“Tadi ayah bawa Dara ketemu sama Salim. Besok dia sudah mulai kerja dengan Salim.” Bambang mengatakan itu dengan santai. Ia menutup pintu mobilnya kemudian masuk meninggalkan Aksa dan Dara.
Aksa menoleh, ia melihat tangannya yang ditarik oleh Dara. Ketika mendongak, Aksa mendapati wanita itu tengah menahan tangis dengan bibir dilipat ke dalam. Aksa melepaskan Dara, dengan langkah cepat menyusul Bambang masuk ke dalam rumah.“Ayah, saya tidak setuju Dara kerja sama Salim. Tolong bilang sama Salim, kalau Dara gak jadi kerja sama dia.” Aksa berkata terus terang dan tanpa basa basi seperti halnya Dimas.Dara yang menyusul suaminya segera menegur Aksa. Ia menggeleng pelan, meminta Aksa tidak perlu memperdebatkan masalah ini.“Mana bisa begitu! Kalau Dara berhenti sekarang, dia harus bayar pinalti karena melanggar kontrak.”Bambang meneruskan, “Kamu itu harusnya bersyukur. Suami sampah gak berguna kayak kamu tapi bisa punya istri yang bisa kerja.”“Menikah sama Dara derajatmu yang hanya anak sopir jadi terangkat. Kalau gak, paling nasib kamu sama kayak Hartawan, jadi sopir!” ejek Bambang. Aksa mengepalkan tangan kuat-kuat, wajahnya memerah mendengar hinaan Giginya bergemeretak siap membalas ucapan Bambang. “Cukup, Yah! Jangan menghina saya lagi!” Walau tubuhnya Aksa, tetapi jiwa pria itu tetap Dimas yang tidak pernah terima direndahkan. Dara terkejut, wanita itu menoleh melihat Aksa dengan tatapan tidak percaya. Baru kali ini ia melihat Aksa berani menjawab ayahnya. Bambang tidak kalah terkejutnya. Ia tidak menyangka menantu yang selama ini selalu diam kini berani bicara lantang. Aksa menegakkan tubuhnya saat melihat Bambang berdiri dari duduk. Pria itu berdiri dengan dada membusung dan wajah angkuh.“Kamu memang pantas dihina! Beraninya diam-diam menikahi putriku, membuat nama keluarga kamu malu memiliki menantu anak sopir sepertimu!”Cuh! Bambang meludahi Aksa. “Dara akan tetap bekerja dengan Salim. Kalau kamu tidak suka siapkan satu miliar untuk kompensasi.” Setelah mengatakan itu, Bambang pergi dari ruang tamu. Pria itu masuk ke kamar, menutup pintu kamar dengan kencang sampai terdengar ke seluruh rumah. Keesokan paginya, Aksa terbangun ketika mencium wangi parfum yang berbeda dari biasanya. Saat ia bangun, Aksa mendapati Dara sudah rapi dengan pakaian formal blazer hitam dan celana panjang bahan berwarna senada. Wanita itu duduk di depan meja rias sedang merapikan riasan wajahnya yang sedikit lebih tebal dari biasanya. Aksa menggaruk rambutnya frustasi. Ia baru ingat kalau hari ini Dara mulai bekerja dengan Salim. Jika saja ia tidak sedang dalam tubuh Aksa, mungkin ia tidak akan peduli kalau Dara akan menjadi korban Salim yang berikutnya. Namun, berada di tubuh orang lain membuatnya merasa bertanggung jawab harus menjaga semua yang Aksa miliki. Lagipula, mungkin apa yang Alan katakan ada benarnya. Mungkin, ia ini jalannya untuk membuat Aksa yang pecundang menjadi orang yang disegani. Aksa menyibak selimut kemudian turun dari ranjang. Ia berdiri di belakang Dara sehingga wanita itu bisa melihat pantulan bayangannya di cermin. “Kamu gak usah pergi kerja.” Suara bariton Aksa membuat Dara berhenti mengolesi lipstik pada bibirnya. Ia berbalik dan memandangi Aksa penuh pertanyaan.Dara mengambil tas yang selalu ia bawa. Mengeluarkan amplop coklat sedang lalu meletakkan amplop itu di tangan Aksa.