkah di depan. “Pengawasan tidak akan menghentikan dia,” kata Maria, suaranya hampir berbisik. “Dia selalu tahu cara untuk masuk. Dia selalu tahu cara membuatku merasa tidak berdaya.”
Farhan terdiam sejenak, lalu meletakkan tangannya di atas meja, menatap Maria dengan serius. “Dengar, Bu Maria. Saya tahu ini sulit, tetapi Anda harus percaya bahwa kami sedang melakukan segalanya untuk melindungi Anda dan anak-anak Anda. Tapi saya butuh kerja sama Anda. Kalau Anda tahu sesuatu, apa pun, segera beri tahu kami.”
Maria menatap Farhan, matanya dipenuhi rasa frustrasi yang sulit dijelaskan. “Kalau saya tahu sesuatu,” katanya dengan suara rendah, “saya tidak akan duduk di sini meminta bantuan.”
Farhan mengangguk, meskipun ia tahu jawaban itu datang dari tempat yang penuh keputusasaan. “Kami akan melakukan yang terbaik,” katanya akhirnya. “Tapi Anda juga harus menjaga diri Anda. Jangan biarkan dia membuat Anda kehilangan keseimbangan.”
Malam itu, Maria duduk di ruang tamu bersama Dewi. Anak-anaknya sudah tidur, tetapi Maria tahu bahwa mereka mulai merasakan ketegangan yang menyelimuti rumah ini. Putri, meskipun tidak pernah mengatakannya, sering memeluk Maria lebih erat dari biasanya. Arif, yang biasanya ceria, mulai sering bertanya apakah mereka aman. Maria merasa bersalah. Ia adalah ibu mereka, tetapi ia tidak bisa memberikan rasa aman yang seharusnya menjadi hak mereka.
“Maria,” kata Dewi, memecah keheningan. “Kau harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Kau melakukan yang terbaik untuk melindungi mereka.”
Maria menatap Dewi dengan mata yang lelah. “Mereka seharusnya tidak hidup seperti ini, Dewi,” katanya. “Mereka seharusnya bermain dengan bebas, merasa aman di rumah mereka sendiri. Tapi sekarang? Bahkan di rumah ini, mereka tidak aman.”
Dewi meraih tangan Maria, menggenggamnya erat. “Kau kuat, Maria. Dan aku di sini bersamamu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama.”
Maria mengangguk, meskipun hatinya masih berat. Ia tahu Dewi tulus, tetapi ia juga tahu bahwa ancaman ini bukan sesuatu yang bisa diatasi hanya dengan kekuatan hati. Rizal tidak akan berhenti sampai ia menghancurkan segalanya.
Malam itu, kamera pengintai yang dipasang polisi menangkap gambar seseorang di halaman belakang rumah Maria. Sosok itu bergerak perlahan di antara bayangan, mencoba menghindari deteksi. Tetapi kamera itu terus merekam, menangkap setiap gerakannya. Ketika polisi tiba beberapa menit kemudian, orang itu sudah menghilang, meninggalkan jejak langkah di tanah basah.
Maria diberitahu tentang kejadian itu keesokan paginya oleh Farhan. “Kami tidak bisa mengenali wajahnya,” kata Farhan, menunjukkan rekaman itu kepada Maria. “Tapi jelas ini adalah bagian dari ancaman yang Anda hadapi.”
Maria menonton rekaman itu dengan rahang mengeras. Sosok itu tidak terlihat seperti Rizal, tetapi cara bergeraknya—tenang, percaya diri—mengingatkannya pada metode yang Rizal selalu gunakan. “Dia menyewa orang,” gumam Maria, suaranya penuh dengan rasa jijik. “Dia tidak punya keberanian untuk melakukannya sendiri.”
Farhan menatap Maria dengan penuh simpati. “Kami akan meningkatkan pengamanan, Bu Maria. Tapi saya perlu Anda tetap waspada. Jangan ragu untuk menelepon kami jika Anda melihat sesuatu yang mencurigakan.”
Maria tidak menjawab. Ia hanya menatap layar itu, matanya penuh dengan tekad yang mulai membara. Ia tahu bahwa ini belum berakhir—jauh dari kata berakhir. Tetapi satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak akan membiarkan Rizal menang.
Malam berikutnya, Maria menemukan pintu belakang rumahnya sedikit terbuka. Padahal ia yakin telah menguncinya dengan gembok tambahan. Di lantai dekat pintu, ada sebuah amplop putih. Di dalamnya, hanya ada satu foto: Putri dan Arif sedang tidur di kamar mereka, diambil dari sudut yang hanya bisa dicapai oleh seseorang yang pernah masuk ke dalam rumah. Maria tahu ini bukan sekadar ancaman—ini adalah peringatan bahwa mereka selalu selangkah lebih dekat.
Maria berdiri di depan pintu belakang rumahnya yang sedikit terbuka, tubuhnya kaku seperti patung. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya, tetapi ia hampir tidak merasakannya. Di tangannya, amplop putih itu gemetar, seolah-olah benda kecil itu menyimpan kengerian yang jauh lebih besar dari sekadar ancaman biasa.
Di dalam amplop itu, foto Putri dan Arif tertidur lelap di kamar mereka terlihat begitu damai, tidak tahu bahwa ada mata yang mengintai mereka dari kegelapan. Maria menatap foto itu dengan perasaan campur aduk antara kemarahan dan ketakutan. Seseorang telah masuk ke rumahnya—ke ruang paling pribadi yang seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi anak-anaknya.
Maria menggenggam foto itu erat-erat, air matanya menggenang, tetapi ia tidak membiarkan tangisnya pecah. Ia tahu, ini bukan saatnya untuk menunjukkan kelemahan. Ia harus tetap kuat, tidak peduli seberapa berat beban ini.
Keesokan paginya, Maria pergi ke kantor polisi dengan amplop itu di tangannya. Farhan menunggunya di ruang kerjanya, ekspresinya berubah menjadi tegang saat Maria menunjukkan foto itu.
“Mereka sudah masuk ke rumah saya,” kata Maria, suaranya penuh dengan rasa marah yang tertahan. “Mereka masuk, mengambil foto anak-anak saya, lalu meninggalkan ini. Apa lagi yang Anda butuhkan untuk bertindak?”
Farhan menatap foto itu dengan rahang mengeras. “Ini eskalasi, Bu Maria,” katanya, suaranya rendah tetapi tegas. “Mereka tidak hanya ingin mengintimidasi Anda—mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bisa menyentuh Anda kapan saja.”
“Saya sudah tahu itu!” Maria memotong, suaranya penuh dengan frustrasi. “Tapi bagaimana Anda akan menghentikan mereka? Apa yang akan Anda lakukan?”
Farhan terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kami sudah memeriksa rekaman kamera semalam, tetapi wajah pelakunya tidak terlihat jelas. Kami akan mencoba menganalisis lebih jauh, tetapi saya ingin Anda tahu bahwa kami akan meningkatkan pengamanan di rumah Anda. Kami tidak akan membiarkan ini terus terjadi.”
Maria menatap Farhan, matanya penuh dengan kelelahan. “Pengamanan tidak cukup,” katanya. “Mereka tahu cara masuk, cara membuat saya merasa tidak berdaya. Saya butuh lebih dari sekadar janji.”
Farhan mendekat, menatap Maria dengan serius. “Saya mengerti Anda merasa dikepung, Bu Maria. Tapi Anda tidak sendirian. Kami akan menangkap mereka. Kami hanya butuh waktu.”
Maria ingin mempercayai kata-kata itu, tetapi bagian dalam dirinya menolak. Rizal selalu satu langkah di depan, selalu tahu cara menghindari keadilan. Waktu adalah sesuatu yang tidak ia miliki.
Malam itu, Maria merasa seperti seorang tahanan di rumahnya sendiri. Polisi telah memasang lebih banyak kamera pengintai dan bahkan menempatkan petugas di sekitar lingkungan, tetapi Maria tidak merasa lebih aman. Ia memeriksa setiap pintu dan jendela tiga kali sebelum tidur, tetapi rasa gelisah tidak kunjung hilang.
Ketika akhirnya ia memaksakan diri untuk tidur, mimpi buruk kembali menghantuinya. Dalam mimpinya, Rizal berdiri di tengah ruang tamu rumahnya, memandangi Putri dan Arif dengan senyum yang dingin. Ia memanggil nama Maria dengan nada lembut tetapi penuh ancaman, seolah-olah ia sedang berbicara dengan seseorang yang sudah ia kuasai sepenuhnya.
Maria terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat. Ia menatap sekeliling kamar, memastikan semuanya aman. Tetapi meskipun tidak ada apa-apa di sana, ia tidak bisa menenangkan dirinya. Rasa takut itu terus menghantuinya, seperti bayangan yang tidak bisa dihilangkan.
Dewi datang ke rumah keesokan paginya, membawa sarapan untuk Maria dan anak-anaknya. Tetapi ketika ia melihat wajah Maria, ia tahu sesuatu telah terjadi.
“Maria, ada apa?” tanya Dewi, duduk di meja dapur sambil menatap temannya dengan cemas.
Maria menyerahkan amplop itu kepada Dewi tanpa berkata apa-apa. Dewi membuka amplop itu, dan ketika ia melihat foto itu, wajahnya langsung memucat. “Mereka… mereka masuk ke rumah ini?” bisiknya, suaranya nyaris hilang.
Maria mengangguk, menatap cangkir kopi di tangannya. “Mereka masuk tanpa suara, tanpa meninggalkan jejak. Dan mereka pergi dengan pesan bahwa mereka bisa melakukannya kapan saja.”
Dewi menggenggam tangan Maria erat-erat. “Kita harus melakukan sesuatu. Ini tidak bisa terus seperti ini.”
“Apa yang bisa kita lakukan?” Maria bertanya, suaranya penuh dengan keputusasaan. “Polisi tidak bisa menghentikan mereka. Rizal selalu selangkah di depan. Aku mencoba melawan, Dewi, tapi aku merasa seperti memukul bayangan.”
Dewi menatap Maria dengan mata yang berkaca-kaca. “Kau lebih kuat dari yang kau pikirkan, Maria,” katanya. “Kau sudah melalui begitu banyak, dan kau masih berdiri. Rizal ingin kau menyerah, tapi kau tidak boleh memberinya kepuasan itu.”
Maria ingin percaya pada kata-kata itu, tetapi ketakutan terus mencengkeramnya. Ia tahu Dewi benar, tetapi bagian dalam dirinya merasa lelah, seolah-olah ia sedang menghadapi perang yang tidak mungkin dimenangkan.
