Luka yang ditorehkan wanita yang begitu ia cintai dulu masih membekas hingga sekarang di hati dokter bedah senior setengah abad itu. Ia sudah melupakan semua tentang cinta, nikmatnya bercinta dan apapun itu yang berhubungan dengan cinta dan wanita, hingga kemudian kedatangan mahasiswa koas baru periode ini begitu memporak-porandakan Adnan dengan luar biasa. Gadis cantik dan manis itu terlampau jauh sebenarnya untuk dia jangkau, namun cinta membawanya datang sendiri pada Adnan. Kejadian malam itu membuktikan bahwa sebenarnya cinta itu masih ada, bahwa akhirnya ia kembali bisa jatuh cinta. Cover by @reistyaa
Lihat lebih banyak"Dokter, semua sudah siap!" lapor perawat OK itu ketika Adnan masuk ke dalam salah satu ruangan di OK itu.
"Baik," hanya itu yang Adnan ucapkan, ia segera masuk sambil memakai surgical mask-nya.
Adnan menatap obyek bedahnya hari ini, seorang gadis yang sudah terbaring di atas meja operasi. Beberapa petugas medis yang lain sudah bersiap untuk ikut turun bersamanya dalam operasi kali ini. Hari ini Adnan ada jadwal laparatomi, ia dan dia sudah berdiri di depan meja operasi. Ia menatap beberapa orang yang sudah siap dengan gown mereka masing-masing.
"Anestesi?"
"Clear!"
"Peralatan?"
"Clear!"
"Koas?"
"Clear!"
"Hari ini koas yang ikut siapa saja?" tanya Adnan sambil menatap beberapa orang yang ikut bersamanya.
"Redita Fernanda, Dok."
"Gilbert Situmorang, Dok."
Adnan hanya mengangguk pelan.
"Residen?"
"Toni Ardiyanto."
"Kendrick Bagaskara."
Adnan tidak berkata-kata lagi, ia hanya mengangguk pelan tanda paham siapa saja mahasiwa baik koas atau residen bedah yang bergabung dengannya hari ini.
"Scalpel, please!" guman Adnan tegas meminta senjatanya di siapkan.
Seorang perawat OK bergegas menyodorkan alat yang Adnan minta, ia bergegas memulai prosedur-prosedur pembedahan. Dengan lincah Adnan membuat sayatan di perut itu. Ia kemudian menatap gadis yang ada di hadapannya itu, salah seorang koas yang sedang menjalani stase bedah bersamanya.
"Pegang ini yang kuat, udah sarapan kan?" guman Adnan pada Redita sambil mempersilahkan gadis itu memegang langebeck yang sudah ia posisikan untuk menahan sayatan yang sudah ia buat itu.
Gadis itu mengangguk patuh. Dengan gugup ia mengikuti instruksi yang diberikan Adnan. Adnan bisa melihat dengan jelas tangan itu bergetar hebat, wajahnya pucat luar biasa dengan keringat dingin mengucur dari dahinya.
"Dek ... ditahan to! Kok kendor sih?" bentak Adnan ketika Redita tidak bisa menahan alat itu seperti apa yang ia instruksikan.
"Ba-baik, Dokter."
Adnan kembali serius dengan pekerjaannya. Namun ia masih belum puas dengan pekerjaan Redita, koas nya itu.
"Dek, kamu bisa nggak sih? Masa kayak gini aja nggak bisa? Gilbert gantiin Redita!" suara Adnan meninggi, ia menatap tajam ke arah gadis itu.
Gilbert menggantikan Redita yang tampak bergetar hebat itu. Adnan menatap sekilas Redita yang makin pucat itu, matanya memerah, membuat Adnan tertegun sejenak. Ada sebuah perasaan yang tiba-tiba menyeruak di relung hati Adnan yang paling dalam. Perasaan yang sudah sangat lama sekali tidak pernah muncul dalam diri Adnan. Kenapa ia menjadi iba pada sosok yang begitu pucat dan matanya memerah itu.
Adnan menghela nafas panjang, ia kemudian kembali fokus pada pekerjaannya, ia melupakan sejenak perasaan aneh yang tiba-tiba muncul itu. Ada apa dengan dirinya?
***
"Dek, lanjutkan! Jahit yang rapi," guman Adnan lalu melepas handscoon-nya dan melangkah keluar.
Ia melirik sekilas Redita yang menundukkan pandangannya itu. Namun Adnan terus melangkah meninggalkan para koas dan residennya melanjutkan pekerjaannya.
Ia bergegas melepas gown-nya dan mencuci bersih-bersih kedua tangannya. Pikirannya malah terpusat pada sosok Redita, koas periode ini yang menjalani stase bedah di bawah pengawasannya.
Kenapa ia jadi memikirkan gadis itu sih? Dia bahkan lebih muda dari anak sulungnya! Ada apa ini? Adnan bergegas menyambar snelinya dan melangkah keluar dari OK. Pikirannya melayang memikirkan sosok itu. Ada sebuah perasaan timbul dan menyeruak dalam hati Adnan, dia kenapa sih? Kenapa jadi seperti ini?
