"Assalamualaikum, Bu Citra! Assalamualaikum!"
Terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar, membuat ucapanku kepotong. Aku, ibu dan Rania berpura-pura bersikap biasa demi menghindari hal yang tidak diinginkan. Sebelum aku membuka pintu, Rania memberikan peringatan untukku supaya ketika nanti ada yang bertanya mengenai luka di pipiku diri ini tak menceritakan kejadian sebenarnya.
Terpaksa malam ini aku lagi-lagi berbohong dan menuruti semua kemauannya. Setelah aku mengiyakan semua ucapannya, bergegas pergi menuju ke dekat pintu dan membukanya.
Perasaanku memang tidak salah lagi, si pemilik suara tadi tak lain adalah Teh Kinan. Tetangga dekat kami, tetapi rumahnya pinggir jalan. Teh Kinan dan keluarga merupakan bos sayuran. Bisa dibilang orang kaya di kampung kami ini.
"Teh Kinan, ada apa? Ada yang bisa Via bantu?" tanyaku gugup.
Dia mendekatiku, perlahan tangan kanannya mulai meraba pipiku yang sama sekali tidak tertutup oleh perban atau plester sedikit pun. Ah, bodohnya diriku ini sampai-sampai keluar pun lupa tidak memakai penutup wajah.
Bagaimana jadinya bila kedatangannya ke rumah hanya untuk menanyakan luka di wajahku ini?
Bisa-bisa Rania semakin menjadi.
"Milen, kamu teh itu luka kenapa? Apa yang terjadi sama kamu, sampai-sampai semua orang di kampung ini sibuk membicarakan kamu, Mil. Tentang luka ini," tuturnya menjelaskan.
Kepalaku tiba-tiba memanas, debar-debar di dada semakin tidak dapat dikondisikan. Heran rasanya, hanya karena mereka penasaran dengan hal kecil begini, satu kampung menjadi tahu. Aku meneguk salivaku sendiri, mencari kekuatan atas kalimat pertanyaan yang terucap oleh bibir Teh Kinan.
Aku merunduk, menunggu ibu yang entah ke mana saat itu mendadak hilang di telan malam. Biarlah dia sibuk dengan segala kekhawatirannya dan menanyaiku. Aku tidak akan menjawabnya sebelum ibu datang.
Baik ibu dan Rania keduanya sama-sama mendadak hilang. Hanya ada aku dan Teh Kinan berdua di ruang tengah. Suasana seketika hening, semilir angin masuk melewati liang-liang lantai rumahku. Maklum rumahku panggung, tak seperti milik orang lain.
Teh Kinan terus menanyaiku, meminta penjelasan mengapa hanya dengan luka seperti ini satu kampung menjadi tahu? Ingin aku menjawab semua pertanyaannya dan menutup mulutnya dengan jawabanku ini. Namun, apalah daya. Diriku tak sanggup jika suatu saat nanti harus berhadapan lagi dengan Rania.
"Teh, Via enggak apa-apa kok. Ini luka ringan aja, sebelumnya mohon maaf Teh. Kalau Via belum mandi dan masih banyak cucian piring di dapur, apa bisa besok Teteh ke sini lagi?"
Andai kata ada kompetisi berbohong se-Indonesia, mungkin aku sudah menjadi juaranya. Akan tetapi, itu rasanya tidak memungkinkan. Aku tahu, berbohong adalah dosa. Namun, bagaimana lagi? Aku tidak sanggup jika nantinya semua ini terbongkar dan seluruh kampung tahu, Rania tidak akan memaafkanku.
Hampir setengah jam lebih, Teh Kinan masih tetap di rumah. Aku menunggu kapan dia pergi, karena rasanya tidak enak bila harus mengusirnya.
Bagaimana ini? Sampai kapan dia akan tetap di sini? Sedangkan, aku belum mandi, salat magrib apalagi cuci piring. Ah, ini gara-gara Rania, gerutuku.
"Teh, maaf, ya. Via mau mandi dulu belum salat isya, nanti lagi bisa?"
