Share

Bab 4

Author: KarenW
Sudut pandang Kellen.

Besok adalah hari keberangkatan.

Aku pikir sisa waktuku akan berlalu dengan tenang, mungkin bahkan damai, sampai ponselku menyala dengan panggilan tak terduga dari Rio.

“Apa kamu bakal pulang untuk makan malam?” tanyanya.

Pertanyaan itu membuatku terkejut. “Mungkin tidak, aku sedang sibuk berkemas.”

Ada jeda. Kemudian aku mendengar suara napasnya yang samar di ujung telepon.

“Hari ini ulang tahunku,” katanya.

Oh ya. Aku tidak pernah lupa ulang tahun mereka sebelumnya. Tidak sekalipun, sampai tahun ini.

“Maaf,” gumamku, rasa bersalah mengaduk perutku.

Rio berbicara lagi, kali ini lebih lembut. “Jadi, pulang untuk makan malam? Aku membuat pasta. Favoritmu.”

Aku hampir menolak. Aku membayangkan masuk ke dalam ruang makan, hanya untuk merasa seperti orang asing di keluargaku sendiri sementara mereka bertiga mengitari Siti seakan dia adalah matahari.

“Siti tidak di rumah,” tambah Rio, seolah dia bisa mendengar setiap pikiran di kepalaku.

“Baiklah,” kataku.

Ketika aku tiba di vila Keluarga Kurniawan, Anto sedang di halaman menyiram tanaman. Dia pun menoleh dan tersenyum. “Ayo. Rio membuat makanan favoritmu.”

Rasanya hampir seperti masa lalu.

Di meja makan, Anto menuang anggur ke gelasku. Jason membawa keluar kue. Sementara Rio mengisi piring kami dengan pasta yang baru matang.

Suasana yang kukira akan dipenuhi dengan kecanggungan, ternyata tidak. Bahkan Jason bercakap dengan sopan, bertanya mengenai laboratorium seolah dia benar-benar peduli.

Lalu Rio berdehem. “Mau ikut kami ke Franzia?”

Membayangkan musim dingin di Prancis...

“Saat itu aku sudah bakal ada di labolatorium di Kuba,” kataku sambil berhati-hati memutar garpuku.

“Oh…” Rio menuduk melihat piringnya.

“Apakah tidak bisa ditunda?” tanya Jason. “Hanya beberapa hari, sampai kami kembali.”

“Aku sudah membuat janji/”

Anto pun memotong dengan lembut, menyodorkan piring salad segar kepadaku. “Kellen selalu serius. Tidak ada gunanya memaksanya ikut jika dia punya pekerjaan.”

“Mau lagi?” Anto terus memandangku. Seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan tapi tidak bisa. Akhirnya, dia berdehem. “Rio berkata padaku…tentang hari itu. Pengawalmu. Joni, bukan?”

“Benar.”

“Gini...” Anto mulai, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Kamu tahu bagaimana orang-orang di sekitar Keluarga Kurniawan. Banyak yang mendekat dengan alasan yang salah. Penting untuk tahu siapa yang benar-benar peduli padamu dan siapa yang hanya mengejar keuntungan.”

Aku meletakkan garpuku, nafsu makanku hilang.

Joni adalah salah satu dari sedikit orang yang tidak memperlakukanku seperti aku mudah untuk dibuang. Dan sekarang, Anto mempertanyakan kesetiaannya.

“Joni orang baik,” kataku dengan datar. “Kalau kamu mau mengenalnya, kamu tidak akan bilang begitu.”

“Aku hanya menjagamu...”

Aku segera memotong. “Kamu sudah lama berhenti menjagaku. Ini bukan tentangku. Kamu hanya takut aku mungkin membocorkan rahasia keluarga kepada seseorang yang benar-benar memperlakukanku seperti manusia.”

Mata Anto melotot. “Kamu...”

Kedamaian yang rapuh itu pecah.

