Share

Chapter 1 • Hi

"Pssst! Pssst! Lea!" Desisan dari arah belakang membuat gadis berambut sebahu yang sedang menulis menoleh sekilas.

"Apa sih. Berisik!" ujar Lea balas berbisik dengan mata tetap awas menatap area papan tulis.

Dosen yang sedang menerangkan materi masih fokus di depan. Para mahasiswa terlihat kusyuk mendengarkan--entah memang kusyuk atau pura-pura kusyuk agar tidak di beri pertanyaan acak oleh dosen.

Gadis yang di belakang Lea memajukan wajahnya, "Di ajak ke kafetaria FT bareng sama Riri, mau nggak?" tanya Tita--nama gadis itu.

"Iya, elah. Gitu aja jugaan," Lea bersungut. Dia kira ada hal penting apa yang ingin di sampaikan Tita sampai dia berani berbisik di kelas dosen yang terkenal killer ini.

Baru saja Lea ingin memperbaiki posisi duduknya, terdengar suara dari arah depan kelas.

"Kalian berdua! Yang bisik-bisik itu! Coba kalian jelaskan kenapa daya literasi di Indonesia relatif rendah?"

Mampus! Ke-gep dosen.

•••

"Tita! Gue ngga mau tau, lo harus bantuin kerjaan gue juga! Ini kan hukuman gara-gara lo ngajak gue ngomong," pekik Lea begitu kelas berakhir.

Setelah tadi Lea dan Tita tertangkap basah dan harus menjawab pertanyaan, membuat essay mengenai pendidikan di Indonesia menjadi hukuman susulan yang harus mereka berdua kerjakan.

"Mana gue tau kalau itu dosen punya telinga super sensitif 'kek pantat bayi," gerutu Tita. Sedangkan Riri hanya tertawa melihat kesengsaraan kedua teman-temannya itu. Untung saja dia tidak ikut terciduk.

Setelah merapihkan alat tulis yang berserakan di meja, mereka berdiri.

"Udah itu pikirin nanti aja deh, ke kafetaria dulu yuk. Laper banget gue," ajak Riri menengahi.

Lea memandang Riri dengan melas, "Enak banget lo bilang pikirin nanti, deadline besok banget nih."

"Ya terus? Emang sekarang lo ngga laper setelah tadi otak lo di kuras suruh mikir?" tanya Riru gemas. Lea kalau panik suka bikin emosi.

Mereka berjalan beriringan keluar kelas. Susasana lorong lumayan ramai untuk saat ini. Pantas saja, ini memang jam istirahat umum alias jam 12. Dan bisa di perediksi bahwa semua kafetaria pun pasti akan penuh.

"Jadi nih ke kafetaria FT?" Tita bertanya. Gadis itu melilitkan lengannya ke lengan Riri. Sedangkan tangan Riri mebggenggam tangan Lea.

"Jadi dong! Gue ngidam banget sama Ayam Pojokan," seru Riri.

Setelah keluar dari area Fakultas Bahasa dan Seni, mereka langsung menuju ke Fakultas Teknik yang berada di gedung seberang.

Wiiiiihh, lumayan cuci mata!-batin Lea saat melihat area Fakultas Teknik.

Selain Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik adalah gudangnya cowok ganteng. Banyak cowok bertubuh jangkung dengan wajah mendukung berseliweran sejak tadi.

"Andai fakultas kita ada cowok gantengnya, ngga bakal gue ngiler pas liat anak fakultas sebelah gini," gumam Lea sambil mencubiti tangan Riri yang ada di dekatnya. Gakuat! Cakep-cakep bangettttt.

"Sakit bodoh!" seru Riri menabok tangan Lea yang mencubitnya. Sedangkan sang tersangka hanya bisa nyengir dengan watados kebanggaannya.

"Inget! Lo udah ada Ken. Mau di kemanain itu cowok kalau lo masih mau ngebencong sana-sini?" lanjut Riri yang di sambut decakan dari bibir mungil Lea. Ya, Ken. Kekasihnya selama satu setengah tahun belakangan.

"Ngga di kemanain. Selama ngga ketauan mah aman, Ri," ucap Lea yang disambut tempolan di pipi oleh Riri dan tabokan di pantat oleh Tita.

"Siapa nih yang mau mesen?" tanya Tita begitu mereka memasuki kafetaria.

"Gue aja deh. Kayak biasa, 'kan?" Lea mengajukan diri. Lumayan kesempatan buat berdesakan sama cogan hehe.

Mereka menuju salah satu meja yang kosong di pojokan.

Setelah Tita dan Riri menyebutkan pesanan tambahan, Lea bergegas mengantre di stand ayam bakar yang biasa di sebut Ayam Pojokan.

Sebenarnya nama standnya adalah Ayam Panggang Mang Ade & Nyai Asih. Namun karena menurut sebagian penghuni kampus nama itu terlalu panjang, jadilah disingkat menjadi Ayam Pojokan (karena posisinya memang di pojok).

