“Hana,” panggil Axel dengan tangan terjulur ke atas ubun-ubun Hana, seakan siap mengambil paku. Gadis yang menjadi sumber tangisan itu langsung menolehkan kepalanya.
“Kamu kenapa nangis?” tanya Axel yang ikut berjongkok sebelah Hana. Melihat hidung dan mata Hana yang memerah membuat Axel mengurungkan niatnya untuk pulang.
Gadis itu malah semakin terisak mendengar pertanyaan Axel.
‘Ah sial, harusnya aku pulang saja,’ sesal Axel dalam hati. “Baiklah kalau begitu aku balik dulu ya,” pamit Axel. Belum sempat lelaki itu berdiri, Hana menahan tangan bosnya sambil tetap menangis.
“Huee...uee..uee,” ujar Hana sambil menggelengkan kepalanya. Persis suara lutung kasarung.
Axel kembali duduk dengan canggung di sebelah Hana. Entah keberanian dari mana gadis itu menahan bosnya, meminta Axel untuk menemaninya. Tapi yang pasti Hana tak ingin sendiri sekarang, hatinya sangat hancur dan dia butuh teman, tak peduli walau temannya itu adalah si Raja Neraka.
“Kamu diputusin pacar?” tanya Axel lagi.
“Huuee...ueee..uee,” jawab Hana tak kuasa berkata-kata kembali masih sambil menggelengkan kepala.
Axel melihat kotak coklat berbentuk love di sebelah Hana.
“Cowok yang kamu taksir nolak coklat dari kamu?”
“Huuee...ueee..uee!”
Karena masih mendapat jawaban tidak dari Hana, kembali Axel bertanya penasaran. “Pacar kamu selingkuh?”
“Huuee...ueee..uee!!”
“Kamu hamil dan pacar kamu enggak mau tanggung jawab?”
“Huuee...ueee..uee!!!!!” tangis Hana makin heboh, ia menggeleng dengan tatapan kesal.
“Ya ngomong Hana! Seinget saya, saya enggak pernah rekrut pegawai bersuara monyet!” balas Axel dengan kesabaran yang tersisa satu persen.
“Ma-maaf,” ujar Hana akhirnya, masih sambil menangis.
Axel menghembuskan napasnya, mencoba menghirup udara agar sisa kesabarannya kembali bertambah. “Ya sudah saya antar kamu pulang. Hari sudah terlalu malam untuk wanita pulang sendirian,” ajak Axel sembari berdiri dan menyodorkan tangannya untuk membantu Hana bangkit juga.
Tak berapa lama GM perusahaan Harrison Food dan sekretarisnya sudah berada di mobil Ferrari keluaran terbaru itu. Melintasi lalu lintas ibu kota yang masih ramai. Keheningan di sela-sela isak tangis perlahan milik Hana, membuat suasana semakin canggung.
“Maaf, Pak,” ujar Hana dengan suara serak.
“Enggak apa-apa,” jawab Axel singkat.
Hana sedikit tertegun melihat sisi wajah Axel. ‘Hidungnya mancung dengan rahang yang tajam, walau mukanya terlihat tegas, galak dan tampan sekaligus, tapi Raja Neraka ternyata baik juga.’
“Maaf Pak, jadi merepotkan Bapak.”
"Sudah berhenti minta maaf terus," ucap Axel kemudian memamerkan senyum tipis seraya melihat Hana sekilas.
“Bapak mau cokelat,” tawar Hana sembari menyodorkan sekotak coklat saat lampu merah yang membuat kemacetan di jalan ibu kota.
“Bukannya coklat itu sudah ada yang punya?” tanya Axel yang tadi sudah melihat tulisan ‘be my valentine’ di atas kotak. Kotak itu hanya berisi dua cokelat yang terbelah di tengah.
"Yang punya sudah mati!," ketus Hana. "Eh maaf, Pak," sambung gadis berjas merah muda itu, lupa kalau lawan bicaranya adalah bos besar perusahaannya. ‘Hana bego jadi malu sendiri kan, ish!’ rutuknya dalam hati.
Axel malah tertawa lepas mendengar hal itu, yang membuat Hana kembali terpesona melihat pemandangan di sampingnya. ‘Hmm… begini ya kalau tokoh anime ada di kehidupan nyata dan tertawa.’
“Makasi,” ucap Axel seraya mengambil sebuah coklat yang Hana sodorkan. “Sepertinya ini coklat valentine pertama yang aku terima,” lanjut pria bersurai coklat gelap itu kembali memamerkan senyum tampannya.
