Pipi Lavanya terasa panas dan perih, tapi hatinya jauh lebih sakit.
Napasnya tersengal, dadanya bergetar hebat, menahan tangis yang hampir pecah. Ia meminjamkan mata, mencoba menelan semua perasaan sakit. Tapi amarah dan kecewa yang sudah lama ia pendam kini mendidih di dadanya.
"Mas Erik...," suaranya gemetar, tetapi matanya basah dan penuh luka saat menatap Suaminya. "Kamu udah keterlaluan, Mas."
Erik menggeram. Wajahnya merah karena emosi dan alkohol yang menguasai tubuhnya.
"Kamu yang bikin aku kayak gini!" bentaknya. "Istri macam apa yang menolak suami sendiri? Sejak kapan kamu pandai menolakku, hah? Siapa yang ngajarin? Kamu lupa udah nggak punya siapa-siapa lagi selain aku?"
Lavanya menggeleng, air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. "Aku ini istrimu, Mas, tapi aku juga manusia. Aku capek, aku muak. Aku udah nggak tahan sama semua ini."
Lavanya berusaha bangkit dari tempat tidur tapi Erik menahannya. Mata Lelaki itu membelalak, tangannya mencengkeram lengan Lavanya dengan kuat.
"Kamu mau ke mana, hah? Maumu apa?"
Lavanya menatap Erik dengan keberanian yang baru ia temukan di tengah ketakutannya.
"Aku mau keluar dari neraka ini." Ia mendesis. Ia tidak bisa lagi hanya bertahan dan berharap Erik akan berubah. Tidak setelah tamparan ini. Tidak setelah malam-malam panjang penuh luka yang ia lalui sendirian.
"Mama mau ke mana?"
Seketika suara itu terdengar, membuat niat Lavanya terhenti. Lavanya menoleh dan mendapatkan Belia terbangun. Anak itu mengucek-ngucek matanya yang masih mengantuk.
Lavanya buru-buru mengusap wajah guna menghapus air matanya. Ia tidak ingin Belia melihatnya menangis. Belia hanya boleh tahu bahwa ibunya adalah perempuan murah senyum.
Lavanya lantas tersenyum. "Mama mau ke kamar mandi bentar ya, mau pipis."
"Iya, Ma. Jangan lama-lama."
Lavanya mengangguk lalu pergi keluar kamar.
"Papa kok belum tidur?" tanya Belia pada Erik.
"Ini Papa udah mau tidur." Erik menjawab.
Belia sontak menutup mulutnya. "Ih, mulut Papa bau. Bau apa ini, Pa? Papa makan apa?" Ia menatap sang ayah dengan wajah polos.
Erik terkekeh. Ia mengusap kepala Belia. "Bukan makanan, Sayang. Papa tadi minum jus spesial," ujarnya asal.
Belia mengernyit, memandang ayahnya dengan polos. "Tapi kok bau, Pa?"
"Emang bau jusnya gini." Erik membantah dan tidak menanggapi lebih lanjut. Ia beringsut ke kasur, berusaha merebahkan diri. "Ayo tidur lagi," suruhnya.
Belia hanya diam. Ia menatap ayahnya yang terlihat aneh malam ini. Ia tidak terlalu mengerti, tapi naluri anak kecilnya tahu ada yang tidak beres.
Sementara itu Lavanya berdiri di luar kamar. Ia bersandar di dinding dengan tangan menutupi wajahnya. Tubuhnya gemetar, dadanya masih sesak oleh emosi yang tertahan.
Tadi ia ingin pergi. Ingin keluar dari rumah ini. Tapi Belia... anak itu masih terlalu kecil untuk memahami semua ini. Dihelanya napas panjang, mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Belum. Ia belum bisa pergi sekarang. Tapi mungkin suatu hari nanti ia pasti akan meninggalkan semua ini.
Lavanya lalu ke kamar mandi, mencuci mukanya di sana. Menghilangkan jejak tangis yang tersisa. Setelahnya ia kembali ke kamar. Tampak di tempat tidur Belia sedang berbaring dengan Erik.
"Kok belum tidur, Nak?" tanya Lavanya pada Belia.
"Aku mau nunggu Mama dulu."
"Mama nggak ke mana-mana kok, tadi ‘kan Mama bilang mau pipis di kamar mandi." Lavanya tersenyum meyakinkan putrinya.
"Sini, Ma!" Belia melambaikan tangan. "Tidur sama aku dan Papa."
Lavanya mengangguk lalu melangkah menghampiri tempat tidur dan berbaring di samping Belia. Putrinya itu mengambil tangan Lavanya lalu menautkan dengan tangan Erik.