Sambil mengantre, Lea mengedarkan pandangan ke sekeliling. Cuci mata.

Gadis itu masih melihat-lihat dengan kaki yang terus maju selangkah demi selangkah menggantikan posisi orang yang di depannya. Tapi karena dia tidak memperhatikan langkah, sepatunya malah menginjak bagian belakang sepatu orang yang ada di depannya.

Lea refleks mundur dan menundukan kepala dengan bibir dilipat kedalam, menatap kaki nakalnya. Perlahan dia mendongakkan kepala. Sepasang iris mata hitam pekat menatap tajam dirinya.

"Sorry, ngga sengaja." Cicit Lea dengan muka memelas. Tak ada sahutan, laki-laki itu hanya berdecak sebelum kemudian kembali balik badan ke posisi semula.

"Judes banget. Jawab kek atau apa gitu," gerutu Lea pelan.

Setelah beberapa saat mengantri, akhirnya tiba bagian Lea menyebutkan pesanannya.

"Mang Ade, aku pesan ayam bakar tiga. Satu mateng biasa, yang dua mateng banget sampe ada arang yang nempel gitu lho, Mang. Nah, yang mateng biasa sama satu yang mateng banget pakai sambel merah, dan sisanya sambal hijau. Semuanya pakai lalapan komplit ya. Oiya, jangan lupa pakai nasi semua. Buat minumannya jus jeruk lemon satu, jus jeruk orange satu, sama jus alpukat satu. Sama tambahan air mineral ukuran sedang tiga," seru Lea, dia menjeda ucapannya.

Lea menatap telapak tangannya yang sebagian besar sudah terlipat. Gadis itu mengingat-ingat, apakah ada yang tertinggal? Setelah sekiranya sudah komplet, Lea melanjutkan, "Itu aja Mang Ade."

Mang Ade menyebutkan ulang semua pesanan Lea secara terperinci seperti yang ia tulis. Setelah sudah di bilang oke oleh Lea, pria paruh baya itu melanjutkan, "Ooooke! Meja nomor berapa neng geulis?"

"127 Mang,"

"Siap neng. Di tunggu ya,"

"Oooke!" seru Lea mengikuti seruan khas Mang Ade.

Lea kemudian berjalan kembali ke meja tempat teman-temannya menunggu. Dari kejauhan, terlihat ada tambahan satu manusia yang dari penampakan belakangnya terlihat seperti berjenis kelamin laki-laki.

Gadis itu mengerutkan alis ketika suasana meja terlihat hening.

"Kalan lagi mengehingkan cipta atau apa? Sepi amat," celetuk Lea. Dia mendudukan diri di hadapan Tita dan Riri alias kursi samping si laki-laki yang belum Lea tahu siapa itu.

Mendengar celetukan Lea, Tita dan Riri menggeleng sambil melirik laki-laki yang ada di samping Lea.

"Kenapa, sih?" tanya Lea tidak mengerti. Melihat kedua temannya dari tadi melirik ke arah orang di sampingnya, membuat Lea mengalihkan atensi ke arah tersebut. Lea terdiam sebentar menatap laki-laki yang fokus mengunyah seakan tak ada orang lain di sekitarnya.

"Oh! Lo yang tadi sepatunya ke injek sama gue ya?" Lea berseru sambil menepuk pundak laki-laki di sampingnya itu. Tita dan Riri melotot menyaksikan Lea.

Uhuk!

Laki-laki itu menoleh sekilas ke Lea dengan tatapan tajamnya. Lea megabaikan tatapan itu. Dia berniat membantu dengan mengambilkan minum laki-laki itu agar lebih mendekat ke pemiliknya saat tangan kekar keburu menyambarnya sendiri.

Laki-laki itu minum dengan cepat. Setelah itu, dia menatap Lea dengan mata setajam silet. Lea yang di tatap seperti itu menjadi canggung. Dia tersenyum kaku.

"Gue salah ya?" tanya Lea meringis. Seperti saat mengantre, laki-laki itu hanya mendecakkan lidah.

"Sow---," ucapan Lea terhenti ketika tiba-tiba laki-laki disampingnya itu berdiri cepat dan mengangkat nampan untuk pergi.

"---ri..." lanjut Lea sambil memandang kepergian laki-laki itu.

Terdengar helaan napas dari arah lain membuat Lea memutar kepalanya. Gadis itu memandang kedua temannya heran.

"Dia kenapa, sih?" Lea mengarahkan ibu jari ke arah belakang tubuhnya.

Tita dan Riri menggeleng.

"Ngga tau. Tadi kita sapa juga diam aja. Kita ajak ngomong malah bilangnya, "Bisa diem?"" terang Tita mengikuti nada bicara laki-laki judes yang tadi ia ajak bicara.

"Argan memang begitu," ujar Riri.

Baru saja Lea ingin bertanya ketika suara Mang Ade menginterupsi.