Malam itu, Maria duduk di ruang tamu, memandang layar laptopnya. Ia memutar ulang rekaman dari kamera pengintai yang dipasang polisi, mencoba menemukan sesuatu yang bisa memberinya petunjuk. Tetapi wajah pelaku tetap tidak jelas, dan setiap detik yang berlalu hanya menambah rasa frustrasi.
Ketika jam menunjukkan pukul dua pagi, sensor gerak di kamera belakang berbunyi. Maria langsung melihat layar, dan jantungnya berhenti sejenak. Sosok itu kembali. Kali ini, dia berdiri di tengah halaman, menatap langsung ke kamera, seolah-olah tahu bahwa Maria sedang melihatnya.
Sosok itu berdiri diam selama beberapa detik sebelum mengangkat tangannya. Dalam cahaya redup, Maria melihat bahwa ia memegang sebuah ponsel. Sosok itu mengetik sesuatu, dan beberapa detik kemudian, ponsel Maria bergetar.
Maria meraih ponselnya dengan tangan gemetar. Sebuah pesan muncul di layar: “Kau tahu aku selalu dekat, Maria. Tapi kali ini, aku lebih dekat dari yang kau kira.”
Maria menatap layar itu dengan napas yang terhenti. Ia menoleh ke arah kamar anak-anaknya, lalu kembali ke layar laptopnya. Sosok itu sudah tidak ada, tetapi pesan itu tetap membakar pikirannya. Maria tahu, waktu terus berjalan, dan ancaman ini semakin nyata.
Maria tetap terpaku di depan layar laptop, tatapannya kosong, tetapi pikirannya bergerak liar. Pesan itu—“Kau tahu aku selalu dekat, Maria. Tapi kali ini, aku lebih dekat dari yang kau kira.”—bergetar di benaknya seperti ancaman yang tidak bisa diabaikan. Ia merasakan napasnya semakin berat, tetapi ia tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam ketakutan. Tidak malam ini.
Ia beranjak dari kursinya, memastikan pintu belakang terkunci dengan gembok tambahan yang baru ia pasang beberapa hari lalu. Setelah itu, ia menuju kamar anak-anaknya. Maria membuka pintu dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang bisa membangunkan mereka. Di dalam, Putri dan Arif tertidur lelap, wajah mereka terlihat begitu damai. Tetapi bagi Maria, itu justru memperparah rasa bersalah yang terus menghantam hatinya. Mereka tidak tahu apa yang mengintai dari luar, dan Maria bersumpah untuk tidak membiarkan ancaman itu menyentuh mereka.
Pagi harinya, Maria kembali ke kantor polisi. Ia membawa ponselnya, menunjukkan pesan yang baru saja ia terima kepada Inspektur Farhan. Kali ini, wajah Farhan tidak lagi menunjukkan keraguan. Ia tahu ancaman ini telah melampaui batas.
“Ini eskalasi yang serius,” kata Farhan dengan suara rendah, matanya menatap layar ponsel Maria. “Dia ingin memastikan Anda tahu bahwa dia mengendalikan situasi ini. Tapi saya tidak akan membiarkan itu terus terjadi.”
Maria menatap Farhan dengan tatapan lelah tetapi tajam. “Anda sudah mengatakan itu berkali-kali,” katanya, nadanya nyaris sinis. “Tapi dia masih di luar sana, dan dia semakin dekat. Dia ingin saya tahu bahwa dia bisa masuk kapan saja.”
Farhan terdiam, kemudian ia mengangguk pelan. “Kami akan memperkuat pengawasan, dan saya sendiri akan memimpin tim untuk menyelidiki ini. Tapi Anda juga harus mulai memikirkan langkah lain.”
“Langkah lain?” tanya Maria, matanya menyipit. “Seperti apa?”
Farhan menatapnya dengan penuh keseriusan. “Saya ingin Anda dan anak-anak Anda dipindahkan ke lokasi aman. Tempat perlindungan sementara, setidaknya sampai kami bisa menangkap pelaku.”
Maria tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suara itu. “Anda pikir tempat baru akan menghentikan dia? Dia selalu tahu di mana saya berada. Kalau saya pergi, itu hanya akan membuatnya lebih mudah untuk menyerang.”
Farhan menghela napas, frustrasi terlihat di wajahnya. “Maria, ini bukan hanya tentang Anda. Ini tentang anak-anak Anda juga. Anda harus memikirkan keselamatan mereka.”
Maria menatap Farhan, matanya mulai berkaca-kaca. “Saya tidak akan meninggalkan rumah saya,” katanya dengan suara yang bergetar. “Saya tidak akan membiarkan dia mengambil apa yang tersisa dari hidup saya.”
Farhan ingin membantah, tetapi ia tahu bahwa Maria telah membuat keputusan. Akhirnya, ia hanya berkata, “Kalau begitu, kami akan memastikan bahwa rumah Anda dijaga dengan baik. Tapi saya tetap ingin Anda mempertimbangkan opsi ini. Anda tidak bisa terus hidup seperti ini.”
Malam itu, Maria kembali memeriksa setiap pintu dan jendela sebelum tidur. Kamera-kamera pengintai yang dipasang polisi kini menutupi hampir setiap sudut rumahnya. Tetapi meskipun pengamanan diperketat, Maria tahu itu tidak cukup. Rizal bukan hanya ancaman fisik; ia adalah bayangan yang tahu cara membuat Maria merasa terjebak, tak berdaya.
Ketika malam semakin larut, Maria mendengar suara ketukan pelan di jendela ruang tamu. Ia membeku, tubuhnya terasa dingin seperti es. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati jendela itu, menggenggam pisau kecil yang selalu ia simpan di meja dapur.
Ketika ia menarik tirai perlahan, tidak ada siapa pun di luar. Hanya halaman yang gelap dan sunyi. Tetapi di kaca jendela, ia melihat sesuatu yang tidak ia perhatikan sebelumnya—jejak tangan kecil, seperti bekas seseorang yang menyentuh kaca itu dari luar.
Maria melangkah mundur, tubuhnya mulai gemetar. Ia tahu itu bukan jejak tangan anak-anaknya. Itu terlalu besar, terlalu asing. Dan lebih dari itu, itu adalah pesan bahwa Rizal atau seseorang yang bekerja untuknya telah berada di sana.
Ponselnya bergetar di meja, membuat Maria terlonjak. Ia meraihnya dengan cepat, dan sebuah pesan baru muncul di layar: “Aku menikmati melihatmu ketakutan, Maria. Tapi ini baru permulaan.”
Maria merasakan amarah yang mendidih dalam dirinya, mengalahkan rasa takut yang sebelumnya menghantuinya. Ia menggenggam ponsel itu erat, lalu menyalakan semua lampu di rumahnya, seperti ingin menunjukkan kepada Rizal bahwa ia tidak akan tunduk.
Keesokan paginya, Maria memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih berani. Ia menghubungi Laras, yang selama ini menjadi satu-satunya orang yang memahami apa yang ia hadapi.
“Laras,” kata Maria dengan suara rendah tetapi tegas, “aku tidak bisa menunggu lebih lama. Aku harus melawan.”
“Apa yang kau rencanakan?” tanya Laras, suaranya penuh dengan kekhawatiran.
Maria terdiam sejenak, lalu menjawab, “Aku akan memancing mereka keluar. Kalau Rizal atau orang-orangnya terus bermain di bayangan, aku tidak akan pernah bisa menghentikan ini. Tapi kalau aku membuat mereka muncul, aku bisa melawan.”
“Maria, itu berbahaya,” kata Laras dengan nada tajam. “Mereka bukan orang biasa. Kalau kau membuat mereka merasa terpojok, mereka akan menyerang balik dengan lebih keras.”
“Aku tidak peduli,” jawab Maria dengan suara penuh tekad. “Aku sudah cukup lama hidup dalam ketakutan. Kalau ini adalah perang, aku akan melawan.”
Laras terdiam di ujung telepon, tetapi akhirnya ia berkata, “Baik. Kalau itu keputusanmu, aku akan membantumu. Tapi kita harus melakukannya dengan hati-hati.”
Malam itu, Maria memposting pesan di media sosialnya, sebuah pesan yang sengaja ditujukan untuk Rizal: “Aku tidak akan lari. Kalau kau ingin aku, datanglah sendiri.” Beberapa jam kemudian, sebuah pesan balasan muncul, hanya berisi koordinat lokasi dan satu kalimat: “Kita akan lihat siapa yang bertahan, Maria.” Maria tahu bahwa waktunya telah tiba.
Maria memandangi pesan balasan yang baru saja muncul di ponselnya, gemetar antara rasa takut dan kemarahan. Koordinat lokasi yang diberikan hanya memperburuk ketegangan yang sudah lama merayap di tubuhnya. Kata-kata “Kita akan lihat siapa yang bertahan, Maria” terasa seperti tantangan yang tidak bisa ia abaikan. Rizal—atau siapa pun yang mewakili Lingkaran Hitam—telah memutuskan bahwa inilah saatnya untuk bermain habis-habisan.
Malam itu, Maria duduk di ruang tamu, memeriksa setiap sudut rumahnya sekali lagi, meskipun ia tahu bahwa pengamanan yang dipasang polisi sudah cukup kuat. Kamera pengintai, sensor gerak, bahkan penjagaan malam—semua sudah diatur untuk memastikan keamanan, tetapi Maria tahu bahwa tidak ada yang benar-benar bisa menjamin keselamatan mereka. Kepercayaan pada sistem mulai rapuh. Ia merasa semakin terperangkap, seperti burung yang dipenjara dalam sangkar emas. Ia mungkin memiliki keamanan, tetapi harga untuk itu adalah rasa ketidaknyamanan yang semakin dalam.
Ponselnya bergetar sekali lagi. Itu adalah pesan dari Laras: “Aku tahu kau siap, tetapi kita harus berhati-hati. Ini lebih besar dari apa yang kita pikirkan. Aku akan siap di sana. Jangan pergi sendirian.”
Maria membalas dengan cepat, “Aku akan pergi. Aku tidak bisa terus bersembunyi.”
Keesokan harinya, Maria melangkah keluar dari rumah dengan langkah yang berat, tetapi pasti. Dengan pakaian hitam dan wajah yang dipenuhi tekad, ia mengemudi menuju lokasi yang tertera di koordinat pesan Rizal. Jalanan semakin gelap, dan malam mulai turun lebih cepat dari biasanya. Setiap langkah yang ia ambil menuju tempat itu semakin terasa seperti langkah ke dalam kegelapan yang tak terhindarkan. Namun, meskipun rasa takut mulai merayap, ia menepisnya. Tidak ada pilihan lain.
