“JEV!” Ia tersadar, mengapa ia memanggil Jev? Apakah karena biasnya Jake?
“Aku bilang jika,” sahut Javi. “Tapi, kenapa kau memanggilku Jev?”
“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Mungkin terlalu gugup. Tapi aku menyukai. Hanya aku yang boleh memanggilmu Jev.”
Diam-diam Key menghela napas. Ia tak menyangka, pada situasi tertentu ternyata bisa juga merayu.
Javi kembali memalingkan wajah sambil menahan gelitik di perutnya.“Bersiap-siap! Aku tunggu.”
Key mengangguk dengan wajah masih kebingungan. Ia turun dari mobil dengan langkah lambat.
Javi tertawa kecil dengan tingkahnya. Terkenang tingkah Key di masa SMA. Key yang tak pernah berani menatapnya, setelah sekian tahun siapa sangka sekarang ada di depannya.
Javi sedikit cemas ketika melihat Key yang berbalik ke arahnya. “Jev, bisakah kau menemaniku ke dalam?”
Javi mengerutkan kening.
“Aku tidak tahu selera Nenek. Kau bisa membantuku mencari pakaian yang cocok?”
Sesaat Javi memandangi kontrakan Key. Terlihat seorang perempuan berjalan di selasar.
“Kita beli saja. Kau masuklah!”
“Tapi ….”
“Kau mau ciptakan skandal dengan membawa pria ke dalam kamar?”
“Nggak gitu juga. Nanti aku buka kamarnya,” sahut Key.
“Sudahlah. Kau juga lihat kondisiku, tidak nyaman buatku keluar masuk.”
“Bukankah juga sama saja kalau kita ke sebuah toko?”
Javi membuka mulut, tetapi urung karena langsung dipotong Key.
“Oke-oke. Aku ambil dompet dulu.”
“Tak perlu. Masuklah!”
Akhirnya Key mengangguk pasrah. Ia bertanya-tanya mengapa melupakan sikap Javi yang dominan. Javi yang kadang mulutnya tanpa filter terhadap gadis-gadis yang menyatakan cinta padanya. Key jadi sangsi hubungannya dengan Javi akan bertahan lama.
“Fighting, Key. Setidak Javi memberimu kekayaan. Pastikan kamu telah datang ke konser Enhypen dan memiliki card Jake edisi terbatas, baru berpikir cerai dari pria dominan ini.” Key memotivasi diri sendiri.
***
Sejuk dan aroma lembut dari pewangi ruangan menyambut Key, ditambah jejeran busana yang terpasang di beberapa manekin membuat perasaannya terasa lebih menyegarkan. Sayangnya, perasaan itu hanya beberapa detik. Berubah seketika saat melihat label harga yang terpasang di salah satu busana.
Ia menghampiri Javi dan berbisik. “Mahal sekali. Kita cari di toko lain saja. Oh iya, kita bisa beli di toko di pinggir jalan, jangan ke mall.”
“Apa aku tidak cukup kaya?”
Key tersentak dengan suara Javi yang mengundang tatapan dari beberapa karyawan.
Key mencebik. “Sombong sekali.”
“Ini bukan sombong, tapi percaya diri. Kalau bukan diri kita sendiri yang menghargai, siapa lagi?”
Tiba-tiba Key merasa tertohok. “Iya … iya, kakak kelas tampan, genius dan kaya. Jangan menyesal kalau ambil yang paling mahal.”
“Tak masalah, jika itu cocok di badanmu dan etika seorang istri dari pria kaya.”
“Etika?” pekik Key dengan mata membulat.
Kekesalan Key ternyata tidak hanya sampai di situ. Ternyata ia harus memperlihatkan pada Javi setiap busana yang ia suka, tetapi selalu mendapatkan gelengan Javi.
“Apa ini sudah cukup?” seru Key dengan langkah gontai. Kakinya benar-benar terasa pegal.
Beruntungnya kali ini ia mendapatkan jempol Javi. Key dapat bernapas lega. Sesaat kemudian napasnya tertahan.
“Mbak, ambil itu, itu dan itu,” tunjuk Javi pada beberapa pakaian yang telah Key coba.
“Kenapa tidak kau bilang dari tadi? Beli saja semuanya, tidak perlu mencoba berkali-kali,” protes Key.
Javi Abai. Kursi rodanya telah memutar ke arah kasir. Key merapatkan gerahamnya.
Penderitaan Key tak hanya sampai di situ. Mereka harus menyinggahi beberapa toko sepatu dan tas.
“Sudah selesai kan? Aku capek,” keluh Key sambil memegang ketika keluar dari toko tas. Tas belanja diambil alih pada Pak Isa.
