Share

Part 04. Jangan Jadi Anak Durhaka, Ran!

"Ibu!!" teriakku memecah keheningan. 

Ibu melepas mukenanya dan dia langsung menghampiriku yang tergeletak tak berdaya di tanah. Aku yakin, pipiku ini semakin bertambah parah. Kucoba untuk menahan rasa sakit ini supaya ibu tak mengkhawatirkanku. Namun, diri ini terlalu sulit membohongi perasaan sendiri. Perih, panas, nyeri semuanya bercampur menjadi satu. 

Ku paksakan berdiri dan membantu ibu membawanya masuk ke dalam, angin malam sangatlah tak baik untuk usia sepertinya. 

Akhir-akhir ini ibu memang sering merasakan sakit, badan pegal-pegal, kepala puyeng dan semuanya. Namun, aku memaklumi akan hal tersebut. Sayangnya, meski ibu sakit atau masih dalam keadaan biasa. Saudara-saudaraku selalu memperlakukan ibu tak semestinya. 

"Kamu tunggu di sini, ya, Nak. Ibu biar temui kakakmu dulu," katanya menyuruhku diam di ruang tengah. 

"Ah, tidak, Bu! Sebaiknya Via masuk kamar saja, lagian Via udah ngantuk," balasku berbohong. 

"Ya sudah, Nak. Kalau begitu, kamu istirahat," lanjutnya lagi. 

Ketika aku memutuskan untuk pergi menuju kamar belakang, ibu menemui Rania di kamarnya. Kuurungkan niatku, diam-diam aku mengintip mereka dari balik dinding kamar ibu yang kedua. 

Dia mencoba menasehati Rania sebisanya, meski gadis ini tak sekali pun mendengarkannya. Yang kulakukan hanyalah berdoa supaya gadis itu mau mendengarkan nasehatnya, menyudahi segala kelakuan buruknya. 

"Ibu mau keluar sekarang, atau aku usir Ibu dari sini? Ayo! Sana cepet!" usirnya sambil mendorong ibu hingga keluar. 

Wanita ini lagi-lagi diperlakukan kasar oleh anaknya sendiri, aku tak kuasa melihat ibu seperti itu. Tetapi, aku bingung bagaimana caranya untuk dapat menyadarkannya. 

"Rania! Dengerin Ibu, Nak! Ibu mohon sama kamu, jangan jadi anak durhaka dong!" teriaknya. 

Rania si gadis menyebalkan ini langsung menutup pintu kamarnya. Kuembuskan napas perlahan menatap  langit-langit rumah. Tiba-tiba kepalaku dipenuhi dengan bayang-bayang suasana rumah yang teduh, sejuk, penuh canda dan tawa. Rasa rindu akan saudara lelakiku juga muncul dalam benak ini. 

Kapan, ya khayalanku ini menjadi nyata? 

Bagaimana jika seandainya AA mengetahui kalau wajahku penuh luka seperti ini? 

Dari semua anggota keluargaku, hanya AA Ardhan lah yang selalu memperhatikan kami. Bahkan, ketika ibu sedang terlilit utang karena ulah Diana dan Rania, dia juga membantu kami dalam membayar utang itu. A Ardhan tidak pernah tahu mengenai kelakuan Diana dan adik bungsunya ini. 

"Rania! Dengerin Ibu, Nak!" Ibu menggedor pintu kamar Rania, tetapi sama sekali tak mendapatkan balasan apa-apa. 

"Diam kau wanita tua!" umpatnya. 

"Astagfirullah," gumamku seorang diri. 

***

Hari baru telah dimulai, matahari terbit dan memancarkan sinarnya yang cerah. Pukul setengah tujuh lebih empat puluh lima menit, aku baru saja membuka mata. Tidak kudengar ibu memanggilku atau membangunkan salat subuh. Aih, aku melupakan sesuatu, kalau hari ini masih datang bulan. 

Segera bangkit dan membereskan selimut, bantal dan melipat kasur lantai, kemudian kutaruh di atas papan yang terbentang di pinggir jendela. Karena penasaran dengan luka akibat goresan pisau yang dilakukan oleh Rania terhadapku. Aku pun bergidik melihat wajah sendiri, luka ini membelah dan daging di dalamnya pun keluar.