Selama perjalanan, Maria terus memikirkan semua yang telah terjadi—Rizal, Lingkaran Hitam, dan ancaman yang semakin nyata. Di dalam mobil, hanya suara mesin yang terdengar, menambah kesunyian yang menekan dada. Di luar jendela, dunia terasa semakin jauh, seperti sebuah kenangan yang kabur dan tak dapat dijangkau. Apa pun yang menunggu di depan, Maria tahu bahwa ia harus menghadapinya. Untuk anak-anaknya, untuk dirinya sendiri. Tidak ada jalan keluar selain terus maju.
Lokasi yang ditunjukkan koordinat berada di sebuah kawasan industri yang telah lama ditinggalkan. Gedung-gedung tinggi dengan jendela-jendela pecah berdiri seperti patung yang terlupakan, dikelilingi oleh jalanan sepi yang penuh dengan sampah dan puing-puing. Maria parkir mobilnya di area yang jauh dari gedung utama, memastikan tidak ada yang melihatnya. Ia keluar, menyembunyikan wajahnya di balik jaket, dan mulai berjalan menuju pintu masuk yang tampaknya tidak digunakan sejak bertahun-tahun lalu.
Ketika ia mendekati pintu besar yang terkunci, ia tidak terkejut melihat gembok yang terpasang dengan rapat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada suara di dalam. Namun, Maria tahu lebih baik dari mengabaikan keheningan itu. Langkahnya mantap saat ia mengeluarkan kunci kecil dari sakunya—kunci yang mereka tinggalkan untuknya beberapa malam sebelumnya. Kunci itu bekerja dengan sempurna, dan pintu terbuka perlahan dengan suara berderit yang mengisi keheningan.
Begitu masuk, aroma bau busuk dan lembap menyambutnya. Gudang itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar yang berasal dari jendela-jendela yang sebagian besar tertutup rapat. Di tengah ruangan, ada meja besar dengan beberapa monitor dan perangkat komputer yang menyala. Beberapa orang tampaknya masih bekerja di sana, duduk di depan layar dengan ekspresi serius, tetapi mereka tidak melihat Maria yang menyelinap masuk dari pintu belakang.
Maria menahan napas, memerhatikan dengan cermat situasi di sekelilingnya. Di satu sisi, ada sebuah pintu yang tertutup rapat. Ia tahu bahwa ini adalah tempat yang ia cari—tempat di mana mereka menyimpan semua data dan rencana mereka. Ia berlari menuju pintu itu, mencoba membuka kunci dengan cepat, tetapi suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Mereka tahu ia ada di sana.
Ketika pintu akhirnya terbuka, Maria menemukan ruangan yang dipenuhi dengan tumpukan dokumen, peta, dan layar komputer. Semua itu menunjukkan satu hal yang jelas: Lingkaran Hitam tidak hanya memiliki kendali, mereka memiliki rencana yang lebih besar—rencana yang akan mengguncang dunia. Di layar utama, ia melihat logo Lingkaran Hitam dan kalimat besar di bawahnya: “Proyek 17: Rekonstruksi Global”.
Maria menatap layar itu dengan ketakutan yang semakin mendalam. Semua yang mereka lakukan—semua ancaman yang ia terima, semua permainan ini—semua itu adalah bagian dari rencana besar yang mereka kelola. Ini bukan hanya tentang menghancurkan hidup Maria; ini adalah tentang mengambil alih kendali dari segalanya.
Di sebelah meja, sebuah dokumen besar tergeletak. Maria mengambilnya dengan tangan gemetar, membaca setiap kata dengan penuh perhatian. Di bagian bawah dokumen, ada sebuah daftar nama-nama penting—tokoh politik, pebisnis besar, bahkan petinggi kepolisian—semua terlibat dalam proyek ini. Dan nama Rizal, tercatat di sana sebagai “Koordinator Lapangan.”
Maria merasakan darahnya membeku. Ini adalah rencana besar, jauh lebih besar daripada yang ia kira. Tidak hanya dirinya, bukan hanya orang-orang terdekatnya—ini adalah perang besar yang sedang mereka persiapkan.
Peristiwa berlanjut: Ketika Maria mulai mengambil foto dan menyalin data dari layar, ia mendengar suara langkah kaki mendekat dengan cepat. Dua pria muncul di ambang pintu, melihat Maria dengan mata yang penuh dengan kejutan. Sebelum salah satu dari mereka sempat bergerak, Maria sudah menarik senjatanya. “Jangan bergerak!” teriaknya, suara itu penuh dengan ancaman yang tegas.
Namun, pria itu hanya tersenyum tipis. “Kau pikir kau bisa melawan kami, Maria?” katanya, suaranya penuh dengan ejekan.
Maria tidak menunggu lebih lama. Ia bergerak cepat, menembak salah satu pria di kakinya, membuatnya terjatuh. Yang satunya lagi mencoba menyerang, tetapi Maria sudah siap. Ia meluncur ke samping, melumpuhkan pria itu dengan gerakan cepat. Tetapi suara langkah kaki semakin mendekat, dan Maria tahu waktunya hampir habis.
Maria menatap dua pria yang terjatuh di lantai dengan napas terengah-engah, tetapi ia tahu bahwa mereka bukan satu-satunya ancaman di tempat ini. Suara langkah kaki yang mendekat semakin jelas, dan Maria bisa merasakan ketegangan yang mencekam. Ia cepat-cepat mengamankan senjatanya kembali ke saku, lalu meraih ponselnya untuk mengirimkan foto-foto dan salinan dokumen yang baru saja ia ambil ke Laras. Ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk menjatuhkan Lingkaran Hitam.
Namun, sebelum ia sempat menekan tombol kirim, suara langkah kaki yang lebih berat terdengar, dan pintu di ujung ruangan terbuka lebar. Seorang pria berbadan besar, dengan raut wajah yang penuh dengan kebencian dan kecemasan, berdiri di ambang pintu. Pistol terpasang di pinggangnya, dan tatapannya langsung tertuju pada Maria.
“Aku tahu kau akan datang, Maria,” kata pria itu, suaranya dalam dan tegas. “Tapi ini adalah akhir dari jalanmu.”
Maria tidak terkejut mendengar kata-kata itu. Semua yang terjadi malam ini, semua ancaman yang diterimanya, sudah membawa mereka ke titik ini. Tidak ada yang tersisa selain menghadapi apa yang sudah ada di depan mata. “Aku tidak takut padamu,” jawab Maria dengan suara yang lebih keras, meskipun hatinya berdebar. “Dan aku tidak takut pada siapa pun yang ada di belakangmu.”
Pria itu tersenyum tipis, lalu melangkah masuk lebih jauh ke ruangan itu, matanya mengamati setiap gerakan Maria. “Kau benar-benar tidak mengerti, kan?” katanya dengan suara serak. “Ini bukan hanya tentangmu. Kami tidak akan menghentikan ini hanya karena kau melawan. Ini lebih besar, lebih luas dari apa yang kau pikirkan.”
Maria merasa darahnya mendidih. “Apa yang kalian inginkan dariku?” tanyanya, matanya menyala penuh kebencian. “Kenapa aku?”
Pria itu melangkah lebih dekat, seolah-olah ia sedang menikmati ketakutan yang coba disembunyikan Maria. “Kau adalah simbol,” jawabnya. “Simbol dari mereka yang melawan. Mereka yang mencoba menghentikan kami. Proyek 17 akan segera selesai, dan kami akan memiliki kendali penuh. Kau, Maria, adalah bagian dari pelajaran yang harus dipelajari dunia.”
Maria menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang hampir meluap. “Kau tidak akan menang. Apa pun yang kalian rencanakan, aku akan menghentikan kalian,” katanya dengan tekad yang makin mengeras.
Pria itu tertawa kecil, seolah tidak menganggap ancaman Maria serius. “Kalau begitu, mari kita lihat seberapa jauh kau bisa bertahan,” katanya, memberi isyarat kepada beberapa pria lain yang muncul dari balik bayangan, siap untuk bergerak.
Maria merasakan bahunya menegang. Waktu terus berjalan, dan ia tahu bahwa jika ia tetap diam, mereka akan merenggut apa yang ia perjuangkan selama ini. Dengan gerakan cepat, ia meraih senjata yang ia sembunyikan dan menembak salah satu pria yang mendekat. Pria itu jatuh ke lantai dengan suara teredam, tetapi suara tembakan itu segera mengundang lebih banyak orang untuk masuk ke ruangan.
Maria berlari menuju pintu belakang yang tadi sempat ia periksa, berusaha melarikan diri, tetapi langkah-langkah pria itu sudah terlalu dekat. Dalam keputusasaannya, Maria mendekati meja tempat laptop dan dokumen yang telah ia ambil sebelumnya, melemparkan beberapa lembar dokumen ke lantai untuk menyembunyikan bukti.
Namun, tepat sebelum ia bisa mencapai pintu, salah satu pria berhasil menangkap lengannya, memutar tubuhnya hingga ia terjatuh ke lantai. Senjata di tangannya terlepas, terguling beberapa meter jauhnya.
Dengan tubuhnya yang lelah dan otaknya bekerja dengan cepat, Maria menatap pria yang kini memegang tangannya. “Kalian tidak akan menang,” katanya dengan suara serak, tetapi penuh dengan tekad yang tidak bisa dihentikan. “Aku akan menghancurkan apa pun yang kalian rencanakan.”
Pria itu memiringkan kepala, ekspresinya penuh dengan ketidakpedulian. “Kau sudah kehabisan waktu, Maria,” katanya, menatapnya dengan dingin. “Dan sekarang, kami akan memastikan kau tidak akan bisa melawan lagi.”
Peristiwa berlanjut: Ketika pria itu mengangkat tangannya untuk menyerang Maria, suara ledakan keras mengguncang seluruh gedung, diikuti dengan getaran yang begitu kuat hingga membuat dinding bergetar. Api mulai menjalar dari bawah gedung, merayap ke setiap sudut.
Maria terkejut, matanya memandang sekelilingnya, melihat kekacauan yang terjadi di luar sana. Di luar pintu, asap mulai membumbung ke udara, dan pria yang menahannya terlihat panik. "Apa yang terjadi?!" teriaknya, mengalihkan perhatian mereka.
Maria tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia meraih senjatanya yang tergeletak di lantai dan menembak pria yang menahannya. Saat pria itu jatuh, Maria melangkah dengan cepat menuju pintu belakang, terhuyung-huyung tetapi dengan tekad yang semakin kuat. Ia tahu ini bukan kebetulan—ledakan itu adalah kesempatan untuk melarikan diri, untuk menghentikan mereka sebelum semuanya hancur.
