“Uke,”
Janus langsung berdiri dari tempat duduknya manakala pintu ruang kerjanya terbuka dan melihat gadis yang sedang ditunggunya itu berdiri di depan pintu, tengah menatapnya dengan haru.
“Kau… kemana saja, Kau? Kau minta aku menjempumu ke bandara tapi, apa?” serunya lagi dengan ekpresinya yang bingung. Bagaimana tidak, Janus melihat Hawke masuk ke ruangannya, tepat saat dia minta bantuan asistennya untuk mencari keberadaannya.
“Aku nungguin kamu udah kayak orang bego ajah. Kau matikan telpon, kau juga tidak membuka pesan yang aku kirim. Apa-apaan sih?” ocehnya lagi. Dia bukan meluapkan kerinduannya yang tersimpan selama tiga tahun ini tapi malah mengungkapkan kekhawatirannya pada Hawke sampai-sampai dia lupa bagaimana harus bersikap layaknya pasangan yang sudah lama tidak bertemu.
Hawke menghampiri meja Janus dan berdiri di depan pria yang dia tahu sangat tergila-gila padanya sejak mereka masih di SMA itu. “Nomel aja. Emangnya ga kangen?” katanya sambil menggeser tubuhnya lebih dekat lagi ke Janus.
“Ga mau meluk aku?” kata Hawke dengan senyum yang tertahan.
Beberapa saat berlalu, kedunya tidak ada yang bergerak. Hanya mata mereka saja yang saling bertatapan.
“Setelah tiga tahun tidak bertemu, apa kau tidak kangen,” katanya lagi karena Janus tetap mematung di tempat duduknya. Dia seperti orang yang kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa.
Janus masih belum percaya dengan kemunculan gadis pujaannya yang secara tiba-tiba itu dan dia makin tidak percaya lagi ketika Hawke malah minta di peluk. Tentu saja hal yang aneh karena selama mereka bersama, jangankan memeluk, janus bahkan tidak pernah memegang tangannya.
Hawke gadis yang begitu mulia. Dia menjadi dambaan semua pria karena kesempurnaan yang dimilikinya. Kedudukan keluarganya yang tinggi di muka masyarakat waktu itu.
Dia tidak hanya cantik, kulitnya sangat bersih karena perawatan yang paripurna. Tidak hanya itu, hidup Hawke juga syarat dengan segala aturan keluarganya, dia selalu menjaga jarak dengan temannya, baik laki maupun perempuan. Apalagi kalau orang itu kumel dan dekil, dia pasti tidak mau dekat-dekat.
Tidak heran jika hanya bisa duduk bareng dan ngobrol dengan gadis ini, janus sudah seperti dalam mimpi. Bidadari pujaannya itu sangat steril dari semua benda di sekitarnya.
Ratu perpect, begitu teman-teman sekolahnya menyebut Hawke yang begitu sempurna ini.
Tapi?
Janus masih terpaku dengan Hawke yang memandangnya penuh keharuan. Dia bukan terpesona oleh penampilan gadis itu, tapi?
Dia merasakan sesuatu yang berbeda. Apa yang dia lihat sekarang ini, ternyata jauh dari ekspetasinya selama ini. Apa yang membuat dia kecewa, Janus sendiri belum yakin dengan perasaannya.
Janus bengong. Dia sudah seperti patung hidup dan penampilannya itu membuat Hawke jadi tersanjung.
“Janus! Kok diem aja, sih? Apa kau tidak senang aku datang ke sini?” Suara Hawke membuat Janus tersadar dari lamunannya dan membuat pria itu gugup dan suasana di ruangan yang dingin itu menjadi sedikit canggung.
“Eh…duduklah,” dia akhirnya bisa mengatakan itu setelah kebingungan harus bilang apa menghadapi pertemuan yang tidak pernah dia duga ini.
Wanita yang sudah tidak terdengar lagi kabar beritanya selama tiga tahun ini tiba-tiba menelponnya dan yang membuat janus bahagia, dia mencarinya.
Sekarang dia bisa melihat, tidak banyak yang berubah dari penampilan Hawke. Dia tetap cantik, modis, dan berkelas. Tapi entah kenapa, Janus merasa ada sesuatu yang membuat dia seperti bukan melihat Hawke-nya yang dulu.
Hawke tidak menolak tawaran itu, dia langsung duduk tanpa memalingkan pandangannya sedikit pun. Dia terus memandangi Janus dengan mata yang berbinar-binar.
