Lavanya melangkah ke kantor dengan gontai. Menggunakan blazer abu-abu dan rok pensil hitam, ia tampak begitu feminin. Sedikit pun tidak ada firasat dalam dirinya kalau hari ini akan terjadi sesuatu yang besar.
Suasana di kantor tampak tidak seperti biasa. Para rekan kerjanya berbisik-bisik.
"Nya, sini!" Dian melambaikan tangan pada Lavanya yang sudah berada di kursinya.
Lavanya melempar senyum dari jauh. Ia sedang malas mendengar gosip apa pun.
Melihat Lavanya hanya tersenyum tanpa ada niat untuk bergabung, Dian, Lina dan Sari menghampirinya.
"Nya, udah dengar gosip terbaru belum?" kata Dian.
"Gosip apa?" tanya Lavanya tanpa minat.
"Pak Herman bakal dimutasi dan kita bakal punya kepala cabang yang baru."
"Oh. Terus kenapa?" respon Lavanya yang tidak terlalu tertarik. Mutasi atau rotasi jabatan bukanlah hal yang aneh.
Dian mencondongkan tubuhnya ke arah Lavanya dan berbisik dengan suara rendah. "Kabar baiknya dia masih muda dan ganteng banget!!!"
Lina dan Sari cekikan menanggapi Dian yang berbinar-binar menyampaikan gosip terbarunya.
Lavanya hanya tersenyum singkat.
"Idih, kok responnya cuma segitu doang?" Dian belum puas melihat reaksi Lavanya yang apa adanya dan cenderung tanpa minat.
"Jadi aku harus gimana? Loncat-loncat? Jingkrak-jingkrak?"
Dian mendengkus. "Ya nggak gitu juga, Nya. Tapi setidaknya kamu bisa lebih excited. Ini kepala cabang yang baru lho! Biasanya ‘kan orang baru pasti jadi pusat perhatian."
Lina ikut menimpali. "Iya. Apalagi kalau sekeren yang kita dengar dari gosip. Katanya dia gagah, pintar, tegas tapi tetap humble."
"Belum tentu juga sih, jangan-jangan cuma mitos. Ntar pas datang biasa aja," sahut Sari sambil terkikik.
Lavanya tersenyum lagi. "Ya udah, nanti kalau udah datang kita lihat sendiri aja gimana orangnya."
Mereka bertiga masih cekikikan membahas kemungkinan seperti apa kepala cabang yang baru. Sedangkan Lavanya memilih untuk fokus pada pekerjaannya.
Sampai beberapa jam kemudian suasana kantor mulai berubah. Semua orang terlihat lebih rapi dari biasanya. Beberapa karyawan pria merapikan pakaian mereka. Sementara para wanita mengecek penampilan masing-masing di layar ponsel atau cermin kecil yang selalu ada di dalam tas.
Seorang lelaki memasuki ruangan dengan jas hitam yang pas di tubuhnya. Wajahnya tampak tampan dengan sorot mata yang teduh. Rambunya tertata rapi, menunjukkan kesan profesional yang kuat.
Lavanya yang tadinya tidak terlalu tertarik kini mematung di tempatnya. Jantungnya lebih cepat dari biasanya. Karena lelaki yang berdiri di sana, yang kini diperkenalkan sebagai kepala cabang baru oleh kepala HRD adalah seseorang yang sangat dikenalnya, seseorang yang juga pernah datang sebelumnya.
Danish.
Suasana kantor menjadi riuh oleh bisik-bisik. Beberapa karyawan wanita saling menyenggol, berbisik tentang betapa tampannya pria itu.
Namun Lavanya tidak bisa mendengar mereka dengan jelas. Dunia seakan mengecil, menyisakan hanya dirinya dan Danish.
Danish juga melihatnya. Tatapan mereka bertemu sesaat dan ada kilasan perasaan yang sulit Lavanya artikan di dalam mata lelaki itu.
Danish tersenyum tipis. "Senang bertemu lagi dengan kalian semua. Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik," ucapnya.
Di saat semua orang bertepuk tangan, Lavanya justru merasa dadanya semakin sesak.
Kepindahan Danish ke kota A adalah suatu hal. Tapi menjadi atasannya di kantor?
Lavanya tidak pernah menyangka ini akan terjadi.
**
Lavanya sedang berkaca di cermin wastafel toilet. Bekas tamparan Erik masih ada, menyisakan warna kemerahan di pipinya.
Mengingat suaminya yang sekarang sudah berani bermain tangan membuatnya semakin sakit. Bukan hanya fisik, tapi terlebih batinnya.
Lavanya keluar dari toilet. Akibat terburu-buru berjalan ia hampir menabrak seseorang yang berjalan di lorong toilet dari arah yang berlawanan.
"Maaf, maaf, nggak senga—" ucapan Lavanya menggantung begitu saja ketika menyadari orang yang hampir ia tabrak adalah Danish.
Pria itu menatapnya dengan dahi mengerut. Sesuatu dalam suaranya membuat Lavanya meremang, terlebih saat tangan besarnya tiba-tiba menyentuh pipi Lavanya.
"Kenapa pipi kamu lebam?"
**
Senja itu sepulang kerja Lavanya melangkah masuk ke sebuah kafe yang berada tidak jauh dari kantornya. Ia berjanji bertemu dengan Danish di sana.Danishlah yang ingin berjumpa dengannya. Bukan Lavanya.Sejak pergi makan siang dengan Agatha, pria itu tidak kembali ke kantor. Ia hanya mengirimi Lavanya pesan yang berisi ajakan untuk bertemu. Padahal mereka tidak perlu bertemu di luar. Mereka berjumpa setiap hari di apartemen.Sembari menyesap hazelnut latte-nya, Lavanya memandang titik-titik hujan yang meluncur di luar sana melalui jendela kaca kafe.Sudah tiga puluh menit berlalu dari waktu yang ditentukan. Namun, Danish masih belum datang.Lavanya mengecek ponselnya. Kalau saja ada pesan baru atau panggilan tak terjawab dari Danish. Namun, yang ia temukan hanya pesan ajakan bertemu yang diterimanya beberapa jam yang lalu.Lavanya kemudian mengirimi Danish pesan. Mengatakan bahwa dirinya sudah berada di kafe. Tidak ada jawaban dari lelaki itu.Mungkinkah dia sedang sibuk dengan Agath
Hari-hari berikutnya berjalan begitu saja. Danish benar-benar tinggal di apartemen Lavanya. Ia tidur di sofa setiap malam. Bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Ia juga memastikan keadaan Lavanya dan Belia baik-baik saja. Namun, bagi Lavanya yang paling membuat sesak dari semua itu adalah Danish yang terlalu sempurna dari peran yang dulu Lavanya inginkan dari Erik. Belia sangat dekat dengan Danish. Bahkan kini memanggilnya dengan sebutan 'Papa Danish' ketika keduanya bermain pura-pura menjadi keluarga di living room apartemen mereka. Suatu malam ketika Lavanya pulang lebih larut dari biasanya karena ada pekerjaan yang harus ada diselesaikan, ia mendapati Danish tertidur di sofa sambil memegang buku cerita anak-anak. Sedangkan tangannya yang lain pria itu jadikan bantal untuk Belia. Irama napas putri kecilnya menyatu dengan ritme tenang napas Danish. Mereka terlihat bagaikan ayah dan anak sesungguhnya. Lavanya mematung melihat pemandangan itu. In
Malam itu pintu apartemen Lavanya diketuk berkali-kali. Lavanya yang sedang mengemasi barang-barang dan memasukkan ke dalam koper terpaksa menghentikan aktivitasnya untuk sejenak. Lavanya berniat untuk pergi dari apartemen yang dipinjamkan Danish sebagai tempat tinggalnya. Ia sudah memutuskan untuk keluar dari hidup Danish. Jadi ia tidak akan tanggung-tanggung.Lavanya melangkah ke arah pintu. Ia mengintip dari kaca kecil.Jantungnya menghentak ketika tahu siapa tamu di luar sana.Danish.Untuk apa lelaki itu datang malam-malam begini?Ah iya, itu, kan, memang kebiasaannya. Setiap pulang kerja Danish tidak langsung pulang ke rumah, tapi ke apartemen Lavanya dulu.Lavanya mengembuskan napas. Ia sedang malas bertemu dengan Danish. Lavanya tidak ingin membuat keadaan sulit ini semakin rumit. Tapi untuk saat ini menghindari Danish bukanlah cara yang tepat. Akhirnya Lavanya memutuskan untuk membuka pintu walau sebenarnya Danish bisa langsung masuk karena dia mengetahui password apartemen
Setelah lama bermenung memikirkan cara untuk mempertahankan Lavanya, sebuah ide cemerlang melintas di pikiran Danish.Ia sudah lama menunggu Lavanya kembali ke pelukannya. Dan setelah perempuan itu berada di tangannya, Danish tidak semudah itu untuk melepaskan.Diambilnya gagang telepon, didekatkannya ke telinga. "Lavanya, ke ruanganku sekarang," perintahnya begitu panggilannya mendapat sambutan.Tidak kurang dari dua menit Lavanya tiba dan duduk di seberang Danish."Ada apa Bapak memanggil saya?""Aku sudah baca surat pengunduran diri kamu. Dan jawabannya adalah tidak. Kalaupun kamu bersikeras ingin resign ada syarat yang harus dipenuhi.""Syarat apa, Pak?" Lavanya bertanya antusias.Danish menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tangannya terlipat di dada. "Syaratnya sederhana. Selama satu bulan ke depan kita tinggal bersama. Entah di apartemenmu atau di apartemenku. Biar kutunjukkan alasannya kenapa kamu nggak boleh pergi."Lavanya terperangah. "Apa maksud Bapak?""Selama satu
Setelah cukup lama Lavanya memutuskan keluar dari toilet. Apa pun yang terjadi ia akan menghadapinya. Koridor terasa sunyi dari biasa ketika Lavanya melewatinya. Namun justru ketenangan itu membuatnya gelisah. Seolah-olah semua orang sedang berbisik di balik dinding membicarakannya, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Di setiap langkahnya menuju ruangan kerja Lavanya merasa tatapan-tatapan aneh bermunculan. Sekuriti yang biasanya ramah kali ini hanya tersenyum kaku. Entah ini hanya perasaannya saja. Lavanya menghela napas panjang. 'Tenang, Lavanya. Jangan panik,' bisiknya menyugesti diri. Setelah sampai di ruangannya, Lavanya mengurung diri. Ia menutup pintu rapat-rapat. Ia terduduk lemas di kursi. Tangannya naik mengusap bibir, seolah ingin menghapus jejak Danish yang masih tertinggal. Bukan hanya di kulitnya tapi juga di pikirannya. Tidak lama setelahnya pintu ruangan Lavanya diketuk dari luar. Beriringan dengan itu terdengar sebuah suara. "Lavanya, ini gue, Ver
Lavanya masih ingat bagaimana hubungannya dulu dengan Erik. Kala itu Eriklah yang terlebih dulu mengejar-ngejar Lavanya. Meskipun Lavanya sudah menghindar berkali-kali, Erik tidak kunjung menyerah. Hingga akhirnya Lavanya pun takluk.Setelah resmi menjadi istri Erik, Lavanya dibuat terkaget-kaget oleh sikap dan tingkah lelaki itu. Ternyata Erik tidaklah seperti yang dipikirkannya. Lelaki itu jauh dari kata romantis. Cara lelaki itu mencumbu Lavanya, cara lelaki itu bercinta dengannya tidaklah seperti yang Lavanya harapkan. Lelaki itu kasar dan selalu terburu-buru. Ciumannya kasar. Pelukannya tidak sungguh-sungguh. Namun saat itu bagi Lavanya bukan masalah.Dan yang tidak Lavanya sukai dari Erik adalah lelaki itu suka memamerkan kemesraan di tempat umum yang membuat Lavanya merasa risih. Ia tidak tahan ketika tiba-tiba Erik menciumnya di hadapan teman-teman lelaki itu atau merayap di lehernya, yang membuat Lavanya malu.Lalu kini ketika seseorang memergoki Lavanya berciuman dengan Dani