Begitu ia keluar dari gedung itu, Maria berlari menuju mobil yang ia parkir jauh dari sana. Ia tidak menoleh ke belakang. Tidak ada waktu untuk itu. Semua yang penting kini adalah bertahan, mengumpulkan informasi, dan menghentikan Lingkaran Hitam—apa pun yang harus ia korbankan.
Maria berlari melewati lorong-lorong gedung yang mulai dipenuhi asap, langkah kakinya terasa berat tetapi penuh dengan tekad. Setiap detik yang berlalu semakin menegangkan. Ledakan itu tidak hanya mengguncang bangunan, tetapi juga mengirimkan pesan yang jelas—permainan ini telah mencapai puncaknya, dan ia harus melarikan diri atau mati mencobanya.
Namun, meskipun ada rasa urgensi yang memaksa Maria untuk terus bergerak, ada juga ketakutan yang mulai menguasai pikirannya. Semua yang terjadi, semua yang ia temui—Rizal, Lingkaran Hitam—semuanya terasa seperti serpihan dari sebuah permainan yang lebih besar dan lebih mengerikan. Jika mereka bisa melakukan ini, siapa tahu apa yang mereka rencanakan selanjutnya?
Saat ia mencapai mobilnya, ia bergegas masuk, menyalakan mesin dengan cepat, dan melaju ke luar dari kawasan itu, meninggalkan gedung yang kini menjadi lautan api. Meski begitu, ketegangan dalam dirinya tidak kunjung hilang. Ia tahu bahwa ia bukan hanya sedang melarikan diri dari bahaya fisik—ia juga melarikan diri dari sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang bahkan lebih mengerikan daripada ancaman langsung yang ia hadapi. Setiap jalan yang ia tempuh hanya membuatnya semakin terperangkap dalam lingkaran yang tak terelakkan.
Sesampainya di rumah, Maria langsung memeriksa semua pintu dan jendela. Perasaannya semakin terjepit. Setiap suara di luar rumah terasa seperti ancaman, dan setiap detik yang berlalu semakin memupuskan rasa aman yang selama ini ia coba bangun kembali. Ia tahu bahwa risiko untuk anak-anaknya semakin besar. Mereka tidak hanya terancam oleh Lingkaran Hitam; mereka adalah target utama dalam permainan ini.
Di ruang tamu, Maria duduk dengan tubuh yang lelah, matanya terfokus pada laptop di depannya. Semua informasi yang ia temukan di gedung itu, semua file yang ia bawa, sekarang harus diterjemahkan dan disebarkan. Tetapi saat ia mulai membuka dokumen-dokumen itu, ponselnya bergetar dengan keras.
Itu adalah pesan dari Laras.
“Maria, kita perlu bertemu. Ada yang lebih besar yang sedang mereka rencanakan. Apa pun yang kau temukan, kita harus menghadapinya bersama. Tapi hati-hati, mereka sudah mulai mengejar kita.”
Maria tidak ragu. Mereka sudah tahu apa yang ia bawa. Mereka tahu bahwa ia memiliki cukup informasi untuk menghentikan mereka, dan jika mereka belum menemukan cara untuk mengakses file itu, mereka akan segera mencoba cara lain. “Tidak ada waktu untuk takut,” gumam Maria kepada dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk pergi menemui Laras segera.
Beberapa saat kemudian, Maria tiba di tempat yang telah disepakati dengan Laras. Itu adalah sebuah kafe kecil yang tersembunyi di antara jalan-jalan kota, tempat yang selalu menjadi pilihan Laras karena lokasinya yang tidak mencolok. Maria berjalan masuk, segera melihat Laras yang sudah menunggunya di meja pojok.
Laras menyambutnya dengan tatapan yang serius. “Apa yang kamu temukan?” tanya Laras dengan nada penuh perhatian. Ia tahu bahwa apa pun yang Maria temui, itu akan mengubah segalanya.
Maria duduk di depan Laras, membuka tasnya dengan cepat dan mengeluarkan dokumen-dokumen dari drive USB. “Ini lebih besar dari yang aku bayangkan, Laras,” katanya dengan suara yang lebih rendah, menahan ketegangan yang semakin meningkat. “Rizal bukan hanya pelaksana. Dia adalah bagian dari struktur yang lebih besar—Lingkaran Hitam bukan hanya kelompok kriminal biasa. Mereka mengendalikan banyak aspek kehidupan masyarakat, politik, bahkan hukum.”
Laras mengangguk pelan, menyimak setiap kata Maria. “Aku sudah mencium bau konspirasi besar ini sejak awal. Tapi tidak ada yang bisa kita lakukan tanpa bukti yang lebih kuat. Kita harus mempublikasikan semua ini, Maria, kalau tidak…”
“Kalau tidak, mereka akan terus mengendalikan kita,” Maria memotong, matanya penuh dengan kebencian yang terpendam. “Mereka akan terus bermain dengan hidup kita. Mereka sudah menargetkan orang-orang yang kita cintai.”
Laras menghela napas panjang. “Kita harus hati-hati. Ini bukan hanya soal menghentikan mereka. Kalau kita terburu-buru, kita akan memberi mereka alasan untuk menghancurkan kita lebih cepat. Kita butuh rencana yang lebih matang.”
Maria menatap Laras dengan mata penuh tekad. “Aku sudah lelah bersembunyi, Laras. Setiap langkah yang aku ambil, mereka selalu tahu. Setiap kali aku berpikir aku bisa bernafas lega, mereka muncul lagi. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini.”
Laras memandangnya sejenak, kemudian mengangguk. “Oke. Tapi kalau kita melakukannya, kita melakukannya dengan benar. Kita punya satu kesempatan untuk membalikkan keadaan. Jika kita salah langkah, mereka akan menghancurkan kita dan semuanya yang kita coba selamatkan.”
Malam itu, Maria mengirimkan file-file yang telah ia ambil ke beberapa kontak yang Laras percaya, termasuk seorang jurnalis yang sudah lama bekerja dengan mereka. Mereka berencana untuk mempublikasikan semua informasi yang bisa mereka ambil, meskipun itu berarti menghadapi konsekuensi yang jauh lebih besar. Maria tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan Lingkaran Hitam—membuat semua yang mereka lakukan terungkap ke dunia.
Namun, ketika ia kembali ke rumah, ia merasa ada yang berbeda. Ada sesuatu yang tidak beres. Pintu belakang rumahnya sedikit terbuka, gembok tambahan yang baru saja ia pasang telah dipindahkan. Maria merasakan ketegangan yang luar biasa merayap ke tubuhnya. Ia tahu bahwa mereka datang lagi. Mereka tidak akan membiarkan ini berlalu tanpa balasan.
Dengan napas yang berat, Maria bergerak hati-hati menuju ruang tamu. Ketika ia sampai, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir. Di meja, tergeletak sebuah amplop yang jelas bukan miliknya.
Dengan tangan gemetar, Maria membuka amplop itu. Di dalamnya ada sebuah foto: foto dirinya, yang diambil dari jendela ruang tamu, dengan wajah yang jelas terlihat di dalamnya. Di belakang foto itu, tertulis sebuah pesan pendek: “Kau pikir ini akan berhenti? Kami akan selalu menemukanmu, Maria.”
Maria menatap foto itu dengan hati yang berdebar. Ia merasakan ketegangan semakin meningkat, tetapi di balik ketakutan itu, ada satu hal yang jelas di pikirannya: mereka mungkin bisa mengancam hidupnya, tetapi ia tidak akan membiarkan mereka menghancurkan semuanya yang ia perjuangkan. Kali ini, Maria tidak akan mundur.
Maria menatap foto itu, matanya mulai memanas, dan amarah yang terpendam selama ini akhirnya meledak. Setiap detik yang ia habiskan dengan rasa takut, setiap kali ia merasa terjebak, semua itu sekarang terasa seperti kesia-siaan. Mereka ingin menghancurkannya, memporak-porandakan segala sesuatu yang ia bangun dengan susah payah—tapi mereka tidak tahu siapa yang mereka hadapi.
Dewi masuk ke ruang tamu dengan langkah ringan, tetapi begitu ia melihat ekspresi Maria yang gelap, wajahnya berubah khawatir. “Maria? Apa itu?” tanya Dewi pelan, matanya tertuju pada foto yang tergeletak di meja.
Maria hanya mengangguk pelan, tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia meraih foto itu dan melemparkannya ke meja, lalu berdiri dengan tekad yang semakin membara. “Mereka terus mengawasi kita, Dewi. Mereka pikir ini permainan.”
Dewi mendekat, mengambil foto itu dan menatapnya dengan cemas. “Mereka tahu di mana kita berada, Maria. Mereka tahu segala sesuatu tentangmu. Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Maria berjalan ke jendela, menatap keluar dengan tatapan kosong. "Aku sudah tidak bisa bersembunyi lagi," katanya perlahan. "Mereka ingin melihat aku jatuh, mereka ingin menghancurkan anak-anak kita, tapi aku tidak akan membiarkan mereka menang. Aku akan menghancurkan mereka dulu."
Dewi menatapnya dengan campuran rasa takut dan kagum. “Maria, kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Ini bukan hanya tentangmu, ini tentang semua orang yang ada di sekitar kita. Apa yang bisa kita lakukan selain menunggu mereka datang dan merenggut semuanya?”
Maria berbalik, menatap Dewi dengan wajah yang penuh tekad. “Kita tidak bisa menunggu, Dewi. Mereka tidak akan berhenti. Mereka sudah melampaui batas.” Ia meraih tasnya, meletakkan drive USB yang berisi semua bukti yang ia ambil dari Lingkaran Hitam, dan melirik ke arah ponselnya. “Aku sudah cukup lama hidup dalam ketakutan. Sekarang, aku akan melawan.”
Beberapa jam kemudian, Maria berada di sebuah tempat aman—sebuah lokasi yang Laras siapkan sebagai tempat bertemu. Ponselnya bergetar, dan ia melihat Laras menghubunginya. Maria segera mengangkat telepon itu.
“Laras, kita harus bergerak,” katanya dengan nada tegas, suaranya penuh kecemasan. “Aku sudah tidak bisa lagi menunggu. Mereka tahu kita punya informasi ini. Kita harus sebarkan ke media besar.”
Laras terdengar cemas, tetapi juga penuh tekad. “Kau sudah siap? Ini bisa berbalik menjadi bumerang. Kalau kita melakukannya terlalu cepat, mereka bisa mengambil alih dan menghancurkan kita.”