"Ya Allah, merinding banget si ini. Gimana kalau misal nanti aku keluar? Ah, enggak. Enggak boleh berpikiran negatif deh, Via. Kamu pasti bisa," kataku menguatkan diri sendiri. 

"Assalamualaikum." 

Jantungku berdegup kencang ketika mendengar seseorang mengucapkan salam, sejenak aku terdiam tanpa langsung melihat siapa pemilik suara itu. Namun, setelah cukup lama menunggu dan berharap ada yang membuka pintu selain aku. Ternyata nihil. 

Aku terpaksa pergi dengan menutup wajahku oleh handuk butut, kemudian berjalan menuju ke ruang tengah membuka pintu. 

Bi Nunung teenyata si pemilik suara itu. 

"Punten, ada apa, ya? Ibu sedang keluar mungkin, gak ada di rumah, Bi,"ucapku setengah merunduk. 

Aku tidak melihat bagaimana reaksi wajahnya ketika melihatku dalam kondisi seperti ini, kurasakan jarak di antara aku dan Bi Nunung semakin mendekat. Perempuan tua yang usianya hampir sama dengan ibu naik ke lantai, lalu mendekatiku. 

"Astagfirullah," ucapnya terkejut. 

Dia berhasil membuka handuk yang digunakan sebagai penutup wajahku, harapanku untuk tidak ada orang yang mengetahui kondisi wajahku ternyata sia-sia. Wanita di hadapanku ini menunjukkan reaksi wajah aneh. 

"Bibi kok gitu, liat na? Emangna, ada yang aneh sama wajahku?" tanyaku padanya. 

Tak kuasa melihat reaksinya yang aneh, aku pun langsung menutup wajah  dengan kedua tanganku. 

"Neng Milen, ini kenapa? Apa yang terjadi sama kamu atuh? Naha banyak luka begini, ini lagi kek ditusuk piso, ya?" 

Dia memanggilku dengan sebutan Milen, yap hampir seluruh penduduk di desaku ini memanggil namaku akhirannya saja. Meski mereka mengetahui bahwa namaku adalah Viani Brinza Millenium, tetapi tetap saja. Akhiran yang mereka pake bukan awalannya. 

Walaupun begitu, aku tak mempermasalahkannya. 

"Via enggak apa-apa kok, Bi. Ini cuma luka kecil doang," kilahku. 

Melihat ibu telah datang dari arah warung, segera kualihkan perbincangan ini dan memintanya lekas bertemu ibu saja. 

***

"Bu! Ibu!" teriak Rania. 

"Ada apa, Nak?" tanya Ibu yang berlari kecil dari dalam toilet. 

Rania melemparkan setumpuk pakaiannya ke depan wajah ibu, dia meminta ibu untuk menyetrika semuanya hari itu juga. Padahal, baru beberapa menit yang lalu dia menyuruh ibu mencuci pakaiannya. 

"Tapi, Nak! Ibu belom selesai cuci baju kamu, nanti dulu atuh, ya? Kelarin dulu cucinya, abis itu baru deh." 

Tawaran ibu sama sekali tak digubris. Rania memaki-maki ibu karena ibu tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah dengan cepat, sehingga tak ada satu pun kerjaan yang berakhir selesai. 

"Sekali lagi Ibu cari alesan, aku gosok juga muka Ibu biar kaya si Viani! Mau?" ancamnya. 

"Ya Allah, Nak. Kamu jangan berkata seperti itu dong! Ini Ibumu, Ibu bukan pemban … argh." 

"Kerjakan sekarang juga! Kalau tidak! Awas." 

***

Setelah memastikan pekerjaanku telah selesai, mulai dari mencuci piring, menggosok bajuku dan ibu, memasak sebisa mungkin juga menulis cerita. Kebetulan hari ini mood-ku hancur banget, hanya dapat menyelesaikan tiga bab setengah saja dalam kurun waktu kurang lebih lima jam lamanya. 

Aku pun menyudahi dan sebelum pergi ke ruangan depan untuk mencari sesuap nasi. Aku mencharger ponsel dulu. Batre ponselku sudah 15%. 

"Bu, lagi ngapain sih?" tanyaku padanya. 

"Emang kamu gak bisa liat, Ibu lagi ngapain?" Ibu malah balik menyerang. 

"Biar ku bantu, Bu," usulku. 

Rania datang dan melarangku membantu ibu. Gadis itu terus berdiri di samping ibu sambil memegang ponselnya. 

Beberapa menit kemudian … 

Suasana di dalam ruangan depan terasa hening seketika. Terdengar suara ponsel berdering milik Rania. 

Gadis itu melangkah menjauh dari kami, kemudian mengangkat sambungan telepon. 

"Halo, ada apa?" 

Seperti biasa, kalian jangan pernah heran atau bingung mendengar segala seruan Rania. Mau itu pada ibu, aku, kakaknya sendiri atau bahkan terhadap orang lain yang lebih tua sekali pun tetap sama. Cuek dan dingin. Satu-satunya orang yang paling bengis di dunia ini mungkin ya dia. 

Entah bagaimana bisa dulu ibu melahirkannya. Mengapa ibu punya anak yang memiliki watak seperti itu? Andai saja waktu dapat terulang kembali. 

"Nt, nelpon cuma mau tanya si Viani? Ah, ji, kalau gini caranya kenapa gak nelpon ke nomornya saja? Lo juga punya kali nomornya? Iya, gak?" tanyanya. 

Nada suaranya benar-benar seperti petir yang menyambar begitu cepat. Dalam hati aku berkata, mengapa pake sebut namaku segala? Kenapa bisa dia begitu? Sebut kakak sendiri si. 

Tak lama kemudian, Rania mendekat dan menyodorkan ponselnya padaku. 

Duh, perasaanku sudah gak enak ini, apa, ya? 

"Halo, siapa?" Aku tak sempat melihat siapa yang memanggil, menanyaiku. Makanya langsung bertanya. 

"Ini gue, Diana," katanya. 

Aku heran dengan anak jaman sekarang, asli orang kampung, namun kelakuannya seperti orang kebanyakan di ibu kota. Benar-benar aneh. 

"Iya ada apa? Maunya apa?" 

"Tolong dong! Belikan gue pulsa 100 ribu sekarang, soalnya kemarin abis dipake sama anak gue buat yutuban!" pintanya. 

"Apa? Aku gak salah denger, kan ini? Kamu minta beliin pulsa sama aku? Yang gak kerja, oh helow. Duit dari suami ke mana selama ini? Bukannya seminggu sekali selalu dikirim, ya? Lima juta perminggu loh, itu ke mana?"

Aku mendengkus kesal, merutuki nasibku yang malang ini. Bisa-bisanya orang sekaya dia minta beliin pulsa ke aku, gadis yang baru keluar sekolah tahun kemarin dan belum kerja? 

Sedangkan dia? Hidup di rumah yang begitu mewah, tempat tidur nyaman dan apa yang dai mau selalu dituruti oleh suaminya. Lalu, mengapa hanya untuk membeli pulsa saja mesti memintaku membelikannya? 

Aneh!

Untuk kali pertamanya aku menolak permintaannya, setelah cukup lama segala yang dia mau ku turuti. Namun, tidak dengan hari ini. 

"Enggak! Aku tidak mau. Dari mana aku punya uang buat beliin kamu pulsa, Diana sementara kondisi di kampung lagi failed? Kamu nyadar gak sih? Kalau masih minta beliin pulsa ke sini, ke mana uang yang suami kamu berikan selama ini? Masa seminggu langsung abis lima juta?" 

"Dasar adik go***, enggak tau diri lo! Cuma minta 100 ribu, lo gak ngasih? Dasar pelit!" hinanya. 

Kupasrahkan semuanya kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala yang telah Dia berikan pada kami. Mungkin, rasa nyeri yang sedang kurasakan saat ini bisa kutahan. Akan tetapi, umpatan-umpatan yang dia utarakan, tidak akan mampu menahannya. 

Selepas mendengar umpatan-umpatannya terhadapku, gegas kuberikan lagi ponsel milik Rania. Dam Rania mengambilnya, kemudian pergi ke kamar. 

"Bu, aku heran deh sama Diana," ucapku pelan. 

Ibu menoleh ke arahku, lalu tak lama dia kembali menggosok pakaian anak bungsunya.

"Memangnya kenapa lagi sama dia, Via? Tadi dia bilang apa? Kamu gak suka kek nya." 

"Ya jelas tau lah, Bu. Ibu sendiri tau, kalau aku sempat tinggal sama dia waktu usia masih kecil," sanggahku. 

"Terus, kenapa kamu bisa tau kalau dia sering di transfer lima juta?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status