Home / Young Adult / Di Balik Tirai / Bab 4 Eskalasi Ancaman

Share

Bab 4 Eskalasi Ancaman

Author: A. Rani
last update Huling Na-update: 2025-06-16 10:00:51

Maria merasakan hidupnya semakin terkunci dalam lingkaran ancaman yang tak berujung. Pesan-pesan anonim datang hampir setiap hari. Beberapa berupa surat tanpa nama yang dilemparkan ke halaman rumahnya, beberapa muncul di media sosial dengan akun-akun tak dikenal yang mengirimkan pesan menakutkan seperti, “Kami selalu melihatmu,” atau, “Tidak ada tempat yang aman, Maria.”

Awalnya, Maria mencoba mengabaikan semua itu, meyakinkan dirinya bahwa ketakutannya tidak akan menjadi bahan bakar untuk permainan mereka. Namun, malam itu, sesuatu yang lebih nyata terjadi.

Maria terbangun di tengah malam karena suara angin yang tidak biasa. Ia melangkah keluar dari kamarnya, memeriksa anak-anaknya yang sedang tertidur nyenyak, dan beranjak ke ruang tamu. Ketika ia tiba di dapur, ia berhenti mendadak. Pintu belakang yang seharusnya terkunci rapat kini terbuka lebar, berderit pelan tertiup angin malam.

Ia berdiri diam, tubuhnya membeku sejenak. Ia yakin telah mengunci semua pintu sebelum tidur. Tetapi sekarang, pintu itu terbuka seperti undangan dari sesuatu yang tidak terlihat. Maria menggenggam pisau kecil yang selalu ia simpan di dapur, melangkah pelan menuju pintu. Ia menatap keluar, ke halaman yang gelap dan sunyi. Tidak ada apa-apa, tetapi perasaan diawasi begitu kuat hingga ia merasa sulit bernapas.

Maria menutup pintu dengan cepat, mengunci dan menambahkan rantai tambahan yang baru saja ia pasang beberapa hari sebelumnya. Namun, malam itu ia tidak kembali tidur. Ia duduk di ruang tamu, menggenggam pisau erat-erat di tangan, menunggu pagi datang.

Keesokan harinya, Maria memutuskan untuk pergi ke kantor polisi. Ia tahu ini mungkin tidak banyak membantu, tetapi ia harus mencoba. Ia tidak bisa lagi hanya bertahan di dalam rumah, berharap ancaman ini menghilang dengan sendirinya.

Di kantor polisi, Maria bertemu dengan Inspektur Farhan, seorang pria paruh baya dengan wajah yang penuh ketegasan. Rambutnya mulai memutih di sisi, tetapi matanya menunjukkan pengalaman bertahun-tahun menangani kasus-kasus yang sulit.

“Bu Maria, kami menerima laporan Anda,” kata Farhan sambil membaca catatan di mejanya. “Tapi saya harus jujur, tanpa bukti konkret, sulit bagi kami untuk mengambil tindakan.”

Maria menatap Farhan dengan tatapan penuh frustrasi. “Mereka masuk ke rumah saya,” katanya dengan nada tajam. “Pintu belakang saya terbuka tadi malam. Mereka terus mengirim ancaman. Apa itu belum cukup?”

Farhan mendesah, meletakkan pulpen di atas meja. “Saya mengerti ketakutan Anda, Bu Maria. Tapi kami tidak menemukan tanda-tanda masuk paksa di rumah Anda. Dan pesan-pesan yang Anda terima… itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Tanpa bukti fisik, sulit bagi kami untuk memulai penyelidikan formal.”

Maria mengepalkan tangannya di pangkuannya, mencoba menahan amarahnya. “Mereka tidak akan meninggalkan bukti,” katanya dengan nada dingin. “Mereka terlalu pintar untuk itu. Tapi itu tidak berarti mereka tidak ada.”

Farhan menatap Maria sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Kami akan meningkatkan patroli di sekitar rumah Anda. Dan kalau ada sesuatu yang terjadi lagi, segera laporkan kepada kami.”

Maria berdiri dari kursinya, perasaan kecewa memenuhi dadanya. Tetapi ia tahu ia tidak bisa mengandalkan polisi untuk melindunginya. Mereka tidak mengerti apa yang ia hadapi. Tidak ada yang benar-benar mengerti.

Malam itu, Dewi mengundang Maria dan anak-anaknya makan malam di rumahnya. Di meja makan, Dewi berusaha mencairkan suasana dengan senyuman dan obrolan ringan. Putri dan Arif tampak menikmati suasana yang lebih santai, tetapi Maria tetap waspada. Ia tahu bahwa bahaya bisa datang kapan saja.

“Maria,” kata Dewi pelan ketika anak-anak beranjak ke ruang tamu untuk bermain. “Aku tahu kau tidak ingin membicarakan ini, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku ada di sini untukmu. Apa pun yang sedang kau hadapi, kau tidak harus menghadapinya sendirian.”

Maria memandang Dewi dengan mata yang berkaca-kaca. “Terima kasih, Dewi,” katanya pelan. “Tapi aku tidak bisa menceritakan semuanya. Ini terlalu rumit. Aku hanya ingin menjaga anak-anak tetap aman.”

Dewi menggenggam tangan Maria di atas meja. “Aku mengerti, Maria. Tapi kalau kau butuh bantuan, apa pun itu, jangan ragu untuk memintanya. Kau tidak harus menjadi pahlawan sendirian.”

Maria tersenyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa takut dan amarah. Ia tahu Dewi tulus, tetapi ia juga tahu bahwa menceritakan lebih banyak hanya akan membahayakan temannya.

Ketika Maria dan anak-anaknya pulang, Dewi berdiri di depan pintu rumahnya, melambaikan tangan. Namun, saat Maria masuk ke dalam rumah, Dewi melihat sesuatu dari sudut matanya. Di seberang jalan, seseorang berdiri di balik semak-semak, memegang kamera dan mengarahkannya ke rumah Maria. Sosok itu bergerak cepat ketika menyadari bahwa Dewi melihatnya, menghilang ke dalam bayangan sebelum Dewi sempat berteriak.

Dewi mematung, jantungnya berdetak cepat. Ia ingin berlari mengejar, tetapi ketakutan menahannya di tempat. Sebaliknya, ia hanya berdiri diam, memandang ke arah bayangan yang kini kosong, sementara perasaan tidak nyaman merayap di tubuhnya.

Ketika Dewi memberitahu Maria tentang orang yang ia lihat, Maria tidak terlihat terkejut. Sebaliknya, ia hanya mengangguk pelan, matanya menatap kosong ke lantai. “Mereka akan terus mengawasi,” katanya dengan suara pelan. “Tapi aku akan menemukan cara untuk membuat mereka berhenti.” Dewi tahu bahwa tekad Maria sudah bulat, tetapi ia juga tahu bahwa ancaman ini semakin besar dan tidak akan berakhir dengan mudah.

Maria menatap pintu rumahnya dengan pikiran yang penuh kekhawatiran. Kata-kata Dewi masih bergema di telinganya: seseorang mengambil foto rumahnya, mengawasi mereka bahkan ketika mereka berpikir sudah aman. Dunia di sekitarnya semakin sempit, seperti jebakan yang dirancang untuk meremukkan setiap sisa harapan yang ia miliki.

Ia menunggu sampai anak-anaknya tertidur sebelum duduk di ruang tamu, memandangi gembok tambahan yang baru ia pasang di pintu depan. Tangan Maria bermain di atas pisau kecil yang ada di meja, sentuhannya pelan tetapi menunjukkan ketegangan yang sulit disembunyikan. Ia tahu, semua tindakan pencegahan yang ia lakukan hanyalah perasaan aman yang semu. Mereka—siapa pun mereka—tidak akan berhenti. Dan yang lebih buruk, mereka semakin dekat.

Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Maria menoleh dan melihat Putri berdiri di ambang pintu kamar, mengenakan piyama dan membawa boneka kecilnya.

“Ibu belum tidur?” tanya Putri dengan suara kecil, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tidak biasa untuk anak seusianya.

Maria mencoba tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. “Ibu sedang memastikan semuanya aman,” katanya pelan. “Kenapa kau tidak tidur, sayang?”

Putri berjalan mendekat, duduk di samping ibunya. “Ibu selalu terlihat khawatir,” katanya polos, menatap wajah Maria dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. “Apa karena Ayah?”

Pertanyaan itu menusuk hati Maria seperti belati. Ia mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Ibu hanya ingin memastikan kita aman,” jawab Maria akhirnya. “Ayah tidak akan menyakiti kita lagi.”

Putri menunduk, memainkan bonekanya dengan gelisah. “Aku bermimpi buruk tentang Ayah tadi malam,” katanya pelan. “Dia marah pada kita.”

Maria menarik Putri ke dalam pelukannya, mencium kepala anaknya dengan lembut. “Ayah tidak akan bisa menyakiti kita lagi,” katanya dengan suara tegas. “Ibu akan melindungimu, Putri. Selalu.”

Pagi berikutnya, Maria memutuskan untuk kembali ke kantor polisi. Ia tahu bahwa Inspektur Farhan tidak yakin dengan ancaman yang ia hadapi, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain terus mencoba. Ancaman ini telah melampaui batas wajar. Mereka telah menyusup ke setiap sudut hidupnya, dan Maria merasa ia harus memaksa otoritas untuk melihat bahwa ini bukan sekadar paranoia.

Saat ia memasuki kantor polisi, Farhan sedang berdiri di dekat meja dengan tangan terlipat di dada, berbicara dengan salah satu anak buahnya. Ketika ia melihat Maria, ekspresinya berubah menjadi campuran rasa tanggung jawab dan kelelahan.

“Bu Maria,” katanya, melangkah mendekat. “Ada perkembangan baru?”

Maria mengangguk pelan, menatap mata Farhan dengan tatapan yang tajam. “Mereka masih mengawasi rumah saya,” katanya langsung. “Seseorang mengambil foto rumah saya tadi malam. Teman saya melihatnya, tetapi sebelum kami bisa melakukan apa-apa, dia sudah pergi.”

Farhan mendesah, menarik kursi untuk Maria sebelum duduk di seberangnya. “Saya akan jujur, Bu Maria. Saya percaya Anda merasa terancam. Tetapi kami masih kekurangan bukti konkret untuk bertindak. Tanpa bukti yang lebih kuat, kami hanya bisa meningkatkan patroli dan menempatkan tim di sekitar rumah Anda.”

“Patroli?” Maria hampir tertawa, meskipun tidak ada humor dalam suaranya. “Mereka terlalu pintar untuk itu, Pak Farhan. Mereka tidak akan meninggalkan jejak yang mudah ditemukan. Tapi itu tidak berarti mereka tidak ada.”

Farhan menatap Maria dengan wajah serius. “Kalau begitu, berikan saya sesuatu yang bisa saya gunakan, Bu Maria. Apakah Anda punya rekaman, foto, atau apa pun yang menunjukkan siapa mereka?”

Maria terdiam sejenak, memikirkan kamera kecil yang ia temukan di rumahnya beberapa waktu lalu. Tetapi ia ragu. Jika ia menyerahkan bukti itu sekarang, ada kemungkinan bahwa mereka akan tahu ia bergerak melawan mereka.

“Saya sedang mengumpulkan sesuatu,” jawab Maria akhirnya. “Tapi saya butuh waktu.”

Farhan menatap Maria dengan penuh perhatian, lalu mengangguk. “Kalau begitu, saya akan memastikan Anda punya waktu itu. Tapi hati-hati, Bu Maria. Kalau mereka benar-benar seberbahaya yang Anda pikirkan, Anda harus melindungi diri Anda dengan lebih baik.”

Malam itu, Maria memutuskan untuk memasang jebakan. Ia menempatkan beberapa kamera tersembunyi di sekitar rumahnya—di sudut jendela, di dekat pintu belakang, dan bahkan di pagar depan. Ia tahu mereka sedang menonton, tetapi kali ini, ia ingin memastikan bahwa ia juga bisa melihat mereka.

Ketika malam semakin larut, Maria duduk di ruang tamu, menatap layar laptop yang terhubung dengan kamera-kamera itu. Ia menunggu, jantungnya berdegup kencang setiap kali ia melihat bayangan kecil bergerak di layar. Tetapi selama berjam-jam, tidak ada yang terjadi. Dunia di luar terlihat tenang, meskipun Maria tahu itu hanyalah ilusi.

Namun, tepat pukul dua pagi, sesuatu berubah. Kamera di pagar depan menangkap gerakan—seseorang sedang berdiri di luar pagar, mengenakan jaket gelap dan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya. Orang itu berdiri diam, memandangi rumah Maria, lalu mengangkat kamera untuk mengambil foto.

Maria merasakan darahnya mendidih. Ia tidak lagi merasa takut—hanya marah. Ia ingin keluar dan menghadapi orang itu, tetapi ia tahu itu terlalu berisiko. Sebaliknya, ia mencatat waktu rekaman itu, memastikan bahwa ia memiliki bukti yang jelas untuk diberikan kepada Farhan.

Ketika Maria memutar ulang rekaman itu pagi harinya, ia memperhatikan sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya—di salah satu frame, orang itu menatap langsung ke kamera, dan meskipun wajahnya sebagian tertutup, ada sesuatu yang familiar tentang matanya. Sesuatu yang membuat Maria yakin bahwa ia pernah melihat orang itu sebelumnya.