Maria mengangguk meskipun Laras tidak bisa melihatnya. "Aku sudah siap," katanya. "Aku tidak akan memberikan mereka kesempatan untuk menghancurkan apa yang telah aku bangun. Mereka bisa mengancam hidupku, tetapi mereka tidak bisa menghentikan apa yang sudah aku mulai."
“Baik,” Laras menjawab, suaranya lebih tenang. “Aku akan menghubungi jurnalis yang kita percayai. Kita akan membuat mereka menghadapinya di bawah cahaya terang.”
Setelah menutup telepon, Maria berlari keluar dari lokasi dan menuju mobil, hatinya berdebar dengan ketegangan yang semakin mencekam. Setiap langkah menuju pengungkapan ini semakin mendekatkannya ke titik yang tidak bisa ia mundurkan. Ia tahu bahwa ini bisa menjadi akhir dari segalanya—baik untuk dirinya, untuk anak-anaknya, atau untuk Lingkaran Hitam yang mengancam dunia di sekitar mereka.
Ketika Maria tiba di tempat yang telah disepakati, sebuah kedai kopi kecil yang terletak di pinggir kota, ia melihat sosok yang sudah menunggunya—jurnalis yang telah bekerja dengan Laras sebelumnya. Wanita itu, Maria tahu, adalah satu-satunya orang yang dapat diandalkan untuk menyebarkan informasi ini tanpa memberitahu pihak yang salah.
“Apa yang kau temukan?” tanya wanita itu dengan suara pelan, matanya tidak teralihkan dari Maria, menilai setiap gerak-gerik wanita itu dengan cermat.
Maria mengeluarkan tasnya, meraih drive USB yang menyimpan segala bukti yang ia temukan di dalam vila itu—semua informasi yang mengungkap rencana besar Lingkaran Hitam. “Ini,” kata Maria, menaruh drive itu di meja. “Jika kalian ingin menghentikan mereka, ini adalah kesempatan kita.”
Wanita itu memeriksa drive itu dengan seksama, lalu menatap Maria dengan ragu. “Apakah ini cukup kuat untuk mematahkan mereka?” tanyanya dengan suara yang bergetar.
“Ini lebih dari cukup,” jawab Maria dengan tegas, matanya menyala dengan api yang tak bisa dipadamkan. “Mereka tidak hanya akan dihancurkan oleh ini, tetapi mereka akan dipermalukan. Dunia harus tahu siapa mereka sebenarnya. Dan mereka harus menghadapi konsekuensinya.”
Wanita itu mengangguk, lalu memasukkan USB itu ke laptop yang ada di depan mereka. “Kita tidak bisa menarik ini kembali, Maria. Sekali ini keluar, kita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Kita tidak tahu seberapa jauh mereka akan pergi.”
“Apapun yang mereka lakukan,” Maria berkata, suara rendah tetapi penuh dengan tekad, “saya siap menghadapi itu. Kita tidak bisa mundur sekarang.”
Peristiwa berlanjut: Beberapa jam setelah mereka mengirimkan file-file itu ke beberapa media besar, Maria kembali ke rumahnya. Namun, saat ia mendekati halaman depan, ia merasakan sesuatu yang aneh. Rumah itu terlalu sunyi, terlalu kosong. Pintu depan yang biasanya terkunci dengan gembok tambahan kini terbuka sedikit, dan di atas meja di ruang tamu, ada sebuah amplop yang tergeletak dengan rapi.
Dengan perasaan tidak nyaman yang mulai merayap, Maria membuka amplop itu. Di dalamnya ada sebuah foto—foto dirinya dan anak-anaknya yang diambil dari balik jendela rumah, tepat seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Di belakang foto itu, tertulis sebuah pesan yang membuat darah Maria membeku: “Kami sudah tahu, Maria. Tidak ada tempat untuk bersembunyi lagi.”
Dengan gemetar, Maria menatap gambar itu, dan ia tahu bahwa waktunya semakin sempit. Mereka telah menemukannya—dan kali ini, mereka akan datang lebih dekat dari sebelumnya.
Maria menggenggam foto itu dengan tangan yang gemetar. Wajahnya menjadi semakin pucat saat matanya menelusuri pesan yang tertulis di belakang foto: “Kami sudah tahu, Maria. Tidak ada tempat untuk bersembunyi lagi.” Foto itu diambil dari luar jendela ruang tamu, menunjukkan dirinya dan anak-anaknya yang tampaknya tidak tahu bahwa mereka sedang diawasi, terjebak dalam permainan yang sudah dimulai jauh sebelum mereka menyadarinya.
Dia tidak perlu lagi menunggu untuk menyadari kenyataan yang sudah jelas di depan mata. Rizal dan Lingkaran Hitam tidak akan berhenti sampai semuanya selesai—sampai mereka menghancurkan segalanya yang dia perjuangkan, dan tidak ada lagi yang bisa menghalangi rencana mereka. Hatinya berdebar, tetapi ia tahu tidak ada waktu untuk ragu.
Maria menatap foto itu, kemudian menoleh ke arah anak-anaknya yang sedang tidur. Putri dan Arif terlihat damai, tanpa tahu apa yang sedang terjadi di luar sana, di dunia yang penuh dengan ancaman yang siap menghancurkan kebahagiaan mereka. Rasa bersalah menelan dirinya hidup-hidup. Mereka tidak seharusnya berada di sini, hidup dalam ketakutan.
Namun, meskipun hatinya hancur, Maria tidak bisa mundur. Ia tahu bahwa sekali dia mundur, semuanya akan selesai. Jadi, dengan kepala yang tegak dan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya, Maria meraih ponselnya dan menghubungi Laras.
"Laras," suara Maria terdengar lebih tegas daripada sebelumnya, tetapi ada getaran yang tidak bisa disembunyikan. “Mereka sudah tahu. Mereka memantau kita lebih dekat dari yang kita kira. Aku tidak punya banyak waktu.”
Laras di ujung telepon terdiam beberapa detik. “Apa yang terjadi?” suaranya terdengar penuh kecemasan. “Apa yang mereka lakukan?”
“Foto ini,” kata Maria, menunjuk foto yang tergeletak di meja. "Ini menunjukkan bahwa mereka tahu di mana kita berada. Mereka mengirim pesan ini sebagai peringatan. Aku harus bergerak cepat. Aku tidak bisa terus bersembunyi.”
“Aku tahu. Aku akan mempersiapkan semuanya. Kita tidak bisa membiarkan mereka menang, Maria. Ini sudah terlalu jauh.” Laras menghela napas berat, kemudian suara ketegasan mulai terdengar di suaranya. “Kita akan lakukan ini bersama. Tapi hati-hati, Maria. Mereka akan mencoba menyerang lebih keras sekarang.”
“Terima kasih, Laras,” jawab Maria dengan suara pelan, tetapi penuh keteguhan. “Aku akan berbuat apa pun yang bisa aku lakukan untuk menghentikan mereka. Mereka tidak akan menghancurkan kita.”
Setelah panggilan itu berakhir, Maria bergegas menuju ruang tamu dan memeriksa lagi setiap sudut rumah. Kamera-kamera pengintai yang dipasang polisi masih berfungsi dengan baik, tetapi Maria tahu itu tidak cukup. Mereka selalu tahu cara menyusup, cara menghindari deteksi. Ia sudah memutuskan. Waktu ini tidak akan cukup untuk menunggu mereka lagi. Ini adalah saatnya untuk menyerang balik.
Ponselnya bergetar, dan Maria melihat pesan dari Laras: “Aku sudah siapkan rencana cadangan. Kamu harus ke sini secepatnya. Ada yang lebih besar yang sedang mereka rencanakan.”
Maria memasukkan ponselnya ke dalam tas dan segera keluar rumah. Sebelum pergi, ia memeriksa untuk memastikan anak-anaknya aman. Mereka tidur, tidak tahu betapa dekatnya bahaya. Maria menatap mereka untuk sesaat, berjanji dalam hati bahwa ia akan melakukan apa pun untuk melindungi mereka. Tak ada lagi ketakutan yang akan menghentikannya.
Di tempat yang disepakati, Laras menunggu di sebuah rumah sewaan yang terletak di pinggir kota, jauh dari keramaian. Maria masuk, dan mereka duduk di meja kecil di sudut ruangan.
“Laras, apa yang lebih besar dari ini?” tanya Maria, tidak sabar. “Aku merasa seperti aku kehabisan waktu.”
Laras membuka laptopnya dan menunjukkan peta dengan berbagai titik yang tersebar di layar. “Aku menemukan beberapa lokasi terkait dengan Proyek 17, Maria,” katanya. “Tempat-tempat yang mungkin terhubung langsung dengan fase terakhir rencana mereka.”
Maria mendekat, matanya menyimak peta itu dengan penuh perhatian. “Ini semua titik pengawasan mereka?” tanya Maria.
Laras mengangguk. “Ya. Semua tempat ini menunjukkan titik penting di mana mereka mengendalikan operasi mereka. Ada satu tempat yang sangat mencolok—sebuah fasilitas besar yang terhubung dengan sistem komunikasi mereka.”
Maria merasakan detak jantungnya meningkat. "Apa itu?"
Laras mengetik beberapa perintah di laptopnya, lalu memperbesar satu lokasi di peta. “Ini adalah fasilitas pusat mereka, Maria. Dari sini, mereka bisa mengendalikan semua informasi yang mereka ambil, termasuk data yang kamu temukan di file itu. Mereka tahu setiap langkah yang kita ambil.”
Maria meremas tangannya, hatinya mulai penuh dengan rasa marah. “Kita harus menghancurkannya,” kata Maria dengan tegas, suaranya lebih rendah namun penuh kebencian.
Laras menatapnya, matanya penuh dengan keseriusan. “Kita harus berhati-hati, Maria. Ini bukan hanya tentang kita lagi. Mereka sudah terlalu kuat. Tapi kita masih punya kesempatan. Kita bisa menyusup ke dalam, mengakses data mereka, dan menghancurkan mereka dari dalam.”
Peristiwa berlanjut: Maria tahu bahwa ini adalah pertaruhan terakhir. Jika mereka gagal, mereka akan dihancurkan. Tetapi ia tidak punya pilihan. Di luar sana, anak-anaknya menunggu untuk tumbuh dalam dunia yang bebas dari ketakutan, dan ia tidak akan membiarkan mereka kehilangan masa depan mereka hanya karena ketakutan terhadap bayangan yang mengintai. Ia melangkah maju dengan tekad, siap menghadapi apa pun yang menantinya di fasilitas pusat itu. Namun, di luar, di bayangan gelap kota, kendaraan yang tidak dikenali melaju dengan cepat menuju rumah sewaan tempat mereka berada.
Maria merasa ketegangan itu semakin menguasai dirinya saat ia melihat kendaraan yang mendekat dari jauh. Lampu depan mobil itu menyinari jalan sepi yang menuju rumah sewaan Laras, dan Maria tahu bahwa ini bukan kebetulan. Mereka telah menemukannya. Semua yang telah mereka rencanakan, semua strategi yang disusun dengan hati-hati, kini berada di ambang kehancuran.
Laras yang berada di sampingnya mengamati gerakan Maria dengan cermat, menyadari ketegangan yang semakin merayap. “Mereka pasti tahu kita ada di sini,” bisiknya. “Kita harus keluar, Maria. Sekarang.”
Maria tidak mengalihkan pandangannya dari jendela, matanya menilai setiap gerakan di luar, mencoba mengukur berapa banyak waktu yang mereka miliki sebelum pintu rumah sewaan ini dibuka oleh mereka. Setiap detik yang berlalu semakin menekan. Ia tahu, apapun yang terjadi, mereka tidak bisa mundur. Mereka sudah terlalu dalam terlibat. Semua petunjuk yang ia temukan tentang Proyek 17, semua informasi yang ia bawa, akan mengungkapkan wajah asli dari Lingkaran Hitam—dan itu adalah sesuatu yang harus dibongkar, tidak peduli seberapa besar harga yang harus dibayar.
“Pindah ke ruang belakang,” Maria memerintah, suaranya dingin dan tegas. “Kita masih punya kesempatan untuk keluar.”
Laras mengangguk dan mereka bergerak dengan cepat. Namun, langkah mereka terdengar di lantai kayu yang berderit, dan suara itu mengingatkan Maria akan seberapa dekat bahaya itu. Ketika mereka sampai di pintu belakang, Maria berhenti sejenak dan memeriksa ponselnya. Tidak ada pesan baru dari jurnalis yang mereka percayai, tidak ada konfirmasi dari pihak luar. Tetapi yang lebih menegangkan adalah kenyataan bahwa mobil yang mendekat kini berhenti tepat di depan rumah, dan beberapa sosok bergerak cepat keluar dari kendaraan tersebut.
“Sepertinya mereka datang untuk bermain,” kata Maria dengan suara serak, mencoba menenangkan dirinya. “Kita harus keluar sekarang.”
Namun, sebelum mereka bisa berbuat apa-apa, suara pintu depan terbuka dengan keras. Pintu itu terbuka perlahan, dan di ambang pintu, berdiri beberapa pria berpakaian hitam. Pistol mereka terarah langsung ke tubuh Maria dan Laras. Salah satu pria, yang lebih tinggi dan lebih tegas dari yang lain, tersenyum dingin, melihat Maria dengan pandangan yang penuh perhitungan.
“Kau pikir kau bisa lari?” katanya, suaranya begitu penuh dengan ironi. “Kami selalu tahu ke mana kau pergi, Maria. Dan sekarang, waktumu sudah habis.”
Maria tidak mengalihkan pandangannya. Ia menatap pria itu dengan tatapan penuh tekad, meskipun suara hatinya berteriak untuk melawan ketakutan yang begitu mendalam. “Kalian tidak akan menang,” katanya, suara rendah tetapi penuh kebencian.
Pria itu tertawa tipis. “Kami sudah menang, Maria. Ini sudah berakhir untukmu.”
Tanpa peringatan, salah satu pria yang berada di belakangnya bergerak maju, mencoba meraih tas yang dipegang Maria. Namun, Maria cepat melangkah mundur, menjauh dari mereka, dan dengan gerakan tajam, ia meraih pisau yang ia sembunyikan di dalam tas.
Tembakan pertama meletus dari pistol salah satu pria yang terdekat, tetapi Maria bergerak cepat, memiringkan tubuhnya untuk menghindari tembakan itu. Ia melemparkan pisau kecil ke arah pria yang lebih dekat dengan tasnya, dan meskipun tidak mengenai sasaran langsung, pisau itu cukup membuat pria itu mundur, memberi Maria kesempatan untuk mengambil langkah lebih cepat lagi.
“Laras, lari!” Maria berteriak, suaranya penuh ketegasan.
Laras, yang tidak ragu sejenak pun, berlari ke arah pintu belakang, memanfaatkan keributan yang terjadi untuk keluar. Maria tidak menoleh ke belakang. Ia berlari, mengikuti Laras, namun langkah mereka dipenuhi dengan ketegangan yang memuncak. Mereka tahu, tidak ada tempat yang aman lagi. Tidak ada pilihan selain terus bergerak dan berharap bisa keluar dari genggaman mereka.
Tapi sebelum mereka bisa mencapai pintu belakang, pria yang lebih besar, yang tampaknya memimpin kelompok ini, bergerak dengan kecepatan luar biasa, menghalangi jalan mereka. “Kalian tidak akan kemana-mana,” katanya dengan senyum lebar di wajahnya, menyadari bahwa mereka semakin terjepit. “Proyek ini lebih besar dari kalian berdua.”
Maria menggigit bibirnya, memandang pria itu dengan keteguhan yang tidak bisa tergoyahkan. "Kalau kau kira aku akan membiarkan kalian menang, kalian salah besar," katanya dengan suara serak namun penuh dengan ancaman yang jelas.
Pemandangan di sekitar mereka menjadi semakin gelap, dengan lebih banyak pria berpakaian hitam yang muncul dari pintu belakang rumah. Maria merasa jantungnya berdegup kencang, dan waktu terasa semakin menipis. Semua yang ia lakukan, semua yang ia perjuangkan, kini akan diuji.
Tiba-tiba, suara tembakan menggema dari luar. Seseorang telah menembak ke udara, dan beberapa pria di dalam rumah menoleh dengan cepat, terkejut oleh suara yang begitu keras. Maria memanfaatkan momen itu untuk bergerak lebih cepat, berlari ke arah pintu belakang.
Sebelum pria itu bisa menghentikannya, sebuah suara lain terdengar, lebih keras dan lebih kuat, datang dari sisi luar gedung. Mereka semua terdiam sejenak, kemudian suara langkah kaki yang tegas terdengar—pria itu terlihat terkejut, dan itu adalah kesempatan Maria dan Laras untuk melarikan diri.
Seorang pria berlari masuk ke dalam rumah, mengenakan pakaian yang tampaknya lebih ringan dan tidak mengenakan pelindung, tetapi matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia tahu apa yang harus dilakukan. “Keluar sekarang,” katanya dengan suara yang penuh tekanan, tidak memberi waktu untuk diskusi lebih lanjut.
Maria dan Laras tidak bertanya lagi. Mereka berlari keluar, mengetahui bahwa mereka hanya memiliki satu kesempatan untuk melarikan diri, dan ini mungkin adalah satu-satunya kesempatan mereka untuk mengungkapkan semuanya—untuk menghentikan Lingkaran Hitam sebelum mereka sepenuhnya menguasai segalanya.
Maria dan Laras berlari tanpa menoleh ke belakang, merasakan adrenalin yang mengalir deras, menguatkan setiap langkah mereka. Di luar, kegelapan malam menyelimuti jalanan yang sepi, dan meskipun suara langkah kaki mereka terdengar keras di jalanan yang kosong, perasaan terjebak di antara bayang-bayang dan pengawasan itu semakin nyata. Setiap detik yang berlalu semakin menegangkan, dan meskipun mereka berhasil melarikan diri dari rumah sewaan, ancaman yang mereka hadapi belum selesai. Lingkaran Hitam sudah tahu di mana mereka berada, dan Maria tahu bahwa mereka akan datang lebih cepat dari yang bisa mereka prediksi.
Mereka berlari ke mobil Laras, yang diparkir beberapa ratus meter dari tempat mereka berada, jauh dari perhatian para pengawas. Ketika mereka mencapai kendaraan, Maria membuka pintu dengan cepat, meluncur masuk dan mulai menyalakan mesin, sementara Laras duduk di sebelahnya, matanya tidak lepas dari kaca spion.
“Kalau kita tidak bergerak lebih cepat, mereka akan mengejar kita,” Laras berkata dengan suara penuh tekad, menatap jalan di depan mereka yang masih gelap dan kosong. “Kita harus keluar dari sini, Maria. Kalau mereka sudah melacak kita, kita tidak punya banyak waktu.”
Maria memacu mobil itu, berbelok tajam menuju jalan utama, merasa semakin terburu-buru. “Mereka sudah melakukannya,” jawab Maria, suaranya serak dan penuh ketegangan. “Mereka tahu kita ke sini, dan mereka tahu apa yang kita bawa.”
Laras menatap ke luar jendela, matanya penuh dengan kecemasan yang sulit disembunyikan. “Apa yang kita bawa adalah senjata terbesar kita, Maria,” katanya, nada suaranya berat. “Kita tidak bisa membiarkan mereka menghancurkannya begitu saja. Jika file itu sampai jatuh ke tangan yang salah, kita semua akan hancur.”
“Dan aku akan memastikan mereka tidak mendapatkan itu,” jawab Maria, tangannya menggenggam setir lebih erat. “Kita akan menghentikan ini, Laras. Apa pun yang mereka rencanakan, kita akan menghancurkannya.”
Namun, sesaat setelah mereka melewati beberapa lampu jalan, suara tembakan terdengar dari belakang, membuat mobil mereka terguncang. Maria bergegas menekan pedal gas, tetapi suara tembakan itu semakin mendekat, dan Maria menyadari bahwa mobil yang mereka kejar semakin mendekat.
“Demi Tuhan,” bisik Laras, matanya membelalak ketakutan. “Mereka mengikuti kita!”
Maria mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghindari peluru yang melesat ke mobil mereka. Setiap gerakan yang ia buat, setiap tikungan yang ia ambil, semakin mempersulit pengejar mereka untuk mendekat. Ia harus mencari tempat aman—tempat yang bisa memberikan sedikit ruang untuk bernafas, jauh dari jangkauan mereka.
Di jalanan yang semakin sempit, Maria mengambil keputusan untuk berbelok ke jalur yang lebih gelap, lebih terpencil. Sebuah jembatan tua yang tampaknya tidak sering digunakan oleh kendaraan, namun cukup lebar untuk mobil mereka.
Di belakang, mobil pengejar semakin dekat, dan suara tembakan semakin intens. Tetapi saat Maria memasuki jembatan itu, ia melihat peluang: satu tikungan tajam yang bisa membuat mereka kehilangan jejak. Maria memutar setir dengan cepat, memanfaatkan setiap inci jalan yang ada untuk menghindari kejaran itu.
