Pada suatu pagi yang cerah, Valerie Jovanka terbangun dari tidurnya dengan perasaan tidak enak. Ia baru saja bermimpi buruk tentang ayahnya yang menghilang di tengah badai. Dalam mimpi tersebut, Valerie mencoba berteriak memanggil ayahnya, namun suaranya tak mampu terdengar di tengah deru angin yang mengamuk. Terbayang di benaknya wajah ayahnya yang tersenyum lembut seolah mengucapkan perpisahan.
Sambil berusaha mengusir mimpi buruk tersebut, Valerie beranjak dari tempat tidurnya dan bersiap-siap untuk memulai hari itu. Ia melangkah menuju jendela, menarik tirai, dan memandang langit biru yang cerah. Namun, keceriaan langit tak mampu mengusir kegelisahan yang ada di hati Valerie.Sebelum Valerie sempat melangkah keluar kamar, tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan kasar. Ibu tirinya, Sarah, muncul di pintu kamar dengan ekspresi marah dan matanya menatap tajam ke arah Valerie."Apa kamu belum siap?!" bentak Sarah sambil mengepal tangannya. "Segera siapkan sarapan untuk keluarga dan bersihkan rumah! Sudah kubilang jangan membuatku menunggu!"Valerie merasa terkejut dan tertekan dengan perlakuan Sarah yang selalu kasar padanya. "Baik, ibu," jawab Valerie dengan suara lirih, berusaha menahan tangis yang mulai menggenang di sudut matanya.Sementara itu, kakak tirinya, Maria, muncul di belakang Sarah sambil tertawa sinis. "Ayo cepat, adik tiri yang malang! Kau tahu kan, jika ibu marah, tak ada yang bisa menyelamatkanmu," ejek Maria dengan nada menggoda, membuat Valerie merasa semakin tertekan.Valerie menundukkan kepalanya dan berusaha menahan amarah dan kesedihan yang mulai memuncak di dalam hatinya. Ia lalu berbalik dan segera meninggalkan kamarnya, melangkah menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.Di dapur, Valerie mencoba menenangkan diri dengan mengatur nafasnya secara perlahan. Ia tahu bahwa ia harus bersabar menjalani kehidupan ini, hingga ayahnya kembali dan ia bisa merasakan kasih sayang yang selama ini ia rindukan.Namun, hari ini adalah hari yang berat bagi Valerie. Setelah menyiapkan sarapan, ia berdiri di ambang pintu ruang makan, memperhatikan ibu dan kakak tirinya duduk di meja makan dengan wajah puas. Sarah menatapnya dengan pandangan tajam, sambil mengepalkan tangan di atas meja."Ayo, cepat sajikan makananya!" desak Sarah dengan nada keras, membuat Valerie terguncang dan segera melangkah ke arah meja untuk menyajikan makanan yang telah ia siapkan.Setelah menyajikan sarapan, Valerie merasa lelah dan memutuskan untuk pergi ke taman kota untuk melepas penat. Di sana, ia bertemu dengan sahabatnya, Lia, yang datang untuk menghibur Valerie dan mengajaknya mengobrol. Mereka duduk di bangku taman, sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus."Bagaimana hari ini, Val?" tanya Lia dengan ekspresi penuh perhatian, menatap wajah Valerie yang tampak lesu.Valerie menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Sama seperti hari-hari sebelumnya, Lia. Aku hanya merasa sangat lelah menjalani kehidupan bersama keluarga tiri. Aku ingin sekali ayah kembali dan melihat perlakuan mereka padaku."Lia menggenggam tangan Valerie erat, memberikan semangat dan dukungan kepada sahabatnya yang merasa berat menjalani kehidupan bersama keluarga tirinya. "Kau harus kuat, Val. Aku yakin, suatu hari nanti keadaan akan berubah menjadi lebih baik."Saat mereka asyik bercerita, tiba-tiba saja Maria muncul di depan mereka. "Hei, adik tiri yang malang, apa kau sedang mengadu pada temanmu tentang betapa sengsaranya hidupmu?" ejek Maria dengan senyum sinisnya.Valerie menundukkan kepala, mencoba mengabaikan ejekan Maria, tetapi sahabatnya Lia tidak tinggal diam. "Maria, cukup! Kau tidak punya hak untuk mengejek Valerie. Dia adalah adikmu, dan seharusnya kau melindungi dia, bukan malah menyakiti perasaannya."Maria tertawa terbahak-bahak, seolah-olah Lia baru saja mengatakan sesuatu yang sangat lucu. "Oh, sungguh menyenangkan melihatmu berbicara seperti itu, Lia. Tapi sayang sekali, Valerie tidak layak untuk mendapatkan kasih sayang ayah kami. Dan percayalah, suatu hari nanti, ia akan diusir dari rumah ini," ucap Maria dengan nada penuh kebencian.Lia mengepalkan tangannya, kesal mendengar ucapan Maria. Namun, ia sadar bahwa marah tidak akan mengubah sikap Maria. Ia pun mengalihkan pandangannya kembali pada Valerie, berusaha memberikan dukungan moral. "Jangan pedulikan dia, Val. Kau lebih baik darinya, dan aku yakin suatu saat kebenaran akan terungkap."Valerie mengangguk, berusaha menguatkan hatinya meski mendengar kata-kata pedas Maria. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti Lia yang selalu ada di sisinya, memberikan dukungan dan semangat untuk menjalani hidup yang keras ini.Malam itu, Valerie kembali ke rumah dengan perasaan sedih dan hancur. Hatinya berat karena ejekan Maria tadi siang masih terngiang-ngiang di telinganya. Ia mencoba menemukan kekuatan untuk melawan kekejaman ibu dan kakak tirinya, tetapi ia merasa lemah dan tak berdaya. Dalam kegelapan kamar tidurnya, ia berdoa kepada Tuhan agar ia dapat bertahan dalam cobaan ini dan agar ayahnya segera kembali untuk melindungi dirinya.Hari ini, Elvano yang dingin dan kejam menjadi lebih manusiawi ketika mengajak istri kecilnya memasuki sebuah pusat perbelanjaan."Nanti saat membutuhkan sesuatu hubungi saya, tidak perlu merepotkan Clara lagi" Bahkan juga berbicara dengan nada yang lembut dan kalimat yang panjang.Ini benar-benar kemajuan pesat untuk hubunganya bersama valerie."Setelah ini kita beli es krim" katanya setelah membayar ponsel keluaran terbaru untuk Valerie.Mendengar kata Es Krim senyuman di wajah Valeriepun mengembang, ia sampai tidak sadar saat menggandeng tangan Elvano sambil berjalan. Elvano tidak keberatan, ia malah senang istrinya mau dekat-dekat tanpa rasa takut.Elvano adalah mafia berbahaya, musuhnya ada di banyak tempat termasuk di pusat perbelanjaan. Tapi mereka tidak begitu berani untuk menyerang Elvano secara langsung, yang ada hanya bisa mengawasinya dari jauh dan berusaha untuk melihat wajah valerie yang tersembunyi di balik topi dan masker hitam.Elvano tahu akan berbahaya untuk valerie
Teriakan dan rintihan kesakitan menggema di ruangan bawah tanah markas Elvano faramond. Dia adalah pria psycopat yang terobsesi dengan istrinya sendiri, tidak mengijinkan siapapun menyentuh Valerie barang sedikit saja.Wajahnya tampak santai meski semua orang yang meringkuk di bawah kakinya sedang memohon dan meminta ampun. Elvano tidak punya ampun kecuali atas permintaan Valerie.Hari ini dengan kedua tangaya sendiri, Elvano memberikan hukuman kepada para pria penculik Valerie yang tinggal tersisa lima orang."A..A..Apa yang akan kau lakukan" mata para pria itu tampak mendelik ketakutan saat melihat elvano mendekat dengan sebuah besi merah di tanganya.Elvano tidak perduli dengan wajah ketakutan mereka, ia hanya ingin menghukum tanpa berpikir untuk mengasihani."AARRRKHHH" Teriakan nyaring sekali lagi kembali terdengar, sangat memilukan dan menyedihkan, rasanya seperti di hukum di neraka.Meski begitu tidak ada ekspresi khusu yang terlihat di wajah Elvano, tetap datar dan tenang sepe
