"Dasar anak kecil gak tau diri! Bisa-bisanya nyakitin ibu kaya begini. Kamu sebenarnya disekolahin gak sih? Ngomong sama orang tua gue elo, memangnya kamu anak siapa?" Aku mengabaikan panggilan dari Jo dan segera membantu ibu yang jatuh ke lantai.
Aku tidak mengerti bagaimana caranya menyikapi gadis seperti Rania. Kurasa aku sudah cukup sabar menghadapinya selama ini. Namun, aku benar-benar lelah harus berada dalam kondisi seperti ini.
Bukan hanya pada Rania, aku pun bingung dengan ibu yang selalu saja menuruti setiap ucapan gadis itu. Seandainya aku tahu penyebab gadis itu sering melunjak, ingin rasanya aku membantu untuk menyadarkan bahwa kelakuannya pada ibu selama ini salah.
Teringat sebuah pesan ketika aku masih berada di asrama, ustazah mengatakan jika anak terlalu sering dituruti nantinya setelah mereka besar akan semena-mena.
Apabila mereka mendidik dengan cara yang benar, maka anak tersebut tidak akan berkelakuan tidak baik. Akan tetapi, di saat seorang anak semasa kecilnya terlalu sering dimanja dan segala kemauannya terpenuhi, maka besar kemungkinan sifat aslinya akan keluar ketila keiinginannya tidak dapat tercukupi.
"Ayo, Bu. Bangun!" titahku.
"Terima kasih, Nak," balas ibu mengucapkan kalimat itu untukku.
"Bagus banget, ya. Orang lugu kek lo ini udah berani ngelawan, hah? Lo mau pipi lo gue robek sampe urat-urat lo itu keluar? Mau?" Rania tiba-tiba bangkit dan mendekatiku sambil menatap kedua bola mata ini yang semakin memanas.
Kurasakan tangan ibu berada di atas pundakku, aku tahu dia tidak ingin aku melawan Rania. Akan tetapi, kalau sampai kami berdua bergeming ketika gadis itu melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Rania malah semakin merajalela.
"Kenapa? Kamu boleh merobek wajahku semaumu, Rania! Kamu boleh lukai aku sekarang juga, tapi satu hal yang harus kamu ketahui. Sampai mati pun, aku gak akan pernah rela kamu sakiti dia, Ibu. Surga kita yang tanpanya kita tidak akan mungkin menjadi seperti ini, paham!" jawabku setengah memberanikan diri.
Sayangnya, pada kenyataannya tubuhku ini gemetar. Seluruh badan terasa seperti terbakar. Ibaratnya saat sebuah tumpukan kayu disiram bensin, api tersebut makin membesar. Beginilah, yang dirasakan olehku.
Rania terdiam ketika aku mulai memberanikan diri melawannya, kemudian dia pergi sambil menyenggol pundakku keras. Aku hanya dapat menerka-nerka, apa yang sedang dia lakukan di dapur. Masalahnya, suasana di rumah menjadi sedikit ramai karena bunyi-bunyian yang dilakukan oleh Rania.
Ibu memelukku, lalu aku pamit untuk kembali ke kamar belakang.
"Nak, tunggu dulu!" Ibu
Langkahku terhenti, aku membalikkan badan menatap ibu lagi.
"Ada apa, Bu?"
"Kata Rania tadi, kakak kamu besok mau ke sini sama anaknya. Siap-siap, ya besok bangun pagi buat camilan buat nyambut dia," jelas ibu.
Mataku terbelalak mendengar kalimat panjang ibu, dari semua yang pernah diucapkan, baru kali ini perasaanku sedikit tidak enak. Apalagi setelah mengetahui kalau 'kakak' akan pulang.
Kutarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan. Aku mengangguk tanpa memberikan satu jawaban untuknya.
***
"Ya Allah, mudahkanlah segala urusanku hari ini, esok dan selanjutnya. Aamin," lirihku.
Sebelum azan subuh berkumandang, aku membuka mata menatap langit-lagit kamar. Kuambil ponsel untuk melihat pukul berapa dan kurasakan suasananya hening, tidak ada bunyi atau orang berkeliaran di sekitar rumah.
