“Aku mendengar kalau tanah yang kubeli kemarin, tidak jadi dibangun menjadi kompleks perumahan, akan beralih fungsi menjadi galeri seni. Apa itu benar, Mr. Scott?”
Mr. Scott terkekeh sebelum menjawab pertanyaan itu, “Kurasa semua itu di luar tugasmu. Apakah kau cukup senggang akhir-akhir ini?”
“Tidak. Aku hanya kawatir kalau galeri seni tidak banyak menghasilkan uang, di zaman seperti ini semua orang ingin memiliki rumah sendiri dari pada pergi ke galeri seni. Aku kawatir Mr. Scott tidak teliti sampai pindah haluan begitu cepat.”
Mr. Scott terkekeh lagi, “Sepertinya aku terlalu memanjakanmu sampai kau berani tidak sopan padaku. Apa pun keputusan yang kuambil, sepenuhnya memang keinginanku, kerugian sekecil apa pun, juga tanggung jawabku. Jadi, lakukan saja tugasmu dengan benar dan kau akan mendapatkan bayaran dariku. Bukankah itu cukup jelas?”
Menutup sambungan telepon begitu saja dan membuang ponsel ke kursi belakang. “Aku butuh kopi sekarang.”
Sopir menatap kaca di atas untuk melihat bosnya, “Baik, Mr. Jaxx.” dan menepikan mobil ketika melihat kedai kopi terdekat.
Seseorang yang duduk di samping kemudi, segera turun dan masuk kedai kopi, “Americano satu.”
Gadis muda dengan pita merah muda besar itu pun tersenyum, “Akan siap sebentar lagi.”
Wanita lain, pemilik kedai kopi, ikut tersenyum juga saat pembeli menoleh, “Silakan duduk.”
Pria itu hanya mengangguk tanpa bergerak ke mana pun dan mengeluarkan buku agenda untuk membaca jadwal Mr. Jaxx, “Galeri Aganta. Kuharap tidak terlambat.”
“Silakan kopi Anda.”
Pria itu langsung membayar dan pergi tanpa peduli dengan kembalian jika ada. Di luar, Mr. Jaxx baru saja turun dari mobil, dia langsung memberikan kopi itu, “Kita harus segera ke Galeri Aganta sebelum jam empat.”
“Ya, karena itu aku menyusulmu. Apa kopinya disangrai dulu sampai selama ini?” Jaxx langsung meneguk kopinya. Lidahnya seperti baru saja bertemu dengan air comberan. Dia ingin memuntahkannya, memandang sekeliling untuk mencari tempat yang pas, dan malah bertemu dengan dinding kaca besar dengan gadis yang menatapnya melongo. Melihat gadis itu ada di belakang meja, dia yakin kalau kopi ini buatannya, Jaxx pun membuka penutup kopi dan menuang semua isinya keluar, “Ayo!” Melempar gelas kopi yang sudah kosong begitu saja dan masuk mobil.
“Erica!” Jessie, pemilik kedai kopi, berteriak saat Erica berlari ke luar, “Apa dia belum membayarnya?”
Erica yang masih melihat ke arah mobil, menggeleng, dan segera berbalik, “Bu Jessie, apa aku boleh izin hari ini? Ada hal penting yang harus kuurus. Aku akan datang lebih awal besok.”
Jessie mengerutkan kening, “Apa ada masalah? Kamu baik-baik saja?”
Erica tersenyum, “Ya, aku ... aku hanya ... perlu mengurus sesuatu.”
Jessie ikut tersenyum, “Pergilah. Jaga dirimu.”
Erica langsung masuk untuk melepas celemek dan mengambil tas, lalu berlari ke Galeri Aganta, “Aku tidak boleh kehilangan dia. Aku harus cepat.” Sesampainya di Galeri Aganta, Erica mencari pria tadi sambil menata napas, dan mendekat. Tak hanya itu, bahkan dia berdiri di samping pria tadi, ikut menatap apa yang tengah dilihat, dan tersenyum saat lukisan telanjang nan indah, tertangkap sempurna oleh matanya juga.