Ketika Valerie telah terlelap dengan tubuh yang jauh lebih bersih, Elvano pergi keruanganya dan memanggil seluruh pengawal yang mengawal Valerie termasuk Clara."pergi dari hadapanku, jangan pernah kembali" Datar, tegas dan mutlak. Tidak ada yang bisa membantah keputusanya.Dari sekian banyak pengawal wanita yang Elvano miliki, Clara adalah yang paling lama mengapdi kepadanya. Tapi pria itu sama sekali tidak ragu saat memecat Clara."Tuan, maaf"Satu per satu, para pengawal berlutut bersama Clara yang sudah lebih dulu melakukanya. "saya tahu saya tidak layak mendapatkan pengampunan, tapi... tolong jangan buang kami"Bagi para anggota ke mafiaan, di pecat sama dengan di buang. ITu artinya mereka sudah tidak berguna, tidak berarti, tidak berharga, dan tidak layak di pertahankan. Posisi mereka adalah yang paling bawah, bahkan lebih rendah daripada budak.Mati akan jauh lebih baik daripada menempati posisi itu.Elvano tidak bergeming, tidak pernah ada yang berhasil membujuknya dengan cara
Valerie masih saja terisak ketika Elvano membawanya pulang. Tanganya yang masih bergetar ketakukan Valerie paksakan untuk memeluk Elvano dengan sangat erat.Suminya hanya diam saja, sama sekali tidak pernah menyuarakan kalimat penenang untuk Valerie. Bukanya tidak perduli, tapi memang Elvano tidak bisa dan tidak mengerti bagaimana cara menenangkan gadis yang sedang menangis. Yang bisa pria itu lakukan hanyalah diam dengan tangan yang terus mengusap punggung istrinya."rumah sakit" Ujar Elvano bermaksud meminta sang supir untuk mengajak mereka kerumah sakit terdekat."aku mau pulang"Suara lirih yang menyayat hati membuat Elvano beralih penuh memperhatikan istrinya."aku mau pulang saja" kata Valerie lagi masih sambil terisak-isak. Ia tidak pernah berani melihat kemanapun, hanya terus menyembunyikan wajah di ceruk leher Elvano.Elvano sedikit ragu ketika mengangkat tanganya untuk mengusap surai Valerie, tapi pada akhirnya tetap ia lakukan meski dengan sedikit kaku. "kita pulang" ujarny
Ketika seorang pria dengan lancang berhasil membuka masker dan topi Valerie. Semua orang awalnya bersorak gembira, sebelum akhirnya terdiam dengan mulut ternganga.Valerie terlalu cantik, sangat manis dan sedap untuk di pandang. Dia benar-benar seperti seorang bidadari yang berasal dari surga."Nona, tidakah kau terlalu cantik untuk orang seperti Elvano?" Seru seorang pria dengan nada mengejek.Tentu saja langsung di sambut oleh tawa jahat para pria di sana."Kau tidak tahu ya? Suamimu itu monster, dia sangat jahat, dia adalah rajanya kejahatan. Kenapa kau mau menikah dengannya?"Andai saja Valerie berani, ia pasti sudah menendang wajah semua pria di depannya."Lebih baik kau bersama kami saja, menikmati hidup" ujar seorang pria lagi lalu di ikuti oleh tawa dari semua orang.Benar-benar sangat menyebalkan."Hei, jangan tunjukan wajah yang masam, tersenyumlah"Valerie tidak perduli, ia tetap diam dengan ekspresi wajahnya yang buruk. Dia takut, tapi juga tidak mau menangis, ia menahannya
Setelah kepergian Elvano, Valerie yang mulai merasa jenuh dengan kegiatan monotonya, mengajak Clara untuk pergi berjalan-jalan. Tapi Clara yang memerlukan ijin Elvano dalam setiap hal, tentu saja harus meminta ijin terlebih dahulu."Em, nona bilang ingin berjalan-jalan" Kara Clara sembari melirik Valerie yang duduk di sampingnya.Awalnya tidak terdengar apapun dari sebrang, valerie bahkan mengira kalau Elvano sudah menutup telfonya.Valerie mendengus pasrah, "Padahal aku sangat jarang keluar rumah" gumamnya dengan wajah yang lesu, Valerie menyandarkan tubuhnya tanpa semangat ke sandaran sofa.Clara cukup mengerti dengan kebosanan yang melanda Valerie, tapi sebagai bawahan ia tidak bisa melakukan apapun tanpa ijin dari Tuanya."pergilah"Suara berat yang sangat bijak itu terdengar ketika suasana sedang hening, membuat kedua gadis yang sedang murung jadi membulatkan matanya karena terkejut."sungguh?" Tanya Valerie memastikan, ia berharap Elvano tidak cepat berubah pikiran."ya, pergila