Share

Part 03. Aku Kuat Demi Ibu

Berharap dengan menjelaskan ini kepadanya, dia dapat mengerti dan meminta ibu membatalkan keinginannya. Akan tetapi, ternyata pikiranku yang salah. Manusia macam Rania memang tidak punya hati. 

"Viani, sudah! Ibu bisa pinjem kok ke tetangga seratus ribu lagi," sergah Ibu. 

"Tuh, dia aja gak masalah. Kenapa lo yang sewot?"

"Apa? Ibu mau pinjem lagi? Ingat, Bu! Utang kita udah 200 ribu loh, kalau kita pinjem lagi dari mana bayarnya?" Rasanya semakin tidak rela, melihat ibu hanya demi seorang Rania mau untuk berutang. 

"Pokoknya aku gak mau tau, Bu. Ibu jangan berutang lagi, Bu!" 

Rania mendorongku, aku pun mengaduh kesakitan lantaran kali ini tangan kiriku benar-benar mengenai serpihan kaca. Malah sekarang serpihan itu menancap di tangan tersayang ini. 

Sementara ibu pergi ke dapur, aku memcoba menasihat gadis itu setelah menutup gorden. Sekarang, waktu sudah menunjuk ke angka setengah enam lewat sepuluh menit. Sesekali terdengar suara jangkrik di sekeliling rumah. 

"Rania, udah ya! Aku mohon, jangan kamu suruh-suruh ibu! Sekali lagi kuingatkan sama kamu, dia ibumu bukan pembantumu, Rania!" 

Rania melangkah ke dalam dan sedetik kemudian kembali lagi keluar. Kurasakan ada sesuatu yang tidak enak, dalam hitungan ketiga gadis itu mendekatiku dan menancapkan jarum tajam itu dipipiku. Sayang, tidak hanya sekedar menancapkan saja. Rania menyiksaku dengan beberapa kali menggores pipiku dengan jarum itu. 

Aku pun menjerit, menahan rasa sakit yang menggerogoti pipiku. Kualihkan pandangan ke arah ibu dan sontak membuatku terlejut karena dia berteriak menghentikan ulahnya. 

"Rania!! Hentikan! Rania-Rani, cukup!" katanya. 

"Bu … Rania, aku mo … hon … sudahi! Sakit, Ran! Argh!" 

"Ini belum seberapa, Via! Ini balasan dari gue karena lo berani-beraninya nasehatin gue. Idup lo aja berantakan dan sekarang, mau-maunya nasehatin gue? Ngaca lo!" Rania semakin geram dan kurasakan benda kecil itu masih berada di pipiku. Kucoba menepiskan tangan Rania berharap benda kecil itu dapat diambil. 

Namun mirisnya hidupku ini, jarum itu patah. Aku terkejut, kuraba pipi untuk memcari patahan jarum itu. Dan ya, patahannya masih menempel di pipi kanan. 

Bagaimana aku mengambilnya? 

Ya Allah, kuatkanlah hambamu ini. Aku benar-benar tak tahan rasanya, perih, ya Allah. Ya Allah, bukakanlah pintu hati Rania agar gadis itu bertaubat dan tidak berbuat jahat lagi semoga, lirihku. 

"Aku tak tahan jika dia terus menerus seperti ini. Bagaimana nanti kalau dia sudah besar? Atau semua kejahatannya terbongkar?" 

Tak henti aku berdoa pada Tuhan yang telah memberikanku kehidupan layak ini. Hanya padanya aku berharap, memohon untuk Rania bisa bertaubat.

Bukan aku tak ingin melawannya, tapi mendekatinya saja. Sulit bagiku. 

"Bu. Boleh aku tau bagaimana Rania sebenarnya dulu?" tanyaku padanya. 

"Sudah, Nak! Kita obati saja dulu lukamu, pasti sakit, ya?" 

Aku menggelengkan kepala, berpura-pura tak merasakan sakit apa pun. Walau sejujurnya darah terus menetes, sampai aku sulit bagaimana menahan derasnya cairan merah itu. 

Rupanya jarum yang dia tusukkan padaku lumayan tajam lukanya pun semakin dalam. 

"Bagaimana bisa kamu teh bilang tidak sakit, padahal nyatana eta darah meni banyak," balas Ibu seraya merobek pakaiannya. Untuk dia jadikan lap. 

Hatiku tersentuh dan sakit rasanya, melihat Ibu dalam kondisi seperti ini. Dia rela melakukan apa saja demi anaknya. Namun, yang dia pedulikan justru tiada. 

                              ****

Luka yang ada di pipiku semakin lama semakin mengeluarkan darah segar. Darah itu seperti enggan berhenti untuk keluar. Malah, ketika berusaha membersihkannya, cairan merah dari dalam pipiku ini terus mengalir layaknya air sungai yang tak ada ujungnya. Sungguh, ini lebih sakit dari apa yang dibayangkan. Mengapa hidupku seperti ini, Tuhan? 

Inginku marah, ingin rasanya murka pada Tuhan yang telah memberiku ujian seberat ini. Namun, teringat akan nasihat yang telah diajarkan oleh ibu dan guru ngajiku semasa kecil. Mereka bilang, Tuhan memberikan kita ujian, tidak mungkin melebihi batas kemampuan manusia, hambanya. Tuhan kasih kita cobaan sebagai bentuk kasih sayang-Nya terhadap kita. 

Mengingat hal ttersebut. Segera kuucap istigfar berkali-kali memohon ampun atas segala ucapanku tadi. 

Ya Allah, ini teh kumaha sakit pisan. Astagfirullah, ya Allah. Kuserahkan semuanya kepada-Mu, lirihku. 

"Via harus kuat, Via harus kuat demi ibu! Yah, Via kamu kuat," ucapku seraya menguatkan diri sendiri. Padahal kenyataannya aku rapuh, rasa tak sanggup menjalani hidup ini menyeruak masuk dalam sanubariku. 

Samar-samar kudengar langkah seseorang dari arah luar, aku membalikkan badan menoleh siapa yang datang. Ya, ibu. Ibu datang sambil membawa rerumputan, entah dari mana beliau mendapatkan jukut riut tersebut. 

Hidup di kampung ya memang begini adanya, jarang sekali jika kami sakit dibawa ke rumah sakit atau mantri dekat kampung, mantri di kampung sebelah apalah itu. Ibu selalu mengambil rerumputan yang dapat dijadikan obat dan beliau meraciknya sendiri. 

"Sini, biar Ibu obatin, Nak," katanya. 

"Makasih, Bu. Bu, andai saja Rania tadi langsung menusuk perutku, mungkin Via gak akan jadi begini. Merasakan sakit yang teramat sangat, itu sangat menyakitkan, Bu," sahutku. 

Ibu mennghentikan aktivitasnya mengobati kedua pipiku, melihat air hangat di rantang yang telah berubah menjadi warna merah. Ku teguk air liurku, untuk menahan rasa mual di dalam peruf. Ih jijiknya, bisikku seraya bergidik. 

"Apa-apaan kamu bilang gitu, Via? Kamu waras teu sih? Sadar, apa yang kamu katakan ini tidak lah baik, Allah sangat membenci hambanya yang putus asa," balas ibu dengan kalimat yang penuh penekanan. 

"Via harus apa? Bu, daripada harus liat Ibu menderita karena ulah Rania. Sebaiknya Via menghilang aja dari dunia ini, sakit, Bu, sakut hati Via!" jawabku memperingatkan. 

"Sudahi omonganmu yang gak jelas ini. Mending sekarang kita ke dokter aja, ya! Atau kamu mau ke mantri Ade di Panganten?" 

"Enggak, Bu. Makasih, daripada uangnya buat periksa ke dokter. Sebaiknya tabung, kalau enggak setidaknya bayar utang-utang Ibu ke warung di sana, Bu." 

Mendengar penolakanku. Tak pernah sekalipun aku merasakan dekapan hangat dari ibu, sejak kecil bahkan hingga saat ini. Semua terasa berbeda. Kehangatan ini melebihi hangatnya sinar mentari di pagi hari. 

Andai waktu bisa berhenti untuk beberapa menit saja, ingin sekali merasakan hangatnya pelukan ini. Ibu, Via berharap Ibu gak akan hiraukan lagi Via, batinku. 

"Terserah kamu lah, Via. Ibu sudah memberikan penawaran sama kamu, toh kamu sendiri yang gak mau di ajak ke dokter. Ibu hanya berharap semoga luka ini gak semakin melebar atau pun infeksi nantinya." 

Doa-doa serta harapannya lah yang membuatku bertahan hingga saat ini. Tanpanya mungkin, aku sudah tiada. Tanpa dia tak mungkin berani melanjutkan semuanya. 

***

Azan isya telah berkumandang, lantaran aku belum bisa buat menyentuh air ke wajahku. Aku terpaksa harus melakukan tayamum. 

Selesai salat isya, aku pun langsung membaringkan diri di kasur lantai. Samar-samar terdengar suara diiringi dengan tangisan lembut di ruang tengah. Ingin rasanya bangkit dan melihat siapa yang tengah menangis malam-malam begini, namun diri ini hanya mampu mengintip seseorang lewat bilik yang bolong. 

Penglihatan dan perasaanku benar-benar tak salah. Di ruang tengah memang ibu sedang menangis sambil mengangkat kedua tangannya. Karena keberadaanku dan ibu terhalang oleh bilik yang tipis, aku bisa mendengar seruan ibu. Doa-doa yang beliau lantunkan itu semua untukku dan anak-anak ibu lainnya. 

Rasanya hatiku tenang, tentram, mendengar semua itu. Akan tetapi, lagi-lagi sifat cengeng seorang Viani harus timbul lagi. Air mataku tumpah, saat doa-doa ketulusan ibu semakin lama semakin terdengar indah. 

Apalagi di kampungku, ibu merupakan seorang ahli ibadah. Maksudku adalah Ibu sering kali mengisi kajian di beberapa masjid, jika memang para ustad atau ustazahnya sedang tidak ada. Tidak hanya itu, ibu sempat menggantikanku sebagai guru di salah satu sekolah TK di dekat rumah, hingga saat ini. 

"Bu, semoga Allah mengabulkan doa-doa ibu, ya." 

Baru saja hendak tidur, karena mataku sudah tak kuat menahan kantuk yang sejak siang mendera. Aku tak tahu, apakah aku salah mendengar atau memang ada suara orang terjatuh. 

"Bagus, ya. Malam-malam begini, Ibu malah gangguin orang lagi tidur? Eh, Bu! Tau gak? Kalau doa itu, gak usah pake lebay kek angkat tangan segala, angkat kaki apalah itu. Itu lebay, Bu namanya!" bentaknya. 

Aku mengenali pemilik suara ini. Siapa lagi kalau bukan Rania si anak bungsu yang menyebalkan ini. Entahlah, aku bingung bagaimana harus menghadapi gadis seperti dia. 

"Rania!" panggilku setengah berteriak. 

Kulihat Rania menoleh ke arahku. Kupaksakan untuk berjalan menghampiri ibu di depan. 

"Apa?" Pertanyaan singkat, tapi dengan sinar mata yang tajam. 

"Hentikan! Kamu teh jangan gitu sama Ibu, dosa, Ran inget!" Kuperingatkan dia tentang bagaimana larangan berbuat kejam terhadap orang tua. Jangankan berbuat kejam, membentak sekali pun sangat tidak boleh. 

Rania tak menggubris seruanku, gadis bengis malah asik menarik ibu dan membawanya ke depan pintu. 

Ya Allah, apa yang mau dia lakuin, ya? Ah, tidak jangan sampe  dia berbuat macam-macam deh, bisikku harap-harap cemas. 

"Ran, apa yang mau kamu lakuin sih?" tanyaku berusaha menahan tangannya, supaya cengkeramannya terhadap ibu bisa longgar. 

"Diem!" titahnya. 

"Rania, maafin Ibu, Nak. Kalau memang Ibu salah, tapi mohon tangan Ibu sakit kamu bisa kan lepasin," pintanya. 

"Alah, gak usah banyak cincong! Ibu udah berani bikin tidur aku keganggu, jadi rasakan balasannya!" ancamnya memperingatkan.

"Rania, hentikan!" teriakku. 

Hampir saja dia mendorong ibu hingga keluar rumah, namun semua itu berhasil kucegah walau pada kenyatannya diriku sendiri yang terjatuh di antara tanah dan tembok. Yap, kakiku berada di atas lantai sedangkan tubuhku di bawah tanah. 

"Viani!" panggil Ibu. 

"Bu, Ibu tolong Via!" Kucoba berteriak sekuat tenaga agar bisa mendaoatkan bantuan. 

Entah, aku tidak tahu bagaimana caranya berdiri. Kalau seandainya kupaksakan, khawatir nanti kepalaku terbentur batu di samping kiri. 

Ya Allah, bantulah hambamu ini, lirihku. 

Setelah memberanikan diri untuk bangkit, meski harus terkena benturan batu di samping tubuhku. Aku tak masalah. 

"Via, kamu gak apa-apa?" tanya Ibu. 

"Via, baik-baik aja. Ibu gimana, ada yang sakit?" tanyaku balik. 

"Ibu gak masalah." 

Dari dalam, Rania memberikan peringatan kepadaku jika seandainya dalam hitungan ketiga aku tak masuk rumah juga. Dia akan mengunciku bersama ibu di luar. 

"Enggak, Ran! Kalau aku masuk rumah, Ibu juga harus masuk rumah. Lagian, cuma karena Ibu berdoa doang kamu sampe mau nyiksa ibu gini, tega! Jangan ampe kamu kualat, ya, Ran!" 

"Banyak bacot lo," bentaknya seraya menarik rambutku, lalu tiba-tiba sebuat pisau yang bergagang merah dia keluarkan dari dalam sakunya. 

Aku pasrah, jika memang dia hendak menyiksaku atau bahkan membunuhku sekali pun. Aku hanya tidak rido melihat Ibu harus menerima perlakuan Rania yang kasar ini. 

Kelakuan Rania memang sudah diambang batas kewajaran. Dia selalu menyuruh ibu ketika ibu sedang sibuk. Gadis itu seolah-olah menganggap ibu adalah pembantunya. Bukan orang tua. 

Malam semakin larut, penduduk di desaku jam segini sudah tampak sepi. Ingin rasanya ada para warga yang datang membantu kami dan melihat kelakuan busuk Rania terhadap kami. Namun, harapanku tentang warga sepertinya belum direstui oleh yang di atas. 

Tak ada yang dapat kulakukan selain hanya pasrah, memohon pada Yang Maha Esa agar Ranua dubukakan pintu hatinya. 

"Rania, kamu mau ngapain, Nak? Itu kakak kamu loh, kasian dia. Udah wajahnya rusak masa iya kamu mau lukai dia lagi?" 

Ibu memcoba melerai, tapi nyatanya gadis itu tak menggubrisnya. Rania mendorong Ibu dan aku pun berteriak. Sayang, rambutku semakin di jambak keras-keras. 

Dia menyodorkan pisau yang dipegangnya ke depan wajahku, aku yang melihat itu cepat-cepat menutup mata lantaran tak tahan. 

"Rania, aku mohon jangan lakuin itu! Rania, aku mohon sama kamu. Jangan biarkan pisau itu menyentuh pipiku lagi, Ran! Aku janji apapun yang kamu minta akan aku turuti, tapi pl---"

Ketakutanku kini menjadi kenyataan. Tanpa melihat dan merasakan rasa iba, Rania menggoreskan pisaunya ke pipi kanan. 

"Argh!" 

"Rania! Viani astaga," lirih Ibu seraya berteriak. 

Rania melepaskan tangannya dan mendorongku begitu saja. Tangisan air mataku bercampur dengan darah yang menetes lewat pipiku. 

Ku raba pipiku dan aku tetap tersenyum untuk ini. Aku mengusap setiap darah yang menetes dengan bajuku. Biarlah pakaian butut ini menjadi pembersih lukaku. 

"Via, Nak. Anak Ibu, kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanya Ibu memegang pundakku. 

Degup jantungku semakin berdebar hangat mendengar ibu memanggilku dengan panggilan sayang, sedikit tak menyangka. Tetapi aku tetap bersikap biasa. 

"Kenapa kamu malah tersenyum, Nak. Setelah apa yang dilakukan oleh adik kamu sama kamu?" 

"Aku tidak apa-apa, Bu. Aku ikhlas, asalkan dia tak melukai ibu. Aku bersumpah, seujung kuku pun aku tak rido jika melihat Ibu terluka," ucapku bersumpah. 

Ibu mengangkat tangan kirinya, kemudian mengusap puncak kepalaku. Sentuhan hangat ini membuatku sedikit meerasa nyaman, rasa nyeri di pipiku terobati karena pelukan kasih ibu. 

Selamanya, aku tidak akan pernah melupakan semuanya, Bu.

"Kalian masih mau drama-dramaan? Enggak akan masuk? Oh, aku ngerti, kalian mau tidur di luar, ya. Baiklah!" Suara panggilan Rania membuat suasana kian memanas kembali. 

"Rania, apa-apaan kamu!" teriakku, mengusap air mata. 

"Diam lo!" dengkusnya seraya menunjukkan tangannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status