Lavanya tidak perlu menunggu lama karena Verona menjawab dengan cepat. "Wajib, Nya. Kenapa tiba-tiba nanya begitu?"Lavanya menatap layar ponsel sesaat sebelum akhirnya meletakkan di atas nakas. Ia memilih tidak membalas. Jari-jemarinya terasa kaku. Dadanya begitu sesak menjelaskan apa pun malam ini.Lavanya menghela napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan diri. Tapi rasa sesak itu tidak mau berakhir.Lavanya tahu, keputusannya untuk keluar dari kehidupan Danish akan mengubah segalanya. Tapi ini adalah yang terbaik. Malam semakin larut, kesunyian menguar kian jelas. Namun kepala Lavanya justru bertambah riuh. Ditatapnya langit-langit kamar sambil membelai rambut Belia yang tergerai. Ia tidak tahu harus ke mana setelah ini. Lavanya tidak punya orang tua. Tidak juga keluarga. Mungkin ia kembali ke kota A saja, tempat penuh luka yang sudah ditinggalkannya. Bersama mata bengkak dan tubuh yang terlalu letih, Lavanya akhirnya bisa memejamkan mata. Bukan karena pikirannya sudah tenang,
Waktu terus bergulir di bawah cahaya lampu ballroom yang megah. Danish masih berdansa dengan Agatha. Perempuan itu berusaha keras menarik perhatiannya. Menahan agar Danish hanya tertuju padanya.Agatha memerhatikan dengan cermat setiap gerak-gerik Danish. Ia tahu lelaki itu sedang tidak fokus.Meski raganya bersama Agatha, tapi pikiran Danish tidak jauh dari Lavanya. Matanya menyapu setiap penjuru ballroom, namun tidak menemukannya."Nyari apa, Nish?" tanya Agatha yang menyadari kegelisahan lelaki itu."Lavanya," jawab Danish singkat."Perempuan yang tadi?"Danish mengangguk lalu menjauhkan tangan dari pinggang Agatha, menghentikan acara dansa mereka."Mau ke mana, Nish?" "Ada urusan." Lalu Danish melangkah cepat, menjauh dari Agatha."Danish! Tunggu aku dulu!" Agatha mencoba mencegah, namun Danish tidak menghiraukannya. Ada yang lebih penting dari perempuan itu dan segalanya. Lavanya."Di mana kamu, Nya?" Danish menggumam sembari kakinya melangkah mengelilingi ballroom. Sepasang mat
Lavanya terpaksa mengikuti langkah Ophelia yang membawanya ke sebuah lounge kecil di samping ballroom. Di dalam hatinya Lavanya bertanya-tanya, beres-beres apa yang dimaksud orang tua Danish itu?Ruangan tersebut sepi. Terdapat dua buah sofa tunggal dan meja bundar. Ophelia lebih dulu menempatkan diri di salah satu sofa tersebut."Silakan duduk." Ophelia menyilangkan kakinya. Tangannya bergerak mengambil cangkir berisi teh dari nampan porselen.Lavanya lantas duduk di hadapan Ophelia. Ia mengatur posisinya dengan sopan."Mau teh?" Ophelia menawarkan."Terima kasih, Bu, tadi saya sudah minum." Lavanya menolak tawaran itu. Lebih karena kegugupannya.Ophelia menyesap tehnya sekali lagi kemudian meletakkan cangkir di atas meja. Perempuan itu menatap Lavanya dengan intens. Caranya membuat Lavanya semakin gugup."Ternyata kalau dirias dan pakai pakaian bagus kamu lumayan juga."Bibir Lavanya terkatup erat. Ia tahu persis itu bukanlah sebuah pujian, melainkan penilaian."Kamu dari keluarga m