Maria memandangi layar laptopnya dengan fokus yang intens. Frame itu—detik di mana sosok misterius menatap langsung ke arah kamera—membuat bulu kuduknya berdiri. Wajah orang itu sebagian besar tertutup oleh bayangan dan topi, tetapi matanya… Ada sesuatu di mata itu, sesuatu yang familiar. Maria tidak bisa langsung mengingat di mana ia pernah melihatnya, tetapi rasa itu jelas—ia mengenali orang ini. Namun, siapa dan bagaimana, itu masih terkubur dalam pikirannya yang sedang berpacu.

Ia memutar ulang rekaman itu berulang kali, memperbesar frame demi frame, tetapi resolusi video membuat detail wajah sulit untuk dikenali. Maria mengepalkan tangannya di atas meja, frustrasi dengan keterbatasan yang ia hadapi. Ia tahu bahwa orang ini bukan sekadar pengamat biasa. Ini adalah bagian dari jaringan yang lebih besar—bagian dari Lingkaran Hitam yang selama ini mengintai hidupnya.

Pagi itu, Maria kembali ke kantor polisi dengan rekaman dari kamera tersembunyinya. Ia membawa laptopnya sendiri, bertekad menunjukkan bukti konkret kepada Inspektur Farhan. Kali ini, ia tidak ingin penolakan atau keraguan. Ia membutuhkan tindakan nyata.

Ketika Farhan melihat Maria datang, ia segera berdiri dari mejanya, menyambutnya dengan wajah serius. “Bu Maria,” katanya, “Anda kembali lebih cepat dari yang saya kira. Apa yang Anda temukan?”

Maria meletakkan laptopnya di meja Farhan, membuka file rekaman dari malam sebelumnya. “Lihat ini,” katanya dengan nada tegas. “Seseorang ada di luar rumah saya tadi malam, mengambil foto dari pagar depan. Ini bukan kebetulan lagi, Pak Farhan. Ini adalah ancaman yang nyata.”

Farhan menatap layar laptop, memperhatikan rekaman itu dengan seksama. Ketika frame yang menampilkan mata orang itu muncul, ia mengerutkan alis, ekspresinya berubah menjadi lebih serius. “Orang ini…” gumamnya. “Anda mengenalnya?”

Maria menggeleng pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi ada sesuatu yang familiar. Aku merasa pernah melihat orang ini sebelumnya, tapi aku tidak bisa mengingat di mana.”

Farhan menarik napas panjang, lalu bersandar di kursinya. “Ini bukti yang lebih konkret, Bu Maria,” katanya akhirnya. “Tapi tanpa identitas orang ini, sulit untuk melangkah lebih jauh. Kami akan mencoba mencari tahu lebih banyak dari rekaman ini, tetapi Anda harus bersiap. Jika mereka sudah cukup berani untuk mendekati rumah Anda, mereka mungkin sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar.”

Maria mengangguk pelan, meskipun peringatan Farhan hanya memperkuat tekadnya. “Apa pun yang mereka rencanakan,” katanya, “saya akan melawan. Saya tidak akan membiarkan mereka menang.”

Malam itu, Maria duduk di ruang tamu bersama Dewi. Kedua anaknya sudah tertidur di kamar mereka, tetapi Maria merasa sulit untuk menemukan ketenangan. Rekaman dari malam sebelumnya terus terputar di pikirannya, seperti ingatan yang tidak mau pergi.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Dewi, memecah keheningan. Suaranya lembut, tetapi ada kekhawatiran yang jelas di dalamnya.

Maria menatap Dewi dengan mata yang lelah tetapi penuh tekad. “Aku akan terus melawan,” katanya. “Mereka ingin aku menyerah, Dewi. Mereka ingin aku merasa tidak berdaya. Tapi aku tidak akan memberi mereka kepuasan itu.”

Dewi menggenggam tangan Maria di atas meja. “Aku ada di sini untukmu,” katanya dengan nada penuh ketulusan. “Apa pun yang kau butuhkan, aku akan membantu.”

Maria tersenyum kecil, meskipun hatinya masih berat. “Terima kasih, Dewi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tidak bisa berhenti sekarang.”

Malam berikutnya, Maria memasang lebih banyak kamera di sekitar rumahnya, mencoba menutup setiap sudut yang mungkin menjadi celah bagi mereka untuk mengawasi. Ia bahkan memasang sensor gerak di pintu dan jendela, berharap itu bisa memberinya sedikit rasa aman. Tetapi saat ia menatap hasilnya di layar laptop, ia tahu bahwa semua itu hanya sementara. Mereka—siapa pun mereka—selalu satu langkah di depan.

Pukul dua pagi, sensor gerak di pintu belakang berbunyi. Maria, yang masih terjaga di ruang tamu, segera melihat layar laptopnya. Di salah satu kamera, ia melihat bayangan bergerak cepat di dekat pintu. Jantungnya berdebar kencang, tetapi ia tidak membiarkan dirinya panik. Ia meraih pisau kecil yang selalu ia simpan di meja, lalu berjalan pelan menuju pintu belakang.

Ketika ia membuka pintu dengan hati-hati, tidak ada siapa pun di sana. Tetapi di lantai, tepat di depan pintu, ada sesuatu yang baru saja diletakkan—sebuah amplop putih dengan tulisan tangan yang tajam: “Kau terlalu keras kepala, Maria. Kami akan membuatmu tunduk.”

Maria merasakan napasnya memburu, tetapi ia tidak membiarkan rasa takut menguasainya. Ia meraih amplop itu, membawanya ke dalam rumah dan membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya, ada sebuah foto dirinya sendiri, diambil dari jendela ruang tamu beberapa malam sebelumnya. Tulisan di bagian belakang foto itu membuat darahnya berhenti mengalir: “Kami selalu melihatmu. Langkah berikutnya adalah milikmu.”

Maria kembali ke kantor polisi keesokan paginya dengan amplop itu sebagai bukti tambahan. Namun, saat ia tiba, ia melihat sesuatu yang tidak biasa—Inspektur Farhan sedang berbicara dengan seorang pria yang tampak seperti orang dalam rekaman yang ia serahkan. Mata pria itu bertemu dengan mata Maria untuk sesaat sebelum ia pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Maria dengan firasat buruk yang semakin dalam.

Maria berdiri di depan kantor polisi, tubuhnya terasa tegang saat ia menyaksikan pria itu berjalan keluar dengan langkah cepat. Meski hanya sesaat, tatapan pria itu sudah cukup untuk menggetarkan hati Maria. Mata itu—mata yang ia lihat di rekaman—terpaku padanya dengan pandangan yang dingin dan penuh makna. Pria itu tidak berhenti, tidak menunjukkan rasa takut atau cemas meskipun Maria mengenalinya. Sebaliknya, ia seperti ingin Maria tahu bahwa dirinya tidak bersembunyi.

“Tidak mungkin…” gumam Maria, tangannya mengepal amplop berisi foto yang baru saja ia bawa.

Ia melangkah cepat masuk ke kantor polisi, jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang. Di dalam, Inspektur Farhan sedang berbicara dengan seorang petugas lain, tetapi ia berhenti ketika melihat Maria. Ekspresinya sedikit terkejut, tetapi ia segera menguasai dirinya.

“Bu Maria,” katanya, mencoba terdengar ramah, meskipun Maria melihat sesuatu yang samar di matanya. “Anda datang lagi? Ada sesuatu yang ingin Anda sampaikan?”

Maria meletakkan amplop di meja Farhan dengan gerakan tajam. “Seseorang meninggalkan ini di rumah saya tadi malam,” katanya, suaranya penuh dengan ketegangan yang tertahan. “Dan saya tahu siapa dia.”

Farhan membuka amplop itu, mengeluarkan foto dan membacanya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia mengangguk pelan, meletakkan foto itu kembali di meja. “Anda yakin Anda tahu siapa dia?” tanyanya.

Maria menatap Farhan, matanya menyala dengan kemarahan yang telah ia tahan selama ini. “Dia ada di sini barusan. Saya melihat Anda berbicara dengannya di luar. Dia adalah pria yang sama yang ada di rekaman saya. Apa dia bekerja untuk Anda, Pak Farhan? Atau dia bagian dari sesuatu yang lebih besar?”

Farhan terdiam sejenak, wajahnya tetap tenang meskipun Maria bisa melihat rahangnya mengencang. “Bu Maria, tolong tenang,” katanya dengan nada hati-hati. “Pria itu adalah informan kami dalam sebuah kasus lain. Saya tidak bisa memberikan detailnya, tetapi dia tidak terkait dengan situasi Anda.”

Maria tertawa kecil, tetapi itu bukan tawa yang penuh humor. Itu adalah tawa yang penuh ironi dan frustrasi. “Anda tidak bisa memberitahu saya?” katanya tajam. “Sementara hidup saya dan anak-anak saya terus-menerus berada di bawah ancaman? Anda meminta saya untuk percaya bahwa ini semua kebetulan?”

Farhan menarik napas dalam-dalam, mencoba mempertahankan kendali. “Saya mengerti posisi Anda, Bu Maria. Tapi Anda harus memahami bahwa kami memiliki prosedur yang harus kami ikuti. Kalau Anda merasa terancam, kami akan terus meningkatkan pengamanan di sekitar rumah Anda.”

Maria menatap Farhan, matanya penuh dengan tekad. “Pengamanan?” katanya, nadanya rendah tetapi penuh emosi. “Mereka sudah masuk ke rumah saya, mengambil foto saya, dan sekarang mereka berjalan bebas keluar dari kantor polisi ini. Apa Anda pikir pengamanan itu cukup?”

Farhan tidak menjawab. Ia hanya menatap Maria dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya berkata, “Saya akan melihat rekaman itu lagi dan mencoba melacak siapa dia. Tapi tolong, Bu Maria, tetap tenang. Kami sedang melakukan yang terbaik.”

Maria keluar dari kantor polisi dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa semakin jelas bahwa Lingkaran Hitam memiliki jaringan yang jauh lebih luas daripada yang ia bayangkan. Mereka tidak hanya mengintainya, tetapi juga mungkin memiliki orang-orang di dalam sistem yang seharusnya melindungi dirinya. Di sisi lain, ia merasa frustrasi karena tidak ada yang bisa ia lakukan untuk melawan mereka secara langsung—belum.

Ketika ia sampai di rumah, Dewi sudah menunggunya di ruang tamu. Wajah Dewi penuh dengan kekhawatiran, dan Maria bisa melihat bahwa temannya itu hampir tidak tidur semalaman.

“Bagaimana di kantor polisi?” tanya Dewi, suaranya penuh harapan yang samar.

Maria meletakkan tasnya di meja, menghela napas panjang. “Mereka bilang mereka akan menyelidiki,” katanya singkat. “Tapi aku tidak yakin mereka benar-benar bisa membantu.”

Dewi menggenggam tangan Maria. “Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanyanya pelan. “Maria, ini semakin berbahaya. Mereka semakin dekat, dan aku takut sesuatu akan terjadi padamu.”

Maria menatap Dewi, matanya penuh dengan tekad yang membara. “Aku akan melawan, Dewi,” katanya. “Aku tidak peduli seberapa besar mereka, atau seberapa banyak orang yang mereka kendalikan. Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan hidupku.”

Dewi terdiam, tetapi ia mengangguk pelan. “Kalau begitu, aku ada di sisimu,” katanya akhirnya. “Apa pun yang terjadi.”

Malam itu, Maria kembali duduk di depan layar laptopnya, memeriksa rekaman dari kamera tersembunyi yang ia pasang di sekitar rumah. Ia tahu bahwa mereka mungkin akan kembali, tetapi kali ini, ia bertekad untuk berada satu langkah lebih depan.

Tepat pukul dua pagi, sensor gerak di kamera halaman belakang berbunyi lagi. Maria langsung membuka layar, dan hatinya berdegup kencang saat ia melihat sosok yang sama dari malam sebelumnya. Pria itu berdiri di tempat yang sama, kali ini tanpa kamera, hanya memandangi rumahnya dalam diam. Ia tidak bergerak selama beberapa menit, seolah-olah tahu bahwa Maria sedang melihatnya.

Maria meraih ponselnya, tetapi sebelum ia bisa melakukan apa-apa, pria itu mengangkat tangan kanannya, menunjukkan sesuatu yang ia genggam—amplop lain. Ia menjatuhkannya ke tanah, lalu berbalik dan berjalan pergi tanpa tergesa-gesa, seperti seseorang yang tahu bahwa tidak ada yang bisa menyentuhnya.

Maria mengambil amplop itu dengan hati-hati setelah memastikan pria itu benar-benar pergi. Ketika ia membukanya, ia menemukan sebuah pesan singkat: “Waktu tidak berpihak padamu, Maria. Pilih dengan bijak.” Namun, kali ini, ada sesuatu yang baru—di dalam amplop itu, ada sebuah kunci kecil dengan angka “17” terukir di atasnya. Pesan itu jelas: ini bukan hanya ancaman. Ini adalah petunjuk menuju sesuatu yang lebih besar.

Maria menggenggam kunci kecil itu dengan jemarinya yang gemetar. Angka “17” yang terukir di permukaannya terasa seperti tanda yang menunggu untuk dipecahkan, tetapi tidak ada petunjuk langsung tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Pesan di dalam amplop masih bergema di pikirannya: “Waktu tidak berpihak padamu, Maria. Pilih dengan bijak.”

