Pagi itu Lavanya datang ke kantor lebih awal. Ia menggunakan mobil yang dipinjamkan Danish. Lavanya sebut begitu karena ia tidak tahu pastinya apa lelaki itu meminjamkan atau memberikan padanya. Lagipula menurut Lavanya Danish tidak mungkin memberikan mobil mahalnya.Lavanya masih merasa canggung memakainya. Apalagi dengan warnanya yang mencolok banyak yang memerhatikannya. Yang kedua, di antara mobil para karyawan Serenity, mobil yang Lavanya pakai adalah yang paling mahal.Dugaan Lavanya terbukti tidak salah. Beberapa kali ia mendengar para karyawan menggosip, membicarakan dirinya, terlebih mengenai mobilnya itu. Mereka berpikir bagaimana mungkin anak baru seperti Lavanya bisa membeli mobil semahal itu?Memang, gaji sebagai asisten pribadi Danish sangat tinggi. Tapi menurut mereka ini terlalu cepat. Seharusnya Lavanya mengumpulkan uangnya dulu. Meski demikian Lavanya tidak ambil pusing. Ia tidak menggubris gosip buruk mengenainya. Ia terus bekerja dengan tekun dan mendampingi Dani
"Biasanya yang jadi asisten pribadi Pak Danish itu orangnya cantik, modis, pintar dan berkelas."Perkataan yang disampaikan dengan santai namun menusuk itu terus membuat keributan di kepala Lavanya. Cara Wuri mengucapkannya seolah Lavanya tidak masuk satu pun pada kategori di atas.Lavanya memilih untuk tidak membalas. Ia hanya tersenyum elegan."Well, Lavanya. Mungkin kamu cuma lagi hoki. Sekarang ayo aku kenalin sama temen-temen lain."Lavanya menurut ketika Wuri memimpin langkah menuju pantry. Di sana banyak karyawan lain. Ada yang sedang sarapan pagi. Ada yang sedang membuat kopi. Dan ada juga yang cuma bengong mendengarkan celotehan teman di sebelahnya."Hai, Guys, ada anak baru nih!" seru Wuri memberi tahu.Seluruh yang hadir di sana serentak memandang pada Lavanya. Lavanya memberi senyum sopan sambil menganggukkan pelan kepalanya. Beberapa dari mereka membalas senyumnya. Sebagian yang lain hanya melirik sekilas kemudian kembali pada aktivitas masing-masing. Tapi ada juga yang
Danish membawa Lavanya ke sebuah apartemen yang terletak di kawasan Jakarta Selatan. Bangunannya menjulang elegan, dengan arsitektur masa kini dan sistem keamanan dua puluh empat jam. Ketika lift mengantar mereka ke lantai dua belas, Lavanya menggenggam tangan Belia erat-erat. Ia merasa sedikit gugup, sedangkan Belia begitu antusias.Langkah kaki mereka terhenti tepat di depan unit Lavanya. Aroma wangi khas pengharum ruangan menyeruak ketika Danish membuka pintu. Interior apartemen Lavanya didominasi oleh warna putih dan abu-abu."Ada dua kamar di apartemen ini," jelas Danish sembari meletakkan koper Lavanya. "Semua peralatannya lengkap, kamu tinggal pakai. Aku udah siapin semuanya. Aku ingat, dulu biasanya saat hari Minggu kamu suka masak atau eksperimen resep-resep baru." Danish melanjutkan sembari menunjukkan dapur modern di apartemen itu pada Lavanya. Lavanya menelan ludah yang tiba-tiba terasa kelat. Ternyata Danish tidak melupakan kebiasaan-kebiasaan kecilnya dulu. Dan itu memb
Semuanya terjadi begitu cepat. Setelah menyelamatkan Lavanya yang hampir menjadi korban pemerkosaan, Danish menelepon kantor polisi. Tidak sampai sepuluh menit polisi datang. Mereka memborgol tangan Erik dan mengamankannya. Ketika polisi akan membawa Erik, di saat itulah mantan mertua dan mantan kakak ipar Lavanya datang. Ada juga Belia di sana.Lavanya langsung meraup Belia ke pelukannya. Mendekap anak itu begitu erat. Lavanya tidak mau melepaskannya. Ia tidak ingin berpisah lagi dengan putrinya.Sementara itu, Neli dan Iris begitu shock melihat Erik ditahan. Keduanya menyalahkan Lavanya atas kejadian tersebut. Tapi Danish berdiri di depan Lavanya untuk membelanya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti perempuan itu.Setelah kejadian pahit tersebut Danish juga membawa Lavanya ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya. Dokter memastikan kondisi Lavanya aman. Tepat satu minggu setelah hari itu Danish mengajak Lavanya berbicara serius."Nya, aku ingin mengajak kamu pindah."La
