Home / Romansa / Dia Ibumu Bukan Pembantumu / Part 07. Kapan Kamu Berubah, Ran?

Share

Part 07. Kapan Kamu Berubah, Ran?

Author: Feay Hullah
last update Last Updated: 2021-10-09 12:20:22

"Assalamualaikum, Bu Citra! Assalamualaikum!" 

Terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar, membuat ucapanku kepotong. Aku, ibu dan Rania berpura-pura bersikap biasa demi menghindari hal yang tidak diinginkan. Sebelum aku membuka pintu, Rania memberikan peringatan untukku supaya ketika nanti ada yang bertanya mengenai luka di pipiku diri ini tak menceritakan kejadian sebenarnya. 

Terpaksa malam ini aku lagi-lagi berbohong dan menuruti semua kemauannya. Setelah aku mengiyakan semua ucapannya, bergegas pergi menuju ke dekat pintu dan membukanya. 

Perasaanku memang tidak salah lagi, si pemilik suara tadi tak lain adalah Teh Kinan. Tetangga dekat kami, tetapi rumahnya pinggir jalan. Teh Kinan dan keluarga merupakan bos sayuran. Bisa dibilang orang kaya di kampung kami ini. 

"Teh Kinan, ada apa? Ada yang bisa Via bantu?" tanyaku gugup. 

Dia mendekatiku, perlahan tangan kanannya mulai meraba pipiku yang sama sekali tidak tertutup oleh perban atau plester sedikit pun. Ah, bodohnya diriku ini sampai-sampai keluar pun lupa tidak memakai penutup wajah. 

Bagaimana jadinya bila kedatangannya ke rumah hanya untuk menanyakan luka di wajahku ini? 

Bisa-bisa Rania semakin menjadi. 

"Milen, kamu teh itu luka kenapa? Apa yang terjadi sama kamu, sampai-sampai semua orang di kampung ini sibuk membicarakan kamu, Mil. Tentang luka ini," tuturnya menjelaskan. 

Kepalaku tiba-tiba memanas, debar-debar di dada semakin tidak dapat dikondisikan. Heran rasanya, hanya karena mereka penasaran dengan hal kecil begini, satu kampung menjadi tahu. Aku meneguk salivaku sendiri, mencari kekuatan atas kalimat pertanyaan yang terucap oleh bibir Teh Kinan. 

Aku merunduk, menunggu ibu yang entah ke mana saat itu mendadak hilang di telan malam. Biarlah dia sibuk dengan segala kekhawatirannya dan menanyaiku. Aku tidak akan menjawabnya sebelum ibu datang. 

Baik ibu dan Rania keduanya sama-sama mendadak hilang. Hanya ada aku dan Teh Kinan berdua di ruang tengah. Suasana seketika hening, semilir angin masuk melewati liang-liang lantai rumahku. Maklum rumahku panggung, tak seperti milik orang lain. 

Teh Kinan terus menanyaiku, meminta penjelasan mengapa hanya dengan luka seperti ini satu kampung menjadi tahu? Ingin aku menjawab semua pertanyaannya dan menutup mulutnya dengan jawabanku ini. Namun, apalah daya. Diriku tak sanggup jika suatu saat nanti harus berhadapan lagi dengan Rania. 

"Teh, Via enggak apa-apa kok. Ini luka ringan aja, sebelumnya mohon maaf Teh. Kalau Via belum mandi dan masih banyak cucian piring di dapur, apa bisa besok Teteh ke sini lagi?" 

Andai kata ada kompetisi berbohong se-Indonesia, mungkin aku sudah menjadi juaranya. Akan tetapi, itu rasanya tidak memungkinkan. Aku tahu, berbohong adalah dosa. Namun, bagaimana lagi? Aku tidak sanggup jika nantinya semua ini terbongkar dan seluruh kampung tahu, Rania tidak akan memaafkanku. 

Hampir setengah jam lebih, Teh Kinan masih tetap di rumah. Aku menunggu kapan dia pergi, karena rasanya tidak enak bila harus mengusirnya. 

Bagaimana ini? Sampai kapan dia akan tetap di sini? Sedangkan, aku belum mandi, salat magrib apalagi cuci piring. Ah, ini gara-gara Rania, gerutuku. 

"Teh, maaf, ya. Via mau mandi dulu belum salat isya, nanti lagi bisa?" 

"Baiklah, Milen. Teteh pergi dulu atuh, tapi ingat kalau ada apa-apa bilang ke Teteh, ya. Teteh janji gak akan bilang ke siapa-siapa," tuturnya. 

Aku mengangguk tidak memberikan jawaban apa-apa. 