“Katakan padaku. Apa yang terjadi padamu selama ini? Kenapa kau tiba-tiba hilang dan kini malah mencari aku?” tanya Janus. Dia masih belum bisa menghilangkan kecanggungannya.
“Siapa yang menghilang?” sahut Hawke dengan entengnya. Dia bahkan merasa geli dengan ekpresi janus yang terlihat mengkhawatirkannya.
“Mungkin kau tahu kalau keluargaku kena musibah tiga tahun yang lalu, kan? Usaha Papa nyaris gulung tikar dan banyak para rekanan yang datang minta modal mereka dan ada yang mau memenjaarakan Papa. Papa kena tipu dan harus bertanggung jawab atas apa yang tidak pernah dia nikmati hasilnya,”
Janus mengangguk.
Mereka tinggal di kota yang sama. Yang dia tahu, Hawke adalah anak salah satu pengusaha terkenal pada saat itu. Hawke sendiri selalu di jemput sopir pribadi saat ke sekolah. Semua orang tidak meragukan bagaimana kayanya keluarga Buana, pengusaha tambang batu bara yang membuka beberapa perusahaan di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
“Iya, aku mendengarnya,”
“Aku diungsikan oleh Papa karena ada salah satu teman bisnisnya yang minta aku sebagai jaminan hutangnya. Papa terpaksa merekayasa cerita kalau aku dan Mama juga kakak-kakakku meninggalkan dirinya ketika dia bangkurut,”
Janus kembali mengangguk. Dia membenarkan cerita itu karena saat dia mencari keberadaan Hawke, dia mendapatkan cerita dari tetangganya kalau Pak Buana mengalami depresi karena ditinggal oleh anak dan istrinya.
Bahkan Janus sempat berpikir kalau Hawke anak yang kejam. Makanya dia putus asa dan ingin melupakan gadis itu. Dia menanggapi perhatian Fey yang selalu ada untuknya dan mereka menikah dengan diam-diam dengan harapan dia bisa melupakan cinta pertamanya itu.
“Jadi bagaimana Papamu sekarang?”
“Papa ada di Kalimantan bersama Mama. Setelah semua masalah selesai, Papa fokus mengembangkan bisnis di sana. Alhamdulilah, sekarang kami tidak perlu hidup dalam ketakutan lagi. Semua sudah membaik walaupun usaha Papa tidak sebesar dulu lagi,”
Janus percaya dengan kata-katanya karena dia tahu kalau perusahaan Pak Buana yang ada di Sumatera memang sudah pindah tangan. Bahkan dia membeli salah satunya karena dia ingin punya kenangan dengan Hawke.
Suasana yang awalnya canggung, lambat laun menjadi hangat karena masing-masing menceritakan apa yang terjadi pada kehidupannya selama tiga tahun terakhir.
“Janus, aku kembali untuk membantu Papa mengambil apa yang seharusnya menjadi haknya. Aku melamar kerja di perusahaan tambang yang ada di jalan Sudirman,”
“Kau akan menetap di sini lagi?”
“Iya. Aku tidak punya siapa-siapa. Saat keluarga kami jatuh, semua orang sepertinya berbahagia. Tidak sedikit yang mencemooh kami. Mereka dengan kejam bilang kalau apa yang menimpa Papa adalah karma karena keluarga kami sombong,”
“Tidak….mana ada yang bilang begitu. Jujur saja, saat kau menghilang, aku mencarimu sampai ke rumah dan aku mendapat cerita dari tetangga. Aku juga mengikuti sosmed kamu dan juga Papamu. Kalau ada yang sinis, itu jumlahnya cuma beberapa saja, aku yakin kalau mereka itu pasti orang-orang yang minta haknya,”
Hawke tersenyum hambar.
“Terima kasih.”
“Kenapa harus berterima kasih? Kita kan berteman baik,”
“Teman?” Hawke bertanya dengan nada kecewa.
Janus tidak tahu harus menjawab apa. Dia memang mencintai wanita ini. Mereka cukup dekat, bahkan Janus satu-satunya pria yang beruntung yang bisa mendapatkan perhatian khusus dari gadis idaman sejuta umat ini.
Tapi dia tidak berani mengatakan kalau Hawke itu kekasihnya karena mereka belum pernah jadian. Kedekatan mereka terjadi begitu saja. Mengalir seperti air.
