"Apa kalian baik-baik saja?" tanya Hadi dengan suara lirih bertanya kepada menantunya yang kini terdiam didepannya.
"Iyaa pak, kami baik-baik saja." ucap Badai tak mampu menjelaskan apapun didepan bapak mertuanya ini.
"Jingga tak pernah kesini lagi sejak terakhir kali dia datang hanya sendirian. Bapak menyuruhnya pulang lagi malam itu." ucap Hadi menuturkan.
Pria paruh baya ini melihat ada gejolak besar dalam rumah tangga puterinya, namun Hadi tak akan mencampurinya sebelum keduanya membuka diri dan mengatakan secara langsung masalahnya kepada Hadi.
"Baiklah Pak, saya pamit. Mungkin Jingga sudah dirumah, bisa saja kami papasan saat dijalan kan." ucap Badai mendadak sangat gugup.
Pria ini kemudian berjalan ke pintu, namun disana ibu mertuanya tengah menatap dengan sangat heran dan penuh tanda tanya.
"Siapa disana? Wanita hamil tua yang duduk di mobilmu?" ucap ibunda Jingga kepada Badai.
'glegk'
Seketika Badai menelan sal
Hikz. Gak terbayangkan dech gimana kalau aku yang menjadi Jingga dalam kehidupan nyata. Hikzzz. Auto nangis bleberan seumur hidup. Tinggal serumah dengan isteri kedua! Lebih serem daripada tinggal di rumah berhantu. Setuju gak?
"Jingga, ini adalah bagian pekerjaanmu. Setiap hari, kau bertanggung jawab untuk semua dokumen ini. Setelah ku tanda tangani, maka kau harus ke lantai atas untuk mendapatkan tanda tangan Presdir kita dan setelahnya langsung menyerahkan dokumen ini ke bagian yang dituju di bagian depan ini." ucap Galuh menjelaskan pekerjaan Jingga engan sangat runtut dan mudah difahami. "Terimakasih Pak, akan saya kerjakan dengan sebaik-baiknya." ucap Jingga menjawab. Keluh dan kesal sebenarnya memenuhi benaknya Jingga saat ini, bagaimanapun seingatnya dia diterima disini sebagai salah satu bagian dari staff multimedia, namun yang akan dilakukannya kali ini justru tak lebih dari pekerjaan seorang helpher saja. 'Mungkin karena masa percobaan' gumam Jingga menyemangati dirinya sendiri. Pukul sepuluh pagi ini, dua dokumen sudah ditandatangani oleh Galuh dan itu artinya Jingga harus masuk ke ruangan kerja suaminya untuk meminta tanda tangannya. Jingga berjala
Jingga sudah berjalan di trotoar menunggu bis atau angkutan umum lainnya lewat. Jam kerjanya selesai pukul enam sore. Dengan langkah yang pelan, Jingga terus melangkahkan kakinya di tepian jalan. Di sebelahnya, gedung megah Hankaara Group berdiri kokoh dan sanggup membuat semua mata yang melihatnya langsung menaruh mimpi untuk bisa menjadi bagian dari perusahan bonafide ini. Sebagaimana Jingga, yang dulu juga pernah memiliki mimpi seperti itu. Di masa SMA, Jingga melewati jalanan ini setiap pulang dan pergi sekolah. Suatu hari Jingga bahkan dengan snagat percaya diri mengatakan jika dia bercita-cita untuk menjadi seseorang yang snagat penting di Hankaara Group. Air matanya menetes perlahan mengingat kekonyolannya saat itu. 'kau sudah mendapatkan cita-citamu Jingga!' gumamnya mengasihani diri sendiri. Jingga memang sudah menjadi orang penting di balik Hankaara Group. Karena sebagai isteri pewaris utama Hankaara Group maka posisi Jingga sangatlah
"Dimana karyawanmu yang bernama Jingga itu?" tanya Badai kepada Galuh. "Sedang ke bagian keuangan pak." jawab Galuh. Badai tak menunggu lagi, pria ini langsung menyusul Jingga yang tengah berada di Departemen Keuangan. Langkahnya tergesa-gesa sekali. "Presdir, ada yang bisa kami bantu?" ucap Maya kepada Badai saat melihat pria itu masuk ke ruangannya. 'degg' Jingga yang menyadari kehadiran suaminya disana langsung pamit ke Pak Haryo yang juga sudah menyerahkan dokumennya pada Jingga. Melihat Jingga berjalan keluar, Badai tak menggubris Maya dan langsung mengikuti isterinya keluar dari ruangan itu. Jingga terus berjalan diikuti Badai yang terus mengikutinya hingga sampai di koridor khusus yang sepi. 'gepp' Langkah Jingga terhenti saat tangan Badai menggenggam pergelangannya. "Kenapa kau tak pernah pulang?" ucap Badai dengan gejolak di hatinya. "Kenapa mas baru mencariku sekarang?" ucap Jingga bali
"Sayang, aku ingin mengunjungi ayah." uia cap Badai kepada Jingga. "Tapi mas, aku takut." ucap Jingga menjawab. "Tidak apa, kuharap mereka masih menyisakan sisa maaf meski hanya sedikit untukku." jawab Badai. Pria itu kemudian membawa Jingga ke dalam Roll Royce nya dan langsung melajukan menuju kediaman orang tua Jingga. Sekitar setengah jam perjalanan, Jingga datang ke rumahnya. "Berhenti disana, Jingga jika kau masih belum mengerti. Sebaiknya kalian segera pulang dari sini." ucap Santi ibunda Jingga dengan sorot tajam menghakiminya. "Bu, mas Badai kesini untuk berziarah ke makam ayah." ucap Jingga dari balik pagar yang maish tertutup rapat itu. "Ibu sangat malu padamu Jingga, demi pria kaya kau melenyapkan harga dirimu dan kehormatan keluargamu! " ucap Santi dengan suara bergetar. Badai hanya terdiam, dia tahu betul jika semua pemberitaan mengenai pernikahannya dengan Tammi cepat atau lambat pasti akan sampai ke telin
Makan siang hari ini menjadi saat-saat yang jauh lebih menyebalkan, bahkan lebih memuakkan daripada saat ada Tammi dalam kehidupan mereka. Kedatangan kedua mertuanya untuk pertama kali, menjadi sebuah tornado besar yang akan kembali membuat bahtera indha mereka terkoyak. Sejumlah menu kesukaaan mertuanya sudah dimasak dengan sepenuh cinta oleh Jingga. Namun mereka bahkan tak mau mencicipinya sedikitpun. Masih terngiang jelas penolakan Mama Badai atas semua tentang dirinya beberapa menit yang lalu. "Maaf Badai, kau lupa jika mama tak suka makanan rumahan? Ayoo, ikut dengan kami atau kau terpaksa kami coret dari keluarga Hankaara." ucap Mama Badai sangat tegas. Badai hnya bisa mengekori kedua orang tuanya, "Dan kau, tetap dirumah." ucap Mama Badai kepada Jingga. Cadillac One itu pergi, meninggalkan hujaman sembilu yang menguliti habis-habisan harga diri juga kepercayaan dirinya Jingga. Wanita yang baru saja bernafas dari te
"Pagi Pak." ucap Jingga menyapa Galuh saat baru saja datang alamat yang diberikan oleh pria itu kemarin malam. "Jingga, mari masuk." ucap Galuh kepadanya. Jingga kemudian dikenalkan kepada puterinya yang masih sangat bayi itu. Berlian, nama bayi itu yang baru berusia 4,5 bulan. Bayi lucu dan mengegmaskan yang di vonis hyperaktif ini akan kesulitan dalam istirahat. Itulah yang membuat pengasuh-pengasuh sebelumnya tak kuat. "Pak, tolong jangan katakan kepada siapapun jika saya bekerja pada anda sekarang." ucap Jingga kepada Galuh. Dengan canggung dan berat hati, Galuh akhirnya menyanggupinya. Pria itu sebenarnya tak ingin berbohong, namun dia juga membutuhkan Jingga untuk merawat puterinya, karena itu dia akan menyanggupi janjinya. Mulai pagi ini, Jingga bekerja 24jam sebagai pengasuh Berlian di rumah Galuh yang berada di sebuah hunian elit di pusat kota. Jarak rumahnya ke kantor tak terlalu jauh. Menjadi pengasuh Berlian, Jingga sudah m
"Saya, iyaa saya isterinya!" ucap Jingga yang terpaksa berbohong hanya supaya Galuh segera ditangani tim medis di klinik Pratama tersebut. Mendengar ucapan Jingga, perawat dan dokter jaga tersebut langsung mendorong bangsal Galuh ke dalam ruangan tindakan. Namun sayangnya, kondisi Galuh semakin kritis saja. 'kriing' 'kriing' Suara teelpon masuk di ponsel Galuh terus berdering. Dokter kemudian mengeluarkan posnel dari saku celana pria itu dan menyerahkannya kepada Jingga. "Nyonya, sepertinya seseorang menghubungi suami anda sejak tadi." ucap dokter kepada Jingga. Jingga segera mengambilnya, dan nampak sebuah kontak masuk ke ponsel tersebut sejak tadi. Dengan berat hati dan bingung Jingga mengangkat teleponnya. "Tuan Muda, apa yang terjadi? Lokasi anda menunjukkan jika anda tengah berada di klinik?" ucap seseorang dis eberang telepon terus bicara. "Kau keluarga Galuh? Yaa, Galuh kritis disini." ucap Jingga
"Maaf Nyonya, saya tak butuh uang itu." ucap Jingga sambil melemparkan kembali uang tersebut ke hadapan ibunya Galuh. 'pluk' "Dasar wanita miskin! Beraninya kau mengaku-ngaku isterinya Galuh!" hardik wanita itu kepadanya. Namun Jingga tak menggubrisnya, wanita itu sudah sangat kebal terhadap caci maki penghinaan yang ditujukan padanya. Yaa, sejak hari pernikahannya gagal saat itu, rasanya semua penghinaan seolah menjadi teman baiknya. Jingga melewati koridor rumah sakit dan berjalan ke rumah Galuh. Bagaimanapun dia harus membawa barang-barangnya disana, namun sial karena sesampainya di halaman rumah Galuh. Pita kuning Kepolisian membentang disana. "Mereka pasti melaporkan kepada Polisi! Ahh, seharusnya aku melarikan diri saja daripada membawa Galuh ke klinik." ucap Jingga dalam hatinya. Wanita itu kemudian mengorek uang di saku bajunya. Beruntung sekali, karena dia masih menyimpan beberapa puluh lembar uang di cardigannya itu.