"Baiklah, Milen. Teteh pergi dulu atuh, tapi ingat kalau ada apa-apa bilang ke Teteh, ya. Teteh janji gak akan bilang ke siapa-siapa," tuturnya.
Aku mengangguk tidak memberikan jawaban apa-apa.
***
Seusai mandi dan membersihkan semuanya, tiba saatnya aku melaksanakan salat magrib berjamaah bersama ibu. Aku berencana untuk melanjutkan aktivitas sebagai penulis, berbulan-bulan diriku belum dapat lagi menulis. Sungguh, terasa ada yang kosong.
Aku dan ibu melaksanakan salat magrib di kamar belakang, di mana tempatku untuk tertidur. Meski tempatnya cukup sempit lantaran di kamar ini ada lemari panjang, perlu kalian ketahui hampir semalam telingaku harus mendengar suara-suara tikus menjerit di balik lemari itu. Namun, apa daya. Diri ini enggan untuk menukar kamar dengan ibu.
"Bu, kenapa hanya gara-gara luka ini. Tetangga pada ngomongin luka Via, gimana? Malah kata Teh Kinan tadi semakin meluas. Mereka tahu kalau aku begini," ucapku mengadu pada ibu.
"Sebaiknya kita salat dulu, ya. Sebelum nanti akhir, kita berdoa sama Allah SWT semoga adikmu membuka mata hatinya. Hm," balas ibu menenangkanku dengan mengusap puncak kepalaku.
Aku mengangguk. Ibu mulai mengangkat kedua tangannya mulai salat yang hampir habis waktunya gara-gara terlalu lama berbincang bersama Teh Kinan tidak jelas.
"Bu! Ibu sini!" teriak Rania dari kamar depan.
Setiap kali mendengar teriakannya, jujur degup jantungku bergetar tidak karuan. Kurasakan keringat dingin mulai memanas, berusaha tetap tenang tetapi rasanya terlalu sulit untukku bisa baik-baik saja.
Baru saja satu rakaat, aku mendengar ibu menjerit dan Rania memakinya, menyuruh ibu untuk menanak nasi. Aku meyakini itu. Tidak ada orang lain di rumah ini selain dia, aku dan ibu.
Gegas menyelesaikan salat, kemudian melihat ibu yang sudah tidak ada lagi di dekatku.
Ke mana ibu? Ke mana Rania membawa ibu?
Kulepaskan mukena tanpa merapikannya, lalu melangkah menuju ruang depan. Kudapati Rania sedang menarik mukena ibu secara paksa.
"Rania!" teriakku tidak tahan.
Rania menoleh ke arahku sekilas, tetapi kembali pandangannya tertuju pada ibu.
"Ran, kamu apa-apaan sih? Kamu ini anak kecil, bau kencur, tega-teganya menyiksa ibumu begitu? Sudah cukup, Rania!" pintaku memohon.
Gadis itu menepuk-nepukkan tangannya, dia melepaskan mukena ibu, kemudian mendekatiku.
"Mulai berani, ya lo ceramahi gue? Eh, lo emang kakak gue, Via. Tapi, jangan pernah sekali pun berani menceramahi segala! Gue cuma minta ibu buat bikin nasi goreng, siapin air hangat apa salah?" sungut Rania.
Kepalaku seperti akan pecah mendengar penuturan dari gadis ini, kala hendak menampar Rania. Ibu mencegahnya lagi, dia meminta agar aku tidak membalas perbuatannya.
"Bu, Ibu jangan mau deh dijadiin babu kek begini! Ibu harusnya ngelawan, Via mohon! Via gak kepengen Ibu sakit karena kecapean, Via sayang sama Ibu!" lirihku setengah meninggikan suaraku padanya.
"Via! Ini Ibu yang mau, kamu udah diem aja. Ibu gak masalah—"
"Ibu enggak masalah, tapi Via yang masalah, Bu! Saat Ibu sakit karena banyak gerak, apa Rania atau Diana ada? Apa mereka peduli sama kita, sama Ibu? Jangankan buat nanya kondisi Ibu, sentuh sedikit tangan Ibu gak pernah." Aku memotong percakapan Ibu.
Di sela-sela aku dan Ibu sedang beradu mulut, Rania berteriak di antara telingaku dan ibu. Dia mengambil pas bunga, kemudian melemparnya ke dekat jendela.
Kaca jendela samping rumah berhasil dipecahkan olehnya. Lekas aku melihat, ternyata semuanya pecah bahkan kacanya sampai bubuk. Rania mengangkat kedua tangannya, menaruh di depan dada. Bola mata gadis itu mendelik menatap aku dan ibu.
"Sekarang cepet buatin nasi goreng sama air anget buat aku mandi, Bu!" titahnya.
Aku mengepalkan kedua tanganku, menghentikan langkah ibu dan memintanya untuk segera melanjutkan salat magrib. Satu menit lagi akan memasuki waktu isya. Kukatakan padanya, bahwa dia tidak perlu khawatir kalau harus menggoreng nasi dan menyiapkan air hangat untuknya aku pun masih bisa.
Sayangnya, Rania mendengar ucapanku bersama ibu yang menyuruh dia lekas salat.
"Salat bisa nanti! Gue gak bakal makan kalau si Via yang masak, awas aja!" ancamnya.
Aku mengedipkan salah satu mataku, mengatakan pada ibu agar dia tidak memberitahu jika aku yang menggantikannya masak nasi goreng.
Ibu mengiakan, lalu pergi ke toilet mengambil wudu. Sementara aku, sibu mengiris bawang merah, bawang putih dan bakso kecil juga sosis sebagai tambahannya. Dalam hati aku berharap Rania bisa memakan masakanku, tanpa tahu siapa yang memasaknya.
Lima belas menit telah berlalu, aku menyuruh ibu untuk membawa nasi goreng buatanku ke kamar Rania. Tidak lupa mengingatkannya jika air hangat yang dia pesan telah hangat.
Kapan kamu akan berubah sih, Ran? Aku harap kamu bisa mengubah sikap, kamu tidak akan pernah tahu sampai kapan kamu akan melihat ibumu ini. Bismillah, bisikku.
Malam semakin larut, samar-samar terdengar suara gemericik air yang semakin lama semakin membesar. Aku berpikir, apakah malam ini akan turun hujan lagi? Sudah hampir seminggu lebih kampung kami diguyur hujan. Beberapa pemilik tanaman gagal panen. Sawah di depan rumah telah lama menguning, tetapi lantaran hujan terus menerus datang hingga detik ini belum jua dipanen.
Kibuka ponselku, seharian penuh tidak melihat notifikasi entah dari f******k, i*******m atau aplikasi lainnya. Menulis pun belum sempat.
Ada beberapa pesan masuk lewat aplikasi hijau, bukan beberapa. Tetapi cukup banyak bahkan hingga ribuan. Pertama-tama, kubuka pesan dari kekasihku—Jo. Pria yang sudah mengisi hidupku selama kurang lebih tiga tahun ini, aku dan dirinya sama-sama memiliki hobi yang sama.
Akan tetapi, ada satu hal yang tidak dapat kuceritakan kepada Jo mengetani kondisiku di rumah. Aku selalu bilang kepadanya bahwa aku baik-baik saja, Jo yang sekarang ini berada di Surabaya mempercayai segala ucapanku akhirnya.
Jo_Pacarnya Nona Ricardo: Hai, Sayang. Gimana kabarnya? Kamu baik-baik, kan?
Nulisnya gimana? Mil, aku harap kamu gak terus-menerus begadang, ya! Aku gak mau lihat kamu sakit.
Pesan yang kubaca darinya membuat suasana hatiku sejenak dapat mencair, tak kusangka bibirku tersenyum penuh menatap benda mati ini.
Andai aja aku bisa melakukan panggilan vidio call bersamanya, mungkin kebahagiaanku semakin bertambah. Tapi, bagaimana nanti jika dia tanya perihal luka di wajahku,? Ah, tidak! Aku gak boleh buat dia kepikiran, Jo gak perlu tau soal ini, lirihku.
Brak …
"Astagfirullah, kek ada suara aneh?" gumamku seorang diri.
Ketika hendak berdiri, aku menoleh ke belakang melihat panggilan masuk darinya. Aku cemas, bukan malah bahagia. Bulu kudukku merinding melihatnya.
Apa yang harus aku lakukan, ya? "Gue dah bilang sama lo, kalau gue gak suka makanan yang dibuat sama si Via! Ngerti gak sih? Eh, dipikir gue bodoh apa? Gue juga tau kalau ini bukan lo yang masak, kan?" tanya Rania sambil membentaknya.
"Rania!"
"Dasar anak kecil gak tau diri! Bisa-bisanya nyakitin ibu kaya begini. Kamu sebenarnya disekolahin gak sih? Ngomong sama orang tua gue elo, memangnya kamu anak siapa?" Aku mengabaikan panggilan dari Jo dan segera membantu ibu yang jatuh ke lantai.Aku tidak mengerti bagaimana caranya menyikapi gadis seperti Rania. Kurasa aku sudah cukup sabar menghadapinya selama ini. Namun, aku benar-benar lelah harus berada dalam kondisi seperti ini.Bukan hanya pada Rania, aku pun bingung dengan ibu yang selalu saja menuruti setiap ucapan gadis itu. Seandainya aku tahu penyebab gadis itu sering melunjak, ingin rasanya aku membantu untuk menyadarkan bahwa kelakuannya pada ibu selama ini salah.Teringat sebuah pesan ketika aku masih berada di asrama, ustazah mengatakan jik
"Ikut Aa sekarang! Aa akan ceritakan apa yang terjadi sama Aulia saat kemaren di rumah! Oh iya, jangan khawatir, Aa ajak Teh Kinan juga tuh!" Dia menunjuk ke arah di mana seorang wanita yang berusia di atas iparku ini, tetangga yang kemarin malam datang ke rumahku.Aku dan Teh Kinan memang cukup lumayan dekat, karena kedua orang tuanya merupakan anak dari nenekku. Namun, kedekatanku dengannya berakhir ketika suatu hari curhatanku padanya dibongkar di depan orang banyak, sekitar tiga bulan lalu. Sejujurnya, bukan dia yang mengatakan kisah hidupku selama ini, melainkan teman dekat alias pembantunya.Setelah kejadian itu, aku sedikit menjaga jarak kepadanya. Saat malam kemarin dia memintaku bercerita, aku tidak melakukannya. Lantaran khawatir, suatu hari nanti ucapanku akan tersebar dari satu mulut ke mulut lain.
Adakalanya kita merasakan lelah, capek dengan semua yang terjadi hari ini. Terbersit dalam pikiranku untuk mengambil jalan tengah sebagai satu-satunya cara agar aku tak lagi mengalami hal buruk ini.Kepalaku rasanya sakit harus menerima kepahitan ini. Menjadi satu-satunya anak yang dibilang waras membuatku banyak menanggung derita.Aku dan iparku pulang ke rumah dengan harapan keadaan akan semakin membaik dan mereka dapat mengerti akan kondisiku. Begitu pun dengan ibu yang notabenenya beliau cukup banyak tahu perihal keadaanku di rumah. Tentu, aku mengharap ibu akan membelaku sama seperti aku membelanya ketika Rania hampir menancapkan pisau di wajahnya sehinga wajahku yang terkena goresan benda tajam itu.Sakit rasanya hati ini mengetahui ibu justru ikut-ik
"Aulia!" teriak kami secara bersamaan."Dasar anak pembawa sial!" hina Diana kepadaku.Bersyukur karena Tuhan telah mengabulkan doa-doaku dan menyelamatkanku dari kobaran api yang begitu besar ini. Namun, takdir berkata lain. Memang aku selamat, tetapi sayangnya Aulia—putri bungsu Diana dan Marcel jatuh ke dalam api yang menyala-nyala.Aku merasa menyesal karena telah membiarkan gadis mungil itu membantuku. Aku menjerit histeris melihat Aulia jatuh tepat di depan mataku, tak dapat melakukan apa-apa terhadap gadis malang itu. Akan tetapi, beberapa saat kemudian aku berinisiatif untuk menarik lengan Aulia dari dalam sana.Ya Allah, kumohon padamkanlah api ini! Aku percaya atas kekuasa