“Jadi kau hanya menganggap aku sebagai teman? Jadi salah dong aku menjadikan kamu sebagai orang yang pertama aku hubungi ketika aku mendapat ijin menampakkan diri lagi?”
“Tidak….tidak begitu. Maksud aku…..,”
Janus baru akan menjelaskan tapi suaranya tertahan di tenggorokan karena mendengar suara ketukan pintu, di susul munculnya Caelum.
“Ada apa?” tanya Janus tidak ramah. Dia kesal karena asistennya itu menganggu pertemuannya dengan Hawke.
“Di luar ada Fey, dia menunggu Bos di lobby,”
“Fey!” Hawke terkaget.
“Janus, apa dia bekerja di sini. Bagaimana dengan dia sekarang, apa dia kuliah?” tanyanya begitu bersemangat.
“Atau sudah lulus? Otaknya kan encer banget, dia pasti bisa selesai lebih dulu, ya?”
“Suruh tunggu sebentar. Bilang kalau aku sedang ada tamu,” kata Janus, dia menghiraukan pertanyaan Hawke yang bertubi-tubi itu. Dalam hatinya dia menggerutu. “Kenapa Fey sampai ke sini?”
“Apa yang direncanakannya? Bukankah semuanya sudah aku jelaskan semalam?”
“Kenapa kau tidak menyuruhnya masuk. Kita bisa ngobrol. Lama ga ketemu, pasti aku pangling kalau ketemu dia di luaran,”
Fey tidak ingin membahas kehamilannya sekarang. Dia belum siap dengan tanggapan Janus dan dia juga belum tahu apa yang akan terjadi kedepannya karena ada perasaan yang mengganjal dihatinya tapi dia sendiri tidak bisa menerka.“Tidak usah. Aku cukup nyaman kok mengenakannya.Tidak usah dilonggarkan lagi,”“Oke,"Nahlah langsung mengangguk. Janus pun merasa lega. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto mereka di cermin. Fey kaget, ini untuk pertama kalinya Janus melakukan selfi dengannya. Janus memperlihatkan hasilnya pada Fey, "Serasi, kan?”Dalam foto itu, Fey meletakkan tangannya di punggung karena dia ingin membuka gaunnya sedangkan Janus tersenyum melihat ke arah kamera. Fey hanya tersenyum. Pada saat itu mereka punya pikiran sendiri-sendiri tentang itu.*****Setelah mencoba gaun pengantin, Janus mengantar Fey kembali ke rumah. Fey tidak ada kegiatan apapun selain melakukan revisi skripsi Janus yang sudah dia selesaikan semalam.Perbaikannya sudah dia kirim dan men
Keduanya segera membantu Fey mengenakan gaun. Janus tersenyum dan menundukkan kepalanya. Dia mencium punggung Fey dengan penuh cinta. “Jangan kau pikirkan apa yang dikatakan Terra. Yang paling penting saat ini, aku sedang mencoba gaun pengantin bersama orang yang paling aku cintai,”Fey tersenyum. Meskipun dia tahu kalau Janus hanya menghiburnya, dia merasa bahagia. Setidaknya Janus menunjukkan pada kedua staf itu kalau tidak ada yang salah dengan apa yang mereka lakukan saat ini.Fey sudah melepas bluesnya, ketika dia minta staf yang memegang gaun pengantin untuk membantunya, Janus menghentikannya. Tubuhnya yang tinggi dia gunakan untuk mengurung Fey hingga tak tersentuh oleh siapapun. “Aku sudah bilang kalau aku yang akan membantu kau mencoba gaun ini, kau tidak membutuhkan orang lain,”Janus sangat tidak berdaya melihat punggung Fey yang terbuka. Dari pantulan kaca, dia juga melihat dada Fey yang membusung. Dia sering melihat pemandangan seperti ini, bahkan dia juga kerap melihat F
