Tepat jam delapan malam, setelah aku selesai makan dan mencuci piring, aku akan meluncur ke kamarku dan menunggu telepon berdering. Itu adalah waktunya Jace menghubungiku. Namun, sudah lewat dari tiga puluh menit, handphone-ku masih belum menunjukan tanda-tanda berdering.
’Jace, lagi sibuk atau lagi tidur?’ Isi teks yang aku kirim pada Jace.
Sudah satu jam dan tidak ada balasan apa-apa. Aku mencoba menguhubunginya terlebih dahulu. Namun, tidak diangkat.
Aku berguling ke kanan dan ke kiri, sesekali duduk di tepi ranjang. Dengan perasaan waswas, menunggu teleponku berdering, atau setidaknya pesan teks yang mengabari kalau dia sedang sibuk dan belum bisa menelponku saat ini.
Setengah jam berlalu. Aku tidak tahan untuk tidak menekan ikon hijau ketika nomor Jace sudah aku pilih pada daftar kontak.
“Hi, this is Samantha. Jace is drunk and can't talk to you at this time. Just leave a message or whatever. Bye.”
Samb
“Demamnya tinggi. Kamu jagain kakakmu sehari ini aja, ya? Mama enggak bisa ninggalin Tante Yanti sendirian di gedung.” Samar-samar, aku mendengar suara ibuku berbicara pada seseorang. Namun, kemudian suara itu kembali menghilang, berganti dengan suara lengkingan seorang wanita. Memanggil-manggil nama Jace. Aku melihat sekeliling. Hanya ada pepohonan besar yang rantingnya saling bertumpang tindih. Daunnya terlampau rimbun sampai mampu menghalangi sinar matahari di atasnya. “Jace, jangan tinggalkan aku.” Suara wanita tadi kembali terdengar. Sekarang gaungnya ada di semua penjuru mata angin. Aku berputar demi mencari dari mana asal suara itu. Aku menemukan Jace sedang berjalan ke arahku. Aku tersenyum lebar ketika dia merentangkan kedua tangannya untuk menyambutku. Namun, langkah Jace terhenti seiring dengan suara wanita yang kembali terdengar memanggil namanya. Ternyata wanita itu ada di belakangnya. “Aku hamil,” ungkapnya dengan derai air mata.
“I love you, Jace.” Sudah sepuluh menit semenjak kalimat itu keluar dari mulutku. Namun, tidak ada satu pun kata yang terucap dari bibir Jace. Dia memilih untuk tetap diam sambil mendesah panjang. Seakan pernyataan cinta yang didengarnya tadi adalah sebuah beban yang teramat berat baginya. Kami duduk bersisian di atas lantai, bersenderkan tepi ranjang yang rendah. Satu kaki Jace lurus ke depan, sedangkan kaki yang lain ditekuk menopang tangan yang terjulur di atasnya. Aku menarik kedua lututku ke dada, dan memeluknya dengan erat. “Kok, bisa lo ada di sini sekarang? Bukannya semalem lo masih di Amerika?” tanyaku memecah kesunyian. Juga untuk mengalihkan rasa kecewa akibat pengabaian Jace atas ucapanku sebelumnya. Jace mencari wajahku yang berada di tepi bahunya. Satu tangannya yang bebas memegang puncak kepalaku dan mengusapnya dengan lembut. “Gue dari kemarin udah ada di Indonesia. Waktu gue nelpon lo, gue udah ada di rumah.” Aku mengu
"Jawab, lo ngapain di sini?!" Mataku membulat mendengar Jace bersuara kencang padaku. Apalagi kami sedang di lobi gedung perkantoran. Membuat semua mata memandang ke arah kami. “Gu-gue ngajuin kontrak sponsor buat pensi,” jawabku terbata. Aku masih tidak mengerti apa yang menyebabkan Jace menjadi sewot seperti ini. Aku yakin dia marah bukan karena melihatku sedang di kantor ayahnya. Matanya sudah merah semenjak dia melangkah dengan tergesa-gesa saat tadi melintasi lobi. “Udah beres?” Suaranya sedikit melunak, tetapi tidak mengurangi gurat kencang pada rahangnya. Aku menggeleng pelan menjawab pertanyaanya. Tiba-tiba dia menarik tanganku dengan kasar. Aku terseok di belakangnya karena Jace berjalan dengan langkah yang cepat sambil menyeretku. “Lo kenapa Jace? Lo kenapa minum di jam sekolah?” tanyaku ketika kami sudah masuk ke dalam lift. Jace tidak menjawab. Seorang wanita yang juga bersama kami di lift mencoba menyapa Ja
Aku masih bersimpuh ketika Jace keluar dari lift. Pintu menutup dan lift kembali bergerak naik. Aku belum mampu mencerna maksud ucapan Jace sebelum dia meninggalkanku tadi. Berakhir? Maksudnya kami putus? Tapi kenapa? Aku menggeleng kencang. Dadaku memang sudah bergemuruh semenjak mendengar kalimat putus dari mulut Jace. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku yang memerlukan penjelasan sampai aku belum bisa memutuskan untuk menangis. Aku menekan tombol angka untuk lantai dasar agar lift kembali turun. Dengan tergesa-gesa, aku segera keluar dari lift begitu bunyi tanda kotak besi ini telah mencapai lantai yang di tuju. Dua orang teknisi dengan papan tanda elevator rusak menyambutku di mulut lift. Mereka memandangku heran ketika melihatku keluar dari sana. “Bukannya tadi ada laporan lift utama rusak?” bisik salah satu dari mereka yang sudah memegang perkakas besi. “Itu katanya Mas Jace yang lapor. Apa dia lagi iseng?” temannya malah balik
