Brak
Suara dokumen yang dilempar di atas meja membuat wanita berkemeja biru salur itu terkejut. Semua berkas yang sudah dikerjakan berserakan begitu saja. Sementara ia hanya bisa menunduk. “Kau bisa bekerja atau tidak, Nona?” pria berkemeja hitam di hadapan gadis itu menatapnya tajam. “Mohon maaf, Pak. Akan segera saya perbaiki,” gadis itu berkata pelan dan menatap lelaki di hadapannya itu dengan takut. “Bereskan semua kekacauan ini,” ucap Dario tegas. Dario bangkit dari duduknya dan membenarkan kancing jasnya yang terbuka. Ia melangkah ke samping Isabelle yang masih berdiri di depan mejanya. Pria itu mengamati Isabelle dari samping. “Kalau tidak selesai, maka kau harus mengganti semua kerugiannya,” bisiknya dan beranjak pergi. Isabelle segera membereskan berkas yang berserakan di atas meja. Ia segera keluar dari ruangan atasannya itu. Gadis itu harus merevisi pekerjaannya dalam beberapa hari ke depan. Isabelle termasuk karyawan baru di kantor utama Dynamics Group, namun tugasnya sudah cukup berat. Gadis berusia 25 tahun itu ditempatkan di departemen keuangan, sesuai dengan background pendidikannya. Baru saja tiga bulan Isabelle bekerja di perusahaan itu. Akan tetapi, ia harus sudah mengerjakan laporan keuangan untuk rapat direksi. Dan tentu saja, membuatnya harus berhadapan langsung dengan sang CEO. Ia mencoba mengerjakan semuanya sebaik mungkin. Gadis itu terbiasa menyelesaikan tugasnya secara murni dan jujur. Tanpa sadar kejujuran itu membuatnya terjerumus dalam sesuatu yang gelap. Atasannya di departemen keuangan memarahinya pagi ini. Sebab, ia merasa pekerjaan Isabelle gagal total. Sementara teman-teman satu departemennya tidak bisa membantu sama sekali. Akibat hal itu, Isabelle harus langsung berhadapan dengan CEO perusahaannya. Membawa setumpuk berkas itu. Dan benar, Isabelle terkena damprat sekali lagi. *** “Nih, kopi dulu. Biar ga pusing,” ucap lelaki di hadapan Isabelle sembari menyodorkan satu gelas kopi panas. “Pusing banget Ren, mepet banget ini. Apa coba yang salah?” keluh Isabelle sembari menerima satu gelas kopi panas itu dan meletakkannya di atas meja. “Coba tanya Kak Nindya sama Kak Jordan, gih. Gimana nih, kak? Laporan nih bocah salah fatal, kah?” ucap pemuda bernama Rendra tersebut kepada dua orang lain di hadapannya. “Kamu terlalu jujur, Belle,” Jordan mengambil dokumen yang ada di meja Isabelle. “Iya, harusnya dokumennya sesuai sama persentase mark up yang udah ditentuin aja biar ga ribet,” ucap Nindya sembari ikut melihat dokumen yang dipegang oleh Jordan. “Tapi, Kak. Kalo ga sesuai nominal aslinya apa ga jadi masalah nanti pas audit eksternal?” Isabelle menyandarkan punggungnya ke kursi. “Urusan itu mah bisa diatur nanti menjelang audit. Yang penting laporan keuangannya sesuaiin sama aturan yang udah berlaku selama ini aja,” Jordan mengembalikan dokumen tersebut ke meja Isabelle. Ketiga karyawan departemen keuangan itu mencoba mencari solusi untuk juniornya. Antisipasi sebelum semuanya mendapatkan masalah. Saat sedang fokus mengerjakan tugasnya, tiba-tiba Nikki yang merupakan kepala departemen keuangan mendatangi Isabelle. Wanita itu meletakkan tumpukan dokumen di atas meja Isabelle. “Minta tanda tangan Pak Dario. Harus dapat hari ini,” Nikki memerintah dan melenggang pergi begitu saja. Isabelle menghela nafas panjang. Gadis itu merasa lelah sekali. Belum juga tugasnya selesai, namun harus ada pekerjaan lain lagi. Gadis itu meraih tumpukan dokumen itu dan melangkah pergi. Ia berjalan menuju lift dan menekan lantai 9. Sesampainya di depan ruangan yang menjadi tujuannya, Isabelle lantas mengetuk pintu. Jantung gadis itu berdebar ketika pintu di hadapannya terbuka otomatis. Ia mempersiapkan diri untuk masuk. “Permisi, Pak Dario. Saya ingin meminta tanda tangan,” ucap Isabelle setelah berdiri di hadapan Dario. “Saya masih sibuk,” ucap Dario dengan pandangan fokus ke laptopnya. “Saya bisa menunggu, Pak,” Isabelle menjawab. Dario menatap gadis di hadapannya itu dan tersenyum