Sebuah ledakan keras terdengar dari belakang, dan Maria merasa mobilnya terguncang. “Tembakan itu hampir mengenai ban,” kata Laras, menahan napas. “Jika mereka terus mengejar kita seperti ini, kita tidak akan bisa bertahan.”
Maria menatap jalanan depan dengan lebih fokus. "Aku tahu," jawabnya dengan suara penuh keyakinan. “Tapi kita harus keluar dari sini.”
Mereka terus berlari, semakin jauh dari pusat kota, menuju kawasan yang lebih sepi. Namun, saat mereka berbelok ke jalanan yang semakin gelap, Maria merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia memperlambat laju mobil, matanya menilai setiap sudut jalan.
Di depan mereka, terlihat sebuah mobil yang diparkir di tengah jalan, dengan lampu belakang menyala terang. Maria berhenti sejenak, matanya menilai apakah itu jebakan. Namun, sebelum ia bisa memutuskan, pria bertubuh tinggi yang mengenakan jaket hitam tiba-tiba muncul dari bayang-bayang di sisi jalan.
“Maria,” pria itu berkata, suaranya berat dan penuh ancaman. “Kau tidak bisa terus berlari.”
Laras segera meraih senjata di dalam tas, tetapi Maria menghentikannya dengan isyarat tangan. “Kita tidak punya waktu untuk ini,” katanya dengan suara tegas. “Apa yang kau inginkan?”
Pria itu berjalan perlahan mendekat, mengangkat tangannya dengan sebuah senyuman kecil yang dingin. “Saya tidak ingin berperang denganmu, Maria,” katanya. “Tapi kau sudah berada di luar kendali. Proyek 17 sudah hampir selesai, dan kau akan menjadi bagian dari akhir itu.”
Maria menatap pria itu dengan ketegasan yang semakin jelas. “Kau salah, kalau kau pikir aku akan membiarkan kalian menang.”
Laras membuka pintu mobil sedikit, bersiap untuk bergerak, tetapi pria itu mengangkat tangan, menghentikan mereka. “Kami tidak ingin membunuhmu, Maria,” katanya, suaranya mengandung ancaman yang lebih berat. “Tapi kami akan pastikan kau tidak mengganggu rencana kami. Kalian akan berhenti sekarang, atau kalian akan melihat apa yang kami lakukan pada orang-orang yang mencoba melawan kami.”
Maria merasa darahnya mendidih, matanya menyala penuh kebencian. “Kalian ingin melihat siapa yang melawan?” katanya, menggenggam roda kemudi lebih erat. “Kalau kalian ingin berperang, aku akan beri kalian perlawanan.”
Pria itu tersenyum tipis. “Ini bukan tentang perlawanan,” jawabnya. “Ini tentang kau menerima kenyataan. Kau tidak bisa menghentikan ini.”
Dengan cepat, Maria memutar setir dan melaju maju, tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Namun, pria itu sudah mengira langkah mereka dan memberi isyarat kepada mobil lain di belakangnya untuk bergerak maju, mengepung mereka. Maria tidak punya banyak waktu.
Tiba-tiba, suara tembakan yang keras membuat Maria terhuyung, dan peluru mengenai kaca depan mobil. Mobil itu terguncang hebat, dan Maria terpaksa menghindar, mencoba menjaga kendali, tetapi ia tahu, pengejaran ini tidak akan berakhir dengan mudah.
Maria memegangi setir dengan kedua tangan, napasnya terengah-engah, tetapi matanya tetap fokus pada jalan di depan. Mobil mereka terguncang saat tembakan kedua melesat mengenai kaca depan, memecahkan kaca itu menjadi serpihan-serpihan kecil yang bertebaran di dalam mobil. Suara peluru yang menghantam logam dan kaca terasa begitu dekat, memecah keheningan malam yang mencekam.
Laras yang duduk di sampingnya, meraih pegangan dengan cepat, mulutnya mengatup rapat. “Terlalu dekat,” katanya dengan suara bergetar. “Mereka tidak akan berhenti sampai kita berhenti. Kita harus mencari tempat untuk berlindung!”
Maria menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri meskipun tubuhnya terasa kaku dengan ketegangan yang semakin meningkat. “Jika kita berhenti sekarang, kita akan kalah. Aku tidak bisa membiarkan mereka menang.”
Dengan satu gerakan cepat, Maria berbalik ke kanan, masuk ke jalur yang lebih sempit dan lebih gelap. Mobil di belakang mereka berusaha mengejar, tetapi jalan sempit dan tikungan tajam membuat mereka sulit mengikuti. Maria menekan pedal gas, menghindari jalan utama yang bisa mengarah ke lebih banyak mobil yang sedang mengikuti mereka.
Namun, suara mobil yang mendekat tak kunjung hilang. Mereka terus mengikuti, lebih agresif dari sebelumnya, mencoba mengepung mereka. Dengan sekuat tenaga, Maria menekan gas, menyusuri jalan berbatu yang semakin gelap, dan meskipun mobil mereka bergetar di atas jalan yang buruk, ia tahu mereka tidak bisa berlama-lama di sini.
Laras menatap kaca spion dengan mata yang gelisah. “Mereka hampir dekat, Maria,” katanya. “Kita harus ke tempat yang lebih aman, sekarang!”
Maria menggertakkan gigi, tetapi matanya tetap waspada. “Aku tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka menang. Kita harus punya kesempatan untuk melawan.”
Tiba-tiba, Maria melihat sebuah tikungan tajam di depan. Ini adalah jalan yang lebih sempit, tetapi ada potensi untuk menyingkirkan mereka. “Bertahan,” kata Maria, berusaha memusatkan perhatian pada jalan di depannya.
Dengan sekali gerakan, ia berbelok tajam, mobil meluncur di tikungan sempit yang hampir membuatnya kehilangan kendali. Tetapi mobil pengejar di belakangnya tidak secepat itu, mereka meluncur lebih jauh ke sisi jalan dan menabrak pagar besi yang terletak di dekat tebing. Mereka terhenti beberapa meter dari jalan, terjebak.
Maria merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar karena ketegangan. Ia melihat mobil pengejar yang terhenti, tetapi ia tidak bisa lengah. Keamanan mereka belum terjamin.
Mereka tiba di tempat yang lebih sepi—sebuah gudang tua yang terlupakan di pinggiran kota, tempat yang jauh dari perhatian siapa pun. Maria memarkir mobilnya di balik bangunan besar yang tampak seperti reruntuhan, dan Laras mengamati sekeliling dengan cermat.
“Ini aman untuk sementara,” kata Laras. “Tapi kita tidak bisa berlama-lama di sini. Mereka pasti akan melacak kita.”
Maria mengangguk, tubuhnya masih terasa tegang. “Kita butuh waktu. Jika aku bisa mengakses file-file yang ada di tangan mereka, kita bisa menghentikan semuanya. Mereka akan mengejar kita sampai akhir, Laras. Tapi kita tidak bisa memberi mereka kesempatan.”
Laras memeriksa ponselnya, lalu menatap Maria. “Kita harus mempercepat rencana kita. Jika kita tidak bergerak cepat, kita akan kehilangan semuanya.”
“Lakukan apa yang perlu dilakukan,” jawab Maria, suaranya penuh ketegasan. “Aku akan melawan sampai mereka menghancurkan kita, tapi aku tidak akan membiarkan mereka menang.”
Beberapa jam berlalu, dan Maria serta Laras mulai mempersiapkan diri untuk langkah berikutnya. Namun, ketegangan di udara semakin terasa. Meskipun mereka berada di tempat yang relatif aman, Maria merasa bahwa kehadiran mereka sudah terdeteksi. Tidak ada tempat yang benar-benar aman. Terlalu banyak yang sudah mereka ungkap, terlalu banyak yang mereka ketahui. Dan mereka yang mengawasi tidak akan membiarkan mereka melarikan diri begitu saja.
Maria duduk di meja kecil di sudut ruangan, menatap layar laptop dengan mata yang tajam. “Kita harus menghancurkan mereka dari dalam,” katanya, suaranya rendah tetapi penuh keyakinan.
Laras berdiri di sampingnya, menatap layar itu juga. “Kita punya data yang cukup. Tapi kita harus lebih hati-hati. Kalau mereka sudah tahu, kita akan menjadi target utama.”
Maria menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. “Mereka sudah menargetkan kita. Itu sebabnya kita tidak punya waktu lagi. Semua yang aku lakukan, semua yang kita lakukan, harus menjatuhkan mereka, Laras. Jika kita biarkan mereka bergerak bebas, kita akan menjadi bagian dari permainan mereka.”
Laras menatap Maria dengan penuh ketegasan. “Baik, kita lakukan ini. Tapi kita harus membuat langkah terakhir yang menentukan.”
Ketika malam semakin larut, Maria mulai mengunggah data yang mereka kumpulkan, membagikan file kepada jurnalis yang mereka percayai. Satu-satunya harapan mereka adalah mengungkapkan rencana besar yang telah dijalankan oleh Lingkaran Hitam, dan menghancurkan setiap jalan yang mereka ciptakan untuk mengendalikan dunia. Maria tahu bahwa ini adalah langkah paling berbahaya yang pernah mereka ambil—dan kali ini, tidak ada yang akan mundur.
Maria duduk di depan laptop di ruang gudang yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari layar yang memancarkan rasa urgensi. Ia memeriksa ulang semua file yang telah mereka kumpulkan, memastikan bahwa data tersebut terorganisir dengan baik sebelum ia mengirimkannya ke jurnalis yang mereka percayai. Namun, meskipun ia tahu ini adalah langkah terakhir, perasaan cemas dan ketegangan tidak kunjung hilang. Setiap ketukan di keyboard terasa seperti langkah menuju jurang, di mana jika mereka salah, mereka akan jatuh lebih dalam.
“Semua sudah siap?” tanya Laras, berdiri di samping meja, matanya tertuju pada layar. Ia tahu bahwa kali ini adalah ujian terbesar mereka. Tidak ada ruang untuk kesalahan.
Maria mengangguk, tangannya berhenti mengetik untuk sejenak. “Semua informasi ini akan membuka mata dunia. Mereka tidak akan bisa menutupinya begitu saja,” katanya dengan suara rendah, tetapi penuh keyakinan. “Tapi ini juga berarti kita sudah memasuki garis depan perang mereka. Dan mereka tidak akan berhenti.”
Laras menatapnya, matanya penuh keprihatinan. “Aku tahu, Maria. Tapi kalau kita terlalu terburu-buru, mereka akan lebih dulu menyerang kita.”
