MasukValeria menggeleng keras. "Tidak, tidak mungkin." Tiba-tiba sorot lampu menyala terang dari berbagai arah. "POLISI! JANGAN BERGERAK!" Suara sirene memecah malam. Beberapa mobil polisi mengepung area gudang. Petugas bersenjata berlari cepat dan mengepung truk dan gudang. Liam tersentak dan wajahnya pucat. Ia sempat mencoba mundur, tapi dua polisi sudah menodongkan senjata. "Angkat tangan!" Kotak-kotak dibuka. Isinya bukan barang biasa. Paket-paket kecil dibungkus rapi dengan segel khusus. Teman Liam mencoba kabur, tapi dijatuhkan dalam hitungan detik.Liam berdiri kaku, tangannya terangkat, matanya liar mencari jalan keluar, lalu tatapannya bertemu dengan Valeria di balik celah kontainer. Tatapan itu menghantam Valeria lebih keras dari apa pun. Lutut Valeria melemas dan Lucia cepat memeganginya. Alejandro menatap ke depan, wajahnya tegang namun tenang. "Aku bilang kamu akan melihat sendiri." Tangis Valeria pecah tanpa suara saat borgol mengatup di pergelangan tangan Liam dan p
Valeria menghembuskan napas panjang, lalu menggeleng keras seolah ingin mengusir sesuatu dari kepalanya. "Dia sudah gila," ucapnya akhirnya, suaranya bergetar karena marah. "Dia menyakitimu?" "Tidak." Valeria menarik lengannya pelan. Lucia menelan ludah. "Apa lagi yang dia katakan?" "Masih soal penyelundupan dan Liam. Seolah aku ini bodoh dan tidak tahu apa yang kulihat sendiri." Lucia terdiam sesaat. "Dia tahu kita menyelidiki?" "Aku sengaja bilang supaya dia berhenti menuduh," jawab Valeria tajam. Lucia menghela napas pelan. "Dan?" "Dia tetap yakin." Valeria mengepalkan tangannya. "Katanya akan ada sesuatu malam ini di pelabuhan dan aku akan melihat sendiri." Valeria menggeleng. "Tidak. Aku tidak mau dengar lagi soal dia. Dia sudah keterlaluan." Lucia menatap Valeria. Ia bisa melihat amarah itu dan ketakutan yang belum sempat diakui. "Val," ucap Lucia pelan, "Aku tidak percaya Liam terlibat, tapi Daniel juga bukan orang yang asal bicara." "Aku tidak peduli!" potong Vale
Alejandro duduk di balik meja kerjanya. Jasnya tergantung rapi di sandaran kursi dan lengan kemeja digulung hingga siku. Layar laptop di depannya menampilkan beberapa jendela terbuka tentang laporan pengiriman, peta jalur distribusi, dan daftar nama yang sebagian besar ia hafal di luar kepala. Ponselnya bergetar di telapak tangan. Nama Santiago muncul di layar. "Kita dapat konfirmasi," kata Santiago langsung. "Aksi penyelundupan akan dimulai malam ini." Jari Alejandro berhenti di atas touchpad. "Yakin?" "Sumber kita di pelabuhan dan satu orang di jalur darat bilang hal yang sama. Barang sudah bergerak." Alejandro bersandar ke kursinya dan rahangnya mengeras. "Masalahnya," lanjut Santiago hati-hati, "Kalau kita bergerak sekarang mungkin bisa menangkap kurir itu." Alejandro terdiam sejenak. "Kalau kurirnya tertangkap, rantainya akan terbuka. Kita bisa bongkar semuanya," lanjut Santiago. Alejandro menghembuskan napas perlahan. "Siapkan tim! Aku ikut turun." "Baik. Kita berg
Valeria mengangguk seolah jawaban itu cukup. Namun kegelisahan di dadanya tidak mereda. Ia hanya tersenyum tipis sampai Liam pamit beberapa menit kemudian meninggalkan aroma makanan dan pertanyaan yang tidak pernah terucap.Malam itu setelah butik benar-benar tutup, Valeria duduk di kursi kecil ruang belakang dengan tangan terlipat di dada. Lucia berdiri di depannya dengan menyilangkan tangannya."Aku mau kita cek," kata Lucia tanpa basa-basi. "Bukan menuduh, tapi menyelidiki."Valeria langsung menggeleng. "Tidak. Itu gila. Aku tidak akan memata-matai kekasihku sendiri."Lucia mendekat dan menurunkan suaranya. "Val, beberapa barang hilang. Daniel datang memperingatkan kalau semua ini kebetulan, kita akan tahu, tapi kalau bukan ....""Aku tidak mau hidup dengan curiga," potong Valeria, suaranya bergetar."Dan aku tidak mau kamu hidup dalam bahaya," balas Lucia tegas. “Kita lakukan diam-diam dan kalau tidak ada apa-apa, kita berhenti."Valeria menutup matanya lama. Apa rencanamu?" tany
Wajah Valeria berubah. Amarahnya langsung menyala. "Itu fitnah!""Aku tidak asal bicara.""Kamu menjelekkan kekasihku." Valeria membentak. "Aku sudah kenal Liam sudah cukup lama. Dia tidak mungkin ....""Aku mohon, percaya padaku!" potong Alejandro. "Setidaknya, berhati-hatilah!"Valeria menggeleng keras. "Tidak. Aku tidak akan mendengar ini."Tatapannya berubah curiga. "Dari mana kamu tahu semua itu, Daniel? Jangan bilang kamu mengirim orang untuk mengawasiku."Alejandro tidak menghindar dari tatapan itu. "Yang penting kamu harus waspada. Percaya atau tidak, itu pilihanmu."Valeria tertawa sinis. "Enak sekali bicara soal pilihan."Alejandro melangkah mendekat setengah langkah. "Valeria, akhir-akhir ini apa kamu merasa ada barang yang hilang?"Kata-kata itu menghantam tepat sasaran.Valeria terdiam dan napasnya sedikit tertahan. Tatapannya berpaling hanya sesaat, namun cukup bagi Alejandro untuk tahu."Kamu sudah merasakannya. Ada yang tidak beres. Kamu tahu itu," ucap Alejandro pelan
Keesokan paginya, berita itu menyebar cepat.BREAKING NEWSSergio Morales ditemukan tewas di kediamannya dini hari tadi. Polisi menyatakan korban meninggal akibat kekerasan dan tengah menyelidiki motif pembunuhan. Tidak ada tanda-tanda perampokan.Alejandro berdiri terpaku di kamarnya. Televisi besar di dinding menampilkan gambar rumah mewah yang dipagari garis polisi. Nama Sergio Morales terpampang jelas di layar.Jantung Alejandro mencelos."Tidak," gumamnya pelan.Ponselnya bergetar di atas meja.Alejandro mengangkatnya segera. "Aku sudah nonton beritanya."Di seberang, suara Santiago terdengar tegang. "Berarti kamu sudah tahu.""Kita terlambat," ujar Alejandro lirih namun tegas.Santiago menarik napas. "Aku sudah menemukan alamatnya semalam. Tempatnya tidak jauh dari kawasan industri lama, tapi ketika aku sampai polisi sudah berada di sana. Sergio sudah meninggal."Alejandro memejamkan matanya. Potongan-potongan kejadian menyatu terlalu rapi untuk disebut kebetulan."Corvus," kata