miring. Pandangannya beralih ke sofa yang ada di ruangannya. Pria itu menunjuk sofa itu dengan dagunya. Sudah 2 jam lamanya Isabelle menunggu di ruangan CEO-nya itu. Namun, Dario tidak juga menandatangani dokumennya. Hal tersebut membuat gadis itu merasa bosan dan khawatir. Dario berdiri dan melangkahkan kaki mendekati Isabelle. Lelaki itu berdiri tepat di hadapan Isabelle. Matanya kemudian memandangi gadis di hadapannya itu dengan intens. Ia mendengkus melihat gadis itu tersenyum lebar ke arahnya. “Apakah bisa ditandatangani sekarang, Pak?” ucap Isabelle sembari tersenyum ramah. “Temani saya ke cafe samping perusahaan,” perintah Dario. “Tapi, Pak. Tolong tandangani dokumen ini dulu,” Isabelle memohon. Dario mendengus dan duduk di sofa yang ada di hadapan gadis itu. Pria itu meraih dokumen yang disodorkan oleh Isabelle. Dario menandatanganinya secepat kilat. Selanjutnya, pria itu langsung meraih tangan Isabelle dan menariknya. “Saya harus mengembalikan dokumen ini, Pak,” ucap Isabelle mencoba melepaskan tangannya. “Biar diantar asisten saya,” tegas Dario masih terus menarik tangan gadis itu. *** Di sinilah Isabelle berada. Di sebuah ruangan privat di cafe samping perusahaannya. Tentu saja berdua dengan Dario di hadapannya. Jantung Isabelle merasa tidak aman. Isabelle menatap Dario yang menyesap americano pesanannya. “Bapak sudah makan?” entah keberanian dari mana Isabelle menanyakan hal itu. Dario mengernyitkan dahinya, lalu mengangguk. “Kenapa?” pria itu balik bertanya. “Takut asam lambungnya naik, Pak,” jawab Isabelle gugup. Gadis itu menyembunyikan kegugupannya dengan meneguk matcha kesukaannya. Sedangkan pria di hadapannya itu hanya terkekeh. “Kau keponakan Ferdy, bukan?” Dario membuka percakapan. “Benar, Pak,” jawab Isabelle. “Tapi bapak tidak perlu khawatir. Saya tidak akan memanfaatkan nama paman saya ketika bekerja. Saya akan menggunakan kemampuan saya sendiri,” lanjutnya menjelaskan. “Kita lihat saja nanti,” jawab Dario.Senja mulai mencuri masuk lewat daun jendela kaca kafe kecil itu; lampu temaram menciptakan bayangan hangat di atas meja kayu, sementara aroma kopi hitam dan kue almond menyelimuti udara.Isabelle melangkah masuk dengan langkah hati-hati, menutup mantel terang yang berkibar pelan. Leon sudah duduk di pojok, wajahnya tegang namun tenang, membuka tas kulitnya perlahan.Leon menghela napas dalam sebelum menyodorkan setumpuk dokumen — laporan keuangan, cetak biru proyek, dan email internal — terhampar di atas meja. "Aku menemukan ketidakwajaran di laporan triwulan ketiga…" suaranya rendah, matanya menyapu dokumen. Isabelle meraih salah satu lembar, pandangannya tertuju pada angka yang saling bertolak belakang.Dia mengangkat alis. "Ini... terlalu banyak kejanggalan." Ada jeda. Isabelle mengusap bibir bawah, menarik napas. "Kamu percaya ini sabotase?" tanyanya tenang, sambil matanya tak lepas dari angka.Leon mengangguk, memutar kursi sedikit untuk memastikan tidak ada yang menguping. "Aku
Rapat internal Dynamic Group pagi itu berubah menjadi arena ledakan emosi. Dario, sang CEO, duduk di ujung meja dengan wajah gelap, matanya menatap tajam ke arah lima orang yang duduk di hadapannya: Bu Nikki, Leon, Kak Nindya, Renda, dan Kak Jordan. Suasana hening, tegang, seolah udara pun enggan bergerak.“Dua puluh persen!” Dario membanting dokumen ke meja.“Kita kehilangan dua puluh persen dari anggaran keuangan proyek ini, dan tak satu pun dari kalian bisa memberi penjelasan yang masuk akal!”Kelima orang itu terdiam. Tidak ada yang berani angkat bicara. Masing-masing menunduk, entah karena merasa bersalah, bingung, atau takut. Dario menatap mereka satu per satu, mencoba membaca sesuatu dari ekspresi wajah mereka. Namun yang dia dapat hanya kebisuan.“Ini bukan kesalahan kecil,” katanya, nadanya tajam.“Ini adalah pengkhianatan. Dan saya akan cari tahu siapa yang bermain curang.”Tanpa menyelesaikan rapat, Dario berdiri dan pergi. Suara langkah sepatunya menggema di ruang rapat, l
