Adnan menatap sosok itu dari jauh, kenapa rasanya ia ingin terus berada di sisinya? Adnan menghela nafas panjang, kenapa begitu rumit sih? Kenapa ia malah tertarik dan jatuh hati dengan sosok itu? Kenapa bukan pada Manda yang kemarin Yudha sodorkan pada dirinya itu? Atau pada rekan sejawat yang lain? Wanita lain yang usianya tidak terlalu jauh terpaut dengan dirinya? Yang bisa diterima akal sehat mengenai perbedaan usia mereka?
“Re ... kamu hampir membuaku gila!” desis Adnan gemas lalu dengan gusar melangkah masuk ke ruangannya.
Adnan duduk di kursinya, memijit keningnya dengan gemas, ia masih terbayang-bayang obrolannya dengan Yudha kemarin. Cintanya tentu tidak salah, hanya saja waktu yang salah memisahkan jarak usia mereka begitu jauh. Usia yang terpaut sangat jauh sekali. Redita pantasnya menjadi anak Adnan, bukan menjadi isterinya!
Ahh ... Adnan harus menang melawan semua perasaannya itu. Toh belum tentu juga kan gadis itu juga punya rasa yang sama dengan apa yang ia miliki kepadanya? Masa iya dia mau sama Adnan yang bahkan lebih tua dari bapaknya ini? Pasti dia lebih memilih mencari laki-laki lain yang sedikit lebih pantas untuk bersanding dengan dia bukan? Yang masih muda, masih gagah, bukan laki-laki di ujung senja macam dia ini. Sangat tidak mungkin terjadi bukan? Impossible!
***
“Eh yang pegang pasien Trisia kemarin siapa sih?” tanya Gilbert ketika mereka tengah sibuk mempersiapkan presentasi kasus untuk tugas akhir di stase bedah ini.
“Aku nih, kenapa?” Claudia membuka mulut, ia menatap Gilbert dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Pinjem data pasien lu dong, kasus kita sama nih,” Gilbert menggeser duduknya sedikit lebih dekat dengan Claudia.
Sementara dua temannya sibuk berdiskusi, Redita hanya diam sambil menopang dagunya. Seharian ini ia belum melihat sosok itu, kenapa rasanya jadi rindu? Kenapa rasanya ada yang kurang ketika ia tidak melihat dan mendengar suara dari dokter bedah senior itu?
“Heh, kita pusing diskusi buat presentasi kasus, dan elu Cuma bengong macam sapi ompong gitu?” Gilbert melempar pulpen ke arah Redita yang tengah melamun di kursinya itu. Membuat Redita hampir melonjak kaget saking terkejutnya.
“Apaan sih, kalau mau diskusi ya diskusi aja lah, ngapain sih pakai gangguin gue yang ngelamun?” gerutu Redita sambil melempar balik pulpen milik Gilbert itu.
“Mikir apaan sih? Emang presntasi kasus elu udah kelar? Pengen cepet lulus dari stase ini kan?” Gilbert masih begitu penasaran, membuat Redita mendengus kesal. Kepo amat sih jadi orang?
“Iya nih, katanya takut liat scalpel, mual liat genangan darah, males masuk OK, tapi kenapa disaat yang lain sibuk bikin presentasi kasus kamu malah Cuma bengong macam kudanil kesambet gitu sih?” Claudia sibuk menatap layar laptopnya, ia tengah membuat file power point untuk presentasi kasus besok.
“Sejak kapan kudanil kesambet jadi anteng?” Redita melepar id card miliknya hingga mengenai kepala Claudia, rese amat sih teman-temannya hari ini? Suka amat menganggu urusan Redita?
Mendadak Redita tertegun, kenapa kemudian ia jadi kangen masuk ke OK? Kangen dengar suara Dokter Adnan dengan penuh wibawa memimpin jalannya operasi, rindu menyeka keringat dan peluh yang membasahi wajah dokter itu. Kenapa dia jadi seperti ini sih? Apa yang terjadi padanya?
Ya ... walaupun kadang jika suasana hati dokter itu tidak sedang bagus ia sering kena damprat, namun jujur ia rindu semua moment itu. Apakah benar ia sudah jatuh cinta dengan laki-laki setengah abad lebih itu? Laki-laki yang bahkan lebih tua dari bapaknya sendiri? Cinta itu memang gila dan buta.
“Nah Clo ... dia malah senyam-senyum, Clo!” guman Gilbert ketika menyadari Redita tengah tersenyum sendiri di tempatnya duduk.
“Re ... kamu baik-baik aja kan? Masih kepikiran Rico? Ikhlaskan, Re!” Claudia sontak bangkit dan berdiri di belakang Redita, dielusnya dengan lembut pundak Redita.
“Apaan sih? Orang kayak Rico diingat-ingat buat apa?” Redita menepis tangan Claudia, ia sontak bangkit dan melangkah ke luar ruang koas.
Claudia dan Gilbert menatap kepergian Redita dengan penuh tanda tanya, mereka berpandangan sesaat kemudian kompak angkat bahu dan kembali fokus pada pekerjaan mereka, pokoknya mereka harus segera lulus dari stase ini! Harus! Sebodoh amat dengan Redita yang nampak sangat aneh hari ini, toh yang penting mereka sudah menegur bukan?
Redita melangkah menyusuri lorong rumah sakit hingga kemudian di depan pintu poli interna ia berpapasan dengan sosok itu. Hatinya yang tadi gersang sekarang mendadak seperti di siram air sejuk dari pegunungan.
“Selamat siang, Dok,” sapa Redita sopan sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.
“Siang, yang lain kemana?”
“Ada di ruang koas, Dokter. Perlu saya pang-”
“Sudah makan?” Dokter Adnan memotong kalimat Redita, membuat ia tertegun dan menatap sosok itu tidak percaya.
Mata mereka saling beradu sesaat, tanpa suara hingga kemudian Redita tersadar dan bergegas menjawab pertanyaan yang diberikan konsulennya itu.
“Ini saya baru mau ke kantin, Dokter.”
“Temani saya makan di luar, mau?”
Redita kembali tertegun, matanya masih menatap lekat-lekat sosok itu. Sorot matanya menyiratkan bahwa ia tidak ingin dibantah, bahwa apa yang dia katakan barusan harus Redita turuti. Redita tersenyum, ia menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Ikut saya,” guman Dokter Adnan sontak melangkah menuju parkiran.
Redita hanya menghela nafas panjang, ia melangkah mengikuti langkah dokter bedah itu. Jujur hatinya gembira, bukankah tadi ia merindukan sosok itu? Dan sekarang sosok itu ada dihadapannya bukan? Redita menatap siluet tubuh itu dari belakang, ia tidak bisa membayangkan bagaimana tampannya pesona dokter itu ketika muda dulu. Setua ini saja dokter satu itu masih begitu mempesona.
Mendadak ia teringat akan mantan isteri dokter itu, laki-laki sebaik ini, sekeren ini ia tinggalkan begitu saja? Nggak salah? Apa yang kemudian membuat wanita itu meninggalkan sosok sebaik ini? Laki-laki ini kurang apa? Atau jangan-jangan dokter satu ini punya penyimpangan sek*ual? Masokis gitu atau bagaimana? Tapi dia baru menduda lima tahun ini bukan? Harus nya kalau memang itu alasannya mereka cerai sudah sejak dulu dong? Lantas karena apa? Redita malah jadi sibuk menerka-nerka apa yang menjadi penyebab retaknya rumah tangga konsulennya itu.
Sementara itu Adnan sedang berperang dengan dirinya sendiri, kenapa ia tidak bisa jauh dari sosok itu? Kenapa Adnan selalu mencari alasan untuk selalu bersamanya? Padahal Adnan kemarin sudah bertekad untuk pergi dari sisi gadis ini bukan? Sudah bertekad untuk membiarkan Redita mendapatkan sosok laki-laki yang pantas dan lebih baik dari dirinya? Kenapa sekarang ia menginkari tekadnya sendiri? Kenapa ia jadi begitu plin-plan? Kemana tekadnya semalam? Kemana? Selemah inikah dia berhadapan dengan gadis belia yang ada di dekatnya itu?
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak