Hana langsung mematikan hubungan telephonenya. Segera ia berlari ke parkiran tempat Andra berjanji akan menunggunya.
Alangkah terkejutnya Hana ketika membuka pintu mobil Andra, ada Siska di dalamnya. Gadis itu merupakan pegawai dari divisi yang sama dengan Andra.
“Ha-Hana?”
“Kamu ngapain di sini Siska? Mana Andra? Kalian enggak selingkuh ‘kan?” tanya Hana dengan suara bergetar.
“Aku enggak ngerti maksud kamu,” balas Siska terlihat tenang dan angkuh.
“Kamu ngapain di mobil Andra?” tanya Hana lagi. “Keluar kamu dari mobil ini, sekarang,” perintah Hana, tapi suaranya masih bergetar.
“Ini mobil Andra, bukan mobilmu ya!” Tolak Siska sambil menyibak rambutnya.
Hana sudah tak sanggup menahan amarahnya lagi, ia menarik rambut merah bergelombang milik Siska. “KELUAR!”
“Ahh! Sakit” erang Siska. “Kamu apa-apaan sih Han!” ujar wanita itu sembari menepis tangan gadis bersurai hitam lurus itu.
“Asal kamu tahu ya Sis, aku sama Andra itu sudah pacaran!” jerit Hana yang bergaung sepanjang parkiran basement sepi itu.
“Hana,” panggil sebuah suara dari belakang gadis mungil berkelopak mata monolid itu.
“Andra?”
“Kamu ngapain marah-marah sama Siska?” tanya Andra yang sekarang tiba-tiba sudah ada di samping Hana.
“Kamu enggak selingkuh ‘kan?”
“Aku enggak ngapa-ngapain, apalagi selingkuh!” ucap Andra tampak kesal dituduh yang bukan-bukan.
“Tapi- tapi dia ada di dalam mobilmu?” Hana mulai goyah dengan tuduhannya sendiri. ‘Tapi iya sih. Kenapa Siska ada di mobil Andra dan si Andranya malah berada di luar mobil?’
“Ya kamu pikir siapapun yang ada di mobilku selingkuhan? Aku minta Siska taruh file di mobilku, masih ada tugas yang sedang aku selesaikan di ruangan. Dan kamu ngapain sih malah bocorin hubungan kita sama orang kantor?” lanjut lelaki yang memiliki banyak penggemar di bagian keuangan itu.
“Ta-tapi tadi aku di telepon dengar kamu, sama-.”
“Aku enggak suka diposesifin Han,” desis Andra. “Apalagi dituduh tanpa dasar yang jelas.”
“Maaf,” gumam Hana seraya menunduk. Terlihat menyesal sudah marah-marah pada Siska.
“Ih cewekmu ganas amat, Ndra!” kesal Siska sembari memperbaiki rambutnya yang tadi dijambak Hana. “Hubungan yang ngatur-ngatur pacar gini itu namanya toxic, Ndra,” lanjut Siska seolah menyindir Hana.
“Maksud kamu apa?” tanya Hana tak terima pernyataan Siska barusan. “Dengar ya, hubungan aku sama Andra itu-.”
“Hana!” teriak Andra memanggil nama kekasihnya itu. “Aku enggak suka sikap kamu yang begini. Kamu sudah salah sama Siska, dengan menuduh dia yang enggak-enggak. Minta maaf,” tandas pria jangkung itu.
“Tapi Ndra, aku kira-.”
“Minta maaf!” tegas Andra lagi dengan rahang mengetat memarahi Hana.
“Maaf, Siska…,” gumam Hana pelan dengan kepala menunduk di depan Siska. Membuat gadis berambut merah itu tersenyum miring.
“Ndra, aku masih shock nih dituduh pelakor, anterin aku pulang ya?” pinta Siska tak mempedulikan Hana dihadapannya.
“Ya sudah aku antar kamu pulang, Sis,” ucap Andra yang langsung membuat Hana bergumam keras.
“Hah?”
Gadis bermanik hitam kelam itu langsung menahan tangan kekasihnya itu. “Tapi Ndra!”
Segera Andra menepis tangan Hana. “Aku mau kamu belajar agar hubungan kita enggak toxic, Han. Kamu harusnya lebih percaya sama aku dan bukannya menuduh hal yang bukan-bukan. Kemudian aku juga enggak suka cara kamu yang membeberkan hubungan ini dengan santai,” tuntut pria yang mengenakan kemeja biru tosca itu.