Adnan melangkah menuju ruangannya, hendak mengambil tas dan barang bawaannya. Ia masuk dan duduk di kursinya, memijit keningnya dengan gemas. Sejak awal memang ia sudah begitu terganggu dengan sosok Redita itu. Bukan karena anaknya menyebalkan atau banyak tingkah, melainkan karena hadirnya sosok itu membuat perasaan aneh yang sudah lama mati dalam diri Adnan kembali hidup.
Sebuah gairah yang sudah Adnan kesampingkan selama hampir lima tahun ini. Gairah yang sukses membuat Adnan selalu sakit kepala dan berakhir dengan ia menuntaskan semua gairha itu sendirian.
Dia tidak pernah lagi tertarik dengan siapapun sejak perceraiannya dengan sang mantan isteri. Rasa sakit yang mendalam itu benar-benar sudah membuat Adnan mati rasa, membuat ia trauma dengan wanita.
Namun Redita ... kenapa Adnan bisa langsung tertarik pada gadis belia dua puluh satu tahun itu? Ia harusnya tahu umur bukan? Dia mungkin seumuran dengan bapak gadis itu! Dan dia jatuh cinta pada gadis itu? Astaga, nyebut Nan ... nyebut!
Adnan bergegas bangkit dan melangkah keluar dari ruang prakteknya. Sudah jam pulang bukan? Dengan santai ia melangkah menuju parkiran. Ia melirik sekilas lift yang tampak dipenuhi beberapa orang di depannya itu, ahh ... mending lewat tangga saja, lebih sehat bukan?
Adnan membuka pintu tangga dan tersentak menemukan sosok itu tengah duduk di tangga sambil memeluk lututnya. Suara Isak terdengar oleh indera pendengaran Adnan. Dari snelli yang dipeluknya, Adnan tahu dia anak koas. Dan dari badge namanya ... astaga ini Redita? gadis yang sejak tadi menganggu pikirannya itu? Kenapa dia menangis?
Adnan menghela nafas panjang ia kemudian duduk tepat di samping gadis itu, gadis itu masih memeluk lututnya dan terisak.
"Baru satu stase aja udah nangis, bagaimana stase-stase selanjutnya?" guman Adnan lirih.
Sosok itu tersentak, ia mengangkat wajahnya dan buru-buru menyeka air matanya. Adnan dapat melihat dengan jelas air mata itu masih mengambang di pelupuk mata gadis itu.
"Do-dokter Adnan?" Redita tampak sangat terkejut, ia langsung terlihat salah tingkah.
"Iya, kenapa? Kamu nangisnya nggak gara-gara saya tadi kan?" tanya Adnan to the point.
"E-enggak kok, Dok."
"Yakin? Lha trus kenapa nangis di sini?" Adnan tersenyum kecut, ia percaya bahwa ada sesuatu yang terjadi pada sosok itu.
"Sa-saya ... sa-saya ...,"
"Daripada nangis di sini, mending ikut saya!" titah Adnan lalu bergegas bangkit.
"Gi-gimana, Dok?" untuk sekali lagi Redita tampak sangat terkejut.
"Ikut saya, kamu nggak budek kan? Atau perlu saya bawa ke poli THT?" tanya Adnan sambil tersenyum kecut.
"Ng-nggak perlu, Dok. Memangnya mau kemana?" Redita menatap Adnan takut-takut.
"Sudah ikut saja!" Adnan meraih tangan Redita, membawanya menuruni tangga darurat itu.
Redita tersentak luar biasa ketika tangan itu menyentuh dan menggenggam erat tangannya. Membawanya menuruni anak tangga dengan begitu lembut.
Jantungnya berdegup kencang, kenapa tiba-tiba konsulennya itu seperti ini? Dokter Adnan bukan tipe orang kurang ajar dan sok dekat dengan mahasiswanya. Terlebih pada mahasiswi, ia seperti jaga jarak dan menciptakan sekat diantara mereka. Lantas kenapa hari ini sosok dokter bedah senior itu begitu berbeda?
Redita hanya membisu, Dokter Adnan terus membawanya menuruni anak tangga, hingga kemudian dengan perlahan ia melepaskan genggamannya.
"Ikut saya, tengang saya tidak ada niat jahat, percayalah."
Redita menatap mata itu, mata itu begitu tajam namun begitu lembut dan hangat di mata Redita. Sorotnya seolah memberi rasa nyaman di hati Redita, ada apa dengan dirinya? Nggak mungkin kan dia jatuh cinta pada sosok konsulennya itu?
Redita mengikuti langkah konsulennya itu, ia tidak berkata-kata apapun. Diam membisu melangkah di belakang sosok Adnan Sanjaya itu. Kemana laki-laki itu hendak membawanya pergi?
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen