MasukDi sudut ruangan, arwah Alejandro menatap dirinya sendiri dengan mata yang kosong. Ia tidak merasakan apa pun, tidak dingin, tidak panas, dan tidak lelah, karena yang ada hanyalah kehampaan.
Namun, suara tangis Valeria menembus kehampaan itu. Suara yang dulu selalu membuatnya hidup sekarang justru membuat jiwanya bergetar dalam penyesalan. "Aku di sini, Sayang," bisiknya lagi, namun suara itu hanya memantul ke dinding kosong. Alejandro melangkah mendekat dan mencoba menyentuh wajah Valeria, tapi jari-jari transparannya menembus kulit lembut itu dan membuatnya hanya bisa menatap tanpa daya. Ia ingin memeluknya, menenangkannya, dan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud meninggalkannya di altar, tapi dunia seolah memisahkan mereka dengan tirai tak kasatmata. Cahaya putih lembut mulai muncul di sisi ruangan. Cahaya itu lebih hangat dan lebih hidup seperti sinar matahari yang turun dalam bentuk bisikan. Alejandro menoleh ke arah samping. Seorang pria tua berjubah abu-abu berdiri di sana dan wajahnya samar, tapi tatapannya penuh kedamaian. "Alejandro Ramirez," suara itu terdengar berat namun lembut. "Sudah waktunya bagimu untuk pergi." Alejandro terdiam. "Pergi ke mana?" "Ke tempat di mana jiwa-jiwa beristirahat." "Tidak!" Ia membentak lirih dan matanya menatap Valeria yang masih menangis di sisi ranjangnya. "Aku tidak bisa meninggalkannya. Dia butuh aku dan aku janji akan datang padanya. Aku belum menepati janji itu!" Pria berjubah itu menatapnya begitu lama. "Cinta manusia seringkali lebih kuat dari maut, tapi jarang ada yang bisa melawan garis takdir. Kamu masih terikat karena janji yang belum terpenuhi." Alejandro menunduk dan suaranya bergetar. "Aku tidak peduli pada takdir. Aku hanya ingin bersamanya. Hanya itu." Cahaya di sekeliling pria berjubah itu bergetar lembut. "Jika begitu kamu akan menanggung beban pilihanmu. Dunia tidak memberi tempat bagi jiwa yang menolak pergi dan kamu akan terjebak di antara hidup dan mati." Namun Alejandro tidak gentar dan menatap Valeria sekali lagi dan itu sudah cukup menjadi jawabannya. "Aku rela." Cahaya itu perlahan-lahan memudar, meninggalkan rasa dingin yang menembus hingga ke dalam roh. Alejandro merasakan tubuhnya semakin ringan seperti kabut yang tertiup angin, namun kesadarannya tetap melekat di dunia ini. Ia melihat Valeria memeluk tubuhnya dan ia berjanji dalam hati apapun yang terjadi, ia akan tetap di sisinya. *** Dua hari kemudian, udara sore terasa dingin menusuk di halaman rumah duka. Awan mendung menggantung seakan langit pun enggan memberi cahaya. Aroma bunga lily dan melati seketika memenuhi udara yang bercampur dengan isak tangis yang tertahan. Petugas pemakaman menurunkan peti kayu berwarna gelap bertuliskan nama Alejandro Ramirez ke liang lahat. Suara tanah yang jatuh ke atas peti terdengar seperti gema duka yang tidak berkesudahan. Valeria berdiri di sisi liang lahat dengan mata sembab. Gaun hitam yang dikenakannya terlihat sederhana membalut tubuhnya dan rambutnya terurai berantakan. Di tangannya ia masih menggenggam bunga mawar merah yang sudah hampir layu. Orang tua Valeria berdiri di belakang mendampinginya dan menjadi satu-satunya keluarga yang menemaninya di hari itu. Hal itu dikarenakan tidak ada satu pun dari pihak keluarga Alejandro yang datang baik orang tua maupun kerabatnya. Pemakaman itu hanya dihadiri oleh beberapa rekan kerja dan tetangga yang berdiri dengan wajah muram. Valeria menatap ke sekeliling berharap sampai detik terakhir seseorang dari keluarga Alejandro akan muncul. Namun waktu terus berjalan dan kursi-kursi kosong di barisan depan tetap tidak terisi. Ia menggigit bibir dan berusaha menahan perih yang semakin dalam. "Kenapa mereka tidak datang, Pa?" tanyanya lirih dan matanya tetap tertuju pada peti yang sekarang hampir tertutup tanah. "Entahlah, hanya mereka yang tahu kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang datang. Seperti yang kita tahu hubungan Alejandro dan keluarganya tidak begitu baik." "Alejandro yang mati, Papa. Dia sendirian di sana, bahkan di pemakamannya, mereka tidak ada yang datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Apa mereka masih tidak peduli juga?" Veronika mencoba menenangkan putrinya dengan memeluk bahunya, tapi Valeria menepis dengan pelan. Air