***

Seusai mandi dan membersihkan semuanya, tiba saatnya aku melaksanakan salat magrib berjamaah bersama ibu. Aku berencana untuk melanjutkan aktivitas  sebagai penulis, berbulan-bulan diriku belum dapat lagi menulis. Sungguh, terasa ada yang kosong. 

Aku dan ibu melaksanakan salat magrib di kamar belakang, di mana tempatku untuk tertidur. Meski tempatnya cukup sempit lantaran di kamar ini ada lemari panjang, perlu kalian ketahui hampir semalam telingaku harus mendengar suara-suara tikus menjerit di balik lemari itu. Namun, apa daya. Diri ini enggan untuk menukar kamar dengan ibu. 

"Bu, kenapa hanya gara-gara luka ini. Tetangga pada ngomongin luka Via, gimana? Malah kata Teh Kinan tadi semakin meluas. Mereka tahu kalau aku begini," ucapku mengadu pada ibu. 

"Sebaiknya kita salat dulu, ya. Sebelum nanti akhir, kita berdoa sama Allah SWT semoga adikmu membuka mata hatinya. Hm," balas ibu menenangkanku dengan mengusap puncak kepalaku. 

Aku mengangguk. Ibu mulai mengangkat kedua tangannya mulai salat yang hampir habis waktunya gara-gara terlalu lama berbincang bersama Teh Kinan tidak jelas. 

"Bu! Ibu sini!" teriak Rania dari kamar depan. 

Setiap kali mendengar teriakannya, jujur degup jantungku bergetar tidak karuan. Kurasakan keringat dingin mulai memanas, berusaha tetap tenang tetapi rasanya terlalu sulit untukku bisa baik-baik saja. 

Baru saja satu rakaat, aku mendengar ibu menjerit dan Rania memakinya, menyuruh ibu untuk menanak nasi. Aku meyakini itu. Tidak ada orang lain di rumah ini selain dia, aku dan ibu.  

Gegas menyelesaikan salat, kemudian melihat ibu yang sudah tidak ada lagi di dekatku. 

Ke mana ibu? Ke mana Rania membawa ibu? 

Kulepaskan mukena tanpa merapikannya, lalu melangkah menuju ruang depan. Kudapati Rania sedang menarik mukena ibu secara paksa. 

"Rania!" teriakku tidak tahan. 

Rania menoleh ke arahku sekilas, tetapi kembali pandangannya tertuju pada ibu. 

"Ran, kamu apa-apaan sih? Kamu ini anak kecil, bau kencur, tega-teganya menyiksa ibumu begitu? Sudah cukup, Rania!" pintaku memohon. 

Gadis itu menepuk-nepukkan tangannya, dia melepaskan mukena ibu, kemudian mendekatiku. 

"Mulai berani, ya lo ceramahi gue? Eh, lo emang kakak gue, Via. Tapi, jangan pernah sekali pun berani menceramahi segala! Gue cuma minta ibu buat bikin nasi goreng, siapin air hangat apa salah?" sungut Rania. 

Kepalaku seperti akan pecah mendengar penuturan dari gadis ini, kala hendak menampar Rania. Ibu mencegahnya lagi, dia meminta agar aku tidak membalas perbuatannya. 

"Bu, Ibu jangan mau deh dijadiin babu kek begini! Ibu harusnya ngelawan, Via  mohon! Via gak kepengen Ibu sakit karena kecapean, Via sayang sama Ibu!" lirihku setengah meninggikan suaraku padanya. 

"Via! Ini Ibu yang mau, kamu udah diem aja. Ibu gak masalah—"

"Ibu enggak masalah, tapi Via yang masalah, Bu! Saat Ibu sakit karena banyak gerak, apa Rania atau Diana ada? Apa mereka peduli sama kita, sama Ibu? Jangankan buat nanya kondisi Ibu, sentuh sedikit tangan Ibu gak pernah." Aku memotong percakapan Ibu. 

Di sela-sela aku dan Ibu sedang beradu mulut, Rania berteriak di antara telingaku dan ibu. Dia mengambil pas bunga, kemudian melemparnya ke dekat jendela. 

Kaca jendela samping rumah berhasil dipecahkan olehnya. Lekas aku melihat, ternyata semuanya pecah bahkan kacanya sampai bubuk. Rania mengangkat kedua tangannya, menaruh di depan dada. Bola mata gadis itu mendelik menatap aku dan ibu. 

"Sekarang cepet buatin nasi goreng sama air anget buat aku mandi, Bu!" titahnya. 

Aku mengepalkan kedua tanganku, menghentikan langkah ibu dan memintanya untuk segera melanjutkan salat magrib. Satu menit lagi akan memasuki waktu isya. Kukatakan padanya, bahwa dia tidak perlu khawatir kalau harus menggoreng nasi dan menyiapkan air hangat untuknya aku pun masih bisa. 

Sayangnya, Rania mendengar ucapanku bersama ibu yang menyuruh dia lekas salat. 

"Salat bisa nanti! Gue gak bakal makan kalau si Via yang masak, awas aja!" ancamnya. 

Aku mengedipkan salah satu mataku, mengatakan pada ibu agar dia tidak memberitahu jika aku yang menggantikannya masak nasi goreng. 

Ibu mengiakan, lalu pergi ke toilet mengambil wudu. Sementara aku, sibu mengiris bawang merah, bawang putih dan bakso kecil juga sosis sebagai tambahannya. Dalam hati aku berharap Rania bisa memakan masakanku, tanpa tahu siapa yang memasaknya. 

Lima belas menit telah berlalu, aku menyuruh ibu untuk membawa nasi goreng buatanku ke kamar Rania. Tidak lupa mengingatkannya jika air hangat yang dia pesan telah hangat. 

Kapan kamu akan berubah sih, Ran? Aku harap kamu bisa mengubah sikap, kamu tidak akan pernah tahu sampai kapan kamu akan melihat ibumu ini. Bismillah, bisikku. 

Malam semakin larut, samar-samar terdengar suara gemericik air yang semakin lama semakin membesar. Aku berpikir, apakah malam ini akan turun hujan lagi? Sudah hampir seminggu lebih kampung kami diguyur hujan. Beberapa pemilik tanaman gagal panen. Sawah di depan rumah telah lama menguning, tetapi lantaran hujan terus menerus datang hingga detik ini belum jua dipanen. 

Kibuka ponselku, seharian penuh tidak melihat notifikasi entah dari f******k, i*******m atau aplikasi lainnya. Menulis pun belum sempat. 

Ada beberapa pesan masuk lewat aplikasi hijau, bukan beberapa. Tetapi cukup banyak bahkan hingga ribuan. Pertama-tama, kubuka pesan dari kekasihku—Jo. Pria yang sudah mengisi hidupku selama kurang lebih tiga tahun ini, aku dan dirinya sama-sama memiliki hobi yang sama. 

Akan tetapi, ada satu hal yang tidak dapat kuceritakan kepada Jo mengetani kondisiku di rumah. Aku selalu bilang kepadanya bahwa aku baik-baik saja, Jo yang sekarang ini berada di Surabaya mempercayai segala ucapanku akhirnya. 

Jo_Pacarnya Nona Ricardo: Hai, Sayang. Gimana kabarnya? Kamu baik-baik, kan? 

Nulisnya gimana? Mil, aku harap kamu gak terus-menerus begadang, ya! Aku gak mau lihat kamu sakit. 

Pesan yang kubaca darinya membuat suasana hatiku sejenak dapat mencair, tak kusangka bibirku tersenyum penuh menatap benda mati ini. 

Andai aja aku bisa melakukan panggilan vidio call bersamanya, mungkin kebahagiaanku semakin bertambah. Tapi, bagaimana nanti jika dia tanya perihal luka di wajahku,? Ah, tidak! Aku gak boleh buat dia kepikiran, Jo gak perlu tau soal ini, lirihku. 

Brak …

"Astagfirullah, kek ada suara aneh?" gumamku seorang diri. 

Ketika hendak berdiri, aku menoleh ke belakang melihat panggilan masuk darinya. Aku cemas, bukan malah bahagia. Bulu kudukku merinding melihatnya. 

Apa yang harus aku lakukan, ya?  "Gue dah bilang sama lo, kalau gue gak suka makanan yang dibuat sama si Via! Ngerti gak sih? Eh, dipikir gue bodoh apa? Gue juga tau kalau ini bukan lo yang masak, kan?"  tanya Rania sambil membentaknya. 

"Rania!" 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia Ibumu Bukan Pembantumu   Pertama Kerja Usai Menikah

    "Kamu gak mau nemenin suami bekerja, Yang? Kalau gitu ya udah mending aku sama yang lain aja gimana?"Kepalaku rasanya mendidih mendengar dia mengatakan kalimat itu di dekat telingaku. Andai aku bisa dan berani, ingin rasanya menutup mulut dia agar tidak bisa berkata seperti tadi lagi. Aku benar-benar tidak bisa bila dia mengatakan 'mending aku sama yang lain' , perasaanku bak terbakar oleh api cemburu."Kalau gitu silakan aja! Tapi, jangan pernah berharap nanti pulang aku ada di rumah, bay!" seruku, kemudian meninggalkan dia di samping meja rias.Sebenarnya aku tidak ingin jauh-jauh darinya. Jika perlu aku ingin setiap detik, setiap menit bahkan setiap jam berada di dekat Jo. Tidak ada sehari atau dua hari terpisahkan. Selamanya dekat di sisi Jo sampai mau

  • Dia Ibumu Bukan Pembantumu   Waktu Terasa Cepat

    Seminggu kemudian …Hari sekaligus bulan yang telah kami tunggu-tunggu akhirnya telah tiba. Aku dan Jo telah resmi menjadi sepasang suami istri tepat pukul sepuluh pagi. Kebahagiaan yang seharusnya menyelimuti hariku ini justru berganti menjadi sebuah kesedihan. you know yourself , ibuku tak ada disampingku. Dia sudah tenang di alam sana bersama Dinda. Sementara itu, Bapak dan Rania entah di mana dan bagaimana kabarnya sekarang. Aku tidak tahu.'Aku harus bisa menyembunyikan kesedihan ini, pokoknya harus bisa!!' tekadku dalam hati.Kala penyematan cincin pernikahan oleh Jo, sebisa mungkin aku menatapnya dengan senyum menyer

  • Dia Ibumu Bukan Pembantumu   Hal Buruk 2

    "Ish, jahil kamu.""Suka, kan?" tanyanya.Aku hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Tiga puluh menit waktu yang cukup lama bagiku mengabulkan permintaannya.Cinta … hadir tanpa kita duga. Datang tanpa memberi salam, kemudian singgah tanpa permisi. Kata orang cinta unik. Cinta itu nyata sehingga kedatangannya mengubah kepedihan menjadi kebahagiaan. Menghapus tangis air mata, menjadi senyuman."Unik, kan?"Awalnya aku tak percaya akan cinta, aku pun tidak berharap lebih dari kata tersebut. Hanya saja setiap orang ingin bahagia bersama pasangan masing-masing begitupun yang dirasakan olehku. Aku ingin bahagia bersama Joo

  • Dia Ibumu Bukan Pembantumu   Hal Buruk

    Aku serba salah dengan keadaan sekarang. Antara bahagia dan tidak. Itulah dua rasa yang tidak bisa disatukan. Bahagia karena bisa lebih dekat dengan keluarga besar Joo dan tidak lantaran adanya wanita itu menjadikan hidupku mungkin akan lebih buruk lagi ketimbang saat bersama Rania dulu."Sayang-sayang! Ayang! Millen udah, Millen dia udah gak ada kok. Sayang!" panggilnya begitu lembut.Kurasakan tangannya menyentuh punggungku, mengusapnya kemudian dia mengangkatku agar wajahku bisa sejajar dengannya."Yang! Ayang gak enak sama bibikku?" tanyanya.Aku menggeleng, mengusap air mata kepalsuan ini sambil tersenyum memandangnya."Mi

  • Dia Ibumu Bukan Pembantumu   Si Bibik Ketus

    "Dia kenapa sih, kok aneh banget sama aku?" tanyaku dengan memelankan suara sehingga hanya aku sendiri yang mendengarnya.Semenjak Joo menurunkanku dari pangkuannya. Sekilas aku melirik ke arah wanita tua yang usianya sekitar dibawah bunda. Aku sendiri tidak tahu pasti berapa usianya. Hanya saja tatapan dialah yang membuatku tak nyaman saat ini."Joo!" panggil si Kakek.Kekasihku ini menoleh dan menjawab panggilannya dengan sangat santun. "Ada apa, Mbah?""Bawa pacarmu nih istirahat! Kasian pasti capek lama di jalan," katanya menyuruh Joo membawaku beristirahat.Kupikir setelah si Kakek memintaku m

  • Dia Ibumu Bukan Pembantumu   Dasar Pacar Stress

    "Aduuhh!"Aku menjerit histeris merasakan kepalaku membentur sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana awalnya, mengapa kepalaku sampai mengenai bagian depan mobil. Jujur, sakit sekali dan tepat saat Joo menangkap tubuhku. Aku muntah.'Astaga, aku kok sampe muntah segala?' tanyaku dalam hati.Kupandangi wajah tampannya itu dan sekilas aku bisa melihat bagaimana reaksinya melihatku menumpahkan isi perutku di mobil mahalnya ini. Akan tetapi, tiba-tiba dia membenarkan posisi dudukku, lalu membantu membersihkan muntahan tadi. Tidak banyak yang dia ungkapkan selain dari mengambil pembersih mobil seperti; lap, air secukupnya dan keresek hitam.Aku pun tidak tahu bagaimana isi hatinya. Entah memang dia tida

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status