Di tempatku, ketika akan memasuki waktu subuh atau magrib, orang-orang sibuk menyiapkan diri menuju masjid. Beberapa di antara mereka sering sekali mengetuk pintu rumah, mengajak ibu ke masjid dan aku mengetahuinya. Jadi, tidak heran rasanya bila ada yang terasa berbeda.
"Haum, ternyata masih jam dua. Kupikiri dah subuh, ya udah deh bangun lah abis itu salat terus nulis. Semoga pagi ini, ide ngalir kek sungai. Bismillah," gumamku seorang diri sambil mengangkat kedua tangan, kemudian mengusapkan ke wajah.
Usai salat tahajud dan membanca ayat suci al-quran. Aku berniat membangunkan ibu, karena biasanya jam-jam segini ibu sudah bangun. Namun, mengapa sampai pukul tiga lebih pun ibu tak kunjung membuka matanya? Apa yang terjadi sama beliau, ya?
Sekali lagi rencanaku menulis pagi ini telah gagal, tetapi aku mencoba tetap tenang dan santai.
Aku membangunkan ibu, lalu bersiap-siap membersihkan rumah sebersih mungkin. Mulai dari menanak nasi, menghangatkan air, cuci piring dan melap lantai hingga menyapu halaman dari belakang sampai depan.
Bersyukur kurang dari sejam pekerjaanku selesai, tinggal menunggu azan berkumandang.
Saat hendak memakai mukena, tiba-tiba kurasakan bau darah tercium. Cepat-cepat melepaskan mukena kembali, kemudian mengambil cermin kecil yang sering kugunakan setiap hari. Aku terkejut, mataku mulai terasa memanas melihat luka dipipiku berdarah. Setetes atau dua tetes tidak masalah, masih kuterima. Tetapi, darahnya kali ini merembes ditambah nanah.
"Aduh, mana kena mukena lagi. Gimana, ya? Mau ke toilet ada ibu. Kalau sampai dia tau bisa-bisa cemas lagi. Ah, ya Tuhan bantu hambamu ini," gumamku.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling sambil berpikir mencari cara agar darah disertai nanah ini bisa tertahan. Dari sudut mata terlihat ada satu pakaian yang sudah lama tidak dipakai, lekas kuambil, kemudian diam-diam merobeknya dan menempelkan ke pipi.
Ya ampun, aku bener-bener gak kuat sama bau amisnya.
Waktu berputar begitu cepat hingga tidak terasa sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, sinar mentari memancarkan cahayanya. Angin sepoi-sepoi berembus pelan membuat bulu kudukku merinding, lantaran udaranya lumayan dingin.
"Viani! Rania!" teriak Ibu.
Aku yang sedang mengetik melanjutkan kembali ceritaku yang sempat terhenti, mendemgar teriakan ibu langsung bangkit dan menemuinya.
"Ada apa, Bu? Kenapa teriak-teriak? Via lagi nul—"
"Woy! Bisa gak sih, suaranya pelan dikit? Ini gue lagi tidur loh, kesel dah hari libur begini masih aja ganggu." Rania datang dari kamarnya sambil menguap, lalu memotong kalimatku memaki-makinya.
"Maaf, Ran," balas ibu setengah merunduk.
"Ciah, maaf mulu kerjaannya. Sekarang maaf, semenit kemudian ngulang lagi."
"Heh! Lama-lama kamu aku pukul juga, Rania. Masih kecil ngomong kasar, gak pantes," ucapku menengahi.
"Halah, sok-soakan mau pukul. Dasar cacat!" hinanya.
"Udah, ya semuanya. Via, Ran. Kakakmu sudah datang, kita liat ke sana yuk dan bantuin mereka!" seru Ibu.
Aku mendelik ke arah Rania, kemudian dia membalasnya dengan mengacungkan senjatanya.