Lavanya kaget. Ia ingin melepaskan tangannya dari tangan Erik. Tapi pasti akan membuat putrinya curiga.
"Aku senang punya orang tua yang lengkap. Nggak kayak Yosi dan Yoga," celetuk anak itu tiba-tiba. "Mama dan Papa jangan pernah bertengkar ya. Dan Papa nggak boleh ninggalin Mama kayak papanya Yosi."
Lavanya tertegun. Erik hanya diam.
Bagaimana mungkin anak sekecil itu mengatakan hal tersebut? Apa bagi Belia kebersamaan Lavanya dan Erik adalah pusat kebahagiaannya? Apa perpisahan orangtua adalah kehancuran baginya?
Lavanya tidak ingin itu terjadi. Ia tidak ingin membuat putrinya sedih.
Lavanya menelan saliva. Tenggorokannya terasa kering, seolah semua kata yang ingin diucapkan terjebak di sana. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menjelaskan bahwa keadaan mereka tidak seindah yang Belia pikirkan. Tapi bagaimana cara menjelaskan tanpa menghancurkan hati anak sekecil itu?
Sementara itu Erik hanya membuang napas pelan. Tidak ada bantahan, tidak ada janji yang ia lontarkan.
Belia yang berbaring di tengah-tengah dan tidak menyadari ketegangan itu tersenyum kecil lalu memejamkan matanya untuk melanjutkan tidur.
Sementara tangannya masih menggenggam erat tangan kedua orangtuanya, seolah ia percaya bahwa genggaman itu cukup untuk menyatukan mereka.
Lavanya hanya bisa menatap putrinya dengan perasaan perih. Sebisa mungkin ia akan bertahan demi Belia. Karena bagi anak itu kebahagiaannya adalah orangtua yang lengkap dan utuh.
Lavanya tidak mampu memberikan materi pada Belia, tapi ia akan memaksakan diri agar terus bertahan bersama Erik.
Bertahan dalam kehidupan pernikahan dan keluarga yang toxic. Semua demi sang putri yang disayanginya.
**
Epilog - Rumah Bernama Cinta Suara dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang berlarian di halaman memecah keheningan pagi yang dingin. Mereka terus berlari sambil tertawa mengejar gelembung sabun yang melayang-layang di udara.Di atas kursi rotan di depan rumah, Danish duduk diam, mengamati dari jauh. Matanya yang teduh menyimpan beribu kenangan. Pikirannya mulai berkelana, menemui dirinya tiga tahun yang lalu. Pada malam yang mengubah segalanya.Malam itu Danish mengajak Lavanya ke rumah mewahnya untuk berbicara dengan kedua orang tuanya."Pulang juga kamu akhirnya," suara Ophelia menyambut Danish. Bibirnya mengukir senyum penuh kemenangan. Wanita itu pikir setelah pembicaraan mereka tadi siang Lavanya akhirnya menyerah lalu pergi selamanya dari kehidupan Danish. Ia yakin sepenuhnya akan hal itu. Danish juga membenci Lavanya dan tidak akan memaafkannya setelah menyaksikan pemandangan menyakitkan di kafe.Danish dan Lavanya tidak akan tahu bahwa pertemuan dengan Ronald di kaf
Lavanya terengah keluar dari kafe. Titik-titik hujan menampar-nampar wajahnya. Pikirannya penuh oleh wajah Danish. Tatapan penuh luka lelaki itu jauh membuatnya tersiksa. Lavanya lebih suka jika Danish berteriak memakinya ketimbang perlakuan yang didapatnya dari Danish tadi.Langkahnya terhenti tepat di pintu apartemen. Barangkali setelah ini ia tidak akan melihat Danish lagi di dalam sana. Setelah apa yang terjadi Lavanya yakin jika Danish pergi dari hidupnya. Ia tidak akan menemukan lagi barang-barang lelaki itu di dalam apartemennya. Tidak ada lagi orang yang setiap malam tidur di sofa. Atau bermain pura-pura menjadi keluarga dengan anaknya.Lavanya menghela napas. Pandangannya kemudian tertuju ke unit sebelah. Sempat terniat untuk menjemput Belia. Tapi detik berikutnya Lavanya berubah pikiran. Lebih baik ia mandi dulu dan menenangkan diri. Setelahnya barulah menjemput sang putri.Tangannya gemetar saat menekan beberapa digit angka yang merupakan password apartemennya.Lavanya mel
Senja itu sepulang kerja Lavanya melangkah masuk ke sebuah kafe yang berada tidak jauh dari kantornya. Ia berjanji bertemu dengan Danish di sana.Danishlah yang ingin berjumpa dengannya. Bukan Lavanya.Sejak pergi makan siang dengan Agatha, pria itu tidak kembali ke kantor. Ia hanya mengirimi Lavanya pesan yang berisi ajakan untuk bertemu. Padahal mereka tidak perlu bertemu di luar. Mereka berjumpa setiap hari di apartemen.Sembari menyesap hazelnut latte-nya, Lavanya memandang titik-titik hujan yang meluncur di luar sana melalui jendela kaca kafe.Sudah tiga puluh menit berlalu dari waktu yang ditentukan. Namun, Danish masih belum datang.Lavanya mengecek ponselnya. Kalau saja ada pesan baru atau panggilan tak terjawab dari Danish. Namun, yang ia temukan hanya pesan ajakan bertemu yang diterimanya beberapa jam yang lalu.Lavanya kemudian mengirimi Danish pesan. Mengatakan bahwa dirinya sudah berada di kafe. Tidak ada jawaban dari lelaki itu.Mungkinkah dia sedang sibuk dengan Agath
Hari-hari berikutnya berjalan begitu saja. Danish benar-benar tinggal di apartemen Lavanya. Ia tidur di sofa setiap malam. Bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Ia juga memastikan keadaan Lavanya dan Belia baik-baik saja. Namun, bagi Lavanya yang paling membuat sesak dari semua itu adalah Danish yang terlalu sempurna dari peran yang dulu Lavanya inginkan dari Erik. Belia sangat dekat dengan Danish. Bahkan kini memanggilnya dengan sebutan 'Papa Danish' ketika keduanya bermain pura-pura menjadi keluarga di living room apartemen mereka. Suatu malam ketika Lavanya pulang lebih larut dari biasanya karena ada pekerjaan yang harus ada diselesaikan, ia mendapati Danish tertidur di sofa sambil memegang buku cerita anak-anak. Sedangkan tangannya yang lain pria itu jadikan bantal untuk Belia. Irama napas putri kecilnya menyatu dengan ritme tenang napas Danish. Mereka terlihat bagaikan ayah dan anak sesungguhnya. Lavanya mematung melihat pemandangan itu. In
Malam itu pintu apartemen Lavanya diketuk berkali-kali. Lavanya yang sedang mengemasi barang-barang dan memasukkan ke dalam koper terpaksa menghentikan aktivitasnya untuk sejenak. Lavanya berniat untuk pergi dari apartemen yang dipinjamkan Danish sebagai tempat tinggalnya. Ia sudah memutuskan untuk keluar dari hidup Danish. Jadi ia tidak akan tanggung-tanggung.Lavanya melangkah ke arah pintu. Ia mengintip dari kaca kecil.Jantungnya menghentak ketika tahu siapa tamu di luar sana.Danish.Untuk apa lelaki itu datang malam-malam begini?Ah iya, itu, kan, memang kebiasaannya. Setiap pulang kerja Danish tidak langsung pulang ke rumah, tapi ke apartemen Lavanya dulu.Lavanya mengembuskan napas. Ia sedang malas bertemu dengan Danish. Lavanya tidak ingin membuat keadaan sulit ini semakin rumit. Tapi untuk saat ini menghindari Danish bukanlah cara yang tepat. Akhirnya Lavanya memutuskan untuk membuka pintu walau sebenarnya Danish bisa langsung masuk karena dia mengetahui password apartemen
Setelah lama bermenung memikirkan cara untuk mempertahankan Lavanya, sebuah ide cemerlang melintas di pikiran Danish.Ia sudah lama menunggu Lavanya kembali ke pelukannya. Dan setelah perempuan itu berada di tangannya, Danish tidak semudah itu untuk melepaskan.Diambilnya gagang telepon, didekatkannya ke telinga. "Lavanya, ke ruanganku sekarang," perintahnya begitu panggilannya mendapat sambutan.Tidak kurang dari dua menit Lavanya tiba dan duduk di seberang Danish."Ada apa Bapak memanggil saya?""Aku sudah baca surat pengunduran diri kamu. Dan jawabannya adalah tidak. Kalaupun kamu bersikeras ingin resign ada syarat yang harus dipenuhi.""Syarat apa, Pak?" Lavanya bertanya antusias.Danish menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tangannya terlipat di dada. "Syaratnya sederhana. Selama satu bulan ke depan kita tinggal bersama. Entah di apartemenmu atau di apartemenku. Biar kutunjukkan alasannya kenapa kamu nggak boleh pergi."Lavanya terperangah. "Apa maksud Bapak?""Selama satu