Maria menatapnya, matanya penuh keteguhan. “Kita sudah lama terlambat, Laras. Tidak ada lagi yang bisa menunggu. Aku tidak bisa membiarkan mereka menghancurkan lebih banyak hidup.”
Laras menghela napas, mengetahui bahwa Maria sudah membuat keputusan. Ia tahu betul bahwa keputusan ini akan mengubah segalanya, tidak hanya untuk mereka, tetapi juga untuk orang-orang yang mereka cintai. Tetapi Laras juga tahu bahwa jika mereka tidak bertindak sekarang, mereka akan kehilangan kesempatan untuk menghentikan Lingkaran Hitam.
“Baiklah,” jawab Laras, dengan suara lebih tenang. “Aku akan menghubungi jurnalis itu. Kita tidak bisa mundur sekarang.”
Malam itu, setelah Maria mengirimkan semua bukti dan informasi kepada pihak luar, mereka berdua duduk dalam keheningan yang menegangkan. Waktu seolah berhenti, dengan setiap detik yang berlalu membawa mereka lebih dekat ke konfrontasi yang tak terhindarkan. Mereka tahu bahwa Lingkaran Hitam tidak akan membiarkan ini begitu saja.
Di luar, langit mulai mendung, seolah menggambarkan ketegangan yang melanda dunia mereka. Maria memeriksa ponselnya sekali lagi, memastikan bahwa pesan yang mereka kirimkan sudah diterima. Semua yang mereka lakukan, semua langkah yang mereka ambil, sekarang berada di ujung tanduk.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, memecah keheningan yang tegang itu. Itu adalah pesan dari jurnalis yang mereka percayai, dengan kalimat yang singkat namun langsung menembus hati Maria. “Informasi sudah diterima. Dunia akan tahu dalam beberapa jam. Tapi kau dan Laras harus pergi sekarang. Mereka sudah melacakmu.”
Maria merasakan seluruh tubuhnya membeku sejenak, kemudian keteguhan baru mengalir dalam dirinya. “Mereka tahu,” katanya pelan, namun dengan tekad yang lebih kuat. “Mereka sudah tahu, Laras. Ini sudah dimulai.”
Laras berdiri, menatapnya dengan mata yang penuh dengan keprihatinan dan juga keteguhan. “Kita harus pergi,” katanya, suaranya penuh urgensi. “Mereka akan datang. Sekarang.”
Maria dan Laras meninggalkan tempat itu, meninggalkan ruangan yang penuh dengan bukti dan harapan. Tetapi meskipun mereka berlari, mereka tahu bahwa pertempuran yang sesungguhnya belum dimulai. Setiap langkah mereka terasa lebih berat, seolah-olah dunia mereka mulai runtuh di sekitar mereka.
Namun, saat mereka berjalan menuju mobil, sebuah suara keras terdengar dari belakang. Suara tembakan—keras dan memekakkan telinga—membuat tubuh Maria menegang. Seketika, semuanya berubah menjadi kekacauan.
“Lari!” teriak Laras, menarik tangan Maria dan mendorongnya ke dalam mobil. Mereka melaju dengan cepat, meninggalkan tempat itu dengan cepat, tetapi suara tembakan terus mengikuti mereka, semakin dekat. Mereka tahu bahwa waktu mereka semakin sempit. Mereka harus keluar dari kota sebelum semuanya hancur.
Sementara itu, di belakang mereka, di tempat yang jauh dari jangkauan mereka, sebuah mobil hitam dengan lampu depan menyala mengikuti dengan kecepatan yang luar biasa. Lingkaran Hitam tidak akan membiarkan mereka pergi dengan mudah. Mereka tidak akan membiarkan Maria dan Laras membongkar rencana mereka.
Ketika Maria dan Laras sampai di tempat yang aman—sebuah lokasi yang telah disiapkan oleh Laras sebagai tempat berlindung sementara—mereka berhenti. Tetapi mereka tahu bahwa ini hanya jeda sejenak, dan bahaya tidak akan pernah berhenti mengintai mereka. Di luar, angin bertiup kencang, membawa rasa dingin yang menusuk.
Laras memeriksa ponselnya dengan cemas, lalu menatap Maria dengan ekspresi serius. “Mereka pasti tahu kita di sini,” katanya. “Kita harus mempersiapkan diri untuk lebih banyak serangan.”
Maria menatapnya dengan mata yang penuh tekad. “Jika mereka ingin menghentikan kita, mereka akan mencoba menyerang lebih keras. Tapi kali ini, kita akan berjuang sampai akhir.”
Dan malam itu, ketika dunia terasa semakin sempit, mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menghadapi musuh mereka dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya.
Hari-hari pasca penangkapan Rizal terasa seperti langkah-langkah kecil menuju pemulihan yang panjang dan penuh tantangan. Meskipun Maria merasa sedikit lega, bahwa satu babak dari kehidupan kelamnya akhirnya selesai, ia tahu bahwa ini bukan akhir dari segala sesuatu. Itu hanyalah awal dari pertempuran baru, yang kali ini lebih bersifat pribadi, lebih dalam, dan melibatkan penyembuhan yang harus dia jalani sendiri.Di ruang tamu rumahnya yang sunyi, Maria duduk dengan punggung tegak, matanya terfokus pada secangkir teh yang baru saja diseduhnya. Putri dan Arif sedang bermain di kamar mereka, dan meskipun suara tawa mereka terdengar riang, Maria tahu betul bahwa ketenangan ini masih rapuh. Mereka telah melalui begitu banyak bersama, dan meskipun mereka mulai merasakan kedamaian, bayang-bayang trauma itu masih sulit dihapuskan.Keesokan harinya, Maria menghadiri sesi terapi pertama se
Malam itu terasa berbeda. Gelap, sunyi, dan penuh dengan ketegangan yang meluap-luap, Maria bisa merasakannya di setiap detak jantungnya. Setelah berhari-hari bersembunyi, berlari, dan menghindari ancaman yang semakin nyata, malam ini terasa lebih berat. Ada perasaan tidak nyaman yang membayangi rumahnya, sebuah kesan bahwa sesuatu yang buruk sedang menunggu di luar sana, mengintai setiap gerakan.Maria duduk di meja makan, menatap dua anaknya—Putri dan Arif—yang sedang bermain dengan tenang, tidak menyadari betapa dekatnya bahaya yang mengintai. Ia mencoba menenangkan dirinya, berusaha untuk tidak membiarkan ketakutan yang semakin mendalam menguasainya. Namun, ia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya datang dari luar rumah, tapi juga dari dalam dirinya sendiri. Rizal, yang selama ini mengancam hidupnya, kini berusaha mengakhiri semuanya. Ia tahu bahwa malam ini, konfrontasi itu tak terhindarkan.
Maria duduk di ruang tamu rumahnya, ponselnya tergenggam erat di tangan, matanya terfokus pada layar yang menampilkan pesan terakhir dari Inspektur Farhan. Sementara anak-anaknya bermain di kamar, dia merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa ketakutan yang sudah lama mengendap. Rizal dan Lingkaran Hitam tidak hanya mengejarnya, mereka juga mulai merangsek lebih dalam ke dalam hidupnya, mengancam setiap orang yang ia cintai. Dan sekarang, setelah mengungkap semua informasi yang mereka miliki, Maria merasa semakin terperangkap.Farhan baru saja mengirimkan kabar bahwa mereka telah menemukan bukti baru: Rizal, yang selama ini bersembunyi di bayang-bayang, kini mulai mengirim ancaman dari sebuah kota yang berbeda. Namun, meskipun mereka sudah melacak jejak komunikasi Rizal, dia sangat hati-hati. Tidak ada bukti yang jelas yang bisa menunjukkan keberadaannya secara la
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Maria duduk di ruang tamu rumahnya, dikelilingi oleh keheningan yang berat. Di luar, hanya suara angin malam yang berdesir di antara dedaunan. Namun, di dalam pikirannya, ribuan skenario mengerikan terus bermain. Wajah Putri dan Arif—wajah anak-anaknya yang polos—terus membayang di benaknya, bersanding dengan senyum dingin Rizal dan ancaman yang kini terasa semakin dekat.Di ponselnya, pesan dari Rizal masih terpampang di layar: “Anak-anakmu terlihat manis, ya?”Pesan itu disertai dengan gambar Putri dan Arif, diambil dari luar jendela ruang tamu. Mereka sedang bermain bersama Dewi, tampak ceria dan tanpa beban. Tetapi bagi Maria, gambar itu adalah pengingat bahwa tidak ada tempat aman. Rizal tidak hanya ingin mengancam; ia ingin menghancurkan setiap kepingan rasa aman yang tersisa di hidup Maria.M
Maria merasakan hidupnya semakin terkunci dalam lingkaran ancaman yang tak berujung. Pesan-pesan anonim datang hampir setiap hari. Beberapa berupa surat tanpa nama yang dilemparkan ke halaman rumahnya, beberapa muncul di media sosial dengan akun-akun tak dikenal yang mengirimkan pesan menakutkan seperti, “Kami selalu melihatmu,”atau, “Tidak ada tempat yang aman, Maria.”Awalnya, Maria mencoba mengabaikan semua itu, meyakinkan dirinya bahwa ketakutannya tidak akan menjadi bahan bakar untuk permainan mereka. Namun, malam itu, sesuatu yang lebih nyata terjadi.Maria terbangun di tengah malam karena suara angin yang tidak biasa. Ia melangkah keluar dari kamarnya, memeriksa anak-anaknya yang sedang tertidur nyenyak, dan beranjak ke ruang tamu. Ketika ia tiba di dapur, ia berhenti mendadak. Pintu
Pernikahan Maria dengan Rizal dimulai seperti kisah dongeng. Ia masih ingat bagaimana ia pertama kali bertemu pria itu—tampan, karismatik, dan memiliki senyum yang mampu membuat siapa pun merasa istimewa. Rizal adalah segala yang Maria pikir ia inginkan dalam seorang pasangan: perhatian, penuh kasih, dan tampak selalu hadir saat ia membutuhkannya. Ia membuat Maria merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Awalnya, semuanya berjalan sempurna. Rizal selalu menggenggam tangannya di tengah keramaian, menatapnya dengan mata yang penuh cinta. Ia mengingat momen-momen kecil itu—sarapan bersama di pagi hari, tawa mereka yang menyatu saat berbicara hingga larut malam, dan bagaimana Rizal selalu menanyakan pendapat Maria dalam hal-hal kecil, seolah-olah pendapatnya adalah satu-satunya yang penting.Namun, seiring waktu, dongeng itu mulai berubah menjadi mimpi buruk. Rizal mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya, sisi yang perlahan-lahan membuat Maria merasa seperti burung yang terkurung