Ia duduk di ruang tamu, memandangi kunci itu dengan campuran rasa bingung, takut, dan marah. Rasanya seperti mereka sedang bermain-main dengannya, melemparkan petunjuk tanpa memberikan jawaban, memaksa Maria masuk ke dalam permainan yang tidak pernah ia pilih untuk mainkan.

Dewi keluar dari dapur, membawa dua cangkir teh panas di tangannya. “Apa itu?” tanyanya, matanya tertuju pada kunci kecil di tangan Maria.

Maria mengangkat kunci itu, menunjukkan kepada Dewi. “Ini ditinggalkan di halaman belakang tadi malam,” katanya dengan suara yang rendah. “Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi mereka jelas ingin aku menemukannya.”

Dewi duduk di sebelah Maria, menatap kunci itu dengan dahi yang berkerut. “Angka 17,” gumamnya. “Mungkin itu kode? Atau nomor sesuatu? Apa pun itu, mereka ingin kau mencari tahu.”

Maria menghela napas panjang, menatap kunci itu lagi. “Mereka terus membuatku bergerak sesuai permainan mereka,” katanya, frustrasi. “Tapi aku tidak punya pilihan. Kalau aku tidak mencoba memahami ini, mereka akan terus menghancurkan hidupku.”

Dewi meraih tangan Maria, matanya penuh dengan kekhawatiran. “Tapi Maria, bagaimana kalau ini jebakan? Bagaimana kalau mereka ingin kau pergi ke tempat yang bisa membahayakanmu?”

Maria menoleh ke arah Dewi, matanya penuh dengan tekad. “Kalau mereka ingin menjebakku, mereka akan melakukannya kapan saja,” katanya. “Tapi aku tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu. Aku harus mengambil langkah berikutnya.”

Maria memutuskan untuk kembali ke kantor polisi keesokan paginya, membawa kunci dan amplop itu kepada Inspektur Farhan. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghadapi ini sendirian. Meskipun kepercayaannya pada polisi mulai goyah, ia tidak punya pilihan selain mencari bantuan.

Ketika Maria tiba, Farhan sedang duduk di mejanya, memeriksa beberapa dokumen. Ketika ia melihat Maria masuk, ia segera bangkit, menyambutnya dengan tatapan serius.

“Bu Maria,” katanya. “Ada perkembangan baru?”

Maria meletakkan amplop dan kunci di atas meja Farhan. “Seseorang meninggalkan ini tadi malam,” katanya dengan nada tegas. “Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi mereka jelas ingin aku menemukan kunci ini. Ada angka 17 di atasnya. Mungkin itu petunjuk.”

Farhan mengambil kunci itu, memeriksanya dengan seksama sebelum meletakkannya kembali. “Mereka semakin intensif,” gumamnya. “Ini bukan hanya ancaman lagi. Mereka mencoba memancing Anda untuk bertindak.”

Maria menatap Farhan dengan tajam. “Itu sebabnya saya di sini,” katanya. “Saya butuh bantuan Anda untuk memahami ini. Angka ini, kunci ini—saya yakin ini mengarah ke sesuatu yang mereka sembunyikan.”

Farhan terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kami bisa mencoba melacak apa yang mungkin terkait dengan angka ini,” katanya. “Apakah Anda yakin tidak ada informasi lain yang bisa membantu?”

Maria menggeleng. “Ini saja yang mereka tinggalkan.”

Farhan berdiri, memasukkan kunci itu ke dalam kantong plastik sebagai barang bukti. “Kami akan menyelidiki,” katanya. “Tapi saya tetap ingin Anda berhati-hati. Jangan mengambil risiko yang tidak perlu.”

Malam itu, Maria duduk di depan laptopnya, mencoba mencari tahu sendiri tentang angka 17. Ia memeriksa segala kemungkinan—alamat, nomor kunci loker, hingga kode tertentu yang mungkin relevan. Tetapi tidak ada yang langsung mengarah ke jawaban. Frustrasi mulai merayap masuk, tetapi Maria menolak untuk menyerah.

Ketika malam semakin larut, ia menerima pesan baru di ponselnya. Pesan itu berasal dari nomor tak dikenal, seperti biasa. Pesannya singkat tetapi membuat darah Maria membeku: “Kunci itu untuk masa depanmu, Maria. Jangan sia-siakan waktumu.”

Pesan itu diikuti dengan lampiran foto. Maria membuka foto itu, dan apa yang ia lihat membuat tubuhnya membeku. Itu adalah foto dirinya bersama Putri dan Arif di ruang tamu, diambil dari sudut jendela rumahnya. Waktu pengambilan foto jelas baru beberapa jam yang lalu.

Maria merasakan tubuhnya gemetar, tetapi ia mencoba tetap tenang. Ia menatap foto itu lama, mencoba mencari petunjuk, sesuatu yang bisa memberinya informasi lebih banyak. Tetapi yang ia dapatkan hanyalah rasa takut yang semakin dalam—mereka tidak hanya mengawasi. Mereka sudah terlalu dekat.

Maria memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama. Ia menelepon Laras, temannya yang selama ini membantunya mencari petunjuk tentang Lingkaran Hitam.

“Laras,” kata Maria ketika Laras menjawab telepon. “Mereka meninggalkan kunci dengan angka 17. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi mereka mengirim pesan baru—dan ini semakin mendesak.”

Laras terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya rendah tetapi serius. “Aku akan mencoba mencari tahu,” katanya. “Tapi Maria, ini terdengar seperti mereka ingin kau datang ke tempat tertentu. Mereka memancingmu.”

“Aku tahu,” jawab Maria. “Tapi aku tidak bisa hanya menunggu mereka menyerang lagi. Kalau mereka punya rencana, aku harus mendahului mereka.”

“Baik,” kata Laras akhirnya. “Berikan aku waktu. Aku akan menghubungimu jika aku menemukan sesuatu.”

Keesokan paginya, Maria menerima pesan dari Laras. Pesan itu hanya berisi sebuah alamat, dengan catatan singkat: “Aku tidak yakin, tapi ini mungkin terkait dengan angka itu. Hati-hati, Maria. Jangan pergi sendirian.” Maria membaca pesan itu dengan hati yang berdebar, menyadari bahwa langkah berikutnya mungkin akan membawanya lebih dekat pada kebenaran—atau ke bahaya yang lebih besar.

Maria membaca pesan dari Laras berulang kali, alamat yang tertera di sana terus membayang di pikirannya. Tempat itu berada di sebuah distrik industri yang sudah lama ditinggalkan, jauh dari keramaian, di sudut kota yang jarang dikunjungi orang. Setiap elemen dari situasi ini mengirimkan peringatan di pikirannya. Bahaya sudah jelas, tetapi dorongan untuk menemukan jawaban lebih kuat daripada rasa takutnya.

Duduk di meja dapur, Maria menatap ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Laras sudah memperingatkannya untuk tidak pergi sendirian, tetapi Maria tahu bahwa membawa orang lain hanya akan membuat mereka ikut terjebak dalam ancaman ini. Ia harus menghadapi ini sendiri.

Dewi masuk dari ruang tamu, membawa secangkir kopi untuk Maria. “Apa itu?” tanyanya, memandangi layar ponsel Maria.

Maria mengunci layar ponselnya, menyembunyikan alamat itu dari pandangan Dewi. “Tidak ada,” katanya singkat, meskipun nada suaranya membuat Dewi tidak percaya.

“Maria,” kata Dewi, suaranya penuh kekhawatiran. “Kau tidak bisa terus seperti ini. Apa pun yang sedang kau hadapi, kau butuh bantuan.”

Maria menggeleng pelan, menatap temannya dengan mata yang penuh tekad. “Aku tidak ingin kau atau siapa pun terlibat lebih jauh, Dewi,” katanya. “Ini sudah cukup buruk. Aku harus menyelesaikan ini sendiri.”

Dewi meletakkan cangkir di meja dengan sedikit keras. “Kau pikir ini hanya tentangmu?” katanya, suaranya mulai naik. “Mereka mengawasi rumahmu, mengambil foto anak-anakmu. Ini bukan hanya ancaman untukmu, Maria. Ini adalah ancaman untuk semua orang di sekitar kita.”

Maria terdiam sejenak, kata-kata Dewi menusuk lebih dalam daripada yang ia duga. Tetapi ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia bagi, tidak bisa ia serahkan pada siapa pun. Jika ia ingin melindungi Dewi, anak-anaknya, dan dirinya sendiri, ia harus bertindak.

“Percayalah padaku, Dewi,” kata Maria akhirnya, suaranya lebih lembut. “Aku tahu apa yang aku lakukan.”

Dewi menatap Maria dengan mata yang berkaca-kaca, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tahu bahwa temannya ini sudah mengambil keputusan, dan tidak ada yang bisa menghentikannya.

Maria berangkat ke lokasi itu pada pagi hari berikutnya, meninggalkan rumah dengan hati-hati setelah memastikan bahwa Dewi akan menjaga anak-anaknya. Ia tidak memberi tahu siapa pun ke mana ia pergi, hanya membawa kunci kecil dengan angka 17 di dalam sakunya, dan pisau kecil yang selalu ia bawa sebagai perlindungan.

Ketika ia tiba di distrik industri, suasana tempat itu membuat bulu kuduknya berdiri. Bangunan-bangunan tua yang berkarat berdiri seperti saksi bisu dari masa lalu, dikelilingi oleh ilalang tinggi dan puing-puing yang berserakan di tanah. Tidak ada suara selain deru angin yang menusuk, membawa bau logam dan debu yang menyengat.

Maria memeriksa alamat yang diberikan Laras. Tempat itu adalah sebuah gudang besar di ujung jalan, pintunya terbuat dari logam berat yang tertutup rapat. Ia melangkah perlahan, setiap langkahnya terasa bergema di udara yang sunyi. Ketika ia mencapai pintu, ia melihat sebuah gembok kecil yang cocok dengan kunci yang ia bawa.

Tangannya gemetar saat ia memasukkan kunci itu ke dalam gembok. Dengan bunyi klik pelan, gembok itu terbuka. Maria menarik napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu besar itu, yang terbuka dengan suara derit panjang yang memekakkan telinga.

Di dalam, gudang itu kosong, kecuali sebuah meja kecil di tengah ruangan, diterangi oleh satu lampu gantung yang berayun pelan. Di atas meja, ada sebuah laptop yang menyala, menampilkan layar hitam dengan satu pesan yang tertulis di tengahnya: “Duduklah, Maria.”

Maria berdiri diam, tubuhnya tegang, matanya mengamati setiap sudut ruangan untuk mencari tanda-tanda bahaya. Tetapi tidak ada siapa pun di sana, hanya keheningan yang terasa semakin berat.

Ia melangkah mendekati meja, duduk di kursi yang diletakkan di depannya, dan menatap layar laptop itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Tangannya bergerak untuk menyentuh touchpad, tetapi sebelum ia bisa melakukan apa pun, layar itu berubah, menampilkan sebuah video.

Video itu adalah rekaman Rizal, duduk di sebuah ruangan gelap dengan senyuman dingin di wajahnya. “Maria,” katanya, suaranya menggema dari speaker laptop. “Kau akhirnya sampai di sini. Aku tahu kau tidak bisa menolak petunjuk kami. Kau selalu terlalu penasaran untuk kebaikanmu sendiri.”

Maria mengepalkan tangannya, tubuhnya gemetar dengan amarah. “Apa yang kau inginkan, Rizal?” katanya dengan suara keras, meskipun ia tahu tidak ada yang bisa mendengarnya.

Rekaman itu terus berlanjut, seolah-olah Rizal mendengar pertanyaannya. “Aku ingin kau mengerti sesuatu,” katanya. “Ini bukan tentang kau menang atau kalah. Ini tentang kau memahami bahwa tidak ada tempat di dunia ini di mana kau bisa melarikan diri dari kami. Lingkaran Hitam selalu ada, Maria. Kami adalah bayangan di setiap sudut hidupmu.”

Maria menatap layar itu, napasnya terasa semakin berat. “Kau tidak akan membuatku tunduk,” gumamnya, meskipun suaranya hampir tak terdengar.

Di akhir video, Rizal menatap langsung ke kamera, senyum dinginnya memudar. “Ini adalah peringatan terakhir, Maria. Kalau kau terus melawan, kau akan kehilangan segalanya.”

Layar laptop itu tiba-tiba mati, meninggalkan Maria dalam kegelapan. Perasaan mencekam melingkupi dirinya, tetapi ia menolak untuk menyerah pada rasa takut. Ia berdiri, matanya memindai ruangan untuk mencari petunjuk lebih lanjut, tetapi tidak ada yang lain.

Ketika Maria keluar dari gudang, ia menemukan sesuatu yang baru menunggu di kaca depan mobilnya—sebuah amplop lain. Di dalamnya, ada foto Dewi bersama anak-anak Maria di rumah, diambil hanya beberapa jam sebelumnya. Di belakang foto itu tertulis pesan: “Kau tidak bisa melindungi mereka selamanya.” Maria tahu ini bukan hanya ancaman lagi—ini adalah deklarasi perang.