“Ini 20 juta. Pinjaman dari ayah.” Dara kembali duduk di tempatnya. Melanjutkan mewarnai bibinya.Aksa menatap sejenak amplop yang ada di tangannya. Ia menghampiri Dara di meja rias, meletakkan kembali amplop itu.“Gak perlu. 20 juta itu sudah lunas dari kemarin. Jadi kamu gak usah lagi kerja sama Salim. Soal uang pinalti, nanti mas cari cara buat bayar.”Dara menoleh, mendongak melihat Aksa dengan terkejut dan heran. “Sudah lunas? Mas dapat uang dari mana?” Alis Dara menyatu, tidak percaya suaminya bisa mendapat uang sebanyak itu dengan mudah. “P – Pak Alan yang minjemin uang.” Aksa dengan cepat memberikan alasan jangan sampai Dara curiga. “Berarti tetap harus dikembalikan, kan Mas! Aku tetap harus kerja.” Posisi tubuh Dara kembali seperti semula. Menghadap cermin meja rias kemudian merapikan rambutnya. Aksa berpikir sejenak. Mencari ide agar Dara bisa lepas dari perjanjiannya dengan Salim. “Biar aku saja yang kerja. Mungkin aku bisa minta tolong pak Alan. Siapa tahu di kantornya ada lowongan.”Aksa bisa mendengar hembusan nafas panjang Dara. Wanita itu kemudian mengangguk setuju dengan ide Aksa. Aksa turun ke ruang makan bersama Dara yang sudah mengganti pakaiannya dengan baju rumahan. Kemunculan keduanya di ruang makan membuang Bambang marah. Pria itu bahkan meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar hingga berdenting dengan keras. “Kenapa belum siapa? Kita harus sampai di kantor jam setengah delapan!” seru Bambang dengan mata melotot. Ia menggerakan kepalanya, meminta Dara pergi ke kamar untuk bersiap. “Enak banget kamu, ya! Makan tidur gratis, terus tinggal ngutang sana sini.” Kilatan emosi terpancar dari mata Bambang melihat Aksa duduk di kursi makan menerima pelayanan dari putrinya. “Biaya hidup kalian itu dari ayah. Sudah sepatutnya Dara bekerja untuk menolong ayah.” Bambang memaksa. Bagaimanapun caranya ia harus mendekatkan Dara dengan Salim. Jari Bambang mengetuk-ngetuk meja makan,. mencari ide. “Begini saja, kalau kamu bida bayar listrik bulan ini, ayah ijinkan Dara tidak bekerja. Tapi kalau kamu gagal, Dara harus bekerja dengan Salim.” Aksa mendongak melihat sang mertua kemudian beralih menoleh melihat Dara. Wanita itu menggeleng pelan, meminta Aksa menolak tantangan Bambang. Tapi karena tidak mau ADara terjebak dengan pria seperti Salim, Aksa akhirnya mengangguk. “Baik! Bulan ini saya yang akan bayar listrik.” Dara dan Bambang sama-sama mendelik tak lama terdengar tawa renyah Bambang yang meremehkan Aksa. Aksa menyelesaikan sarapannya. Ia kemudian duduk tegak sambil menatap Bambang yang masih menikmati bualan menantunya. Tawa Bambang terhenti, ia membalas tatapan Aksa yang tidak tahu diri itu. “Dara, cek berapa tagihan kita bulan ini!” titahnya. Dara menurut. Ia segera membuka aplikasi dan memeriksa tagihan listrik bulanan rumah itu. Jari wanita itu bergerak lincah memasukkan nomor pelanggan. Setelah menunggu sejenak, akhirnya tagihan bulanan muncul. “15 juta, Yah,” ucap Dara dengan berbisik. Ia melirik Aksa dengan ujung mata. Wanita itu mendadak lemas mendengar Aksa kesanggupan suaminya. Tawa Bambang kembali mengisi pendengaran Aksa. Pria itu puas sekali mengejek Aksa dengan tawanya. Aksa mendorong kursi dengan santai. Ia mengeluarkan ponselnya. Mencari-cari aplikasi m-banking miliknya. Sial! Ia lupa kalau yang ia punya saat ini adalah ponsel Aksa. Ia tidak bisa mengakses m-banking miliknya. Aksa menggerutu dalam hati. Harusnya ia masukkan saja semua uangnya ke rekening Aksa! Bola mata Aksa bergerak cepat mencari ide. Bagaimana ini? Apa ia akan gagal memenuhi tantangan Bambang?