“Ndra! Andra!,” panggil Hana tapi pria itu mengabaikannya. Andra malah membanting hingga pintu mobilnya tertutup di depan Hana. Mobil berwarna merah itu kemudian melaju kencang meninggalkan gadis yang terus berlari mengejarnya.
“Andra tunggu!” panggil Hana di parkiran basement yang sepi itu.
Bruk!
Hana terjatuh saat sepatu lima centinya membuat dirinya tersandung.
“Andra!” panggil Hana lagi dengan keadaan mengenaskan. Tangannya tergores dan lututnya terasa sakit. Gadis itu kemudian duduk dekat lift basement.
Di lantai tujuh, Axel melihat jam tangannya. Pria tampan itu berdecak, tak menyangka waktu bergulir begitu cepat.
‘Harusnya Hana sudah memberikan laporan itu sekarang,’ pikir Axel. ‘Hari juga sudah terlalu malam, apa sebaiknya aku akan mengantarnya pulang?’
“Hana-.” Panggilan Axel berakhir gumaman saat ia melihat meja sekretarisnya itu kosong. ‘Apa ia ke kamar mandi?’
Axel menunggu di depan meja Hana dengan tidak sabaran. Gadis itu sudah lewat sepuluh menit dari waktu untuk menyetor tugas yang sudah diperintahkan oleh bosnya itu.
Dengan gusar, Axel mengecek tugas di atas meja Hana yang baru dikerjakan setengah oleh sekretaris pengganti itu. ‘Masa iya, anak itu berani pulang tanpa mengerjakan tugas terlebih dahulu?’
Axel sangat kesal jika hal yang di pikirannya terjadi. Tidak mengerjakan tugas sesuai perintah dan tepat waktu, merupakan tanda karyawan siap untuk disingkirkan. ‘Oke Hana, siap-siap terima surat pemecatan mu besok,’ batin Axel sambil turun dengan lift menuju basement.
Suasana di basement terlihat cukup angker. Hanya ada sekitar dua tiga mobil saja di sana, belum lagi lampu di basement yang merupakan jalan keluar lift berkedip-kedip menambah horor suasana.
Punggung Axel terasa dingin saat menapakkan kakinya di basement. “Ck! Gimana sih kerja divisi perlengkapan tak mengecek lampu di bawah sini. Besok akan kutegur mereka,” gumam pria tampan masih bergidik mengeratkan jas panjang yang ia kenakan.
Tiba-tiba suara tangisan lirih membuat langkah Axel terhenti. Lelaki dengan surai coklat gelap itu menelan salivanya sembari mencari sumber suara. Walau jantungnya berdebar kencang tapi rasa penasaran Axel mengalahkannya. ‘Bukannya hantu kepagian muncul jam segini, bisa-bisa mereka mengganggu kinerja pegawai kalau muncul lebih pagi lagi,’ batin Axel yang sudah siap memarahi hantu kepagian itu.
Axel melihat sosok gadis yang sedang duduk memeluk kedua lututnya. Rambut hitam panjang yang indah dan halus menutupi seluruh wajah wanita yang sedang menunduk itu. ‘Ah ternyata cuma kuntilanak.’
“Hana,” panggil Axel dengan tangan terjulur ke atas ubun-ubun Hana, seakan siap mengambil paku. Gadis yang menjadi sumber tangisan itu langsung menolehkan kepalanya.“Kamu kenapa nangis?” tanya Axel yang ikut berjongkok sebelah Hana. Melihat hidung dan mata Hana yang memerah membuat Axel mengurungkan niatnya untuk pulang. Gadis itu malah semakin terisak mendengar pertanyaan Axel.‘Ah sial, harusnya aku pulang saja,’ sesal Axel dalam hati. “Baiklah kalau begitu aku balik dulu ya,” pamit Axel. Belum sempat lelaki itu berdiri, Hana menahan tangan bosnya sambil tetap menangis.“Huee...uee..uee,” ujar Hana sambil menggelengkan kepalanya. Persis suara lutung kasarung.Axel kembali duduk dengan canggung di sebelah Hana. Entah keberanian dari mana gadis itu menahan bosnya, meminta Axel untuk menemaninya. Tapi yang pasti Hana tak ingin sendiri sekarang, hatinya sangat hancur dan dia butuh teman, tak peduli walau temannya itu adalah si Raja Neraka.“Kamu diputusin pacar?” tanya Axel lagi.“H
Segera Hana dan Axel merampungkan sarapan mereka, kemudian bergegas menuju ke tempat Hana memesan cokelat kemarin.“Kamu yakin di sini tempatnya?” tanya Axel ragu.Hana yang berada disampingnya mengangguk, namun raut mukanya terlihat bingung. “I-iya, Pak,” jawabnya. “Tapi kemarin enggak begini tampilan tokonya. Minimalis cantik gitu.”Axel semakin menautkan alis tipis milik Hana. “Minimalis cantik gitu maksudmu seperti rumah hantu yang ditinggal pemiliknya perang pada zaman penjajahan Jepang begitu?” serang Axel sambil menunjuk bangunan tua yang terhimpit di antara tanah kosong. “Bahkan tak ada tetangga, pemukiman paling dekat lima ratus meter dari sini, kamu mau beli coklat valentine atau jampi-jampi jaran goyang sih, Han?”“Ya ampun, Pak. Sirik yang begitu itu. Serius kemarin bentuknya gini di media sosial,” bantah Hana sambil menyodorkan gawainya yang menampilkan sebuah akun.Axel menerima ponsel milik Hana dan menelitinya. “Alamatnya sih benar di sini, eh-.” Axel menscroll tanggal
Axel menelan salivanya, ia masih terpaku menatap layar ponsel.“Kau jawab telepon ini, dan katakan “iya” saja. Jangan berkata hal lain,” perintah Axel sambil menyodorkan gawainya ke arah Hana.Hana tampak bingung, tapi belum sempat ia menolak, Axel sudah menggeser icon di gadgetnya ke arah tombol terima.“Axel,” panggil suara di seberang sana, terdengar keras di dalam mobil ferrari itu, karena Axel menggunakan loudspeaker.Sambil menatap ragu ke arah bosnya, Hana menjawab dengan suara bariton milik Axel. “I-iya?”Axel tampak tegang, dan menatap tajam Hana. ‘Kenapa ia terlihat seperti mendapat telepon dari debt collector alih-alih ayahnya?’ tanya Hana dalam hati.Gerrard Harrison, semua orang tahu kalau ia adalah pebisnis handal yang mengukuhkan perusahaan Harrison menjadi salah satu raksasa bisnis yang bisa bertahan di zaman digital 4.0 ini. Perusahaan keluarga itu turun temurun diwariskan oleh kakek Axel, ke ayahnya Gerrard Harrison, dan tentu saja penerus selanjutnya Axel Harrison.
Axel dalam tubuh Hana terlihat tenang dan sama sekali tidak terkejut dengan pukulan keras ke meja itu. Matanya malah balaa menatap tajam lawan bicaranya. Hana dengan muka yang tertutup masker terlihat memberengut tak suka dengan apa yang terjadi di meja nomor tiga belas.‘Pak Axel ngomong apa sih, sampai Andra marah seperti itu? Ish Pak Axel nyebelin!’Axel tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Jadi alasan kamu maafin Hana agar dipinjamkan uang?”“Maksud kamu apa? Kamu minta maaf karena kamu yang salah, kalau pinjam uang itu masalah lain, Han! Aku kan sudah bilang akan ngembaliin sama hutangku yang kemarin-kemarin itu sekalian!”“Oh jadi ini kamu sudah sering minjem?” gumam Axel sambil menaikkan sebelah alisnya. Hal itu disalah artikan sebagai sebuah sindiran oleh Andra. Muka Andra terlihat semakin masam. “Kamu enggak ikhlas selama ini? Kukira kamu gadis baik yang tulus, Han.”Axel sebenarnya tak ingin melanjutkan percakapan ini dan hendak memberikan uang yang sudah diamanatkan