Gaun pengantin itu sangat cantik, model terbaru yang baru saja dikerjakan oleh perancang terkenal di negeri ini. Ini serasa mimpi, Fey hanya bisa memandanginya, seakan itu adalah barang berharga yang takut untuk di sentuhnya.Gaun itu berlengan pendek yang mengikuti bordir bunga pada ujungnya hingga membentuk lengan yang cantik pada manakin itu. Leher yang berbentuk V dikelilingi berlian yang berkilau, “Cantik sekali,” Fey tidak tahan untuk tidak memujinya.Pada bagian pinggangnya dirancang sangat ketat dan pasti akan menampilkan sosok yang bagus bagi siapapun yang memakainya. Rok panjang yang menjuntai hingga ke lantai dibuat mengembang seperti payung.Saat dikenakan, pasti akan bergoyang-goyang karena bahannya yang halus dan lembut.Bagian ujung gaun itu tertutup payet dan memantulkan kemilau yang indah di bawah cahaya ruang yang sangat terang pada saat itu. “Ini pasti sangat mahal,” Fey menafsir harganya ketika seorang staf datang mengagetkannya.“Gaun ini dipesan oleh Pak Janus d
“Nenek ada apa?” tanyanya begitu mengangkat panggilan. Suara Janus terdengar sedikit tidak ramah.“Ada apa?” balas Nenek dengan suara yang terheran-heran. “Janus… Bisa-bisanya kau bilang begitu pada Nenekmu?” sergahnya. Suaranya dipenuhi amarah. Bagaimana tidak, ini sudah malam. Dia dan anak mantunya sudah berkumpul di rumah, berharap Janus datang untuk menjelaskan ini semua tapi pikirannya itu salah.Tanpa merasa bersalah sedikit pun, Janus malah tidak pulang. Tidak memberi kabar apapun tentang rencana besarnya itu. Siapa yang tidak emosi kalau punya cucu yang kelewatan begini.“Apa kau merasa terganggu kalau nenek menelponmu? Apa kau sangat sibuk hingga….,”“Iya, Nek. Ada apa? Apa nenek tidak salah bertanya begitu? Bukan sekarang saja Nenek menelpon aku dan tidak pernah mau tahu aku sedang apa, kan?”“Apa kau masih menganggap wanita tua ini sebagai nenekmu?”“Heh…ada apa lagi ini?” Janus sudah bisa menebak apa yang ingin ditanyakan Neneknya makanya tiba-tiba menelpon, marah-marah
Suaranya terdengar sangat menyenangkan, seperti seorang bapak yang tengah membujuk anaknya untuk makan. Magnetis dan dalam. Membuat Fey terhipnotis.Tanpa diminta lagi, Fey membuka mulutnya, Janus menyuapkan makanan itu dengan sangat hati-hati. Perasaan yang tidak bisa Fey gambarkan segera merayap dalam pikirannya. Andai Janus semanis ini memperlakukannya, dia pasti akan mencintai pria ini lebih dalam lagi. "Tapi apakah dia melakukan ini hanya karena aku sedang kesal dengannya. Apa karena dia ingin menebus rasa bersalahnya?” tanya Fey pada dirinya sendiri.Apapun yang Janus pikirkan sampai dia mau melakukan ini, Fey ingin menutup mata dan telinganya. Dia ingin menikmati perhatian Janus yang mungkin akan dia lakukan sekali ini saja. Dia ingin bahagia, ingin merasakan bagaimana rasanya dicintai. Menikmati bagaimana rasanya dimanjakan oleh orang yang dicintai walaupun dia tidak yakin kalau Janus melakukannya dengan hati.Saat dia memikirkan itu, tanpa terasa air mata jatuh dari sudut
Karena Janus sudah berjanji tidak akan menyentuhnya, dia cukup tahu apa maksud dari ucapan Fey itu. Dia menahan langkahnya, sampai Fey benar-benar masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya, barulah Janus berbalik. Dia tidak meninggalkan kamar itu tapi memilih duduk di sisi tempat tidur dan mengeluarkan ponselnya. Janus memesan makan malam untuk mereka berdua.Dia hanya tersenyum getir ketika mendengar suara gemercik air. Dia tahu kalau Fey sudah membohonginya. Dia sebenarnya tidak ingin buang air besar tapi mandi.Ya, wajar dia melakukan itu. Selama mereka menikah, Janus tidak pernah sepeduli ini padanya. Dia datang ke kamar ini ketika dia membutuhkan tubuhnya, dia akan pergi setelah mendapatkan apa yang dia inginkan.Dia tidak pernah bertanya, apakah Fey capek atau tidak karena banyak tugas-tugas dari dosen yang harus diselesaikan, bukan hanya tugasnya sendiri tapi harus menyelesaikan semua tugasnya.“Apa pernah dia memperhatikan apa yang Fey lakukan setelah mereka bercinta. Berdiam