“Hah?” gumam Hana terlihat tak percaya.
“Iya, saya enggak pernah dapet coklat valentine seumur hidup saya,” ulang Axel. “Menurutmu kenapa?”
‘Oh jelas! Siapa berani ngasih penguasa neraka coklat. Yang ada buruan ketakutan sebelum ngasih coklatnya,’ pikir Hana. Tapi alih-alih mengatakan apa yang dipikirannya, Hana cuma menjawab, “enggak mungkin, bapak kan ganteng.”
Cuping hidung Axel terlihat kembang kempis, tapi tetap dengan ekspresi defaultnya yang tajam dan dingin. “Oia tugas yang saya perintahkan tadi kalau bisa kirim sebelum jam setengah sebelas ya,” titah general manager Harrison Food itu.
“Hah, tapi besok sabtu kan, Pak?”
“Iya, besok sabtu. Terus kenapa?”
“Enggak ada, Pak. Sebelum jam setengah sebelas ya, lagi tiga puluh menit ya Pak?” tanya Hana lagi, terlihat pura-pura bego. ‘Tuh lihat kan, memang Raja Neraka enggak punya simpati. Jelas-jelas aku nangis depan dia, eh malah nagih tugas.’
“Iya, itu aja sudah aku kasih kelonggaran satu jam. Itu lebih dari cukup,” tandas Axel seolah ia baru saja memberikan libur satu bulan pada Hana, dan gadis itu harus berterima kasih padanya.
“Iya, Pak. Terima kasih.”
Suasana kembali hening hingga sampai di gang kosan Hana, gadis itu minta diturunkan di depan gang. Setelah itu Hana mandi, mengerjakan tugas dari bosnya, telat semenit mengirimkan dan ia sudah mendapat spam pesan dari ‘Raja Neraka’. Terakhir Hana tidur dan tubuhnya sudah berubah menjadi bos besarnya itu.
Hana dan Axel sama-sama mengerutkan keningnya mengingat kejadian kemarin malam. Sepertinya mereka melakukan aktivitas seperti biasa dan tidak aneh-aneh hingga membuat mereka berubah seperti ini.
“Di antara semuanya, kenapa aku harus berubah jadi kamu sih?” keluh Axel sambil melihat ke arah tubuh mungil Hana yang sedang ia tempati sekarang.
‘Aku pun Pak, lebih milih jadi power ranger pink ketimbang jadi Bapak,’ balas Hana tapi hanya dalam hati.
Kembali mereka berdua menyantap makanan yang terhidang itu, beberapa wanita curi-curi pandang melihat Axel -yang mana Hana ada di dalam tubuh itu. ‘Ckck, raja neraka ini benar-benar mencuri perhatian tiap wanita. Tapi heran aja sih, kok belum ada kabarnya pacaran. Gay kali ya?’ batin Hana sambil menatap wajahnya sendiri. ‘Ah sial, aku kucel amat sih. Ini teman-teman lihat wajah aku tiap hari stres enggak sih, jelek amat lu Hana,’ batin gadis itu kembali.
Axel masih makan dengan elegan, hingga ia menyadari sesuatu. “Eh jangan-jangan dari makanan lagi kita seperti ini!”
“Maksud Bapak?” tanya Hana balik, dan manik abu terang itu membulat.
“COKLAT!” seru mereka berbarengan.
