Share

Chapter 15

Adnan benar-benar tidak mengerti, kenapa ia jadi seperti ini sih? Bukankah ia kemarin sudah memutuskan untuk mencoba menjauh dan membuka diri untuk Amanda, residen interna yang Yudha sodorkan? Wanita yang menurut otaknya pantas mendampingi dirinya yang berstatus duda dua anak itu. Kalau dengan gadis ini? Mana pantas sih? Ia masih terlalu muda dan belia! Sangat tidak pantas mendampingi laki-laki yang hampir masuk masa lansia seperti dia ini.

“Kenapa tumben tadi cuma sendirian, yang lain pada ngapain di ruang koas?” Adnan mulai buka suara, sejak tadi hingga sekarang mereka sudah hampir sampai di lokasi, tidak ada obrolan sama sekali. Mereka larut dalam diam masing-masing.

“Teman-teman sedang mengerjakan presentasi kasus untuk besok, Dok.”

Adnan melirik Redita, ia tampak cantik dengan setelan scrub warna dusty pink itu. Rambutnya ia gerai dengan jepit mutiara ya menjepit rambut bagian kirinya.

“Punya kamu gimana, sudah beres?” Adnan kembali serius pada jalanan yang ada di hadapannya, mencoba mengusir rasa yang begitu kurang ajarnya kembali datang dan hadir menyiksa diri Adnan.

Redita tidak menjawab, ia hanya tersenyum kecut sambil menggeleng perlahan, membuat Adnan kembali menoleh dan menatap gadis itu sekilas.

“Kenapa belum? Nggak mau lulus? Pengeng ngulang stase bedah satu kali lagi?” tanya Adnan sedikit ketus.

“Nggak, cukup sekali saja, Dok,” tukas Redita sambil geleng-geleng kepalan dan bergidik ngeri, bayangan genangan darah dan scalpel sontak terlintas dalam benaknya.

“Lah, kalau begitu kenapa temenya ngerjain kamu malah enggak ngerjain? Besok saya yang jadi penguji,” Adnan sedikit menegaskan suaranya, hanya menakuti tujuannya sih.

“Bukannya nggak ngerjain, Dok. Cuma belum dikerjain aja, nanti juga bakal saya kerjain kok,” Redita tersenyum, ia meremas ujung atasan scrubnya.

“Pengen makan apa?” tanya Adnan menganti topik pembicaraan, sangat membosankan sekali bukan jika sedang berada di luar rumah sakit seperti ini dan masih membahas perihal pekerjaan, presentasi kasus, dan lain-lain?

“Saya ngikut Dokter saja,” jawab Redita singkat.

“Yakin apa yang saya makan kamu pasti doyan?” Adnan tersenyum kecut, dasar wanita.

“Insyaallah yakin, Dokter.”

“Oke, saya mau makan nasi padang, kamu mau?” Adnan bergegas membelokkan mobilnya di salah satu resto nasi padang terkemuka itu.

“Boleh, Dok.” hanya itu yang keluar dari mulut mobilnya, membuat Adnan tidak banyak berkata-kata lagi.

Adnan tersenyum, ia bergegas mematikan mesin mobil dan melepas seat belt-nya. Ia tidak sadar bahwa senyum itu adalah senyum yang sejak tadi ditunggu-tunggu oleh gadis itu, senyum yang membuat sosok gadis muda itu menemukan sesuatu yang hilang dari dirinya, sesuatu yang sudah sangat lama sekali tidak ia rasakan dalam hidupnya.

***

“Lihat Dokter Adnan?” tanya Yudha ketika ia pergi ke poli bedah siang itu. Ada sesuatu yang hendak ia bicarakan dengan Adnan.

“Tadi sih keluar, mungkin sedang makan siang, Dok.” jawab salah seorang perawat yang stand by di nurse station poli bedah itu.

Makan siang? Yudha baru saja dari kantin dan tidak melihat sosok itu di sana, oleh karena itu ia berinisiatif mencari Adnan ke polinya. Dan sekarang ia tidak menemukan sosok itu di polinya! Lantas Adnan kemana? Makan siang dimana sosok itu? Biasanya Adnan tidak mau repot pergi jauh-jauh ketika istirahat makan siang bukan?

“Oke terima kasih, nanti kalau beliau sudah datang bilang kalau tadi saya kemari, ya!” Yudha tersenyum, lantas melangkah pergi dari nurse station.

Perawat itu mengangguk tanda mengerti, sementara Yudha bergegas pergi meninggalkan poli bedah untuk kembali ke polinya. Jangan-jangan Adnan sedang pergi bersama gadis itu? Namun bukankah Adnan sendiri yang memutuskan untuk mencoba membunuh semua perasaanya terhadap sosok Redita itu? Dia sendiri yang ingin pergi dan melupakan semua rasa cintanya pada mahasiswi koas-nya, bukan?

Namun Yudha mencoba positif thingking, sebenarnya tadi tujuannya datang kemari adalah untuk mengabarkan bahwa ia hendak membuat acara guna mempertemukan dan mendekatkan Adnan dengan Manda, residennya yang kemarin ia sodorkan untuk Adnan dekati itu, namun ia tidak menemukan sosok Adnan, jadilah ia terpaksa balik bukan?

“Semoga kamu belum terlalu bucin dan konsisten dengan ucapanmu, Nan!”

***

“Saya ucapkan banyak terima kasih, Dokter.” Redita tersenyum, suaranya begitu lirih.

Adnan mengangkat wajahnya, menatap Redita yang duduk di hadapannya itu. Gadis itu benar-benar mampu membuat darah Adnan berdesir dengan begitu luar biasa. Membuat semua gejolak dalam diri Adnan hidup seketika.

“Terima kasih untuk?” Adnan kembali fokus pada makannanya, sementara Redita sibuk menatap sosok itu yang tampak begitu mempesona di mata Redita.

“Beberapa hari ini selalu Dokter yang traktir saya makan siang,” Redita tersenyum, sedetik kemudian ia mula kembali fokus pada makanannya.

“Sudah lah, tidak perlu sungkan, lagipula saya senang kok akhirnya ada yang menemani saya makan,” Adnan meneguk es teh pesananya. Semoga teh dingin ini mampu meredam semua gejolak itu, ahh ... rasanya Adnan jadi sakit kepala.

“Memang selama ini selalu sendiri, Dok?” tanya Redita takut-takut.

“Enggak sih, selalu ada temannya, cuma semenjak orang yang saya cintai berkhianat, dan anak-anak saya sudah sibuk dengan masing-masing kegiatannya, tinggalah saya sendirian, Re,” tampak sosok itu tersenyum kecut, senyum getir yang mengambarkan sebuah kekecewaan dan kesedihan yang teramat sangat.

“Maaf, saya tidak bermaksud membuat Anda bersedih, Dok,” desis Redita lirih, ia rasa ia sudah salah bicara hingga paras sosok itu berubah sedu. Kisah dokter satu ini sama buruknya dengan Redita bukan? Mendadak ia teringat laki-laki berengsek itu, ahh ... sialan! Kenapa jadi kembali ingat sosok itu sih?

“Ah tidak, saya nggak apa-apa kok,” Adnan tersenyum, ia menghela nafas panjang, “Sudah move on kan? Untung kamu bubar sebelum kemudian melangkah ke jenjang yang lebih serius, lah saya? Bubar pas anak sudah dua mana sudah gede-gede lagi, sakitnya bukan main.”

Redita tersenyum kecut, setidaknya benar apa yang dokter itu katakan bukan? Lebih baik sakit di awal daripada sakit belakangan. Mana ada anak yang jadi korban lagi, tentu tidak mudah berada di posisi dokter bedah senior yang duduk di hadapannya ini. Mendadak ia merasa trenyuh dengan sosok itu, di saat dimana harusnya ia sudah santai menikmati masa senjanya bersama orang yang ia cintai. Namun apa mau dikata, nasib mengharuskan dia hanya seorang diri menikmati masa senja yang sudah di depan mata itu.

Redita menatap sosok Adnan Sanjaya di duduk di depannya, ia belum terlalu terlihat tua kok, malah masih begitu awet muda. Kulitnya bersih tanpa keriput, badannya masih tegap dengan perawakan ramah dan hangat. Hati Redita berdesir, jika diizinkan ia ingin menjadi sosok yang menemani hari tua dokter bedah di hadapannya itu, jika diizinkan!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
ilda hayati
ceritanya enak menarik tdk berbelit2..
goodnovel comment avatar
Poernama
suka sama ceritanya nggak hambar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status