“Galeri Aganta akan tutup jam empat. Pengunjung dihimbau segera keluar dan datang kembali besok. Kami mohon maaf dan terima kasih.”
Jaxx menghela napas mendengar himbauan itu. Dia menoleh, melihat siapa yang berdiri di sampingnya, tersenyum, dan berkata, “Kau bahkan bisa merasakan gejolak yang sama saat melihatnya, meski terkesan canggung atau bahkan malu, kau tetap harus menikmatinya.” Menoleh lagi ke lukisan di depannya.
Erica mengangguk, “Ya, aku juga begitu. Bagaimana denganmu?” tanyanya sambil menoleh.
Jaxx menghela napas lagi, “Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti seni. Orang-orang mengatakan kalau lukisan ini sangat detail dan hidup, tetapi aku tidak yakin dengan apa yang mereka bicarakan. Bagiku, lukisan ini hanya karya telanjang yang tidak pantas. Semua orang seolah memuja Cleopatra, harus bangga dan berharap bisa melayani sekali seumur hidup, padahal dia sendiri tak menyadari sebesar apa dirinya hanya menjadi budak nafsu saja. Apa kau sepikiran denganku kali ini?” Merasa cukup memandangi lukisan Cleopatra dengan dikelilingi lelaki yang sama-sama tanpa busana, Jaxx menoleh ke gadis itu untuk menunggu jawaban atas pertanyaan yang baru saja diajukan.
Erica tersenyum, “Semua lukisan memiliki makna yang indah. Meski mereka telanjang, pelukis sengaja melukis seperti itu agar orang yang melihatnya langsung mengenali Cleopatra. Tak hanya itu, semua lukisan di galeri ini, pasti memiliki ceritanya sendiri, terkadang apa yang terlihat dengan mata, hanya ada di permukaan, banyak yang berbanding terbalik dengan hati.”
"Sepertinya aku juga harus melihat hatimu." Jaxx mengisyaratkan anak buahnya agar menyergap Erica.
“Akh!” Erica berusaha melihat siapa orang yang mendorong dan mengunci tangannya, tetapi dagunya ditarik hingga dirinya hanya menghadap ke pria rupawan di depannya.
Jaxx tersenyum, “Bukankah kau barista tadi? Apa yang kau cari di sini? Kau bekerja untuk seseorang? Apa kau mata-mata?”
Erica jadi gugup oleh pertanyaan itu, “Bukan! Aku mahasiswa yang bekerja paruh waktu ... aku hanya ... tertarik padamu.”
Jaxx tersenyum semakin lebar, “Lalu kau mengejarku untuk melihat apa pun yang kumiliki atas ketertarikanmu?”
Erica mengangguk, “Kau ... sangat tampan, karena itulah aku ingin melihatmu lagi.”
Jaxx tertawa, “Kau sangat sesuatu, ya? Sayang sekali, itu tidak cukup untuk merayuku.” Jaxx melepaskan dagu gadis itu dan mengisyaratkan agar anak buahnya memeriksa tas.
Abi, yang biasa menyopiri Jaxx, langsung mengeluarkan semua isi dari tas tersebut, “Tidak ada pistol atau apa pun, pisau, gunting juga tak ada, alat penyadap juga tak ada.” Mengambil dompet dan memberikannya ke Jaxx.
“Erica Jasmine. Mahasiswa seni rupa murni.” Jaxx tersenyum lagi setelah membaca itu, mengembalikan tanda pengenal ke dompet, dan melemparnya, “Lepaskan dia. Kita tidak punya waktu sekarang.”
Bill, yang biasa mengurus jadwal Jaxx, mengetukan kening, “Mr. Jaxx, banyak orang yang mengirimkan mata-mata untuk mendekati Anda, kenapa Anda melepaskannya begitu saja? Bisa saja dia salah satu dari mereka?”
“Lepaskan saja. Aku hanya ingin. Kita juga sedang sibuk, kan?” Jaxx melihat Erica mengemasi barang yang berserakan. Gadis itu memang cantik, sulit dipercaya kalau mengejar hanya karena tertarik padanya, tetapi Jaxx juga tidak yakin kalau Erica jahat. Pakaian itu terlalu biasa untuk seorang mata-mata.
Erica berdiri dengan membawa tasnya, “Aku permisi.” Berlari menjauh, kejadian ini membuatnya gugup dan berdebar, dia harus menenangkan diri.
Jaxx terus mengawasi Erica hingga melihatnya masuk kamar mandi. “Ayo!” berjalan lebih dulu ke luar.
Ponsel di saku Bill berdering, membuat ketiganya berhenti, “Ya, ini Bill. Kami sedang bersama Mr. Jaxx. Ada apa?”
“Aku tidak mengajakmu, ini perintah, dan aku tidak suka penolakan.”Itu adalah kalimat terindah yang pernah Lexi dengar dan karenanyalah dia di bandara Australia sekarang.“Ada apa dengan wajahmu?” Felix yang berjalan dengan menggandeng Lexi, jadi heran saat wanita itu lebih banyak diam, dunia seolah sedang salah.“Aku gugup, Felix. Kau bilang di sini tinggal dengan mamamu, kan? Apa kau akan menyewakan apartemen untukku?”Felix terkekeh, “Untuk apa? Kau bisa tinggal dengan kami. Lagi pula kalian pernah bertemu, kan? Di supermarket saat aku belanja dengan mama, untuk apa gugup, mamaku tetap sebaik dulu.”Lexi memukul lengan Felix, “Bukankah situasinya berbeda? Kau akan mengenalkanku dengan sebutan apa? Rasanya aku ingin pulang saja dan merawat adik-adikku.”“Jangan kawatir. Ada aku.” Felix bersyukur karena sopir tidak terlambat menjemputnya, melihat mobil mamanya di garasi, dia tahu kalau papa tirinya juga di rumah, dan sengaja merangkul Lexi saat mendekat, “Hai, Ma, Pa.” Memeluk maman
Tiga hari berlalu. Lexi yang tak melihat Felix selama itu, jadi kawatir, dia pun pergi ke apartemen Felix, tetapi di jalan, tak sengaja melihat ada kecelakaan dan membuat kemacetan panjang. “Aku turun sini saja, Pak. Nanti kalau aku pulang, aku akan meneleponmu.” Tersenyum ke sopir dan ke luar mobil, tak jauh lagi sampai, Lexi berpikir jalan kaki akan lebih cepat dari pada penunggu kemacetan terurai.Terkekeh, “Aku tidak menyangka akan bertemu dengan jalang sialan di sini.”Lexi langsung menoleh, “Johan, aku juga tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Apa kamu sedang mengantar kekasihmu berjualan? Kesibukanmu masih sama?”Johan terkekeh lagi, “Jangan merasa bangga setelah lepas dariku, Lexi. Bagiku, kau hanya sampah yang pernah kupakai sampai aku puas, kau hanya beruntung karena Felix tertarik padamu. Pria yang bisa membelikanmu pakaian bagus itu, akan membuangmu juga setelah bosan denganmu, dia kaya dan dia akan memilih wanita yang lebih baik dan lebih bertalenta dari pada ka
David menarik rem tangan setelah sampai di rumah Mahira, “Apa aku ...?” Bingung mau bertanya apa ke Mahira.Tersenyum, “Tidak perlu, David. Terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Aku tahu bagaimana cara menghadapi Felix, aku tidak mau kamu terlalu ikut campur dan menanggung konsekuensinya. Aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa.”David malah terkekeh, “Kalau kamu butuh bantuan, apa pun itu, telepon saja aku, nomorku ada di jajaran staf kantor.”Mahira mengangguk sambi tersenyum.“Aku ... pulang dulu.” Memencet klakson sekali dan pergi.Baru saja mobil David melewati gerbang, mobil lain sudah masuk, dan Mahira tersenyum manis mengetahui Maya yang turun dari mobil itu, “Tunggu!”Sopir itu mengangguk dan diam menunggu Mahira akan mengatakan apa.“Masuk dulu, ya, Sayang? Kakak mau bicara sebentar.” Mencium Maya dan kembali menghadap sopir setelah Maya pergi, “Di mana kalian menyekap Maya?”“Maaf, Nona Mahira. Itu bukan wewenang saya untuk menjawab.”“Apa Felix membayarmu mahal? Aku juga put
Di kantor ... Felix mengerutkan kening saat sekretaris papanya masuk, “Aku sudah sering bilang padamu kalau Mahira adalah sekretarisku dan kau harusnya paham siapa yang mengantar dokumen itu ke sini.”Sekretaris papanya menghela napas, meski kesalnya bukan main, tetap tersenyum untuk menghormati pimpinannya, “Tuan Felix, nona Mahira tidak masuk hari ini.”“Bukankah nanti sore ada meeting, ke mana dia tidak masuk? Kau tidak meneleponnya? Dia tidak boleh lalai dalam pekerjaannya, kan?” Felix menarik dokumen itu kasar dan menandatanganinya dengan cepat.“Saya sudah meneleponnya beberapa kali dan hasilnya tetap nihil. Tadi tidak diangkat dan sepertinya sekarang teleponnya mati karena tidak tersambung, Tuan.”Felix membuang napas kasar. Mahira memang meninggalkan ponsel itu ke apartemennya, ternyata meski menyerahkan diri, Mahira masih begitu membenci, Felix harus memikirkan cara lain agar Mahira jinak padanya. “Batalkan saja meetingnya. Aku ada urusan, kalau dia bisa datang meeting saja d
Felix tersenyum, menarik tangan Lexi dan mengecupnya, baru kemudian diletakkan di paha, “Hanya di depanmu aku bisa menjadi diriku sendiri, Lexi. Aku memang mencintai Mahira, tetapi kita sama-sama tahu kalau dia adalah adik tiriku sekarang. Sambil menunggu apa langkah yang harus kuambil, tetap denganmu aku membagi semuanya, Lexi.”Mendengar itu, Lexi jadi gusar, “Kebaikan itu membautku takut, Felix.”“Takut?”“Aku takut kalau kebaikanmu membuatku jatuh cinta.” Membuang muka. Lexi melihat ke arah luar.Felix malah tertawa, “Kau bisa melakukan itu sesukamu, Lexi. Aku tidak akan melarangmu.” Mobil sampai di rumah Lexi, “Aku tidak bisa menjemputmu besok pagi. Sopir akan datang nanti malam. Jangan kawatir. Aku pulang dulu.” Felix langsung ke apartemennya. Baru saja masuk, siapa yang dilihatnya, membuat Felix terkejut, tetapi dia langsung tersenyum untuk menyembunyikan rasa keterkejutannya, “Kau di sini?”Mahira yang memang sudah menunggu Felix dari tadi, langsung melempar ponselnya, matanya
Mahira membuka mata perlahan, terkejut karena dia malah berbaring dengan berselimut, meski pakaiannya masih lengkap, kenangan beberapa hari lalu masih saja membuatnya takut setiap tertidur di dekat Felix. Dia memang sendiri dan dia takut tak mengingat apa pun saat ketiduran.Felix baru saja ke luar dari kamar mandi, hanya dengan menggunakan handuk, langsung mengeringkan tubuh tanpa malu, dan berganti baju, “Kau sudah bangun?”Mahira yang memilih untuk membuang muka, tetap enggan menjawab pertanyaan itu, “Apa aku tidak malu?” bentanya lebih membuatnya nyaman dari pada menjawab pertanyaan Felix.Terkekeh, “Tidak. Aku sudah pernah telanjang di depanmu meski waktu itu kau masih tidur.”“Kau yang sengaja membuatku tak sadarkan diri, Felix. Itu kriminal.”“Ya dan aku bersyukur sudah melakukan itu padamu.” Felix yang baru saja selesai ganti baju, langsung ke dapur, melihat makanan yang tadi dibungkus dari kafe, langsung dihangatkan, dia akan memakannya setelah ini.Mahira turun dari ranjang