Segera Hana dan Axel merampungkan sarapan mereka, kemudian bergegas menuju ke tempat Hana memesan cokelat kemarin.“Kamu yakin di sini tempatnya?” tanya Axel ragu.Hana yang berada disampingnya mengangguk, namun raut mukanya terlihat bingung. “I-iya, Pak,” jawabnya. “Tapi kemarin enggak begini tampilan tokonya. Minimalis cantik gitu.”Axel semakin menautkan alis tipis milik Hana. “Minimalis cantik gitu maksudmu seperti rumah hantu yang ditinggal pemiliknya perang pada zaman penjajahan Jepang begitu?” serang Axel sambil menunjuk bangunan tua yang terhimpit di antara tanah kosong. “Bahkan tak ada tetangga, pemukiman paling dekat lima ratus meter dari sini, kamu mau beli coklat valentine atau jampi-jampi jaran goyang sih, Han?”“Ya ampun, Pak. Sirik yang begitu itu. Serius kemarin bentuknya gini di media sosial,” bantah Hana sambil menyodorkan gawainya yang menampilkan sebuah akun.Axel menerima ponsel milik Hana dan menelitinya. “Alamatnya sih benar di sini, eh-.” Axel menscroll tanggal
Axel menelan salivanya, ia masih terpaku menatap layar ponsel.“Kau jawab telepon ini, dan katakan “iya” saja. Jangan berkata hal lain,” perintah Axel sambil menyodorkan gawainya ke arah Hana.Hana tampak bingung, tapi belum sempat ia menolak, Axel sudah menggeser icon di gadgetnya ke arah tombol terima.“Axel,” panggil suara di seberang sana, terdengar keras di dalam mobil ferrari itu, karena Axel menggunakan loudspeaker.Sambil menatap ragu ke arah bosnya, Hana menjawab dengan suara bariton milik Axel. “I-iya?”Axel tampak tegang, dan menatap tajam Hana. ‘Kenapa ia terlihat seperti mendapat telepon dari debt collector alih-alih ayahnya?’ tanya Hana dalam hati.Gerrard Harrison, semua orang tahu kalau ia adalah pebisnis handal yang mengukuhkan perusahaan Harrison menjadi salah satu raksasa bisnis yang bisa bertahan di zaman digital 4.0 ini. Perusahaan keluarga itu turun temurun diwariskan oleh kakek Axel, ke ayahnya Gerrard Harrison, dan tentu saja penerus selanjutnya Axel Harrison.
Axel dalam tubuh Hana terlihat tenang dan sama sekali tidak terkejut dengan pukulan keras ke meja itu. Matanya malah balaa menatap tajam lawan bicaranya. Hana dengan muka yang tertutup masker terlihat memberengut tak suka dengan apa yang terjadi di meja nomor tiga belas.‘Pak Axel ngomong apa sih, sampai Andra marah seperti itu? Ish Pak Axel nyebelin!’Axel tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Jadi alasan kamu maafin Hana agar dipinjamkan uang?”“Maksud kamu apa? Kamu minta maaf karena kamu yang salah, kalau pinjam uang itu masalah lain, Han! Aku kan sudah bilang akan ngembaliin sama hutangku yang kemarin-kemarin itu sekalian!”“Oh jadi ini kamu sudah sering minjem?” gumam Axel sambil menaikkan sebelah alisnya. Hal itu disalah artikan sebagai sebuah sindiran oleh Andra. Muka Andra terlihat semakin masam. “Kamu enggak ikhlas selama ini? Kukira kamu gadis baik yang tulus, Han.”Axel sebenarnya tak ingin melanjutkan percakapan ini dan hendak memberikan uang yang sudah diamanatkan
Hana melirik sosok tubuh miliknya yang berada di sebelah dirinya. ‘Wajah milik-ku tampak sangat gugup, bukankah Bos hanya mau ke rumahnya? Harusnya aku kan yang gugup, ini kenapa malah ia yang terlihat begitu?’ Hana kemudian melemparkan pandangan ke arah luar, deretan rumah mewah dan fasilitas umum mahal terlihat di sepanjang jalan. Mobil sport dengan pajak jutaan itu kemudian melewati sebuah portal yang diawasi oleh beberapa satpam. ‘Kita akan masuk hutan?’ batin Hana melihat pepohonan rimbun di balik pagar besi yang dijaga ketat. “Kita sudah sampai kediamanku,” ucap Axel singkat saat para penjaga membuka gerbang besar dengan ornamen huruf ‘H’ yang terlihat sangat mewah. “Hah?” gumam Hana terkejut. “Ini bukan hutan? cagar alam? Ini besar sekali seakan orang-orang di kampungku bisa bedol desa tinggal di sini. Tapi yang mana rumahnya, Bos?” tanya Hana bertubi-tubi, sedikit rasa khawatir terlintas di benak gadis yang berada di tubuh bosnya itu. ‘Jangan-jangan ia niat membunuhku di ten