Aku menampar Jace di depan teman-temannya. Tidak peduli dia akan terhina atau tidak. Yang penting aku sudah meluapkan kekecewaanku padanya. Sudah dua kali aku menampar orang yang sama. Seseorang yang bahkan namanya ada di dalam daftar orang-orang yang aku doakan. Seseorang yang aku berikan kata cinta dengan tulus. Air mataku tumpah ketika pintu mobil aku tutup dengan kencang. Aku menyalakan mesin dan segera menginjak pedal gas. Kemudian berkendara tanpa tujuan, melewati jalan panjang menuju tempat yang tidak pernah aku lalui sebelumnya. Aku menepikan mobil di bawah sebuah pohon besar yang rantingnya mampu menaungi hampir separuh badan jalan. Entah pohon apa namanya, namun dia memiliki bunga kecil berwarna kuning di setiap ujung rantingnya. Menciptakan siluet yang cantik ketika terkena sinar matahari sore. Suasananya indah. Sangat cocok untuk seorang gadis menyedihkan yang ingin menangis dengan kencang. Sambil menumpahkan rasa sesak yang sudah berhari-hari mencekik le
Ayahku mengantar sampai aku masuk ke dalam gerbang sekolah. Dia berkali-kali mengingatkan bahwa aku harus fokus dan melupakan masalah lain selain materi yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari.Dia menyadari mata sembap dan suaraku yang serak. Namun, dia tidak bertanya lebih lanjut tentang apa yang telah terjadi denganku sampai aku harus menangis semalaman. Lagipula, ayahku juga terlihat tidak dalam kondisi yang bagus. Ada lingkar hitam di bawah matanya, dan berkali-kali dia menghela napas dalam-dalam. Seperti sedang melepaskan keresahan dalam hatinya. Aku menduga, dia habis bertengkar lagi dengan ibuku.”Pah, doakan ya,” ucapku ketika aku hendak keluar dari mobil.Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum lembut. “Pasti dong, Kat. Enggak usah diminta juga Papa pasti doakan kamu.”“Nanti kalau aku lolos ke tingkat nasional, Papa juga harus anterin aku kayak gini ya,” pintaku dengan manja.Tangan ayahku terjulur dan m
Aku tidak ingin berlama-lama merayakan hari-hari patah hati. Kegiatanku yang padat seharusnya bisa mempercepat pemulihan luka-luka tak kasat mata di dalam badanku. Aku sudah membuat jadwal secara terperinci. Dari mulai apa yang harus dilakukan ketika bangun pagi, hingga saatnya aku kembali tidur di malam hari. Aku punya banyak rencana. Plan-A, plan-B, plan-C dan seterusnya. Yang akan aku jalankan jika aku tidak sengaja bertemu dengan Jace kelak.Seperti sebuah pepatah klise yang sering aku dengar, kenyataan tidak selalu sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Memang menghindari pertemuan langsung dengan Jace itu sangat mudah. Kami tidak saling bersinggungan dalam kegiatan sekolah. Kelas kami berbeda. Klub ekstrakulikuler kami berbeda. Dan lingkaran pertemanan pun berbeda.Namun, ada bayak hal yang membuatku merasa seperti diikuti bayangannya. Aku merasa seperti selalu berada di bekas jejak langkahnya, dan terperangkap di udara bekasnya bernap
“Katy.” Suara Zoey mengembalikanku dari lamunan panjang. Aku menoleh dan memperhatikan jari-jari tangannya yang memegang kemudi dengan erat. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengajukan pertanyaan yang semenjak kami duduk berdua di dalam mobil, pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. “Kenapa lo mau?” Zoey mengerutkan keningnya. “Apa?” “Ini semua.” Aku melirik tajam ke arahnya. “Lo diminta Jace untuk datang. Dan lo datang dengan senang hati.” “Jace bilang lo dalam masalah dan dia butuh bantuan gue.” “Lo terlalu jauh mencampuri urusan gue.” Nada suaraku meninggi. “Lo itu menantang bahaya, Kat!” “Tapi ini semua enggak ada hubungannya sama lo. Lo bukan siapa-siapa gue lagi.” Zoey menggelengkan kepala. Seolah kecewa dengan apa yang telah aku ucapkan. “Kat, sadar! Lo terlalu tergila-gila sama cowok itu. Sikap lo udah enggak wajar.” Aku membuang pandanganku ke samping. Mencoba menyembunyikan bulir beni