Maria berdiri di samping mobilnya, amplop putih itu gemetar di tangannya. Foto yang ia temukan di dalamnya memperlihatkan Dewi bersama Putri dan Arif, duduk di ruang tamu rumahnya sendiri. Wajah mereka tampak ceria, tak menyadari ancaman yang menggantung di udara, tetapi bagi Maria, foto itu lebih menakutkan daripada pesan ancaman mana pun.

“Kau tidak bisa melindungi mereka selamanya.”

Kalimat itu tertulis di belakang foto dengan tinta merah, seperti tanda tangan ancaman yang selama ini membayanginya. Maria merasakan napasnya semakin cepat, dadanya terasa berat, tetapi ia berusaha mengendalikan dirinya. Ia tidak bisa membiarkan mereka melihat ketakutannya—meskipun mereka mungkin sudah menduganya.

Ketika Maria tiba di rumah, Dewi langsung menyambutnya di pintu, wajahnya penuh dengan rasa lega. “Maria! Kau baik-baik saja?” tanyanya sambil menatap tajam wajah Maria yang pucat.

Maria tidak menjawab langsung. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah berat, meletakkan tasnya di meja ruang tamu, lalu menyerahkan amplop itu kepada Dewi tanpa berkata apa-apa.

Dewi membuka amplop itu dengan ragu-ragu. Ketika ia melihat foto di dalamnya, wajahnya langsung berubah pucat. “Tuhan…” bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar. “Mereka… mereka memotret ini? Aku… aku ada di rumah bersama anak-anakmu!”

Maria mengangguk pelan, duduk di sofa dengan tangan yang terlipat erat di pangkuannya. “Mereka ingin aku tahu,” katanya, suaranya rendah tetapi penuh dengan emosi yang tertahan. “Mereka ingin aku tahu bahwa mereka bisa mencapai siapa saja, kapan saja. Bahkan kau, Dewi.”

Dewi menjatuhkan foto itu ke meja, lalu berlutut di depan Maria, menggenggam tangannya erat-erat. “Maria, kau tidak bisa terus seperti ini,” katanya dengan nada putus asa. “Kita harus pergi ke polisi lagi. Kita harus membawa bukti ini. Mereka tidak akan berhenti.”

Maria menggeleng pelan, menatap temannya dengan mata yang penuh ketegangan. “Polisi tidak bisa melindungi kita, Dewi,” katanya, suaranya tegas meskipun lelah. “Ini lebih besar dari mereka. Mereka punya orang di mana-mana. Kita bahkan tidak tahu siapa yang bisa kita percaya.”

“Tapi kita tidak bisa hanya duduk diam!” Dewi membalas, hampir menangis. “Mereka bisa menyakiti anak-anakmu, Maria! Mereka bisa menyakitimu!”

Maria menarik napas panjang, mencoba mengendalikan dirinya. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi,” katanya pelan tetapi tegas. “Aku akan menemukan cara untuk menghentikan mereka.”

Malam itu, Maria menghabiskan waktu di depan laptopnya, mencoba mencari pola atau petunjuk dari semua yang terjadi. Ia memutar ulang video dari gudang, mendengar setiap kata Rizal dengan seksama. Ada sesuatu dalam nada bicaranya, sesuatu yang ia rasa tidak hanya sekadar ancaman—itu adalah teka-teki.

Ia mencatat setiap kalimat yang terasa penting, terutama pernyataan terakhirnya: “Kalau kau terus melawan, kau akan kehilangan segalanya.” Maria tahu bahwa ancaman ini tidak hanya ditujukan untuknya. Ini adalah pesan bahwa mereka sudah melangkah lebih jauh—mereka sudah siap menyentuh apa yang paling ia lindungi.

Saat Maria tenggelam dalam pikirannya, suara pelan dari pintu depan membuatnya terkejut. Ia berdiri dengan cepat, meraih pisau yang ia simpan di meja, lalu berjalan dengan hati-hati ke arah pintu. Ketika ia membuka tirai kecil di samping pintu, ia melihat sesuatu tergeletak di lantai—amplop lain.

Maria membuka pintu dengan hati-hati, mengambil amplop itu, lalu menutup pintu dengan cepat. Ketika ia membukanya, ia menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan yang tajam:

“Waktumu hampir habis, Maria. Jika kau tidak ingin melihat mereka menderita, berhenti sekarang.”

Tidak ada foto kali ini, tidak ada kunci atau petunjuk lain—hanya ancaman yang lebih jelas, lebih langsung. Maria membaca pesan itu beberapa kali, mencoba menemukan celah atau makna tersembunyi. Tetapi kali ini, mereka hanya ingin satu hal: menakutinya, memaksanya menyerah.

Maria meremas kertas itu, membuangnya ke lantai dengan gerakan kasar. Tubuhnya gemetar, tetapi bukan karena takut—karena marah. Mereka mencoba mengintimidasinya, mencoba membuatnya menyerah, tetapi mereka lupa satu hal: Maria tidak pernah menyerah.

Pagi berikutnya, Maria memutuskan untuk mengambil risiko yang lebih besar. Ia menghubungi Laras, memberitahunya tentang ancaman baru ini dan memohon bantuan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Lingkaran Hitam.

“Laras,” kata Maria di telepon, suaranya penuh ketegangan. “Aku butuh tahu lebih banyak. Siapa mereka? Apa yang sebenarnya mereka inginkan? Aku tidak bisa hanya menunggu lagi.”

Laras terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya rendah dan serius. “Aku sedang mencoba menggali lebih dalam, Maria,” katanya. “Tapi ini berbahaya. Mereka sangat hati-hati, dan setiap kali aku mendekati sesuatu, aku merasa diawasi.”

“Aku tidak peduli seberapa berbahayanya,” balas Maria dengan tegas. “Aku tidak bisa terus seperti ini, Laras. Kalau mereka ingin aku takut, mereka gagal. Aku harus tahu.”

Laras menghela napas panjang. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Ada satu hal yang mungkin bisa membantu. Tapi ini akan membutuhkan keberanian yang lebih besar, Maria.”

“Apa itu?” tanya Maria.

“Ada tempat yang mereka gunakan untuk menyimpan informasi,” kata Laras. “Aku tidak tahu pasti apa yang ada di sana, tapi tempat itu sering disebut dalam dokumen-dokumen lama yang pernah aku temukan. Jika kita bisa masuk ke sana, mungkin kita bisa menemukan sesuatu.”

“Di mana tempat itu?” tanya Maria dengan nada mendesak.

Laras ragu sejenak sebelum menjawab. “Di sebuah vila di pinggir kota,” katanya. “Tapi Maria, tempat itu dijaga. Aku tidak tahu apakah kau bisa masuk tanpa mereka menyadari.”

Maria tersenyum tipis, meskipun hatinya berat. “Aku akan menemukan cara,” katanya. “Aku tidak punya pilihan lain.”

Laras mengirimkan koordinat vila tersebut kepada Maria, memperingatkannya untuk berhati-hati. Maria menatap layar ponselnya dengan napas yang berat, menyadari bahwa langkah berikutnya mungkin akan membawanya lebih dekat ke kebenaran—atau ke dalam bahaya yang lebih besar dari sebelumnya.

Maria menatap koordinat yang dikirimkan Laras di ponselnya. Vila itu berada di luar kota, di daerah yang terpencil, jauh dari keramaian. Tempat itu jelas dipilih dengan hati-hati—lokasi yang sempurna untuk menyembunyikan sesuatu yang mereka anggap penting. Maria merasa tangannya sedikit gemetar, tetapi ia mengepalkan kedua tangannya, mencoba mengendalikan ketegangan yang menghantui dirinya.

Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaannya. Maria mempersiapkan diri dengan hati-hati. Ia tahu bahwa pergi ke vila itu adalah tindakan berisiko. Lingkaran Hitam tidak akan meninggalkan tempat seperti itu tanpa pengamanan. Tetapi semakin ia memikirkannya, semakin besar dorongan di dalam dirinya untuk mengambil langkah ini. Setiap ancaman, setiap foto, setiap pesan—semua ini hanya akan berhenti jika ia menemukan kelemahan mereka.

Dewi masuk ke dapur, melihat Maria sedang memeriksa tasnya dengan cermat. “Kau akan pergi lagi, bukan?” tanya Dewi dengan nada yang penuh kekhawatiran.

Maria tidak menjawab seketika. Ia hanya memasukkan pisau kecil ke dalam kantong jaketnya sebelum menatap Dewi. “Aku harus pergi, Dewi,” katanya akhirnya. “Mereka tidak akan berhenti sampai aku melawan balik.”

Dewi mendekat, menggenggam lengan Maria dengan erat. “Maria, ini gila,” katanya dengan nada hampir memohon. “Kau bahkan tidak tahu apa yang menunggumu di sana. Kalau mereka menyakitimu…”

Maria menatap Dewi dengan mata yang penuh tekad. “Kalau aku tidak melawan sekarang, mereka akan terus menyakiti kita, Dewi. Bukan hanya aku, tapi kau, anak-anakku… semua orang yang aku cintai. Aku tidak bisa hanya duduk dan menunggu.”

Dewi terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tahu Maria tidak akan mengubah keputusannya. Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Hati-hati,” katanya dengan suara pelan. “Kau harus kembali dengan selamat.”

Maria meraih tangan Dewi, menggenggamnya erat. “Terima kasih, Dewi,” katanya. “Jaga Putri dan Arif untukku. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada mereka.”

Maria tiba di lokasi vila itu menjelang sore. Tempat itu terletak di tengah hutan kecil, dikelilingi oleh pepohonan tinggi yang membuat suasananya semakin sepi. Vila itu sendiri adalah bangunan besar dengan arsitektur yang tampak kuno tetapi terawat. Pagar besi tinggi mengelilingi properti itu, dan di pintu gerbang, Maria melihat dua pria berjaga, masing-masing dengan radio komunikasi di tangan mereka.

Ia duduk di dalam mobilnya, memerhatikan tempat itu dari kejauhan. Otaknya bekerja keras, mencoba memikirkan cara untuk masuk tanpa terdeteksi. Kamera keamanan terpasang di beberapa sudut pagar, dan gerakan para penjaga menunjukkan bahwa mereka tidak hanya sekadar simbolis—mereka benar-benar mengawasi dengan serius.

Maria menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang keberanian. Ini juga tentang strategi. Ia tidak bisa gegabah.

Setelah beberapa saat, ia memperhatikan pola pergerakan penjaga di depan gerbang. Setiap beberapa menit, mereka tampak berbicara melalui radio dan berjalan ke arah samping vila, meninggalkan gerbang tanpa pengawasan langsung. Itu adalah celah kecil, tetapi cukup bagi Maria untuk menyelinap masuk.

Ketika penjaga-penjaga itu bergerak ke arah lain, Maria keluar dari mobilnya, merapat ke pagar dengan langkah pelan tetapi tegas. Ia memanjat pagar dengan hati-hati, memastikan gerakannya tidak menimbulkan suara. Ketika ia melompat ke sisi lain, jantungnya berdetak cepat, tetapi ia tidak berhenti. Ia merunduk di balik semak-semak, memeriksa situasi di sekelilingnya.

Vila itu terlihat lebih besar dari dekat, dan setiap detailnya menunjukkan bahwa ini adalah tempat yang penting. Jendela-jendela besar dengan tirai tebal menutupi bagian dalamnya, tetapi Maria melihat satu jendela kecil di lantai bawah yang tampak tidak terkunci.

Ia bergerak ke arah jendela itu dengan hati-hati, memastikan tidak ada penjaga di sekitarnya sebelum membukanya perlahan. Jendela itu mengarah ke sebuah ruangan kecil yang tampaknya seperti ruang penyimpanan. Maria masuk dengan cepat, menutup jendela di belakangnya, lalu berdiri diam untuk mendengarkan suara apa pun di dalam vila.

Keheningan menyelimuti ruangan, tetapi Maria tahu bahwa tempat ini tidak sepenuhnya kosong. Ia melangkah pelan, membuka pintu ke ruangan berikutnya. Koridor panjang dengan lantai marmer menyambutnya, lampu-lampu redup memberikan suasana yang hampir seperti perangkap.

Maria bergerak dengan hati-hati, mencoba mencari sesuatu yang bisa memberikan petunjuk tentang apa yang disembunyikan di vila ini. Ketika ia mencapai salah satu pintu di ujung koridor, ia mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah lain. Dengan cepat, ia menyelinap ke balik lemari besar di sudut, menahan napas saat dua pria berjalan melewati koridor itu, berbicara dengan nada rendah.

Ketika langkah kaki mereka menghilang, Maria keluar dari persembunyiannya, membuka pintu di depannya dengan hati-hati. Di dalam ruangan itu, ia menemukan sesuatu yang membuat tubuhnya membeku.

Di tengah ruangan, ada meja besar dengan beberapa layar komputer yang menyala. Di layar itu, Maria melihat rekaman dari berbagai lokasi—rumahnya, kantor polisi, dan bahkan kafe tempat ia bertemu Laras. Mereka telah memantau setiap langkahnya, setiap interaksi yang ia lakukan.

Maria mendekati layar itu dengan hati-hati, matanya menelusuri rekaman-rekaman itu. Di salah satu layar, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya mendidih—rekaman Dewi dan anak-anaknya di rumah, diambil dari kamera tersembunyi yang dipasang di ruang tamu.

Sebelum Maria bisa memproses apa yang ia lihat, suara berat terdengar dari belakangnya. “Kau terlalu jauh, Maria.”

Maria berbalik dengan cepat, melihat seorang pria berdiri di pintu dengan senyum dingin di wajahnya. Dia mengenakan pakaian gelap, dan di tangannya, ia memegang pistol yang diarahkan langsung ke Maria.

Peristiwa berlanjut: Maria berdiri diam, matanya tidak lepas dari pria itu. “Kau tidak akan keluar dari sini hidup-hidup,” katanya. Tetapi sebelum pria itu bisa bertindak lebih jauh, suara alarm keras terdengar di seluruh vila, membuat pria itu menoleh sejenak. Maria tahu bahwa ini adalah kesempatan kecil untuk melawan.

Maria memanfaatkan momen singkat saat pria itu menoleh karena suara alarm. Dalam sekejap, ia meraih sebuah benda logam kecil di meja dekat layar komputer—sebuah pisau pemotong kertas. Dengan gerakan cepat, ia melontarkannya ke arah pria itu, mengenai lengan kanannya. Pria itu mengerang, senjatanya terlepas dan jatuh ke lantai, meluncur beberapa meter dari kakinya.

Maria tidak membuang waktu. Ia melompat maju, mendorong tubuh pria itu ke belakang hingga terhuyung dan menabrak pintu. Dalam kekacauan itu, ia mengambil senjata yang jatuh, menggenggamnya dengan kedua tangan meskipun tubuhnya gemetar karena adrenalin. Untuk sesaat, hanya ada suara alarm yang menggema di seluruh ruangan.

"Jangan bergerak," Maria berkata dengan nada yang tegas, meskipun tangannya sedikit bergetar saat ia mengarahkan senjata itu ke pria yang kini berdiri dengan tangan memegang luka di lengannya.

Pria itu menyeringai meskipun dalam kesakitan. "Kau pikir kau menang, Maria?" katanya dengan suara rendah, hampir seperti ejekan. "Lingkaran Hitam lebih besar daripada yang bisa kau bayangkan. Bahkan jika kau keluar dari sini hidup-hidup, mereka akan menemukanmu. Mereka akan menghancurkan segalanya yang kau miliki."

Maria tidak menjawab. Ia tahu pria itu mencoba memprovokasinya, mencoba membuatnya ragu. Sebaliknya, ia mengarahkan senjata itu lebih tegas, mengisyaratkan agar pria itu mundur. "Kau akan memberitahuku apa yang kusimpan di sini," katanya dengan nada dingin. "Apa yang mereka rencanakan? Dan kenapa aku menjadi target mereka?"

Pria itu tertawa kecil, nadanya terdengar sinis. "Kau bukan target, Maria. Kau hanya bagian dari pelajaran. Mereka ingin dunia tahu apa yang terjadi pada orang yang melawan. Kau adalah peringatan."

Kata-kata itu menghantam Maria seperti pukulan di dada. "Kau pikir aku akan menyerah?" tanyanya, suaranya rendah tetapi penuh dengan kemarahan yang terpendam. "Kau pikir aku akan membiarkan mereka menang?"

Pria itu tersenyum tipis. "Kita lihat saja, Maria. Tapi ingat, waktu tidak berpihak padamu."

Sebelum Maria bisa menanggapi, suara langkah kaki terdengar mendekat di koridor luar. Ia tahu bala bantuan sedang datang. Dengan cepat, ia menatap layar komputer lagi, mencoba mengingat detail yang bisa ia gunakan—nama file, kode, atau apa pun. Ia melihat sebuah folder dengan nama “Proyek 17”. Jantungnya berdegup kencang. Angka itu sama dengan yang ada di kunci yang mereka tinggalkan untuknya.

Maria menekan beberapa tombol pada keyboard, mencoba mengunduh file dari folder itu ke drive USB kecil yang ia temukan di meja. Bar progress muncul di layar, menunjukkan bahwa proses transfer sedang berjalan. Tetapi langkah kaki semakin dekat, dan Maria tahu ia tidak punya banyak waktu.

Ia menoleh ke arah pria itu, yang masih berdiri dengan ekspresi penuh percaya diri meskipun luka di lengannya. "Kau tidak akan ke mana-mana," katanya dengan nada dingin, tetapi Maria bisa melihat bahwa dia mulai kehilangan kendali.

Ketika bar transfer menunjukkan 100%, Maria mencabut drive itu dan memasukkannya ke dalam sakunya. Ia berbalik, mengarahkan senjata ke pria itu sekali lagi. "Kalau kau mencoba mengikutiku, kau akan menyesal," katanya dengan suara tajam.

Tanpa menunggu jawaban, Maria berlari keluar dari ruangan, melewati lorong-lorong yang sekarang dipenuhi dengan suara alarm dan langkah kaki para penjaga. Ia mendengar suara perintah dari radio mereka, tetapi ia tidak berhenti. Adrenalin menguasai tubuhnya, membuatnya bergerak lebih cepat daripada yang ia pikir mampu.

Ketika ia mendekati pintu keluar, ia melihat beberapa penjaga mendekat dari arah lain. Maria menembakkan senjata ke arah mereka—tidak untuk melukai, tetapi cukup untuk membuat mereka mundur. Suara tembakan itu bergema, menciptakan kebingungan yang cukup untuk memberinya waktu melarikan diri.

Maria berhasil keluar dari vila dan berlari menuju hutan di sekitarnya. Ia bersembunyi di balik pepohonan, tubuhnya bersembunyi dari pandangan penjaga yang kini menyebar untuk mencarinya. Dengan napas yang memburu, ia meraih ponselnya, menelepon Laras.

"Laras," katanya dengan suara yang terputus-putus. "Aku punya sesuatu. Aku menemukan file yang disebut Proyek 17. Aku akan mengirimkannya kepadamu."

"Apa kau baik-baik saja?" Laras bertanya dengan nada panik.

"Aku berhasil keluar," jawab Maria. "Tapi mereka akan mencariku. Aku butuh kau memeriksa file ini secepat mungkin."

"Baik," jawab Laras. "Kirimkan padaku, dan hati-hati, Maria. Jangan biarkan mereka menemukanmu."

Maria menutup telepon dan melanjutkan perjalanannya keluar dari hutan, menuju tempat di mana ia memarkir mobilnya. Ketika ia akhirnya sampai, ia memulai mesin dengan cepat, melaju menjauh dari vila itu dengan hati yang masih berdebar kencang.

Ketika Maria tiba di rumah, ia menerima pesan dari Laras. Pesannya singkat tetapi membuat darah Maria terasa membeku: “File ini berisi sesuatu yang besar, Maria. Ini bukan hanya tentangmu. Ini adalah bagian dari rencana besar mereka. Kita harus bertemu secepatnya.” Maria menatap layar ponselnya dengan napas yang berat, menyadari bahwa apa yang ia temukan mungkin lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan.

Maria memandangi pesan dari Laras, kata-kata “Ini bukan hanya tentangmu” berulang kali terlintas di pikirannya seperti gema yang tak henti-henti. Ia duduk di meja dapur dengan napas berat, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa pola, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. File yang ia dapatkan dari vila itu adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—rencana yang mungkin menyangkut bukan hanya dirinya, tetapi orang-orang lain yang tidak ia ketahui.

Ponselnya kembali bergetar. Laras menelepon. Maria segera mengangkatnya.

“Laras?” suaranya terdengar tegang.

“Maria, aku baru saja memeriksa file itu,” kata Laras dengan nada yang terdesak. “Kau harus datang ke tempatku sekarang. Ada sesuatu di sini yang harus kau lihat sendiri.”

“Apa itu?” tanya Maria, tubuhnya menegang.

“Aku tidak bisa menjelaskannya melalui telepon. Kau harus melihat ini secara langsung. Ini lebih besar dari apa pun yang kita pikirkan.”

Maria menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. “Baik. Aku akan ke sana.”

Maria tiba di apartemen Laras sekitar satu jam kemudian. Ketika ia mengetuk pintu, Laras langsung membukanya, wajahnya tampak tegang, hampir panik. Ia menarik Maria masuk, lalu mengunci pintu dengan cepat.

“Apa yang kau temukan?” tanya Maria, suaranya penuh urgensi.

Laras berjalan ke meja kecil di tengah ruangan, tempat laptopnya berada. Di layar, Maria melihat deretan dokumen yang tampak seperti laporan rahasia. Laras menunjuk salah satu file utama. “Ini adalah bagian dari file yang kau unduh,” katanya. “Proyek 17 bukan sekadar nama. Ini adalah inisiatif besar yang dikelola oleh Lingkaran Hitam.”

Maria menatap layar dengan fokus yang intens. Dokumen itu berisi diagram kompleks, nama-nama, dan lokasi-lokasi yang tersebar di beberapa kota besar. Tetapi yang paling menarik perhatiannya adalah bagian atas dokumen, di mana tertulis sebuah kalimat: “Rekonstruksi Kendali: Fase Final.”

“Apa artinya ini?” tanya Maria, suaranya bergetar.

Laras menghela napas panjang. “Mereka tidak hanya mencoba mengendalikan orang-orang tertentu, Maria. Proyek ini adalah rencana untuk membangun jaringan kontrol yang mencakup berbagai sektor: pemerintahan, media, bahkan keamanan nasional. Ini bukan hanya tentangmu. Kau hanyalah salah satu dari banyak target mereka—mungkin sebagai uji coba, atau bahkan pengalih perhatian.”

Maria merasa tubuhnya melemas. “Pengalih perhatian?” katanya pelan, hampir berbisik.

“Lihat ini,” Laras membuka dokumen lain. Itu adalah daftar nama, dan di antaranya Maria melihat nama Rizal. Di sebelah namanya ada catatan kecil: “Eksekutor Primer.”

“Rizal…” gumam Maria, matanya terpaku pada namanya. “Dia bagian dari ini sejak awal.”

“Bukan hanya bagian, Maria,” kata Laras dengan nada serius. “Dia salah satu pemain utama mereka. Kau melarikan diri darinya, dan itu membuatmu menjadi ancaman. Mereka ingin memastikan kau tidak mengganggu rencana mereka. Itu sebabnya mereka terus mengawasimu, terus mengancammu.”

Maria mengepalkan tangannya, amarah dan ketakutan bercampur dalam pikirannya. “Apa lagi yang ada di file ini? Ada nama lain yang bisa kita gunakan?”

Laras mengangguk, membuka dokumen berikutnya. “Ada beberapa nama yang mungkin penting,” katanya. “Tapi yang paling menonjol adalah seseorang bernama Alan Pratama. Dia tampaknya memimpin sebagian besar operasi mereka di wilayah ini.”

“Alan Pratama?” Maria mengulang nama itu. “Siapa dia?”

“Dari apa yang bisa kukumpulkan, dia adalah tokoh kunci dalam jaringan mereka,” kata Laras. “Dia yang mengoordinasikan semua kegiatan mereka di lapangan. Jika kita bisa menemukan dia, mungkin kita bisa menghentikan ini.”

Maria menatap Laras dengan mata yang penuh dengan tekad. “Kau tahu di mana dia?”

Laras menggeleng pelan. “Tidak pasti. Tapi ada referensi tentang sebuah lokasi yang sering dia gunakan untuk pertemuan. Itu ada di dokumen ini. Sebuah gedung kosong di pinggir kota, tidak jauh dari vila tempat kau pergi tadi.”

Maria menghela napas panjang. “Kalau begitu aku harus pergi ke sana.”

Laras memegang lengan Maria, menghentikannya. “Maria, ini terlalu berbahaya. Kau tidak bisa terus masuk ke tempat mereka tanpa rencana. Mereka akan menunggumu.”

“Aku tidak punya pilihan, Laras,” kata Maria dengan nada tegas. “Kalau aku tidak melawan sekarang, mereka akan terus datang. Mereka sudah menyentuh hidupku lebih dari cukup.”

Laras terdiam, tetapi akhirnya ia mengangguk. “Baik. Kalau kau benar-benar akan pergi, aku akan membantumu. Kita harus merencanakan ini dengan hati-hati.”

Laras memberi Maria koordinat lokasi pertemuan yang disebutkan dalam dokumen, tetapi juga memperingatkan bahwa tempat itu pasti diawasi dengan ketat. Maria meninggalkan apartemen Laras dengan hati yang berat tetapi penuh tekad, menyadari bahwa langkah selanjutnya mungkin adalah yang paling berbahaya dalam perjuangannya melawan Lingkaran Hitam. Namun, di tengah ketakutan itu, ada sebuah kepastian: ia tidak akan berhenti sampai ia menemukan cara untuk menghancurkan mereka, apa pun risikonya.

Maria mengemudi dalam keheningan malam, jalanan gelap hanya diterangi lampu-lampu jalan yang jarang. Koordinat yang Laras berikan terus berkedip di layar GPS di dashboard mobilnya, semakin dekat dengan setiap kilometer yang ia lewati. Hatinya berat, tetapi tekadnya lebih besar dari rasa takutnya. Tempat yang dituju adalah gedung tua di pinggir kota, dikelilingi oleh kawasan industri yang sudah lama ditinggalkan.

Di dalam pikirannya, semua kemungkinan berputar seperti badai. Apa yang akan ia temukan di sana? Siapa yang menunggunya? Namun, lebih dari itu, ia tahu bahwa jawabannya ada di sana. Jawaban untuk semua ancaman, semua permainan, dan semua kegelapan yang telah membayangi hidupnya.

Ketika Maria tiba di lokasi, ia memarkir mobilnya di belakang deretan pohon yang tumbuh liar, cukup jauh untuk tidak menarik perhatian. Ia keluar dengan hati-hati, memastikan tidak ada gerakan mencurigakan di sekitarnya. Bangunan itu berdiri dengan dinding beton yang kusam, pintu-pintu berkarat, dan kaca-kaca yang pecah. Tetapi meskipun terlihat seperti bangunan mati, Maria tahu tempat itu hidup dengan bahaya.

Maria mendekati gedung itu dengan langkah hati-hati, tubuhnya menempel pada bayangan dinding untuk menghindari perhatian. Kamera keamanan terlihat di sudut-sudut gedung, tetapi gerakannya begitu pelan sehingga ia yakin belum terdeteksi. Ketika ia mencapai salah satu jendela yang pecah, ia merangkak masuk, mendarat di lantai beton yang dingin.

Di dalam, tempat itu jauh lebih rapi daripada yang terlihat dari luar. Koridor yang panjang dengan pencahayaan redup membentang di depannya, dan suara pelan dari percakapan terdengar di kejauhan. Maria mengencangkan genggamannya pada pisau kecil yang ia bawa, bergerak tanpa suara menuju suara itu.

Saat ia mendekat, suara itu semakin jelas. Dua pria berbicara dengan nada serius di sebuah ruangan di ujung koridor. Maria berhenti di belakang dinding, mendengarkan.

"Alan tidak akan senang jika tahu kau membiarkan dia mengambil file itu," kata salah satu pria dengan nada penuh tekanan.

“File itu tidak berarti tanpa kode aksesnya,” jawab pria lain dengan nada lebih tenang. “Kita masih punya kendali atas situasi ini. Fokus kita sekarang adalah menemukan Maria sebelum dia membuat kekacauan lebih besar.”

Nama itu—namanya—membuat Maria menahan napas. Mereka tahu ia mengambil file, dan mereka tahu ia akan datang. Tetapi lebih dari itu, mereka takut ia menemukan sesuatu yang bisa menghancurkan mereka.

Maria melangkah lebih dalam ke dalam bangunan, menghindari deteksi sebisa mungkin. Ia menemukan pintu yang terbuka sedikit di ujung koridor lain, dan di dalamnya ada sesuatu yang menarik perhatiannya—ruangan kecil dengan layar komputer yang menyala. Di layar itu, Maria melihat diagram yang mirip dengan yang ada di file yang ia unduh sebelumnya, tetapi lebih detail. Di bagian bawah layar, ia melihat tulisan besar: “Aktivasi Proyek 17: Hitung Mundur 48 Jam.”

Jantung Maria berdegup kencang. Mereka sedang memulai sesuatu. Proyek 17 bukan hanya rencana—itu adalah sesuatu yang aktif, dan ia hanya punya waktu dua hari sebelum mereka mencapai tahap akhir. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia tahu bahwa apa pun itu, dunia tidak akan sama lagi.

Maria mendekati komputer itu, mencoba mencari informasi lebih lanjut. Tetapi sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Ia berbalik dengan cepat, hanya untuk melihat seorang pria tinggi berdiri di pintu, wajahnya gelap dengan senyuman dingin.

“Maria,” katanya dengan nada rendah tetapi penuh ancaman. “Kau benar-benar terlalu penasaran.”

Pria itu melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Maria memundurkan tubuhnya sedikit, mencoba tetap tenang meskipun jantungnya berdetak seperti genderang perang.

“Aku tidak tahu bagaimana kau sampai sejauh ini,” lanjut pria itu. “Tapi kau harus tahu bahwa ini adalah akhir perjalananmu.”

Maria menggenggam pisau di tangannya lebih erat. “Kalau ini adalah akhir perjalanan, aku akan memastikan kau ikut denganku,” katanya dengan suara dingin.

Pria itu tertawa kecil. “Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Maria. Ini bukan hanya tentangmu. Lingkaran Hitam sudah melangkah jauh lebih besar dari yang bisa kau bayangkan.”

Maria menatap pria itu dengan mata yang menyala oleh tekad. “Kalau begitu kenapa kau takut padaku?” tanyanya dengan tajam. “Kalau kalian begitu kuat, kenapa kalian tidak menghancurkanku dari awal?”

Senyum pria itu memudar sedikit. “Karena kau adalah pesan, Maria. Kami ingin dunia melihat apa yang terjadi pada mereka yang melawan. Dan kau... adalah contoh sempurna.”

Maria tidak menunggu pria itu bertindak lebih jauh. Dengan gerakan cepat, ia menyerang, mencoba melumpuhkannya. Pisau di tangannya hampir mengenai leher pria itu, tetapi dia berhasil menghindar, membalas dengan dorongan yang membuat Maria terjatuh ke lantai. Pria itu mendekat, mencoba merebut senjatanya, tetapi Maria berguling ke samping dan kembali berdiri.

Pertarungan itu berlangsung dalam keheningan yang mencekam, hanya diiringi oleh napas berat dan suara tubuh yang saling berbenturan. Maria tahu ia tidak sekuat pria ini, tetapi ia lebih gesit. Ketika pria itu mengayunkan pukulan lagi, Maria menghindar dan berhasil melukai lengan kanannya dengan pisau.

Pria itu mengerang, mundur selangkah, tetapi sebelum Maria bisa menyelesaikan serangannya, suara alarm keras bergema di seluruh gedung. Mereka telah menemukan keberadaannya.

Pria itu menyeringai meskipun darah menetes dari lengannya. “Kau tidak akan keluar dari sini hidup-hidup.”

Maria tidak menjawab. Ia mengambil drive USB dari komputer di meja, memasukkannya ke sakunya, lalu berlari keluar dari ruangan itu tanpa menoleh ke belakang. Langkah kakinya menggema di koridor yang kini dipenuhi suara alarm. Para penjaga mulai bermunculan dari berbagai arah, tetapi Maria berhasil menghindari mereka, menggunakan bayangan dan sudut-sudut gelap untuk bersembunyi.

Ketika Maria akhirnya mencapai jendela tempat ia masuk, ia berhasil keluar dengan tubuh yang lelah dan napas yang terengah-engah. Tetapi di kejauhan, ia mendengar suara mobil mendekat—mereka tidak akan membiarkannya pergi dengan mudah. Ia tahu bahwa apa yang ada di drive USB ini adalah kunci untuk menghancurkan Lingkaran Hitam, tetapi untuk melakukannya, ia harus bertahan hidup terlebih dahulu.

Maria berlari secepat mungkin di bawah naungan malam, tubuhnya terasa lelah tetapi pikirannya terus-menerus memerintahkan untuk maju. Suara mobil mendekat dari kejauhan, gemanya memantul di udara malam yang sunyi. Napasnya memburu, tetapi ia tidak punya waktu untuk berhenti. Drive USB di saku jaketnya terasa seperti bara api—sesuatu yang penting, tetapi juga menjadi beban besar yang membuatnya menjadi target.

Ketika ia mencapai mobilnya yang tersembunyi di balik pohon-pohon, Maria melompat masuk tanpa berpikir dua kali. Ia menyalakan mesin, roda mobil bergeser cepat di atas tanah berbatu, meninggalkan awan debu di belakangnya. Ia tahu mereka akan mengejarnya. Mereka tidak akan membiarkan informasi di dalam drive USB itu keluar begitu saja.

Jalanan sepi, hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan yang tersebar jarang. Maria memeriksa kaca spion dengan cepat, matanya mencari tanda-tanda pengejaran. Ketika ia melihat lampu depan mobil mendekat dari kejauhan, rasa panik mulai menyerangnya. Mobil itu semakin dekat, dan Maria tahu bahwa ini bukan hanya kebetulan. Mereka menemukan jejaknya.

Maria menggigit bibirnya, otaknya bekerja cepat. Ia melihat persimpangan kecil di depan, jalur yang lebih gelap dan penuh tikungan. Tanpa ragu, ia membelokkan mobilnya ke sana, berharap jalan itu cukup rumit untuk membuat pengejarnya kehilangan jejak.

Namun, suara mobil di belakangnya tidak memudar. Lampu-lampu dari kendaraan lain itu terus mendekat, seperti predator yang tak kenal lelah mengejar mangsanya. Maria merasakan adrenalin memuncak, tubuhnya tegang saat ia memegang erat setir, mencoba mempertahankan kendali di atas jalanan yang licin.

“Tidak kali ini,” gumamnya pada dirinya sendiri, napasnya terengah-engah.

Mobil di belakang semakin mendekat, dan Maria mendengar suara tembakan. Sebuah peluru menghantam kaca belakang mobilnya, membuat kaca itu retak tetapi tidak pecah sepenuhnya. Maria tersentak, tetapi ia tidak membiarkan rasa takut menguasainya. Ia menekan pedal gas lebih keras, mobilnya meluncur lebih cepat di jalanan sempit.

Ketika ia melihat sebuah tikungan tajam di depan, Maria memanfaatkan kesempatan itu. Ia menarik rem tangan dengan cepat, membuat mobilnya berputar tajam ke arah kanan, masuk ke jalan yang lebih kecil dan lebih gelap. Mobil pengejar yang ada di belakangnya tidak cukup cepat untuk merespons; ia mendengar suara ban yang berdecit keras, diikuti suara benturan di kejauhan.

Maria melanjutkan perjalanan, tetapi kali ini lebih lambat, memastikan dirinya tetap tersembunyi di balik bayangan malam. Ia mematikan lampu depan mobilnya, mengandalkan cahaya bulan yang samar untuk melihat jalanan. Ketika ia yakin tidak ada lagi yang mengejarnya, Maria menarik napas panjang, tubuhnya mulai gemetar karena kelelahan.

Maria tidak langsung pulang. Ia tahu bahwa rumahnya bukan tempat yang aman sekarang. Sebaliknya, ia mengemudi ke sebuah motel kecil yang terletak jauh di pinggiran kota. Tempat itu terlihat sepi, dengan hanya beberapa mobil yang terparkir di depan. Maria menyewa sebuah kamar tanpa banyak bicara, memastikan ia tidak menarik perhatian siapa pun.

Di dalam kamar yang remang-remang, Maria duduk di tepi tempat tidur dengan laptop di pangkuannya. Ia mencolokkan drive USB ke port, tangan gemetar saat ia menunggu file terbuka. Ketika layar mulai menampilkan isi file, Maria merasa napasnya hampir berhenti.

File itu penuh dengan data: nama-nama, lokasi, dokumen internal, bahkan rekaman video. Semua itu mengarah ke satu hal—Proyek 17. Maria membuka salah satu folder utama, dan apa yang ia temukan membuat tubuhnya menggigil.

Dokumen itu menjelaskan rencana besar Lingkaran Hitam: memanipulasi institusi publik, menciptakan krisis yang dikendalikan, dan memperluas pengaruh mereka di berbagai sektor, termasuk pemerintahan dan media. Proyek 17 adalah langkah terakhir dalam rencana mereka—fase di mana mereka akan menghancurkan sistem lama untuk membangun kendali penuh atas masyarakat.

Maria melanjutkan membaca, matanya menelusuri setiap kata dengan intensitas yang meningkat. Salah satu dokumen menunjukkan bahwa mereka telah menargetkan beberapa tokoh penting di berbagai posisi strategis, menggunakan ancaman, manipulasi, atau bahkan eliminasi untuk memastikan ketaatan mereka.

Namun, yang paling mengejutkan adalah sebuah video yang disematkan di salah satu dokumen. Dengan ragu, Maria memutar video itu. Layar menampilkan ruangan gelap dengan seorang pria yang duduk di tengah, wajahnya tertutup bayangan. Tetapi Maria langsung mengenali suara itu—Rizal.

“Proyek ini adalah kunci masa depan,” kata Rizal dalam video itu, suaranya rendah dan penuh kepastian. “Tidak ada ruang untuk kegagalan. Maria harus dihentikan, apa pun caranya. Dia adalah ancaman terbesar bagi kelancaran fase terakhir.”

Maria merasakan darahnya dingin. Namanya disebut sebagai ancaman utama. Rizal tidak hanya menjadi bagian dari Lingkaran Hitam—ia memimpin mereka untuk memastikan Proyek 17 berjalan tanpa hambatan.

Ketika Maria selesai membaca dan menonton file itu, ponselnya berdering. Itu adalah Laras.

“Aku berhasil lolos,” kata Maria tanpa menunggu Laras berbicara. “Aku punya segalanya, Laras. Semua bukti tentang Proyek 17. Ini jauh lebih besar daripada yang kita pikirkan.”

“Apa yang kau temukan?” tanya Laras, suaranya terdengar penuh ketegangan.

“Rencana mereka untuk menghancurkan sistem,” jawab Maria, suaranya rendah tetapi penuh emosi. “Dan Rizal… Dia memimpin sebagian dari ini. Dia tahu aku adalah ancaman, dan dia tidak akan berhenti sampai aku dihancurkan.”

Laras terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, “Kita harus bertindak cepat, Maria. Kalau mereka tahu kau punya bukti ini, mereka akan mengejarmu habis-habisan.”

Maria mengepalkan tangannya, pikirannya dipenuhi dengan berbagai rencana. “Kita akan mempublikasikan ini,” katanya dengan suara tegas. “Semua dokumen, semua bukti. Mereka tidak akan bisa menyembunyikan ini dari dunia.”

“Tapi kau harus berhati-hati,” Laras memperingatkan. “Kalau kau salah langkah, mereka bisa membalikkan situasi ini melawanmu.”

Maria mengangguk meskipun Laras tidak bisa melihatnya. “Aku tidak akan berhenti, Laras,” katanya. “Mereka ingin aku takut, tetapi aku akan memastikan bahwa mereka yang akan takut.”

Saat Maria menutup telepon dan mulai mengunggah dokumen ke server yang aman, listrik di kamar motelnya tiba-tiba mati. Dalam gelap, Maria mendengar suara langkah kaki di luar kamar, mendekat dengan cepat. Ia tahu bahwa waktu untuk bersembunyi sudah habis.

Maria duduk diam dalam kegelapan, hanya napasnya yang terdengar di kamar motel yang kini diliputi keheningan yang mencekam. Cahaya laptopnya yang masih menyala menjadi satu-satunya sumber penerangan kecil, tetapi layar itu kini hanya menunjukkan pesan “Koneksi terputus.” Drive USB yang ia colokkan ke laptop masih terpasang, data yang ia coba unggah berhenti di tengah jalan.

Di luar kamar, suara langkah kaki mendekat dengan perlahan, langkah yang disengaja dan penuh ancaman. Maria menggenggam erat pisau kecil yang selalu ia bawa, tubuhnya bergetar antara ketegangan dan adrenalin. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan: melindungi drive USB ini dengan segala cara.

Ketika suara langkah itu semakin dekat, Maria berdiri dari kursi, bergerak perlahan menuju dinding di dekat pintu. Ia merapatkan tubuhnya ke dinding, mencoba mengontrol napasnya yang semakin berat. Bayangan bergerak di bawah pintu, dan detik berikutnya, gagang pintu mulai berputar perlahan.

Maria memejamkan mata sejenak, menenangkan dirinya. Ia tahu ini bukan waktunya untuk panik. Ia harus berpikir cepat, harus mengalahkan mereka di permainan mereka sendiri.

Pintu terbuka dengan pelan, dan seorang pria bersenjata melangkah masuk, senapannya terarah ke dalam ruangan. Dia memindai ruangan dengan hati-hati, matanya mencari keberadaan Maria. Di belakangnya, dua pria lain menunggu di luar, menjaga pintu.

Ketika pria itu melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, Maria bergerak cepat. Ia meluncur dari balik dinding, memukul tengkuk pria itu dengan siku sekuat tenaga. Pria itu jatuh dengan keras, senjatanya terlempar ke lantai. Maria meraih senjata itu dengan cepat, mengarahkannya ke pintu sebelum dua pria lain sempat masuk.

“Jangan bergerak!” teriak Maria, suaranya tegas meskipun tubuhnya gemetar karena adrenalin.

Pria di depan pintu berhenti, tangan mereka terangkat pelan. Salah satu dari mereka menyeringai, matanya penuh ejekan. “Kau tidak akan ke mana-mana, Maria,” katanya. “Kami hanya butuh drive itu. Berikan, dan kami akan pergi.”

Maria menatap pria itu dengan tajam. “Kalian pikir aku bodoh?” katanya dingin. “Kalau aku memberikan ini, aku tidak akan keluar dari sini hidup-hidup.”

Pria itu tertawa kecil, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Sebaliknya, ia melangkah mundur perlahan, memberikan isyarat kepada rekannya. Maria tahu mereka tidak mundur karena takut. Mereka sedang merencanakan sesuatu.

Maria tidak menunggu untuk mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Dengan cepat, ia meraih tasnya yang tergeletak di lantai, memasukkan laptop dan drive USB ke dalamnya, lalu bergerak menuju jendela kecil di sisi lain ruangan. Ia membuka jendela itu dengan cepat, melompat keluar sebelum mereka bisa kembali menyerang.

Maria berlari ke arah belakang motel, tubuhnya merapat pada bayangan tembok untuk menghindari sorotan lampu dari mobil yang diparkir di depan. Ia mendengar suara perintah di kejauhan, langkah kaki yang tergesa-gesa, tetapi ia tidak berhenti. Napasnya berat, tetapi ia tahu ia tidak boleh berhenti bergerak.

Ketika ia akhirnya mencapai jalan kecil di belakang motel, ia melihat sebuah mobil tua terparkir dengan kunci yang masih tergantung di dalamnya. Maria membuka pintu dengan cepat, masuk, dan menyalakan mesin. Mobil itu meraung keras, tetapi ia tidak peduli. Ia menginjak pedal gas, meninggalkan motel itu secepat mungkin.

Beberapa kilometer kemudian, Maria berhenti di tempat yang lebih aman, di bawah jembatan yang gelap dan terlindung. Ia mematikan mesin mobil, duduk di sana dengan napas yang masih terengah-engah. Tangannya menyentuh drive USB di dalam tasnya, memastikan bahwa itu masih ada. Hanya benda kecil itu yang kini menjadi kunci untuk menghancurkan Lingkaran Hitam.

Ponselnya bergetar di saku. Maria mengangkatnya dengan cepat, melihat nama Laras di layar. Ia menjawab panggilan itu, suaranya masih penuh ketegangan. “Laras?”

“Maria! Apa yang terjadi? Aku kehilangan kontakmu,” suara Laras terdengar panik.

“Mereka menemukanku,” jawab Maria, nadanya rendah tetapi tegas. “Mereka mencoba mengambil drive ini, tetapi aku berhasil keluar. Aku harus mencari tempat untuk menyelesaikan ini.”

Laras terdiam sejenak sebelum berkata, “Dengar, Maria, aku punya akses ke jaringan yang aman. Kalau kau bisa mengirimkan file itu ke tempatku, kita bisa membongkar semuanya bersama-sama. Tapi kau harus hati-hati. Mereka pasti akan terus mencarimu.”

Maria menatap kegelapan di depannya, otaknya bekerja cepat. “Aku akan menuju ke tempatmu,” katanya akhirnya. “Tapi kita harus bergerak cepat. Mereka sudah tahu terlalu banyak.”

“Baik,” kata Laras. “Aku akan bersiap. Maria, pastikan kau tidak terlihat. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka menghancurkanmu.”

Ketika Maria kembali mengemudi menuju lokasi Laras, ia tidak menyadari bahwa sebuah drone kecil terbang di atasnya, merekam setiap gerakannya. Di lokasi yang jauh, Rizal berdiri di depan layar besar yang menampilkan rekaman itu, dengan senyuman dingin di wajahnya. “Bawa dia ke sini,” katanya kepada bawahannya. “Waktunya Maria belajar bahwa dia tidak bisa melarikan diri dari kami.”

Maria mengemudi dalam keheningan yang mencekam, hanya suara mesin mobil tua yang memecah sunyi malam. Jalan di depannya kosong, tetapi rasa waspada terus menghantuinya. Ia tahu mereka pasti akan melacaknya, dan setiap detik yang berlalu adalah perlombaan melawan waktu. Drive USB yang ada di dalam tasnya menjadi simbol beban dan harapan. Jika berhasil mencapai tempat Laras, mungkin ia bisa menemukan cara untuk menghentikan semua ini. Tetapi jika gagal, semuanya akan berakhir.

Pikirannya kembali ke rekaman Rizal yang ia temukan di file. Kata-kata dingin mantan suaminya masih terngiang di kepalanya: “Maria harus dihentikan, apa pun caranya.” Ini bukan sekadar ancaman. Ini adalah deklarasi perang yang tidak bisa ia abaikan.

Ketika Maria mendekati kota tempat Laras tinggal, ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Melalui kaca spion, ia melihat lampu depan sebuah mobil yang terus mengikuti dari kejauhan. Mobil itu tidak pernah terlalu dekat, tetapi juga tidak pernah menjauh. Detak jantung Maria semakin cepat, dan tangannya menggenggam erat setir.

“Tidak,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini mungkin hanya kebetulan. Tetapi pengalamannya selama beberapa minggu terakhir mengatakan sebaliknya. Ini bukan kebetulan. Mereka menemukannya.

Maria menarik napas panjang, mencoba menjaga ketenangannya. Ia melirik GPS di dashboard. Lokasi Laras tinggal hanya beberapa kilometer lagi. Tetapi jika ia membawa pengejar itu langsung ke Laras, ia akan membahayakan lebih dari dirinya sendiri. Ia harus membuat keputusan cepat.

Di depan, ia melihat sebuah jalan kecil yang menuju ke arah perbukitan. Jalan itu gelap dan berliku, tetapi Maria tahu itu adalah satu-satunya cara untuk mencoba menghilangkan mereka. Ia membelokkan mobilnya dengan tajam, meninggalkan jalan utama dan masuk ke jalur sempit yang dipenuhi bayangan pohon-pohon tinggi.

Mobil di belakangnya mengikuti, lampu depannya menerangi jalan sempit yang hanya cukup untuk satu kendaraan. Maria menekan pedal gas lebih dalam, tetapi mobil tua yang ia kendarai mulai menunjukkan batas kemampuannya. Suara mesin meraung, dan roda-rodanya hampir kehilangan kendali di tikungan yang tajam.

Suara tembakan tiba-tiba memecah malam. Sebuah peluru menghantam bagian belakang mobilnya, membuat Maria terlonjak. Ia merunduk secara refleks, tetapi tetap memegang kendali. Pengejar itu tidak hanya mencoba mengikutinya—mereka berusaha menghentikannya, dengan cara apa pun.

Maria melihat sebuah tikungan tajam di depan, dengan tebing curam di satu sisi. Ia tahu ini berbahaya, tetapi ia tidak punya pilihan. Dengan gerakan cepat, ia menarik rem tangan, membuat mobilnya berputar hampir 180 derajat. Debu dan batu-batu kecil beterbangan ke udara, menciptakan tirai yang cukup untuk menyembunyikan mobilnya sejenak.

Ketika mobil pengejar mencoba mengikuti, mereka kehilangan kendali di tikungan tajam itu. Maria mendengar suara benturan keras di belakangnya, diikuti oleh dentuman yang menggema di udara malam. Ia tidak menoleh untuk melihat. Ia hanya mengemudi sejauh mungkin dari lokasi itu.

Maria tiba di apartemen Laras dengan tubuh yang lelah tetapi tekad yang tetap menyala. Laras membuka pintu dengan cepat, wajahnya penuh kecemasan. “Maria, kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya dipenuhi rasa khawatir.

Maria mengangguk sambil masuk, menutup pintu di belakangnya. “Mereka menemukan aku,” katanya dengan suara rendah. “Mereka mencoba menghentikanku, tetapi aku berhasil lolos.”

Laras menghela napas panjang, lalu menunjuk ke meja tempat laptopnya berada. “Kita harus bergerak cepat,” katanya. “Kalau mereka sudah sejauh ini, mereka pasti tahu kau punya sesuatu yang penting.”

Maria mengeluarkan drive USB dari sakunya, memasangnya ke laptop Laras. Ketika file terbuka, Laras mulai memindai dokumen-dokumen itu dengan intensitas yang serius. Maria duduk di sampingnya, tubuhnya tegang saat ia menunggu Laras menemukan sesuatu yang bisa memberi mereka keunggulan.

“Lihat ini,” kata Laras akhirnya, menunjuk ke sebuah dokumen dengan judul besar: “Protokol Akhir.”

Maria membungkuk lebih dekat, membaca dokumen itu dengan cepat. Isinya menjelaskan langkah-langkah terakhir dari Proyek 17—langkah yang dirancang untuk menghapus segala bukti keberadaan Lingkaran Hitam sambil memastikan kontrol penuh atas target mereka. Salah satu langkah itu adalah "eliminasi fisik" terhadap individu yang dianggap sebagai ancaman terbesar.

Namanya ada di daftar itu.

Maria menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meskipun tubuhnya gemetar. “Mereka akan menghancurkan segalanya,” katanya pelan. “Bukan hanya aku. Semua orang yang berusaha melawan mereka.”

“Maria, ini adalah bukti yang kita butuhkan,” kata Laras. “Kalau kita bisa mempublikasikan ini ke media besar, mereka tidak akan bisa menutupi ini lagi.”

“Tapi kita tidak punya waktu,” jawab Maria. “Kalau mereka tahu kita memiliki ini, mereka akan menyerang lebih keras.”

Laras menatap Maria, matanya penuh dengan determinasi. “Kalau begitu kita harus memanfaatkan waktu yang kita punya. Aku akan menghubungi beberapa kontak yang aku percaya. Kita akan menyebarkan ini ke sebanyak mungkin orang.”

Ketika Maria dan Laras mulai mengatur rencana mereka untuk mempublikasikan file-file itu, listrik di apartemen tiba-tiba padam. Kegelapan menyelimuti ruangan, dan suara langkah kaki terdengar dari luar pintu. Laras meraih tangan Maria, berbisik dengan suara yang gemetar tetapi tegas, “Mereka ada di sini.” Maria menggenggam drive USB itu erat-erat, menyadari bahwa ini adalah momen di mana semuanya akan ditentukan.