Aku mengikuti ibu dari belakang menuju ke tempat parkiran di dekat rumah tetangga, di situ terlihat sebuah mobil travel terparkir. Diana, suaminya beserta kedua anak dan saudaranya turun dari mobil tersebut. Aku melihat salah satu dari saudara mereka mengeluarkan begitu banyak barang, mulai dari makanan ringan sampai pakaian mereka.
What? Itu mau nginep seminggu atau pindah rumah? Huh, rumah sekecil ini harus nampung barang sebanyak itu, mau ditaruh di mana, ya Allah. Kedatangan Diana akan membawa masalah baru buatku dan ibu kek nya, pikirku.
"Via harus kuat, pasti!" ucapku pelan.
"Ibu! Viani!" panggil Diana dari kejauhan sambil melambaikan tangannya, menggendong anak yang kecil.
Aku menoleh ke arah ibu.
"Apa?" tanyaku tanpa sedikitpun tersenyum.
"Bawain nih anakku! Ini barang sama koper semuanya, ya!" tuturnya memerintah bak Nyonya Besar.
Orang kaya aja gak sebegininya, lah dia?
"Ibu gak usah bawa barang sebanyak itu, Bu! Apalagi sambil gendong anak, bisa-bisa pinggang Ibu keram lagi. Biar Via aja," jawabku melarang ibu melakukan semua itu.
"Dasar Cacat!" Lagi-lagi Diana melontarkan kata tersebut.
"Tapi, kamu enggak apa-apa, kan? Kalau gak bisa, biar Ibu aja, Sayang."
Aku melarangnya.
Diana meninggalkanku, melangkah menuju ke arah Rania yang tengah berdiri di ujung jalan. Wanita yang sifatnya sebelas dua belas dengan Rania itu, terlihat tersenyum memandang kepada adiknya. Diana memeluk Rania, lalu menciumnya.
Kapan, ya aku bisa diperlakukan begitu? Pengen deh, bisikku.
Setelah semuanya telah tiada dan telah hilang dari pandanganku. Kini hanya tinggal aku di sana bersama anak Diana yang paling kecil, juga setumpuk barang bawaan kakakku ini. Aku kebingungan, bagaimana caranya untuk membawa barang tanpa melepaskan keponakanku?
"Hah," gumamku pelan.
Ketika seseorang memegang pundakku, sontak aku menjatuhkan kardus yang sempat kuangkat.
"Astagfirullah, A. Aa ngagetin Via aja," ucapku sambil mengusap dadaku.
"Via, wajah kamu kenapa? Ya Allah, itu pasti sakit, ya?" tanyanya setengah akan meraba pipiku, tetapi cepat-cepat langkahku mundur.
"Iya. Sakit, tapi gak apa-apa kok, A," kilahku.
"Enggak, Via! Kamu jangan bohong! Aa tau kamu teh pasti sakit, kan? Ayo, kita ke dokter periksa sekarang juga! Biarin itu barang-barangnya di sana aja, gak akan ada yang ambil kok. Ayo!" ajaknya.
Dia memaksaku meninggalkan tempat itu, tetapi aku bingung jika nanti Diana menanyakan dari mana dan mengapa aku lama mengangkat semua barang-barang bawaannya?
Aku harus bilang apa sama dia?
Sebenarnya di sisi lain aku menginginkan supaya lukaku dapat terobati, namun di sisi lain melihat kondisi keuangan yang pas-pasan hanya cukup membeli lauk pauk sehari-hari. Itulah yang membuatku bimbang.
"A, Via gak mau! Via gak apa-apa kok, kalau luka Via gak diobati! Intinya Via gak ingin kalau sampe mereka ta …."
"Udah ngomelnya, Via? Dengar! Aa gak bakal ngapa-ngapain kamu, Aa cuma mau bawa kamu ke dokter. Kalau gak percaya ayo kita ajak Teh Kinan juga!" katanya, mencoba membuyarkan keyakinanku.
Ya Allah, apa aku nurut aja, ya? Tapi, gimana kalau Diana atau Rania tau?
Karena terlalu banyak memikirkan bagaimana dan seperti apa, Kakak iparku ini menarik lenganku dan membawanya ke dekat rumah Teh Kinan.
"Eh-eh! A, apa-apaan sih? Kenapa Aa pegang tangan Via atuh, bukan muhrim tau!" teriakku menjerit histeris.
Tak ada jawaban, pria tinggi bertubuh kecil ini mengabaikan jeritanku.
"Argh, A! Apaan sih, cukup, ya! Aku gak mau dibawa ke dokter, lagian ngapain pake pegang-pegang tangan orang sih?"
"Sekali lagi Aa gak ada maksud apa-apa, Via. Aa kepengen bawa dan obatin luka kamu, Aa tau ini gara-gara ulah Rania, kan? Rania sama Diana sama aja. Kemaren aja ana--"
"Ikut Aa sekarang! Aa akan ceritakan apa yang terjadi sama Aulia saat kemaren di rumah! Oh iya, jangan khawatir, Aa ajak Teh Kinan juga tuh!" Dia menunjuk ke arah di mana seorang wanita yang berusia di atas iparku ini, tetangga yang kemarin malam datang ke rumahku.Aku dan Teh Kinan memang cukup lumayan dekat, karena kedua orang tuanya merupakan anak dari nenekku. Namun, kedekatanku dengannya berakhir ketika suatu hari curhatanku padanya dibongkar di depan orang banyak, sekitar tiga bulan lalu. Sejujurnya, bukan dia yang mengatakan kisah hidupku selama ini, melainkan teman dekat alias pembantunya.Setelah kejadian itu, aku sedikit menjaga jarak kepadanya. Saat malam kemarin dia memintaku bercerita, aku tidak melakukannya. Lantaran khawatir, suatu hari nanti ucapanku akan tersebar dari satu mulut ke mulut lain.
Adakalanya kita merasakan lelah, capek dengan semua yang terjadi hari ini. Terbersit dalam pikiranku untuk mengambil jalan tengah sebagai satu-satunya cara agar aku tak lagi mengalami hal buruk ini.Kepalaku rasanya sakit harus menerima kepahitan ini. Menjadi satu-satunya anak yang dibilang waras membuatku banyak menanggung derita.Aku dan iparku pulang ke rumah dengan harapan keadaan akan semakin membaik dan mereka dapat mengerti akan kondisiku. Begitu pun dengan ibu yang notabenenya beliau cukup banyak tahu perihal keadaanku di rumah. Tentu, aku mengharap ibu akan membelaku sama seperti aku membelanya ketika Rania hampir menancapkan pisau di wajahnya sehinga wajahku yang terkena goresan benda tajam itu.Sakit rasanya hati ini mengetahui ibu justru ikut-ik
"Aulia!" teriak kami secara bersamaan."Dasar anak pembawa sial!" hina Diana kepadaku.Bersyukur karena Tuhan telah mengabulkan doa-doaku dan menyelamatkanku dari kobaran api yang begitu besar ini. Namun, takdir berkata lain. Memang aku selamat, tetapi sayangnya Aulia—putri bungsu Diana dan Marcel jatuh ke dalam api yang menyala-nyala.Aku merasa menyesal karena telah membiarkan gadis mungil itu membantuku. Aku menjerit histeris melihat Aulia jatuh tepat di depan mataku, tak dapat melakukan apa-apa terhadap gadis malang itu. Akan tetapi, beberapa saat kemudian aku berinisiatif untuk menarik lengan Aulia dari dalam sana.Ya Allah, kumohon padamkanlah api ini! Aku percaya atas kekuasa
Liburan akhir tahun yang seharusnya dirasakan dan dinikmati oleh Aulia—keponakanku ini, berakhir dengan sebuah kematian tragis. Malang nian nasib gadis kecil itu. Seumur hidupnya, yang kutahu dari iparku, Aulia tak pernah mendapatkan kebahagiaan sedikitpun. Siksa dan air matalah yang dia terima.Karena kesalahanku yang menuruti Marcel untuk pergi ke dokter, kondisi rumah menjadi tidak stabil. Orang-orang selalu menganggap jika rumah adalah tempat paling nyaman, setelah kembali dari tempat pengasingan. Akan tetapi, bagiku saat ini dan seterusnya, tempat ini telah berubah menjadi tempat pertumpahan darah.Terbukti sekarang ini, iparku mengejar-ngejar istrinya dan pria itu hrndak membacoknya. Yah, seperti yang telah dijelaskan oleh kedua orang tuanya beberapa tahun lalu. Sebelum Marcel melamar Diana. Sempat kuden