“Dimas kembali?” Salim mendelik. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel lalu menghubungi Sonya. “Kamu bilang, kecelakan ini akan membuat Dimas menghilang selamanya, tapi kenapa dia muncul lagi?” Salim mencecar Sonya begitu wanita itu menjawab panggilan teleponnya.Salim diam, mendengarkan suara Sonya diujung telepon. Ia mengangguk beberapa kali lalu menutup teleponnya.“Usahakan sebisa mungkin untuk meredam berita ini.” Sambil berjalan, Salim memberi perintah kepada asisten ayahnya sedang ia sendiri akan bertemu dengan Sonya dan melihat sendiri keadaan Dimas di rumah sakit.Sonya dan Salim terpaksa harus kembali masuk ke dalam lift karena hanya orang tertentu yang bisa melihat keadaan Dimas.Tentu saja itu perintah Alan. Sejak kemunculan ‘Dimas’ dalam lelang tender, ia sudah menyiapkan banyak hal yang pastinya akan menjadi kejutan.“Bagaimana menurutmu, Son? Apa Dimas benar-benar sembuh dan kembali?” Ia dan Sonya sedang berdua di dalam lift.Hening.Keduanya tidak ada yang bisa men
“Kartu debit siapa itu?” Bambang menatap curiga kartu kecil berwarna kuning keemasan yang Aksa serahkan kepada perawat pria yang membawakan tagihan Dara. “Kartu saya, Yah.” Aksa membiarkan perawat pria itu bekerja. Menggesek kartunya pada mesin kecil yang ia bawa. “Silahkan PIN-nya, Pak.” Aksa menerima mesin merchant dari perawat. Menekan beberapa angka, tak lama keluar kertas tanda pembayarannya berhasil. Mulut Bambang terbuka lebar melihat kartu Aksa benar bisa digunakan. Pun begitu dengan rekan parlemen Bambang. Mereka saling tatap heran. Baru beberapa menit yang lalu ia menghina Aksa habis-habisan. “Darimana kamu dapat uang sebanyak itu, hah?! Pinjol?” Bambang menuduh di depan sejawatnya. Aksa mendengus pelan, kesal tetapi tidak bisa marah. “Awas aja kalau sampai ada debt collector yang datang ke rumah!” Setelah memberikan ancaman, Bambang bergabung lagi dengan teman satu partainya. Samar-samar Aksa mendengar rencana Bambang yang akan maju menjadi calon gubernur. Ket
“Dok —dokter!” Wanita berpakaian serba putih itu memanggil dokter dari tempatnya berdiri. Matanya tak lepas dari uang merah yang ada di dompet Aksa.Jarak bangkar Dara tidak terlalu jauh dari meja dokter. Wanita paruh baya berkacamata itu bergegas berdiri dari duduk begitu melihat kepanikan di wajah sang perawat senior.Uang memang bisa memperlancar urusan.Saat pemakai jasa asuransi di nomor sekiankan, gepokan uang merah mempercepat pelayanan.“Apa yang terjadi?” Dokter itu menempelkan stetoskop di dada Dara sambil mendengarkan cerita Aksa. Ia kemudian menanyakan informasi dasar kepada perawat.Sama seperti perawat tadi, dokter juga memeriksa mata Dara dengan senter kecil. Hasilnya dokter itu mengirim Dara untuk melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan.“Kita akan lihat apa benturan saat jatuh berdampak pada mata ibu Dara.”Dokter itu mengisi beberapa formulir, meminta Aksa melakukan pendaftaran dan pembayaran sebelum Dara mendapatkan penanganan lebih lanjut.Hanya butuh 15 menit, kin