Jason membanting kursinya ke belakang dan berdiri, pipinya memerah karena marah. “Sudah kubilang, Anto. Dia bukan keluarga lagi. Dia manja dan buta. Bahkan tidak bisa membedakan kapan untuk berpihak pada orang luar.”

Aku juga berdiri. “Setidaknya aku tidak berpura-pura.”

“Duduk, Jason!” bentak Anto, matanya menyipit. Lalu dia menoleh padaku. “Aku sudah menyelidiki temanmu Joni. Dia berkaitan dengan salah satu saingan kita. Grup Wijaya. Kamu harus hati-hati dengan siapa yang kamu percayai,” lanjut Anto. “Membiarkan mereka dekat dengan lini produk kita bukan hanya sembrono, itu berbahaya. Jika kamu—”

“Cukup. Terima kasih atas perhatiannya, kakak, tapi aku bisa menjaga diri sendiri. Kakak tidak perlu berdiri di depanku, bertingkah seolah kamu berhak mempertanyakan teman-temanku.”

Jadi ini alasan mereka mengundangku makan malam. Bukan untuk merayakan ulang tahun Rio. Ini peringatan. Agar aku tetap dalam batasan. Kalau tidak...

Andai mereka tahu. Akulah yang akan bergabung dengan Grup Wijaya.

Makan malam itu berantakan dengan cepat setelah itu. Jason melempar piring ke lantai. Anto menatapku seperti aku pengkhianat. Dan Rio… Rio tidak mengatakan apa-apa.

Aku pun pergi tanpa sepatah kata pun.

Hari keberangkatan tiba lebih cepat dari yang kuharapkan.

Joni datang lebih awal, mengetuk ringan di pintu.

“Siap?” tanyanya, suaranya rendah. Maksudnya adalah segala yang akan datang setelahnya.

Aku mengangguk.

Hidupku dengan Grup Wijaya dimulai saat aku turun dari feri di Mankalis. Koordinator mereka menjemputku di pelabuhan dan memberiku satu hari untuk beristirahat sebelum membawaku ke vila.

Kompleks itu lebih mirip dengan rumah mewah dengan nuansa bangsawan tradisional, batu putih, taman hijau, dan rumah-rumah kecil yang tersebar di lahan seperti bidak catur dalam permainan yang baru saja kumulai.

Pak Adam Wijaya menemuiku di aula utama.

Usia awal tiga puluhan. Rambut pirang, mata cokelat. Rapi. Menawan. Dan sama sekali tidak seperti yang kuharapkan dari seorang pria yang dikabarkan memerintahkan eksekusi di sela-sela mencicipi anggur.

“Aku dengar kamu berasal dari keluarga seperti kami,” katanya dengan lancar. “Apa yang membuatmu pergi?”

“Orang tuaku meninggal,” kataku. “Jadi kurasa sudah waktunya untuk mengganti pemandangan.”

Dia mengangguk, matanya mempelajariku. “Sayang sekali. Seharusnya mereka pasti bangga pada gadis sepertimu.”

Lalu dia mendekat, suaranya merendah. “Jika ada seseorang yang ingin kamu hubungi… lakukan hari ini. Setelah malam ini, kamu akan menghilang dari radar.”

Dia lalu berjalan pergi, meninggalkanku dengan pilihan itu.

Aku mengeluarkan ponselku.

Jemariku berada di atas nama-nama, Anto, Jason, Rio.

Aku pun memilih Anto. Telepon berdering sekali. Dua kali. Lalu... “Kellen?” Itu Siti.

Dengan cemas, aku berkata, “Mana Anto?”.

“Dia bersama Jason. Dia suruh aku angkat teleponnya. Kamu bisa bilang padaku apa saja yang mau kamu sampaikan padanya.”

Di belakang, aku mendengar tawa. Anto. Jason. Bahkan Rio. “Ayo, Siti!” mereka memanggil dengan riang.

Aku menelan rasa sesak di tenggorokanku. “Tidak ada. Hanya memeriksa.”

Aku pun mengakhiri panggilan. Mengeluarkan kartu SIM. Menjatuhkannya ke tanah dan menghancurkannya di bawah tumitku.

Mulai besok, tidak akan ada Kellen Kurniawan. Hanya seorang gadis dengan nama baru. Hidup baru.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 10

    Sudut Pandang Kellen.Adam memberiku pernikahan paling mewah yang pernah kubayangkan. Acara yang terdapat pada surat kabar dan yang tak pernah terbayangkan oleh diriku yang dulu. Lalu aku hamil. Seorang anak laki-laki. Itu adalah sebuah kejutan, di usiaku, aku tak mengira itu masih mungkin. Tapi dia benar-bena ada. Lembut, indah, dengan mata Adam dan sifat tenangku. Saat dia berulang tahun yang ke-satu, Adam mengadakan pesta ulang tahun besar-besaran. Semua orang datang. Bahkan Keluarga Kurniawan. Adam mengizinkan mereka masuk. Anto tampak lebih tua sejak terakhir kulihat. Pundaknya membungkuk, dan matanya meredup. Rio datang dengan kursi roda. Jason tampak hancur, kurus dan lelah. Mereka tak berbicara denganku. Mereka hanya meninggalkan hadiah kecil di dekat meja. Kartunya bertuliskan, [Semoga kamu memiliki hidup yang paling indah, paling sempurna.] Aku tak membawanya pulang. Aku meninggalkannya di dekat tempat sampah. Karena beberapa hadiah, jika datang terlambat, b

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 9

    Sudut Pandang Kellen.Sudah sepuluh tahun sejak aku bergabung dengan Grup Wijaya.Selama itu, formula yang aku kembangkan telah membantu mereka menghasilkan keuntungan ratusan miliar. Seluruh pasar dibentuk ulang karena hasil kerja aku.Aku bukan lagi seorang ahli kimia rahasia yang bersembunyi di balik pintu laboratorium, aku menjadi aset paling berharga milik mereka.Dan aku juga pacar Adam.Dia mengatakan bahwa dia jatuh cinta padaku sejak pertama kali melihatku. Mungkin itu benar, mungkin tidak. Tapi dengan menjadi kekasihnya, aku diberikan hal-hal yang tidak pernah didapatkan oleh kebanyakan orang di organisasi ini, yaitu kebebasan dan keamanan.Berkat Adam, aku tidak perlu tinggal penuh waktu di Mankalis. Aku bisa bepergian. Sering kali, dia hanya bertanya ke mana aku ingin pergi selanjutnya, lalu membawaku ke sana.Namun karena dia, dan Grup Wijaya, kita selalu bepergian secara diam-diam. Penerbangan yang tenang dan reservasi yang tidak tercatat.Untuk perayaan sepuluh tahun aku

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 8

    Sudut Pandang Anto.Aku memejamkan mata sejenak. Saat membukanya, aku melihat Siti. Dia berdiri di gerbang depan, berlama-lama seolah menyembunyikan sesuatu. Siti. Semuanya dimulai saat aku membawanya pulang. Ancaman-ancaman datang tak lama setelah Angga meninggal. Pesan-pesan anonim. Peringatan. Tuntutan. Lindungi Siti, atau Kellen yang akan kena dampaknya. Dan sekarang aku tak bisa berhenti bertanya-tanya, bagaimana jika aku tidak membawa Siti pulang? Bagaimana jika aku tidak percaya aku bisa menangani keduanya? Melindungi Kellen, menjalankan kerajaan ini, menjaga semuanya agar tak runtuh? Akankah Kellen masih ada di sini? Siti menyelinap keluar ke dalam kegelapan, menghilang di balik pagar tanaman. Aku mengerutkan kening. Rasa curiga menyelimutiku. Jadi aku mengikuti. Tak lama kemudian, aku mendengar suara-suara pelan, penuh amarah. “Kamu tidak berhak mengancamku,” desis Siti. “Aku sudah memberimu apa yang kamu minta!” “Dan sekarang aku ingin lebih,” bentak seorang