Hana melirik sosok tubuh miliknya yang berada di sebelah dirinya. ‘Wajah milik-ku tampak sangat gugup, bukankah Bos hanya mau ke rumahnya? Harusnya aku kan yang gugup, ini kenapa malah ia yang terlihat begitu?’ Hana kemudian melemparkan pandangan ke arah luar, deretan rumah mewah dan fasilitas umum mahal terlihat di sepanjang jalan. Mobil sport dengan pajak jutaan itu kemudian melewati sebuah portal yang diawasi oleh beberapa satpam. ‘Kita akan masuk hutan?’ batin Hana melihat pepohonan rimbun di balik pagar besi yang dijaga ketat. “Kita sudah sampai kediamanku,” ucap Axel singkat saat para penjaga membuka gerbang besar dengan ornamen huruf ‘H’ yang terlihat sangat mewah. “Hah?” gumam Hana terkejut. “Ini bukan hutan? cagar alam? Ini besar sekali seakan orang-orang di kampungku bisa bedol desa tinggal di sini. Tapi yang mana rumahnya, Bos?” tanya Hana bertubi-tubi, sedikit rasa khawatir terlintas di benak gadis yang berada di tubuh bosnya itu. ‘Jangan-jangan ia niat membunuhku di ten
“HAH?” mata abu cerah Hana langsung terbelalak. Ia langsung tersedak kemudian batuk hebat sambil mencoba menelan kunyahan daging sirloin yang ada di mulutnya. Axel menggeser gelas berisi air putih ke depan Hana. “Aku tidak akan menerima apapun alasan penundaan acara pernikahanmu kali ini, Axel. Keluarga Kalendra Group sudah setuju, begitu pula dengan calon istrimu yang menerima dengan senang hati. Lagipula bukankah kau dan cucu dari presdir Kalendra Group sudah lama terikat dalam hubungan pertunangan. Kau dan Salia Kalendra.” Hana melirik dengan ekor matanya ke arah Axel sebelum menjawab pertanyaan itu. Jika Hana mensyaratkan selalu berkata ‘iya’ pada Axel saat bertemu dengan Andra. Maka berkebalikan dengan saat itu, Axel meminta Hana untuk selalu mengatakan ‘tidak’ pada apa yang akan keluarganya sampaikan. ‘Wah bos bertunangan dengan Salia. Dan sekarang ia yakin mau menolak Salia Kalendra? Bukankah gadis itu artis terkenal dan sangat cantik, muda, dan bahkan punya segudang bakat? A
“Tidak percaya?” tanya Axel sambil memamerkan seringai di bibir tipis milik Hana. Susan dan Gerrard kompak memberikan pandangan aneh yang tentu saja memiliki arti mempertanyakan pernyataan gadis mungil yang sangat tidak sopan di hadapan mereka. Ditambah Hana malah menggelengkan kepalanya. “Kau jangan mengaku-aku sesuka hati ya!” bentak Susan beringas sambil menunjuk muka gadis mungil di hadapannya. Seolah hal sebelumnya masih kurang membangkitkan amarah keluarga Harrison pada sosok Hana -yang dihuni Axel-. General Manager Harrison Food itu malah menarik rahang siku-siku dan mendekatkan bibir tipis Hana kebelah merah miliknya. Sebuah kecupan panas yang membuat kedua insan itu menutup mata mereka sesaat sebelum terjadi. Tentu saja rasanya aneh sekali mencium diri sendiri. ‘Bos sudah gila,’ batin Hana. Namun, detik selanjutnya setelah bibir mereka beradu, rasanya berbeda. Tanpa sadar jiwa mereka telah kembali ke tubuh masing-masing dan ciuman panas itu masih berlangsung di hadapan k
“Andra? Tentu saja, Pak.” “Kau pecinta pria-pria tampan, ya? Baru beberapa menit yang lalu kau bilang mau menjadi sugar mommy ku,” rajuk Axel terlihat pura-pura. “Pak…,” jawab Hana dengan pandangan datar. ‘Asli Pak Bos menggelikan kalau merajuk begitu.’ “Kenapa kau mencintainya?” tanya Axel lagi, masih tampak penasaran. “Andra pernah menyelamatkanku. Ketika itu aku pulang telat dari kantor, dan melewati gang sepi dekat kosanku. Tiba-tiba ada segerombolan pria, tiga atau empat orang yang coba mengganggu. Mereka semua mabuk.” “Kamu lembur? Kapan?” sela Axel memotong cerita Hana. “Waktu pertama kali menggantikan tugas Mbak Sita jadi sekretaris.” “Ah…,” gumam Axel pelan. Ia merasa bersalah, saat itu ia begitu kesal karena Hana yang menggantikan tugas sekretaris lamanya bekerja sangat lambat. Axel ingat melihat sosok gadis itu yang pulang jam setengah satu malam dari balik jendela ruangannya. ‘Harusnya aku mengantarkannya malam itu,’ sesalnya dalam hati. “Salahku, harusnya aku memi