Share

Part 02. Penyiksaan Bertubi-Tubi

Setelah memastikan Rania, si gadis menyebalkan itu pergi sekolah. Gegas kuhampiri ibu dan meminta ibu menyudahi pekerjaannya mencuci pakaian Rania. 

"Bu! Aku mau bicara sama Ibu, sekarang juga ku mohon tinggalkan toilet dan ikut aku!" titahku kepadanya. Hati kecilku sangat sakit rasanya, harus berucap dengan nada tinggi. Aku yakin, ibu pasti setelah ini akan menangis. 

Ibu bangkit dan kulihat mencuci tangannya, kemudian mengikutiku hingga ke ruang tengah. Di saat kami berdua telah saling berhadap-hadapan, kuberanikan diri untuk mengembuskan napas, lalu membuka suara. Bismillah. 

"Bu, viani mohon sama Ibu, jangan mau disuruh-suruh sama Rania! Via cuma gak mau kalau harus liat Ibu dimaki-maki, Via gak mau! Plis, ku mohon jangan lakukan lagi! Biar aja Via yang lakuin semua itu!" pintaku pada Ibu. 

Ibu berdecak pelan. Pancaran sinar matanya membuatku memalingkan pandangan ke arah lain, ya setidaknya aku tidak melihat ibu menatapku dengan tatapan tajam. Melihatnya seperti itu, bulu kudukku tiba-tiba merinding, astagfirullah, Via. 

Kuperhatikan sejenak ibu tak langsung menjawab permintaanku, melainkan sepertinya beliau sedang menimang-nimang kembali apa yang harus dikatakan kepadaku. Sungguh, rasa tak tega membuatku ingin menyudahi segalanya. 

Ibu, aku hanya tak ingin melihat ibu dibentak. Apa salah kalau aku, anakmu, Viani ini meminta satu permintaan? Enggak susah kok, Bu! Aku kepengen ibu untuk berani. 

"Bu, Ibu kenapa diam? Ibu mau, kan nuruti permintaan aku? Aku gak minta harta atau apa apun yang dapat menyusahkan Ibu kok. Jujur, aku, Viani Brinza sebagai anak ibu merasa sakit hati melihat satu-satunya orang tua diperlakukan semena-mena oleh anaknya sendiri!" 

"Tapi Ibu biasa aja tuh, malahan Ibu gak keberatan, Via! Kamu jangan sok ngurusin orang lain deh! Sebaiknya, sana nulis, hasilin duit banyak kalo perlu!" bentaknya. 

Nadanya lembut, tetapi sayangnya dibalik kelembutan itu tersimpan kata-kata yang sangat menyakitkan hatiku. Kuakui hingga saat ini, aku belum menghasilkan uang meski usiaku sudah lewat dari 17 tahun. Akan tetapi, mencari uang tak semudah membalikkan telapak tangan, bukan? Ada harga yang harus dibayar untuk itu. 

Siang malam ku begadang membuat sebuah tulisan, lantaran ketika pagi hari sangat sulit untukku melakukan hal tersebut. Namun baik siang maupun malam, sama saja tak ada beda sama sekali. 

Ketika air mata ini sudah berhenti dan telah mendapatkan sedikit kekuatan untuk bicara lagi pada ibu, aku pun mencoba meyakinkannya. Kukatakan kepadanya, jika aku sungguh-sungguh tidak masalah jika harus menerima penyiksaan dari Rania atau Diana sekali pun. Diana di sini adalah saudara kandungku, lebih tepatnya adalah kakakku. Akan tetapi, aku dengannya beda ayah, masih satu ibu. 

Kelakuan Diana dan Rania memang sangat mirip, bedanya Diana dulu ditinggalkan oleh ibu kala ibu masih berada di Bandung dan tinggal bersama mertua atau orang tua dari suaminya yang pertama. 

Diana melarikan diri dari Bandung—Subang ke Tasikmalaya seorang diri, seingatku kata ibu saat Diana masih berusia sepuluh tahun. Entah apa penyebabnya. Namun, Rania sendiri memang sejak kecil wataknya seperti itu. Tapi terkadang seringkali ku terbawa sampai perasaan dan dikit-dikit jika gadis itu tengah bicara dengan nada kasar air mataku mengalir deras. 

"Bu!" panggilku. "Coba sekarang lihat seluruh badan Ibu? Penuh luka dan semuanya lebam, kan karena ulah Rania. Kumohon, demi aku, Bu! Kalau Rania nyuruh-nyuruh jangan mau!" 

"Ckk … sudahlah! Tau apa kamu, jangankan di siksa sama Rania. Baru denger suaranya aja dah nangis, gimana mau bantu Ibu kalau kamu sendiri begini?" Pertanyaan Ibu membuatku terdiam tanpa kata. 

Nyaliku menciut. 

***

Tak terasa hari sudah siang, bahkan mau hampir sore. Senja yang kurasakan kali ini terasa sangat berbeda, kerinduan akan kehangatan keluarga selalu kubayangkan sejak kecil hingga sekarang belum dapat kurasakan. Aku duduk termenung seorang diri di samping rumah kosong, tentunya ditemani oleh ponsel butut dan tidak hanya sekadar duduk biasa saja. 

Dari jarak jauh, dapat kulihat Rania telah pulang. Ketika jarak antara kami semakin dekat, dia melewatiku tanpa sedikit pun menoleh. 

"Bu! Ibu!" teriaknya. 

Terdengar lengkingan Rania hingga sampai ke rumah kosong, setelah itu di susul oleh sebuah barang yang dilempar. Dalam hati aku berkata, dia pasti lempar tasnya, pikirku. 

Aku pun menyudahi aktivitas menulisku dan segera masuk rumah lantaran waktu sudah hampir sore, sambil membereskan semuanya lagi-lagi gadis menyebalkan itu meminta ibu menyajikan makanan. Mungkin dia lapar, pikirku lagi. Wajar saja sih, orang sehabis sekolah, kemudian lanjut bekerja dan pulang pastinya ingin langsung makan atau kalau tidak mereka akan tertidur karena rasa lelah yang menghadang. 

Rania meminta ibu menyiapkan makanan, makanan yang dia minta harus lah bermacam-macam. Tidak boleh satu atau dua pilihan. Namun sebelum itu, dia menyuruh ibu membeli mie instan di warung terdekat. 

Aku memberanikan diri menawarkan bantuan, biarlah aku yang membeli mie instan dan ibu menyiapkan makanan. Tetapi, ibu menolak dan menatapku tajam. Apalah dayaku, aku hanya bisa mengembuskan napas perlahan dan menanti apa yang akan dilakukan oleh Rania selanjutnya. 

Aku bersyukur keadaan rumah rapi dan bersih juga wangi. Maka, tidak masalah mau aku duduk-duduk atau melakukan apapun. 

Beberapa menit kemudian. Usai ibu membelikan mie instan untuknya, lalu ibu pergi ke dapur dan menyiapkan makanan untuknya. Sepuluh menit selanjutnya, makanan yang diminta Rania telah siap. Ibu pun membawa nampan dan memberikannya kepada Rania. 

Duh, enak banget sih itu makanannnya. Boleh minta gak sih? Aku aja dari pagi belum makan, lah ini, enak banget jadi Rania, bisikku. 

"Ckk … Bu!" panggil Rania seraya berdecak. 

"Ia, Ran, ada apa?" tanya Ibu. 

Drama pun di mulai, rutukku dalam hati. 

"Makanan apaan ini? Bu, aku gak suka, ya makanannya! Ciah, makanan apaan kek begini, asin," ungkapnya. 

Detik itu juga Rania menendang piring yang berisi makanan ke luar, separuh dari itu dia angkat lalu dibanting di hadapan ibu. Aku yang melihat hal itu sungguh tak terima, gegas ku menghampirinya dan membentak gadis tak tahu diri itu. Kuberanikan diri untuk menamparnya, kemudian menatap ibu. 

Ibu memohon ampun pada Rania dan meminta maaf karena makanan yang disajikan olehnya tidak enak. Sedangkan aku, ingin ibu menyudahi semuanya, tak perlu repot-repot meminta maaf kepada orang busuk sepertinya. 

Kulihat darah segar keluar dari ujung mata ibu, hati ini merasakan sakit luar biasa. Entah. Bagaimana bisa serpihan piring itu mengenai ujung matanya? Sekeras itu Rania melempar piringnya hingga mengenai wajah keriput ibu? Memang adik tidak tau etika. 

"Ran, ibu minta maaf, Nak. Ibu akan ganti lagi, sesuai apa yang yang kamu minta, tapi maafin ibu, ya!" lirihnya sembari bersujud. 

"Bu, Ibu gak perlu bersujud di kaki dia, Bu. Ibu! Viani mohon, jangan lakukan itu! Liat wajah Ibu, liat darah ngalir dari ujung mata Ibu. Bu." Kucoba untuk menarik lengannya dan mengangkat tubuh ibu. Niat hati ingin membawanya ke kamar, tetapi aku malah di dorong. 

Beruntung aku busa menahan dan tanganku tak terkena serpihan kaca. Jika tidak? Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. 

"Baik, aku maafin Ibu. Tapi dengan syarat Ibu harus buatkan aku lagi makanan, kalau tidak? Jangan harap kalian bisa tidur dengan nyenyak malam ini!" ancamnya. 

"Rania! Kamu terbuat dari apa sih, jadi orang hah? Gak punya hati banget. Heh, perlu kamu tahu Ibu udah gak punya uang lagi, dari mana bisa beli makanan yang enak buat kamu? Beras aja dah kosong, Rania!" terangku. 

Berharap dengan menjelaskan ini kepadanya, dia dapat mengerti dan meminta ibu membatalkan keinginannya. Akan tetapi, ternyata pikiranku yang salah. Manusia macam Rania memang tidak punya hati. 

"Viani, sudah! Ibu bisa pinjem kok ke tetangga seratus ribu lagi," sergah Ibu. 

"Tuh, dia aja gak masalah. Kenapa lo yang sewot?"

"Apa? Ibu mau pinjem lagi? Ingat, Bu! Utang kita udah 200 ribu loh, kalau kita pinjem lagi dari mana bayarnya?" Rasanya semakin tidak rela, melihat ibu hanya demi seorang Rania mau untuk berutang. 

"Pokoknya aku gak mau tau, Bu. Ibu jangan berutang lagi, Bu!" 

Rania mendorongku, aku pun mengaduh kesakitan lantaran kali ini tangan kiriku benar-benar mengenai serpihan kaca. Malah sekarang serpihan itu menancap di tangan tersayang ini. 

Sementara ibu pergi ke dapur, aku memcoba menasihat gadis itu setelah menutup gorden. Sekarang, waktu sudah menunjuk ke angka setengah enam lewat sepuluh menit. Sesekali terdengar suara jangkrik di sekeliling rumah. 

"Rania, udah ya! Aku mohon, jangan kamu suruh-suruh ibu! Sekali lagi kuingatkan sama kamu, dia ibumu bukan pembantumu, Rania!" 

Rania melangkah ke dalam dan sedetik kemudian kembali lagi keluar. Kurasakan ada sesuatu yang tidak enak, dalam hitungan ketiga gadis itu mendekatiku dan menancapkan jarum tajam itu dipipiku. Sayang, tidak hanya sekedar menancapkan saja. Rania menyiksaku dengan beberapa kali menggores pipiku dengan jarum itu. 

Aku pun menjerit, menahan rasa sakit yang menggerogoti pipiku. Kualihkan pandangan ke arah ibu dan sontak membuatku terlejut karena dia berteriak menghentikan ulahnya. 

"Rania!! Hentikan! Rania-Rani, cukup!" katanya. 

"Bu … Rania, aku mo … hon … sudahi! Sakit, Ran! Argh!" 

"Ini belum seberapa, Via! Ini balasan dari gue karena lo berani-beraninya nasehatin gue. Idup lo aja berantakan dan sekarang, mau-maunya nasehatin gue? Ngaca lo!" Rania semakin geram dan kurasakan benda kecil itu masih berada di pipiku. Kucoba menepiskan tangan Rania berharap benda kecil itu dapat diambil. 

Namun mirisnya hidupku ini, jarum itu patah. Aku terkejut, kuraba pipi untuk memcari patahan jarum itu. Dan ya, patahannya masih menempel di pipi kanan. 

Bagaimana aku mengambilnya? 

Ya Allah, kuatkanlah hambamu ini. Aku benar-benar tak tahan rasanya, perih, ya Allah. Ya Allah, bukakanlah pintu hati Rania agar gadis itu bertaubat dan tidak berbuat jahat lagi semoga, lirihku. 

"Aku tidak sanggup kalau harus menahan sakit seperti ini. Kumohon, berikanlah hidayah padanya." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status