Liburan akhir tahun yang seharusnya dirasakan dan dinikmati oleh Aulia—keponakanku ini, berakhir dengan sebuah kematian tragis. Malang nian nasib gadis kecil itu. Seumur hidupnya, yang kutahu dari iparku, Aulia tak pernah mendapatkan kebahagiaan sedikitpun. Siksa dan air matalah yang dia terima.Karena kesalahanku yang menuruti Marcel untuk pergi ke dokter, kondisi rumah menjadi tidak stabil. Orang-orang selalu menganggap jika rumah adalah tempat paling nyaman, setelah kembali dari tempat pengasingan. Akan tetapi, bagiku saat ini dan seterusnya, tempat ini telah berubah menjadi tempat pertumpahan darah.Terbukti sekarang ini, iparku mengejar-ngejar istrinya dan pria itu hrndak membacoknya. Yah, seperti yang telah dijelaskan oleh kedua orang tuanya beberapa tahun lalu. Sebelum Marcel melamar Diana. Sempat kuden
"Tunggu!"Sekali lagi suara itu terdengar olehku dan bahkan oleh semua orang, berharap si pemilik suara itu bisa membuktikan kalau aku tidak bersalah. Aku sama sekali tak menyentuh Rania sedikit pun, apalagi menyakitinya pun tak pernah terbesit dalam benakku.Selama ini, Rania dan Diana lah yang selalu menyakiti perasaanku dan juga ibu. Kami berdua tak pernah membalas perbuatannya, kami juga selalu diam. Lalu, bagaimana mungkin sekarang ini polisi menuduhku seperti itu?Fitnah yang diutarakan kepadaku, sungguh lebih menyakitkan dibanding dengan mendapatkan tusukan benda tajam oleh Rania untukku. Mungkin benar apa yang orang katakan, di mana luka di hati sulit disembuhkan dan tidak ada penawarnya kecuali ketika kita mendapatkan satu goresan kecil. 
Setelah memastikan semua warga dan beberapa polisi itu pergi dan tak lagi terlihat dari pandanganku. Kuputuskan untuk mengajak Jo masuk rumah, meninggalkan Rania dan ibu yang masih di luar. Sedangkan, keluarga besan ibu sudah menghilang entah ke mana.Aku mempersilakan Jo duduk terlebih dahulu, karena aku ingin membersihkan badanku yang mulai lengket ini. Sungguh, seharian aku tidak minum atau makan rasanya tubuhku terasa lemas. Cacing-cacing di perut sudah berdemo sejak pagi, tapi ku lupakan hal itu.Huft, karena Rania semuanya jadi kacau. Huh, tapi untung Jo datang tepat waktu. Kalau enggak, bisa-bisa aku mendekam di penjara karena ulahnya. Sampai kapan, Tuhan! Sampai kapan derita ini akan berakhir, kumohon kepada-Mu. Bukakanlah pintu hati ibu dan juga Rania, bisikku penuh
Anu itu-anu itu apaan sih, Mang? Jangan buat Via cemas deh!" Tanpa sadar aku telah meninggikan suaraku di depannnya, seharusnya meski dalam kondisi se-panik apa pun tetap tidak boleh bersikap seperti itu.Ah, dasar Via!"Sayang, sabar napa. Biarin Mamang kamu ini bilang dulu, baru setelah itu kamu ngomong. Kalau begini caranya, gimana dia jawab pertanyaan kamu.""Iya maaf, Yang. Aku salah," ucapku mengusap kepalaku sendiri.Diriku harus menelang dalam-dalam pil pahit, lantaran harapanku menikamti malam indah ini harus sirna seiring dengan kedatangan Mang Badrun. Kepalaku rasanya tak mampu berpikir lagi untuk menghadapi kelakuan adikku—Rania. Baru saja masalah dengan kepolisian berakhir, Diana