"Tunggu!"Sekali lagi suara itu terdengar olehku dan bahkan oleh semua orang, berharap si pemilik suara itu bisa membuktikan kalau aku tidak bersalah. Aku sama sekali tak menyentuh Rania sedikit pun, apalagi menyakitinya pun tak pernah terbesit dalam benakku.Selama ini, Rania dan Diana lah yang selalu menyakiti perasaanku dan juga ibu. Kami berdua tak pernah membalas perbuatannya, kami juga selalu diam. Lalu, bagaimana mungkin sekarang ini polisi menuduhku seperti itu?Fitnah yang diutarakan kepadaku, sungguh lebih menyakitkan dibanding dengan mendapatkan tusukan benda tajam oleh Rania untukku. Mungkin benar apa yang orang katakan, di mana luka di hati sulit disembuhkan dan tidak ada penawarnya kecuali ketika kita mendapatkan satu goresan kecil. 
Setelah memastikan semua warga dan beberapa polisi itu pergi dan tak lagi terlihat dari pandanganku. Kuputuskan untuk mengajak Jo masuk rumah, meninggalkan Rania dan ibu yang masih di luar. Sedangkan, keluarga besan ibu sudah menghilang entah ke mana.Aku mempersilakan Jo duduk terlebih dahulu, karena aku ingin membersihkan badanku yang mulai lengket ini. Sungguh, seharian aku tidak minum atau makan rasanya tubuhku terasa lemas. Cacing-cacing di perut sudah berdemo sejak pagi, tapi ku lupakan hal itu.Huft, karena Rania semuanya jadi kacau. Huh, tapi untung Jo datang tepat waktu. Kalau enggak, bisa-bisa aku mendekam di penjara karena ulahnya. Sampai kapan, Tuhan! Sampai kapan derita ini akan berakhir, kumohon kepada-Mu. Bukakanlah pintu hati ibu dan juga Rania, bisikku penuh
Anu itu-anu itu apaan sih, Mang? Jangan buat Via cemas deh!" Tanpa sadar aku telah meninggikan suaraku di depannnya, seharusnya meski dalam kondisi se-panik apa pun tetap tidak boleh bersikap seperti itu.Ah, dasar Via!"Sayang, sabar napa. Biarin Mamang kamu ini bilang dulu, baru setelah itu kamu ngomong. Kalau begini caranya, gimana dia jawab pertanyaan kamu.""Iya maaf, Yang. Aku salah," ucapku mengusap kepalaku sendiri.Diriku harus menelang dalam-dalam pil pahit, lantaran harapanku menikamti malam indah ini harus sirna seiring dengan kedatangan Mang Badrun. Kepalaku rasanya tak mampu berpikir lagi untuk menghadapi kelakuan adikku—Rania. Baru saja masalah dengan kepolisian berakhir, Diana
"Ibu!" teriakku yang langsung menghambur mendekati Ibu.Perasaanku hancur melihat Mama Aa tergeletak tak sadarkan diri di depan pintu kamar Ibu. Di sisi lain aku masih bersyukur pada Tuhan yang telah menyelamatkan Ibu dari Rania, namun di sisi lain lambat laun aku semakin geram dengan tingkah anak bandel itu. Mau bagaimana lagi, hampir setiap hari gadis itu melakukan hal di luar nalar.Saat ini korbannya adalah orang tua Marcel. Bagaimana jika dia tahu Ibunya terkena tusukan benda tajam? Dia mungkin tidak akan mengampuninya. Istrinya sendiri dikejar sampai sekarang belum tahu di mana keberadaannya. Apalagi nanti Rania?Tidak! Sekarang aku tidak boleh lemah, mau dengan cara apapun aku harus menyadarkan gadis itu. Aku tidak peduli walau nyawa sebagai taruhann