matanya jatuh lagi tanpa bisa ia tahan dan menatap tanah basah di hadapannya. "Alejandro, aku di sini seperti yang pernah kamu minta, tapi kenapa dunia terasa begitu kejam? Bahkan keluargamu saja meninggalkanmu di hari terakhir," ucapnya dengan suara yang terdengar pelan. Ia melemparkan bunga mawar merahnya ke dalam liang lahat, lalu berlutut. "Selamat tinggal, Sayang!" Saat para petugas mulai menutup liang dengan tanah, suara gumpalan tanah yang jatuh bergema dalam dada Valeria, karena setiap suara seakan memukul hatinya berulang kali. Setelah pemakaman selesai, suasana di rumah keluarga Duarte begitu hening hingga detak jam di dinding terdengar seperti gema waktu yang tidak mau bergerak. Langit Madrid sudah berganti jingga pucat, tapi di dalam rumah semuanya terasa kelabu. Valeria berjalan masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata pun. Sepatu hitamnya masih berlumur tanah, gaun hitam yang dikenakannya pun masih lembap, karena hujan gerimis di pemakaman tadi. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah cermin. Di sana pantulan wajahnya tampak asing, mata sembab, kulit pucat, dan pandangan yang kosong seperti tak lagi mengenal arti hidup. Veronika berdiri di ambang pintu, memegang secangkir teh. "Sayang, minum dulu sedikit, ya?" Valeria tidak menjawab dan hanya menggeleng lemah. "Aku tidak haus." "Valeria, kamu belum makan apa pun sejak pagi. Kamu tidak bisa terus seperti ini," suara Don Esteban menyusul dari belakang dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Valeria memejamkan mata dan bahunya bergetar. "Untuk apa aku makan, Pa? Untuk apa aku hidup? Alejandro sudah tidak ada. Semua hal yang aku siapkan, semua rencana, semuanya sudah tidak berarti lagi.” Veronika meletakkan cangkir di meja dan memeluk anaknya erat. "Sayang, aku tahu kamu kehilangan seseorang yang kamu cintai, tapi kamu masih punya kami dan kamu masih punya hidupmu." Valeria memejamkan mata lebih erat, air mata mengalir pelan di pipinya. "Aku ingin ikut dengannya, Ma. Setidaknya di sana, aku tidak perlu menahan rasa sakit ini." Veronika menahan napas dan nyaris menangis. "Jangan bicara seperti itu, Valeria," katanya lirih. "Jangan pernah melakukan hal bodoh. Sekarang istirahatlah! Mungkin sekarang kamu butuh waktu untuk sendiri." Ayah dan ibunya pergi meninggalkan Valeria sendirian di kamar dan malamnya Valeria tidak bisa tidur. Lampu kamar hanya menyala redup, tapi pikirannya terus berputar. Ia menatap layar ponselnya dan membuka ulang pesan terakhir dari Alejandro yang belum sempat ia balas sebelum kecelakaan itu. Alejandro: Satu jam lagi aku akan datang dan aku tidak sabar melihatmu memakai gaun itu. Air mata mengaburkan pandangannya. Valeria menggigit bibirnya sampai nyaris berdarah, lalu tiba-tiba ia berdiri. Ia tidak bisa lagi hanya menangis dan ia harus tahu kenapa semua ini terjadi. Valeria menekan nomor kantor polisi kota Madrid. "Ini Valeria Duarte," ucapnya tegas walaupun suaranya serak. "Saya ingin tahu perkembangan penyelidikan kecelakaan yang menewaskan Alejandro Ramirez." Suara petugas di seberang terdengar formal. "Kami sudah meninjau rekaman CCTV dari jalan raya, Nona Duarte, dan dari hasil penyelidikan awal, kendaraan korban tertabrak dari sisi kiri oleh mobil sport hitam milik ...." "Siapa namanya?" sela Valeria cepat dengan napasnya memburu. "Daniel Delaluca," jawab petugas itu hati-hati. "Pengusaha muda, 30 tahun. Ia dalam kondisi koma dan jika sudah sadar akan diperiksa sebagai tersangka resmi." Tubuh Valeria membeku. Nama itu seolah menggema di dalam kepalanya.Jari-jemari Alejandro menggenggam erat seprai seolah berusaha menahan semua beban di dadanya. "Kalau saja aku bisa menukar tempat dengannya, aku akan melakukannya tanpa ragu," bisiknya lirih. Valeria menatapnya seakan tidak percaya. "Kamu pikir kata-kata itu bisa membuat Alejandro hidup lagi? Tidak ada maaf untukmu, Daniel Delaluca. Kamu akan membayar atas apa yang sudah kamu lakukan pada Alejandro."Tidak lama kemudian terdengar suara langkah tergesa-gesa di luar. Dua petugas kepolisian dan salah satunya membawa berkas laporan. "Tuan Delaluca, Anda diminta hadir dalam penyelidikan resmi setelah dokter menyatakan kondisi Anda stabil. Anda masih dalam status tersangka kasus kecelakaan dengan korban jiwa, Alejandro Ramírez," ucapnya datar. Alejandro menatap petugas itu lama dan ia sama sekali tidak membantahnya. Dalam batinnya, ia tahu inilah bagian dari beban yang harus ia tanggungnya sebagai Daniel. "Baik, aku akan menjalani apa pun yang harus dijalani," katanya pelan. Dua petu