“Dara, bangun!” Aksa berlari kencang menaiki anak tangga berusaha menangkap Dara agar tidak menggelinding sampai dasar tangga di lantai satu. Ia berhasil menangkap Dara yang tepat di pertengahan tangga antara lantai satu dan dua. Tak sempat lagi memikirkan Salim juga Bambang yang berteriak ketika melihatnya masuk rumah, Aksa menggendong Dara yang lemas. Ia bergegas membawa Dara turun. Melompati beberapa anak tangga sekaligus agar cepat sampai di lantai bawah. Aksa berhenti di depan pintu masuk. Melihat deretan mobil yang terparkir di halaman depan, ia memilih mobil milik Bambang. Menunggu taksi akan memakan waktu! “Hei, mau kamu bawa kemana putriku?” Bambang menarik tangan Aksa yang baru saja membaringkan Dara di kursi belakang. “Kamu mau menculik Dara, ya?” teriak pria tua itu lagi. Ia menarik tangan Aksa memaksa pria itu menoleh melihatnya. “Membawanya ke rumah sakit!” Aksa membalas dengan teriakan. Melampiaskan kemarahannya karena Bambang diam saja saat Dara diperlakukan b
“Seharusnya kau sudah bisa menebak!” Dewa keluar dari ruang kerja Sonya setelah menjawab Aksa. Wajah arogan dan berkharismanya tidak luntur meski bayang-bayang kejadian 30 tahun lalu kembali melintas di benaknya.Aksa masih berdiri di tempatnya walau pintu sudah kembali tertutup. Ia menatap Alan, kemudian bertanya, “Bagaimana menurutmu, Al?”Alan mengangkat pundak. “Kita berdua tahu bagaimana cara kerja tuan besar, Tuan muda. Seharusnya anda sudah bisa menebak.” Alan mengulang perkataan Dewa.Ya, Aksa bisa membayangkan apa yang papanya lakukan kepada keluarga Hartawan. Apa karena itu ibunya selama ini menghilang dan tidak pernah berusaha untuk menemuinya?Lagi-lagi Aksa dihadapkan pada pertanyaan yang hanya Dewa Mahardika yang tahu jawabannya.Alan mulai melakukan tugasnya. Ia menangkat interkom dan memanggil beberapa orang untuk melakukan investigasi internal sesuai dengan perintah tuan Dewa.Tidak butuh waktu lama, mulai dari satpam sampai perwakilan divisi terkait masuk ke ruang k
“Jelaskan padaku tentang proyek itu, Son.” Tatapan dingin Dewa seakan menembus jantung Aksa. Pria itu memang bicara kepada Sonya namun pandangan matanya mengarah pada Aksa.Tidak mendengar suara Sonya yang seharusnya menjawab pertanyaan, Dewa mengalihkan tatapannya kepada manajer marketing Maha Group.“Sonya?” Suara dingin Dewa kembali terdengar membuat si empunya nama merinding.Sonya terhenyak kaget. Ia mendongak menatap Dewa sejenak lalu memalingkan wajahnya melihat Aksa meminta bantuan.Rupanya Dewa mengerti maksud dari tatapan Sonya. Pria itu menyandarkan punggungnya lalu berkata, “Aku mau jawaban darimu, Sonya! Bukan anak ingusan itu!” Sonya kembali dibuat kaget dengan permintaan sang pemilik perusahaan. Sejak Dimas memegang kendali Maha Group, Dewa tidak pernah lagi mencampuri urusan perusahaan.Tapi kali ini, Dewa Mahardika pebisnis legenda kembali turun gunung. Terjun langsung menangani perusahaannya.“O —om, itu….”“Ini di kantor, Sonya. Bersikaplah profesional. Kau meman