Lavanya memundurkan tubuhnya beberapa langkah. Perasaan takut merayapi diri, mencekal lehernya hingga ia kesulitan bernapas. Sorot Erik terlihat tidak biasa. Ada sesuatu yang berbeda, yang membuat Lavanya merasa ngeri."Kamu mau apa, Mas?" Lavanya mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab lelaki itu.Erik tidak menjawab. Ia menarik langkahnya selangkah demi selangkah mendekati Lavanya.Setiap gerakan Erik membuat jantung Lavanya menghentak dengan cepat. Seolah akan meledak di dalam dada. Lavanya terus mundur hingga punggungnya membentur dinding.Mengetahui Lavanya sudah terdesak, Erik kembali menyeringai lebar. Puas melihat perempuan itu ketakutan."Jangan macam-macam kamu, Mas. Aku bisa teriak," ancam Lavanya tidak hilang akal."Teriak aja kalau berani. Ini kamarku. Ini rumahku. Nggak ada yang bisa mendengar kamu. Kalaupun ada, kamu pikir mereka akan peduli?" balas Erik terkekeh.Erik semakin mendekat hingga jaraknya dan sang mantan istri hanya tersisa hitungan senti."Jangan sentu
Setelah putusan sidang yang menyatakan dirinya resmi bercerai dengan Erik dan hak asuh anak jatuh ke tangannya, hanya ada satu rencana yang berada di pikiran Lavanya saat ini, yaitu menjemput Belia ke rumah Erik lalu mengajaknya pergi dari rumah neraka itu.Segala luka, setiap tetes air mata yang selama ini ia titikkan tidak akan berarti apa-apa asal putrinya kembali ke pelukannya.Lavanya memasukkan salinan surat putusan pengadilan–yang berisi pengabulan gugatan cerai serta hak asuh anak yang jatuh ke tangannya–ke dalam tas. Kemudian perempuan itu keluar dari dalam kamar. Danish sedang menunggunya di ruang tamu."Sudah siap?" tanya lelaki itu ketika melihat Lavanya muncul di hadapannya.Lavanya menganggukkan kepala. Mendadak jantungnya berdebar kencang membayangkan akan bertemu lagi dengan pria kejam yang sudah resmi menjadi mantan suaminya. Andai saja bisa Lavanya tidak ingin lagi berurusan dengan Erik. Ia harap setelah sore ini ia tidak bertemu lagi dengan lelaki itu.Lavanya dudu
Hakim kembali mengetuk palu untuk menghentikan Erik yang tengah terbakar api amarah. "Saudara Erik, tolong kendalikan emosi Anda. Kami menilai berdasarkan bukti, bukan asumsi."Meski sudah ditengahi, suasana ruang sidang masih terasa panas. Hakim menyuruh pihak Lavanya kembali melanjutkan.Berbeda dengan Erik yang emosian, pengacara Lavanya berdiri dengan tenang kemudian menjelaskan baik-baik. "Yang mulia, rekaman suara tersebut adalah asli. Saat itu saudara Danish merekamnya diam-diam di luar ruang sidang ketika saudara Erik mencecar dan mengancam klien kami. Selain rekaman suara tersebut kami juga punya metadata file-nya serta laporan teknis dari ahli forensik suara yang telah kami tunjuk. Berdasarkan laporan tersebut diketahui bahwa suara dalam rekaman tersebut berasal dari satu sumber dan cocok dengan profil suara saudara Erik."Hakim menerima file, membacanya sebentar, kemudian memberikannya pada panitera.Di saat yang sama Erik semakin gelisah. Matanya memindai sekeliling. Menat
Perkataan Erik menghantam dada Lavanya dengan sangat keras melebihi pukulan jenis apa pun. Ancaman terhadap Belia membuat sekujur tubuh Lavanya lemas. Lututnya goyah. Ia hampir saja jatuh. Beruntung, ada Danish yang dengan sigap menyanggahnya.Lavanya ingin melawan, tapi Erik buru-buru menarik langkah setelah meninggalkan seringai licik. Tidak memberi ruang pada Lavanya untuk berdebat.Kata-kata yang lelaki itu tinggalkan begitu membekas."Gimana ini, Nish? Aku takut dia akan menyiksa Belia," ujar Lavanya khawatir."Kamu tenang aja, Nya, dia nggak akan berani," jawab Danish yang tidak terpengaruh pada ancaman Erik tadi."Kamu nggak tahu siapa Mas Erik, Nish. Aku sangat mengenal dia. Dia bisa nekat menyakiti Belia. Aku harus ke rumah itu sekarang. Aku harus bawa Belia sebelum terlambat," kata Lavanya dengan suara bergetar.Danish menatap wajah bersimbah air mata itu lurus-lurus. Danish semakin mengerti bahwa putrinya adalah kelemahan Lavanya. Dan Erik paham betul mengenai hal itu."A
Perkataan Erik yang begitu menyudutkan Lavanya membuat orang-orang memandang searah mata lelaki itu--pada Danish yang duduk dengan tenang di tempatnya.Berbeda dengan sikap Danish yang tampak tidak terpengaruh, Lavanya sangat terguncang. Dunianya seolah akan runtuh. Ia menahan gemetar yang menjalar ke seluruh tubuhnya.Danish kemudian berdiri. "Yang mulia, izinkan saya bicara," pintanya.Hakim mengizinkan. "Silakan.""Nama saya Danish Ksathriya. Saya memang atasan saudari Lavanya di kantor. Tapi hubungan kami hanya sekadar hubungan kerja. Benar, saya yang banyak membantu Lavanya. Itu karena saya kasihan sama dia. Saya tidak tega melihat perempuan disakiti apalagi oleh suaminya sendiri yang seharusnya melindunginya. Saya menyangkal semua tuduhan tergugat. Bukan saudari Lavanya yang berselingkuh, tapi tergugatlah yang sudah mengkhianati saudari Lavanya. Saya berdiri di sini bukan untuk menjadi orang ketiga dalam rumah tangga mereka, melainkan sebagai saksi dari penderitaan yang dialami