MasukJari-jemari Alejandro menggenggam erat seprai seolah berusaha menahan semua beban di dadanya. "Kalau saja aku bisa menukar tempat dengannya, aku akan melakukannya tanpa ragu," bisiknya lirih. Valeria menatapnya seakan tidak percaya. "Kamu pikir kata-kata itu bisa membuat Alejandro hidup lagi? Tidak ada maaf untukmu, Daniel Delaluca. Kamu akan membayar atas apa yang sudah kamu lakukan pada Alejandro."Tidak lama kemudian terdengar suara langkah tergesa-gesa di luar. Dua petugas kepolisian dan salah satunya membawa berkas laporan. "Tuan Delaluca, Anda diminta hadir dalam penyelidikan resmi setelah dokter menyatakan kondisi Anda stabil. Anda masih dalam status tersangka kasus kecelakaan dengan korban jiwa, Alejandro Ramírez," ucapnya datar. Alejandro menatap petugas itu lama dan ia sama sekali tidak membantahnya. Dalam batinnya, ia tahu inilah bagian dari beban yang harus ia tanggungnya sebagai Daniel. "Baik, aku akan menjalani apa pun yang harus dijalani," katanya pelan. Dua petu
Setelah Daniel sadar dari komanya, ia dipindahkan ke ruang VVIP. Ruangan itu sangat luas dengan dinding yang putih bersih dan tercium bau aroma antiseptik samar yang menyelimuti udara. Tirai putih bergoyang pelan, karena angin sore yang masuk melalui jendela besar. Alejandro duduk di ranjang rumah sakit dan menatap bayangan wajah asingnya di kaca. Setiap kali ia melihat pantulan wajah barunya itu, dada Alejandro terasa sesak dan ia masih belum terbiasa kalau sekarang ia telah menjadi Daniel. Ia masih berusaha beradaptasi dengan identitas barunya itu dan yang membuat ia tidak mengerti kenapa harus berada di tubuh pria yang telah menabrak dan membunuhnya. Namun sebelum ia sempat pikirannya larut lebih jauh, pintu ruangan terbuka. Suara langkah cepat terdengar bersamaan dengan panggilan tertahan. "Daniel ...." Seorang pria berjas hitam masuk dengan langkah tegas dan sedikit terburu-buru, namun wajahnya penuh emosi. Di sampingnya berdiri seorang wanita paruh baya menahan tangisnya da
Tangan Valeria gemetar memegang ponselnya. "Jadi dia yang membunuh Alejandro?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik." Ya. Berdasarkan bukti video dan laporan lalu lintas. Kami akan segera melanjutkan proses hukumnya."Valeria memutus sambungan tanpa berkata apa pun. Ponselnya jatuh ke lantai dan ia menatap kosong ke depan, lalu perlahan napasnya berubah menjadi isakan penuh amarah."Daniel Delaluca, kamu sudah menghancurkan hidupku," gumamnya diantara tangis.***Keesokan harinya wajah tampan Daniel Delaluca terpampang di layar televisi bersama headline besar.PENGUSAHA MUDA TERSANGKA KECELAKAAN MAUT YANG MENELAN KORBAN ALEJANDRO RAMIREZ, TUNANGAN DARI VALERIA DUARTEBerita itu menyebar cepat. Semua saluran televisi nasional membicarakannya, surat kabar mencetak foto mobil yang hancur, dan media sosial dipenuhi dengan komentar pedas."Orang kaya seenaknya di jalan, nyawa orang lain jadi taruhan.""Keadilan harus ditegakkan! Jangan sampai uang menutupi keadilan!"Valeria menata
Di sudut ruangan, arwah Alejandro menatap dirinya sendiri dengan mata yang kosong. Ia tidak merasakan apa pun, tidak dingin, tidak panas, dan tidak lelah, karena yang ada hanyalah kehampaan. Namun, suara tangis Valeria menembus kehampaan itu. Suara yang dulu selalu membuatnya hidup sekarang justru membuat jiwanya bergetar dalam penyesalan. "Aku di sini, Sayang," bisiknya lagi, namun suara itu hanya memantul ke dinding kosong. Alejandro melangkah mendekat dan mencoba menyentuh wajah Valeria, tapi jari-jari transparannya menembus kulit lembut itu dan membuatnya hanya bisa menatap tanpa daya. Ia ingin memeluknya, menenangkannya, dan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud meninggalkannya di altar, tapi dunia seolah memisahkan mereka dengan tirai tak kasatmata. Cahaya putih lembut mulai muncul di sisi ruangan. Cahaya itu lebih hangat dan lebih hidup seperti sinar matahari yang turun dalam bentuk bisikan. Alejandro menoleh ke arah samping. Seorang pria tua berjubah abu-abu berdir
Sore itu di musim semi, langit cerah membentang sempurna di atas kota. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga jeruk dan suara lonceng gereja Santa María de la Luz berdentang lembut di kejauhan seolah memberi tahu seluruh kota bahwa hari ini ada cinta yang akan disatukan. Alejandro Ramirez menatap dirinya di kaca spion mobil, senyumnya merekah seperti anak kecil yang baru saja diberi dunia. Jas putih gading yang dipakainya terasa pas di tubuhnya dan dasinya sedikit miring, lalu ia membetulkannya dengan tawa kecil. "Aku hampir sampai, Sayang," gumamnya sambil menyalakan panggilan di ponsel. Suara di seberang sana membuat jantungnya berdegup hangat. "Jangan sampai telat! Papa sudah di gereja dan aku tidak mau jadi pengantin sendirian di altar." Tawa Valeria terdengar ringan, namun Alejandro bisa membayangkan pipi Valeria bersemu merah saat gadis itu bicara. "Sepuluh menit lagi aku akan sampai, lalu aku akan berdiri di sana, menunggumu datang, dan memintamu jadi istriku d