Maria berdiri diam di tengah kegelapan apartemen Laras, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik terlalu kencang. Napasnya pelan, tetapi dadanya terasa berat. Suara langkah kaki di luar pintu semakin mendekat, membuat atmosfer di ruangan itu semakin menekan. Laras berada di sebelahnya, memegang erat pergelangan tangan Maria, seolah-olah mencoba memberinya keberanian di tengah situasi yang mendesak ini.

"Kau masih punya salinan file-nya?" bisik Laras, nyaris tanpa suara.

Maria mengangguk pelan, memegang drive USB yang tergenggam erat di tangannya. "Ya," jawabnya dengan nada rendah. "Tapi mereka tahu aku memilikinya. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkannya."

Laras berpikir cepat, menatap jendela kecil di sudut ruangan yang mengarah ke gang belakang. "Kita harus keluar dari sini," katanya dengan tegas. "Kalau mereka masuk, kita tidak akan punya kesempatan."

Maria memandangi jendela itu, menimbang risiko. Ia tahu Laras benar. Mereka tidak bisa melawan secara langsung, bukan dalam situasi ini. Dengan gerakan cepat, Maria memasukkan drive USB itu ke dalam saku dalam jaketnya, memastikan itu tetap aman. Ia memberi isyarat kepada Laras untuk bergerak.

Keduanya mendekati jendela dengan langkah hati-hati, mencoba untuk tidak menimbulkan suara. Laras membuka jendela itu perlahan, memastikan tidak ada yang menunggu di luar. Ketika ia memastikan gang itu kosong, ia melambaikan tangan kepada Maria.

"Pergi duluan," bisik Laras. "Aku akan menahan mereka kalau mereka masuk."

Maria menatap Laras dengan mata yang penuh dengan rasa terima kasih dan kecemasan. "Aku tidak akan meninggalkanmu di sini."

"Kau harus pergi!" Laras menatap Maria dengan tajam. "Kita tidak punya waktu untuk berdebat. File itu lebih penting. Pergi sekarang!"

Maria ragu sejenak, tetapi akhirnya ia memanjat keluar jendela, mendarat di gang yang dingin dan gelap. Ia menoleh ke belakang, melihat Laras menutup jendela dengan cepat. Maria tahu bahwa ini mungkin adalah terakhir kalinya ia melihat temannya, tetapi ia tidak bisa membiarkan emosi menguasainya sekarang.

Maria berlari di sepanjang gang, langkah kakinya bergema di antara dinding-dinding sempit. Hatinya berpacu, bukan hanya karena ancaman yang membayang, tetapi juga karena rasa bersalah yang mulai menyelimutinya. Ia meninggalkan Laras di belakang, seseorang yang telah mempertaruhkan segalanya untuk membantunya. Tetapi Maria tahu bahwa ia tidak bisa kembali. Drive USB ini adalah satu-satunya harapan mereka untuk menghentikan Lingkaran Hitam.

Ketika Maria keluar dari gang, ia melihat jalan utama yang gelap tetapi sepi. Ia mencari kendaraan atau cara apa pun untuk melarikan diri lebih jauh. Tidak jauh dari sana, ia melihat sebuah mobil kecil terparkir di sisi jalan, dengan kunci yang tergantung di dalamnya. Maria tahu ia tidak punya waktu untuk ragu.

Ia memecahkan kaca kecil di pintu mobil itu dengan siku, membuka pintu, dan menyalakan mesin. Mobil itu meraung hidup, dan Maria meluncur keluar dari jalan kecil itu dengan kecepatan penuh. Namun, saat ia melaju, ia melihat sesuatu di kaca spion—dua mobil hitam dengan lampu depan menyala terang mulai mengejarnya.

Maria mengemudi dengan kecepatan penuh, mencoba menghindari pengejarannya. Jalanan malam yang sepi menjadi arena balapan yang menegangkan, dengan setiap belokan membawa risiko yang besar. Mobil di belakangnya semakin mendekat, dan Maria tahu bahwa mereka tidak akan berhenti sampai mereka menghentikannya—atau membunuhnya.

Ketika ia melihat tikungan tajam di depan, Maria menarik rem tangan, membuat mobilnya berputar tajam. Salah satu mobil pengejar mencoba mengikuti, tetapi kehilangan kendali dan menabrak pagar di sisi jalan. Namun, mobil kedua masih mengejarnya, lebih agresif daripada yang pertama.

Maria melihat sebuah jalan kecil yang menuju ke dalam area perbukitan. Jalan itu gelap, penuh dengan bebatuan, tetapi ia tahu itu mungkin satu-satunya cara untuk melarikan diri. Ia membelokkan mobilnya ke jalan itu, lampu depannya menerangi jalur sempit yang penuh dengan ilalang tinggi.

Mobil pengejar masih mengikuti, tetapi jarak di antara mereka semakin jauh. Maria merasa napasnya mulai melambat, meskipun adrenalin masih mengalir di tubuhnya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus mengemudi seperti ini selamanya. Ia membutuhkan rencana.

Di kejauhan, Maria melihat sebuah gudang tua yang tampak terbengkalai, berdiri di tengah padang ilalang. Ia memutuskan untuk menuju ke sana, mematikan lampu depan mobilnya untuk mengurangi jejak. Ketika ia tiba di depan gudang itu, ia memarkir mobilnya di belakang gedung, memastikan kendaraan itu tidak terlihat dari jalan.

Maria keluar dari mobil dengan cepat, drive USB masih tergenggam erat di tangannya. Ia memasuki gudang dengan hati-hati, mencoba mencari tempat untuk bersembunyi. Gudang itu penuh dengan kotak-kotak kayu tua dan peralatan yang sudah berkarat, menciptakan bayangan-bayangan gelap di bawah cahaya bulan yang masuk melalui celah-celah di dinding.

Suara mobil mendekat terdengar dari luar. Maria menahan napas, tubuhnya bersembunyi di balik salah satu tumpukan kotak kayu. Ia mendengar suara pintu mobil dibuka, diikuti oleh langkah kaki yang masuk ke dalam gudang.

"Dia pasti di sini," suara seorang pria terdengar, penuh dengan keyakinan dingin.

Maria menggenggam pisau kecilnya dengan erat, memikirkan langkah selanjutnya. Ia tahu bahwa ini adalah pertarungan hidup dan mati. Ia tidak bisa membiarkan mereka mengambil drive itu. Mereka tidak bisa menang.

Saat Maria bersiap untuk melawan, ia mendengar suara langkah kaki lain—lebih banyak orang yang masuk ke dalam gudang. Tetapi dari arah lain, sebuah ledakan kecil terdengar, dan bayangan seseorang bergerak cepat di antara kotak-kotak. Sebuah suara familiar berbisik di dekat telinganya, “Maria, aku ada di sini. Kita selesaikan ini bersama.” Itu adalah Laras.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Di Balik Tirai    Bab 8 Penyelesaian

    Hari-hari pasca penangkapan Rizal terasa seperti langkah-langkah kecil menuju pemulihan yang panjang dan penuh tantangan. Meskipun Maria merasa sedikit lega, bahwa satu babak dari kehidupan kelamnya akhirnya selesai, ia tahu bahwa ini bukan akhir dari segala sesuatu. Itu hanyalah awal dari pertempuran baru, yang kali ini lebih bersifat pribadi, lebih dalam, dan melibatkan penyembuhan yang harus dia jalani sendiri.Di ruang tamu rumahnya yang sunyi, Maria duduk dengan punggung tegak, matanya terfokus pada secangkir teh yang baru saja diseduhnya. Putri dan Arif sedang bermain di kamar mereka, dan meskipun suara tawa mereka terdengar riang, Maria tahu betul bahwa ketenangan ini masih rapuh. Mereka telah melalui begitu banyak bersama, dan meskipun mereka mulai merasakan kedamaian, bayang-bayang trauma itu masih sulit dihapuskan.Keesokan harinya, Maria menghadiri sesi terapi pertama se

  • Di Balik Tirai    Bab 7 Konfrontasi Puncak

    Malam itu terasa berbeda. Gelap, sunyi, dan penuh dengan ketegangan yang meluap-luap, Maria bisa merasakannya di setiap detak jantungnya. Setelah berhari-hari bersembunyi, berlari, dan menghindari ancaman yang semakin nyata, malam ini terasa lebih berat. Ada perasaan tidak nyaman yang membayangi rumahnya, sebuah kesan bahwa sesuatu yang buruk sedang menunggu di luar sana, mengintai setiap gerakan.Maria duduk di meja makan, menatap dua anaknya—Putri dan Arif—yang sedang bermain dengan tenang, tidak menyadari betapa dekatnya bahaya yang mengintai. Ia mencoba menenangkan dirinya, berusaha untuk tidak membiarkan ketakutan yang semakin mendalam menguasainya. Namun, ia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya datang dari luar rumah, tapi juga dari dalam dirinya sendiri. Rizal, yang selama ini mengancam hidupnya, kini berusaha mengakhiri semuanya. Ia tahu bahwa malam ini, konfrontasi itu tak terhindarkan.

  • Di Balik Tirai    Bab 6 Penyelidikan dan Perlindungan

    Maria duduk di ruang tamu rumahnya, ponselnya tergenggam erat di tangan, matanya terfokus pada layar yang menampilkan pesan terakhir dari Inspektur Farhan. Sementara anak-anaknya bermain di kamar, dia merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa ketakutan yang sudah lama mengendap. Rizal dan Lingkaran Hitam tidak hanya mengejarnya, mereka juga mulai merangsek lebih dalam ke dalam hidupnya, mengancam setiap orang yang ia cintai. Dan sekarang, setelah mengungkap semua informasi yang mereka miliki, Maria merasa semakin terperangkap.Farhan baru saja mengirimkan kabar bahwa mereka telah menemukan bukti baru: Rizal, yang selama ini bersembunyi di bayang-bayang, kini mulai mengirim ancaman dari sebuah kota yang berbeda. Namun, meskipun mereka sudah melacak jejak komunikasi Rizal, dia sangat hati-hati. Tidak ada bukti yang jelas yang bisa menunjukkan keberadaannya secara la

  • Di Balik Tirai    Bab 5 Ketegangan Meningkat

    Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Maria duduk di ruang tamu rumahnya, dikelilingi oleh keheningan yang berat. Di luar, hanya suara angin malam yang berdesir di antara dedaunan. Namun, di dalam pikirannya, ribuan skenario mengerikan terus bermain. Wajah Putri dan Arif—wajah anak-anaknya yang polos—terus membayang di benaknya, bersanding dengan senyum dingin Rizal dan ancaman yang kini terasa semakin dekat.Di ponselnya, pesan dari Rizal masih terpampang di layar: “Anak-anakmu terlihat manis, ya?”Pesan itu disertai dengan gambar Putri dan Arif, diambil dari luar jendela ruang tamu. Mereka sedang bermain bersama Dewi, tampak ceria dan tanpa beban. Tetapi bagi Maria, gambar itu adalah pengingat bahwa tidak ada tempat aman. Rizal tidak hanya ingin mengancam; ia ingin menghancurkan setiap kepingan rasa aman yang tersisa di hidup Maria.M

  • Di Balik Tirai    Bab 4 Eskalasi Ancaman

    Maria merasakan hidupnya semakin terkunci dalam lingkaran ancaman yang tak berujung. Pesan-pesan anonim datang hampir setiap hari. Beberapa berupa surat tanpa nama yang dilemparkan ke halaman rumahnya, beberapa muncul di media sosial dengan akun-akun tak dikenal yang mengirimkan pesan menakutkan seperti, “Kami selalu melihatmu,”atau, “Tidak ada tempat yang aman, Maria.”Awalnya, Maria mencoba mengabaikan semua itu, meyakinkan dirinya bahwa ketakutannya tidak akan menjadi bahan bakar untuk permainan mereka. Namun, malam itu, sesuatu yang lebih nyata terjadi.Maria terbangun di tengah malam karena suara angin yang tidak biasa. Ia melangkah keluar dari kamarnya, memeriksa anak-anaknya yang sedang tertidur nyenyak, dan beranjak ke ruang tamu. Ketika ia tiba di dapur, ia berhenti mendadak. Pintu

  • Di Balik Tirai    Bab 3 Kilas Balik

    Pernikahan Maria dengan Rizal dimulai seperti kisah dongeng. Ia masih ingat bagaimana ia pertama kali bertemu pria itu—tampan, karismatik, dan memiliki senyum yang mampu membuat siapa pun merasa istimewa. Rizal adalah segala yang Maria pikir ia inginkan dalam seorang pasangan: perhatian, penuh kasih, dan tampak selalu hadir saat ia membutuhkannya. Ia membuat Maria merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Awalnya, semuanya berjalan sempurna. Rizal selalu menggenggam tangannya di tengah keramaian, menatapnya dengan mata yang penuh cinta. Ia mengingat momen-momen kecil itu—sarapan bersama di pagi hari, tawa mereka yang menyatu saat berbicara hingga larut malam, dan bagaimana Rizal selalu menanyakan pendapat Maria dalam hal-hal kecil, seolah-olah pendapatnya adalah satu-satunya yang penting.Namun, seiring waktu, dongeng itu mulai berubah menjadi mimpi buruk. Rizal mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya, sisi yang perlahan-lahan membuat Maria merasa seperti burung yang terkurung

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status