"Pesanan 127 datang,"

"Uwaaaaa, makasih Mang Ade," dengan senyum cerah, ketiga gadis itu bersamaan berseru saat Mang Ade meletakan dan menata posisi nampan dia atas meja.

"Lo kenal sama dia orang, Ri?" tanya Tita begitu Mang Ade meninggalkan meja.

"Ngga kenal juga. Cuma sekedar tahu dari cerita teman gue,"

"Terus gimana?" tanya Lea. Gadis itu mulai membasahi tangan dengan air kobokan yang di sediakan di atas nampan.

Mendengar bertanyaan Lea, Riri bertanya, "Apanya?"

"Ya itu. Dia. Emang judes gitu anaknya?"

Riri mencubit daging ayam yang terlihat kecoklatan. Hm, tampak menggoda.

"Kalau kata temen gue sih, Argan emang dingin. Cuma gue juga baru tau tentang sikap aslinya. Ternyata lebih dingin dari yang gue kira," ujar Riri dengan kekehan di akhir kalimat.

•••

Bugh!

"Huaaaa! Capeeeekk!" keluh Lea begitu punggungnya menyentuh kasur yang empuk. Gadis itu menggerakan tangan dan kakinya seperti katak.

"Heh! Bangun!" ucap Tita. Dia melempar tote bagnya ke atas ranjang.

"Bentar Tit. Ngadem dulu,"

"Tat tit tat tit. Licin bener mulut lo nyebut nama gue begitu,"

Lea tertawa. Tita memang sangat tidak suka saat ada seseorang yang memanggilnya dengan 'Tit'. Menurut gadis itu, 'Tit' terdengar seperti kata mesum. Padahal itu 'kan memang namanya, duh.

Lea duduk di atas ranjang Tita.

"Gue numpang ke kamar mandi ya. Pipis bentar,"

Tita hanya bergumam menanggapi Lea. Gadis itu merebahkan dirinya di atas ranjang sambil memainkan ponsel membuka aplikasi media sosialnya.

Saat ini mereka memang sedang di rumah Tita. Untuk apa? Tentu saja mengerjakan hukuman dari Pak Dosen Killer.

Tring~

Tring~

Terdengar suara ponsel dari arah tote bag Lea. Tita yakin itu pasti dari Ken, kekasih Lea.

"LEA! ADA TELFON!"

"IYA!"

Ceklek

Lea keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih lembab dan segar dari sebelumnya.

"Phew! Seger!"

Tita melirik sekilas ke Lea yang sedang meregangkan tubuh,  "Cepet itu telfon balik cowok lo. Gue ngga mau ya kalau lo di suruh pulang," ujar Tita sinis.

Ya, Tita memang kurang suka dengan Ken. Menurut Tita, Ken terlalu mengekang Lea. Mau ini ngga boleh, mau itu harus bilang dulu. Mau pergi kesana-sini harus atas ijin cowok itu kalau tidak pasti akan di teror dengan telfon beruntun.

Hadeh, baru juga pacaran posesifnya udah melebihi sama yang udah menikah- Pikir Tita.

"Halo, Ken? Kenapa?" sapa Lea begitu panggilannya di angkat oleh Ken. Gadis itu duduk di samping Tita. Dia memilin gantungan tas yang ada di resleting tote bagnya.

"Di rumah Tita lagi ngerjain tugas,"

"Ngga,"

"Ya ampun. Ngga percayaan banget sih." Lea melirik Tita sekilas.

"Iya. Nanti. Hm. Oke. Iyaaaa Keeen. Bye."

"Kenapa lagi si pacarnya berbie?" cecar Tita begitu Lea menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia mendudukan diri.

Lea tidak menghiraukan Tita, kini dia membuka aplikasi kamera, "Sini kita selfie,Tit."

Tita yang tiba-tiba di ajak selfie hanya mengernyitkan dahi.

"Buru, Tit. Keburu ngamuk si pacar berbi," desak Lea dengan menarik lengan Tita agar lebih mendekat padanya.

Cekrek.

Setelah paham maksud tindakan Lea, Tita berdecih.

"Idih, gue mah ngga bakal mau tuh sama cowok kek Ken itu. Cakep sih iya, cuma posesif-nya berlebihan banget gila," sindir Tita.

"Ntar deh gue putusin," ujar Lea santai dengan mata dan tangan fokus pada ponsel, membalas pesan Ken yang masih terus ingin menginterogasinya.

Tita memutar bola matanya malas ketika Lea mengatakan itu. Pasalnya Lea sudah sering bilang ingin memutuskan hubungan dengan Ken, namun tidak pernah kejadian. Yang ada malah setelah hari ini mereka berselisih paham, besoknya pasti sudah tebar kemesraan.

Bukan hanya sekali dua kali seperti itu, namun berkali-kali yang menyebabkan Tita akhirnya yakin untuk tidak menyukai kekasih sahabatnya itu. Hubungan Lea menurut Tita sudah tergolong toxic. Entah bagaimana jika Lea tidak segera melepas Ken.

•••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status