“HAH?” mata abu cerah Hana langsung terbelalak. Ia langsung tersedak kemudian batuk hebat sambil mencoba menelan kunyahan daging sirloin yang ada di mulutnya. Axel menggeser gelas berisi air putih ke depan Hana. “Aku tidak akan menerima apapun alasan penundaan acara pernikahanmu kali ini, Axel. Keluarga Kalendra Group sudah setuju, begitu pula dengan calon istrimu yang menerima dengan senang hati. Lagipula bukankah kau dan cucu dari presdir Kalendra Group sudah lama terikat dalam hubungan pertunangan. Kau dan Salia Kalendra.” Hana melirik dengan ekor matanya ke arah Axel sebelum menjawab pertanyaan itu. Jika Hana mensyaratkan selalu berkata ‘iya’ pada Axel saat bertemu dengan Andra. Maka berkebalikan dengan saat itu, Axel meminta Hana untuk selalu mengatakan ‘tidak’ pada apa yang akan keluarganya sampaikan. ‘Wah bos bertunangan dengan Salia. Dan sekarang ia yakin mau menolak Salia Kalendra? Bukankah gadis itu artis terkenal dan sangat cantik, muda, dan bahkan punya segudang bakat? A
“Tidak percaya?” tanya Axel sambil memamerkan seringai di bibir tipis milik Hana. Susan dan Gerrard kompak memberikan pandangan aneh yang tentu saja memiliki arti mempertanyakan pernyataan gadis mungil yang sangat tidak sopan di hadapan mereka. Ditambah Hana malah menggelengkan kepalanya. “Kau jangan mengaku-aku sesuka hati ya!” bentak Susan beringas sambil menunjuk muka gadis mungil di hadapannya. Seolah hal sebelumnya masih kurang membangkitkan amarah keluarga Harrison pada sosok Hana -yang dihuni Axel-. General Manager Harrison Food itu malah menarik rahang siku-siku dan mendekatkan bibir tipis Hana kebelah merah miliknya. Sebuah kecupan panas yang membuat kedua insan itu menutup mata mereka sesaat sebelum terjadi. Tentu saja rasanya aneh sekali mencium diri sendiri. ‘Bos sudah gila,’ batin Hana. Namun, detik selanjutnya setelah bibir mereka beradu, rasanya berbeda. Tanpa sadar jiwa mereka telah kembali ke tubuh masing-masing dan ciuman panas itu masih berlangsung di hadapan k
“Andra? Tentu saja, Pak.” “Kau pecinta pria-pria tampan, ya? Baru beberapa menit yang lalu kau bilang mau menjadi sugar mommy ku,” rajuk Axel terlihat pura-pura. “Pak…,” jawab Hana dengan pandangan datar. ‘Asli Pak Bos menggelikan kalau merajuk begitu.’ “Kenapa kau mencintainya?” tanya Axel lagi, masih tampak penasaran. “Andra pernah menyelamatkanku. Ketika itu aku pulang telat dari kantor, dan melewati gang sepi dekat kosanku. Tiba-tiba ada segerombolan pria, tiga atau empat orang yang coba mengganggu. Mereka semua mabuk.” “Kamu lembur? Kapan?” sela Axel memotong cerita Hana. “Waktu pertama kali menggantikan tugas Mbak Sita jadi sekretaris.” “Ah…,” gumam Axel pelan. Ia merasa bersalah, saat itu ia begitu kesal karena Hana yang menggantikan tugas sekretaris lamanya bekerja sangat lambat. Axel ingat melihat sosok gadis itu yang pulang jam setengah satu malam dari balik jendela ruangannya. ‘Harusnya aku mengantarkannya malam itu,’ sesalnya dalam hati. “Salahku, harusnya aku memi
‘Tapi ada gundukan kok, bersyukur Hana setidaknya ada, enggak seperti kemarin.’ Kembali gadis itu meraba perut dan terus turun hingga di antara dua pahanya. “Huft,” gumam Hana kemudian sembari bangkit dari kasurnya. Ia melihat wajahnya dengan rambut kusut masai. “Hallo diriku,” sapa Hana sembari tersenyum pada pantulan cermin. ‘Kemarin bos ngeliat wajahku begini apa enggak mengumpat dalam hati ya?’ Segera gadis mungil itu bangkit dari kasurnya dan menyambut hari senin dengan perasaan ringan bahagia, hal ini tidak seperti biasanya bagi Hana. Senin merupakan hari yang paling ia kutuk setelah liburan menyenangkan di sabtu dan minggu. Dan, bertemu dengan bosnya merupakan hal yang paling menyebalkan dari semua itu. Namun, semenjak kejadian kemarin. Hana menanggapi hari ini cukup berbeda. Gadis dengan rambut panjang hingga sepunggung itu sekarang berjalan ringan menuju lobi kantornya. Seperti biasa Hana menyapa setiap orang di kantor dengan ramah, hingga seorang lelaki memanggil namanya