Setelah Daniel sadar dari komanya, ia dipindahkan ke ruang VVIP. Ruangan itu sangat luas dengan dinding yang putih bersih dan tercium bau aroma antiseptik samar yang menyelimuti udara. Tirai putih bergoyang pelan, karena angin sore yang masuk melalui jendela besar. Alejandro duduk di ranjang rumah sakit dan menatap bayangan wajah asingnya di kaca. Setiap kali ia melihat pantulan wajah barunya itu, dada Alejandro terasa sesak dan ia masih belum terbiasa kalau sekarang ia telah menjadi Daniel. Ia masih berusaha beradaptasi dengan identitas barunya itu dan yang membuat ia tidak mengerti kenapa harus berada di tubuh pria yang telah menabrak dan membunuhnya. Namun sebelum ia sempat pikirannya larut lebih jauh, pintu ruangan terbuka. Suara langkah cepat terdengar bersamaan dengan panggilan tertahan. "Daniel ...." Seorang pria berjas hitam masuk dengan langkah tegas dan sedikit terburu-buru, namun wajahnya penuh emosi. Di sampingnya berdiri seorang wanita paruh baya menahan tangisnya da
Tangan Valeria gemetar memegang ponselnya. "Jadi dia yang membunuh Alejandro?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik." Ya. Berdasarkan bukti video dan laporan lalu lintas. Kami akan segera melanjutkan proses hukumnya."Valeria memutus sambungan tanpa berkata apa pun. Ponselnya jatuh ke lantai dan ia menatap kosong ke depan, lalu perlahan napasnya berubah menjadi isakan penuh amarah."Daniel Delaluca, kamu sudah menghancurkan hidupku," gumamnya diantara tangis.***Keesokan harinya wajah tampan Daniel Delaluca terpampang di layar televisi bersama headline besar.PENGUSAHA MUDA TERSANGKA KECELAKAAN MAUT YANG MENELAN KORBAN ALEJANDRO RAMIREZ, TUNANGAN DARI VALERIA DUARTEBerita itu menyebar cepat. Semua saluran televisi nasional membicarakannya, surat kabar mencetak foto mobil yang hancur, dan media sosial dipenuhi dengan komentar pedas."Orang kaya seenaknya di jalan, nyawa orang lain jadi taruhan.""Keadilan harus ditegakkan! Jangan sampai uang menutupi keadilan!"Valeria menata
Di sudut ruangan, arwah Alejandro menatap dirinya sendiri dengan mata yang kosong. Ia tidak merasakan apa pun, tidak dingin, tidak panas, dan tidak lelah, karena yang ada hanyalah kehampaan. Namun, suara tangis Valeria menembus kehampaan itu. Suara yang dulu selalu membuatnya hidup sekarang justru membuat jiwanya bergetar dalam penyesalan. "Aku di sini, Sayang," bisiknya lagi, namun suara itu hanya memantul ke dinding kosong. Alejandro melangkah mendekat dan mencoba menyentuh wajah Valeria, tapi jari-jari transparannya menembus kulit lembut itu dan membuatnya hanya bisa menatap tanpa daya. Ia ingin memeluknya, menenangkannya, dan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud meninggalkannya di altar, tapi dunia seolah memisahkan mereka dengan tirai tak kasatmata. Cahaya putih lembut mulai muncul di sisi ruangan. Cahaya itu lebih hangat dan lebih hidup seperti sinar matahari yang turun dalam bentuk bisikan. Alejandro menoleh ke arah samping. Seorang pria tua berjubah abu-abu berdir
Sore itu di musim semi, langit cerah membentang sempurna di atas kota. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga jeruk dan suara lonceng gereja Santa María de la Luz berdentang lembut di kejauhan seolah memberi tahu seluruh kota bahwa hari ini ada cinta yang akan disatukan. Alejandro Ramirez menatap dirinya di kaca spion mobil, senyumnya merekah seperti anak kecil yang baru saja diberi dunia. Jas putih gading yang dipakainya terasa pas di tubuhnya dan dasinya sedikit miring, lalu ia membetulkannya dengan tawa kecil. "Aku hampir sampai, Sayang," gumamnya sambil menyalakan panggilan di ponsel. Suara di seberang sana membuat jantungnya berdegup hangat. "Jangan sampai telat! Papa sudah di gereja dan aku tidak mau jadi pengantin sendirian di altar." Tawa Valeria terdengar ringan, namun Alejandro bisa membayangkan pipi Valeria bersemu merah saat gadis itu bicara. "Sepuluh menit lagi aku akan sampai, lalu aku akan berdiri di sana, menunggumu datang, dan memintamu jadi istriku d