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 7

    Sudut Pandang Anto.“Dia menawarkan diri sebagai ahli kimia mereka,” kataku, memaksa kata-kata itu keluar. “Yang termuda dalam catatan.” Rio tak berkata apa-apa. Dia juga tahu apa artinya. Jika Kellen benar-benar bergabung dengan Grup Wijaya, berarti dia hilang. Bahkan jika dia masih hidup, dia tak akan pernah bisa kembali. Pikiranku berputar-putar. Bagaimana kami membiarkan semua ini terjadi? Bagaimana gadis yang dulu kugendong di pundakku bisa menjauh begitu jauh hingga aku bahkan tak menyadari dia pergi? Dan yang lebih buruk, mengapa dia merasa harus melakukannya? Rasa sakit yang dingin dan hampa menggerogoti dadaku. Rio tiba-tiba berdiri. “Aku akan ke Mankalis.” “Apa?” “Aku akan bicara dengan Adam Wijaya. Aku tak peduli apa yang dibutuhkan. Dia adik kita.” “Aku sudah bicara dengannya,” kataku dengan suara pelan. “Hampir mustahil membawanya kembali sekarang. Dan aku takut kita akan membuat Adam marah dan dia malah akan melakukan sesuatu pada Kellen. Jadi kita harus

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 6

    Sudut Pandang Anto.Aku duduk di ruang kerjaku, telepon digenggam erat di satu tangan. Aku menatap layarnya seolah layar itu akan berkedip kembali menghadapku.Kellen masih tidak menjawab, masih langsung ke pesan suara, sekali demi sekali.Aku benci ide mempekerjakan detektif swasta untuk mencari adikku sendiri. Tapi saat ini, aku tidak punya pilihan.Aku mengembuskan napas dengan keras dan menekan layar. “Joko.”“Pak Anto.”“Aku perlu kamu mencari seseorang.”"Tentu saja. Siti?"Asumsi itu membuat sesuatu di dadaku terasa sesak. “Bukan,” kataku dengan tegas. “Adikku Kellen Kurniawan.”Seketika hening. “…Baik, tentu saja. Beri aku tiga puluh menit. Aku akan telepon kembali dengan apa yang kudapatkan.”Aku memutuskan panggilan dan menuju kamar mandi, mencoba membersihkan ketegangan dari kulitku.Kellen tidak mungkin kenapa-napa. Dia selalu kuat, pintar, dan tangguh seperti duri. Selalu gitu....Ketika Joko telepon kembali, suaranya tidak yakin seperti biasanya. “Pak Anto… Aku tahu loka

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 5

    Sudut Pandang Anto.Kita baru tiga hari di Franzia ketika Rio mulai bergumam untuk pulang.Sebenarnya, aku juga memikirkan hal yang sama.Ada yang tidak beres dengan perjalanan kali ini. Kami tertawa, minum-minum, sementara Kellen sendirian. Dia terperangkap di laboratoriumnya.Tapi Siti tidak mau pulang. Dia bilang dia ingin merayakan malam tahun baru di sini.“Aku…” Rio mulai bicara, tapi aku memotongnya.Sebagai yang tertua, kata-kataku berbobot. Bahkan Siti jarang sekali menyela ketika aku berbicara.“Siti,” kataku dengan lembut, “Aku masih ada urusan bisnis yang menunggu. Lebih baik kita pulang besok.”Wajahnya meredup. Dia tidak membantah, tetapi kekecewaan di matanya jelas terlihat. “Maaf." Aku menambahkan dan mengulurkan tangan untuk mengacak-acak rambutnya. "Kita bisa ke sini lagi kapan saja, aku janji. Selama aku tidak ada kerjaan."Tapi dia tidak tersenyum. “Kamu janji akan tinggal sampai malam tahun baru,” bisiknya.Dan dia benar, aku memang pernah berjanji. Saat itu aku b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status