Dario membuka sebuah ruangan yang tersembunyi di bawah tanah mansionnya. Sebuah ruangan yang sudah lama tidak dibuka oleh lelaki itu. Dario menyalakan lampu ruangan yang temaram untuk memberikan sedikit penerangan.Lelaki berkaos hitam itu menatap seorang perempuan dengan rambut acak-acakan. Kedua tangan wanita itu terikat secara terentang di kanan dan kiri. Dario lalu mendekat ke sebuah lemari yang ada di sudut ruangan.Ia menarik kain yang menutupi benda tersebut. Di dalam lemari kaca tersebut terpampang berbagai senjata tajam yang mampu membuat orang yang melihatnya merinding. Dario memandangi benda yang sudah lama tidak digunakannya itu.Pandangan Dario beralih dengan perempuan yang ada di hadapannya. Perempuan itu sudah berlinang air mata. Dario dengan langkah pastinya mendekat ke arah perempuan tersebut.“Maafkan saya, Tuan,” Sera memohon dengan tangisannya.Sedangkan Dario hanya memandang perempuan tersebut dengan tatapan dinginnya. Ia hanya melihat apa yang sedang dilakukan ol
Isabelle masih bersimpuh di depan kanvas lukisannya yang sudah rusak. Karya yang sudah dibuatnya dengan sepenuh hati itu bahkan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Perasaannya campur aduk.Dario memasuki ruang lukis Isabelle itu dengan langkah besarnya. Di belakangnya sudah ada orang-orang berbadan besar yang merupakan suruhannya. Dario ikut bersimpuh di samping Isabelle.Emosi lelaki itu berada di atas ubun-ubun. Amarahnya membara karena mengetahui ada orang yang berani melakukan hal ini terhadap istrinya. Namun, Dario berusaha untuk bersikap tenang-tidak ingin membuat Isabelle merasa takut.“Saras,” panggilnya lembut.Isabelle dengan wajah masih berlinang air mata menoleh ke arah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya ke lengan kekar Dario. Lelaki dengan kaos hitam itu mengganti posisinya menjadi memeluk Isabelle dari samping.“Aku sudah menemukan pelakunya,” ujar Dario dengan tenang.“Menurutmu apa yang harus aku lakukan untuk pelakunya?” tanya.“Apapun, Kak. Buat dia jera,” Isabelle be
“Sarapan dulu, Kak,” ujar Isabelle pada Dario yang sedang duduk bersandar di sandaran tempat tidur mereka.Wanita itu datang dengan membawa nampan berisi satu set makanan di atasnya. Ia membawakan semangkuk bubur yang disiapkan oleh juru masak mereka. Isabelle menyodorkan mangkuk tersebut kepada Dario. Namun, laki-laki itu tidak bergegas menerimanya.Isabelle mendengus kecil. Ia mengerti maksud suaminya itu. Isabelle mengambil sesendok bubur dan menyuapkannya kepada Dario. Lelaki itu tersenyum tipis dan menerimanya.“Sepertinya aku harus tetap bekerja hari ini, Saras,” ujar Dario di sela menikmati sarapannya.“Apa ga bisa libur dulu,Kak? Kamu itu masih belum pulih loh, Kak,” protes Isabelle“Kau tahu sendiri Saras, sedang ada masalah keuangan di kantor. Aku harus turun tangan sendiri,” jelas Dario.“Bagaimana kamu bisa cepat sembuh kalau sedang sakit masih banyak pikiran?” wajah Isabelle berubah sendu, tetapi sedikit.“Aku hanya demam, Saras,” Dario menoel pipi Isabelle sekilas.Namun
Isabelle sedang menikmati waktunya dengan membaca buku di ruang tengah. Kegiatan itu sengaja dipilih untuk mengisi waktu luang.“Saras,” suara yang sangat familiar terdengar di telinga Isabelle.Panggilan itu membuat Isabelle menoleh. Wanita itu cukup terkejut melihat suaminya sudah kembali ke rumah. Padahal hari masih siang, jarum pendek jam dindingnya baru menunjuk ke angka 11.“Kak, tumben udah pulang?” tanya Isabelle penasaran.Dario tidak menjawab. Pria itu berjalan menuju ke arah Isabelle. Lalu merebahkan diri di sofa yang sedang diduduki istrinya itu. Dario mendaratkan kepalanya di pangkuan Isabelle dan memejamkan kedua matanya.Isabelle heran melihat tingkah suaminya tersebut.“Kamu kenapa, Kak?” tanya Isabelle sembari membelai rambut Dario dengan jemarinya.Isabelle tersentak kaget ketika tangannya tak sengaja menyentuh kulit wajah Dario.“Kamu demam, Kak,” seru Isabelle khawatir.“Cuma agak pusing aja,” jawab Dario pelan.“Ayo pindah ke kamar, Kak. Istirahat di kamar,” Isabe