“Ke toko perhiasan belum. Kita perlu membeli cincin pernikahan,” sahut Javi santai.
“Huaaaa,” rengek Key.
“Tahanlah sebentar.”
Key hanya memberikan wajah merengut. Beruntungnya mereka tak terlalu jauh berjalan ke toko itu. Segala lelah seketika hilang ketika merk yang tertera di bagian atas pintu.
“Jake?” Terbayang kotak biru mint di benaknya.
Javi mendengus ejek. Kursi rodanya masuk, tetapi Key bergegas menahannya. “Serius kita masuk ke sini?” tanyanya tanpa berani mengerjap.
“Menurutmu?”
“Kau lupa dia tidak mengenakan benda yang sudah diinjak orang? Apalagi ini punya Key. Siapapun itu, harus mengganti full. Ah tiga kali lipat. Di sini sudah sold out. Aku harus mencari di outlet lain, mungkin saja harus outlet luar negeri. Karena itu edisi terbatas.”Indra beralih pada Melodi. “Anda dengar ‘kan?”Indra kembali mengangkat teleponnya. “Lalu bagaimana kau menghadapinya? Setelah ini mungkin aku juga akan dipecat.”Bisik-bisik kembali terdengar. Neal ikut bertanya-tanya siapa sebenarnya Key. Ia baru ingat kalau ayah Key orang kaya. “Apa Key sudah baikan dengan ayahnya?” gumam Neal. Melodi yang mendengar gumaman Neal segera berbisik. “Siapa ayahnya?”Neal tak menjawab. Perhatian mereka teralih pada percakapan Indra. “Jangan kuatir, Ndra. Toko baru saja mendapatkan edisi terbaru. Asalkan Key menyukainya, kau akan selamat.”“Baiklah, bawa paket itu ke sini. Kita harus menenangkannya.” Indra menyudahi panggilannya. Ia beralih pada Melodi. “Anda sudah mendengarnya.” Ia mempe
[Hati-hati di jalan.]Key yang tadinya bersandar pada kursi kini terduduk ketika melihat alamat yang diberikan Javi. Lokasi itu bahkan nama gedungnya sama yang sering ia masuki untuk mengantar makanan Neal.“Memangnya si Ayam Panggang bekerja sebagai apa?”“Apa, Non.”Key terkesiap karena melupakan Bibi Nurul yang tak jauh darinya. “Tidak apa, Bi. Aku turun dulu, Bi. Assalamu ‘alaikum.”“Wa ‘alaikum salam,” sahut Bibi Nurul sambil tersenyum. Ucapan salam hanya kegiatan sederhana, tapi tidak semua orang konsisten atau peduli melakukannya. Tindakan sederhana, tetapi membuat Bibi Nurul yakin, Key perempuan baik dan layak mendampingi majikan yang sejak kecil ia besarkan. ***“Jev, aku sudah di bawah. Kantormu di mana?” tanya Key di dalam telpon. “Tunggu saja di sana. Aku minta Indra menjemputmu.”“Baiklah. Aku tunggu.” Key menutup panggilan. Sesaat ia mengedarkan pandangan. Luasnya lobi dan orang-orang berlalu. Baru kali ini ia memperhatikan suasana lobi. Biasanya ia langsung saja melun
Key dapat merasakan napasnya yang tertahan. Terperangkap? Bukankah itu yang menakutkan. Bukankah ia seperti lepas dari kucing, masuk ke sarang singa. “Tidak akan,” sahut Key dengan memasang wajah meyakinkan. Ia harus pintar manipulatif, jika tidak arena yang tadinya tempat main-main akan berubah menjadi perang. Ironisnya ia terperangkap di dalamnya. Javi memajukan wajahnya. Key memejamkan mata dengan sedikit memiringkan wajahnya. Melihat itu Javi mengalihkan sasarannya. Key meringis. Spontan ia mendorong Javi. “Jev, kenapa menggigitku?” protes Key sambil mengusap lehernya yang terasa sakit. “Untuk menyenangkan kedua pengasuhku. Nenek pun kalau melihat ini pasti senang.”“Hah?” tanya Key dengan wajah kebingungan sambil mengelvs lehernya yang masih terasa sakit. “Bangunlah. Kita salat berjamaah.” Key mengangguk saja, meski belum mengerti apa yang dikatakan Javi barusan.***Di ruang makan sudah ada Indra yang berdiri tak jauh dari Javi dan sepasang suami istri yang menyiapkan sar
“Key meninggalkanku? Tidak mungkin. Cinta Key padaku dari kecil, jadi mana mungkin bisa berpindah ke orang baru.”***Key memejamkan matanya, berharap ia tertidur lebih duluan. Nyatanya, telinganya makin menajam, memindai bunyi shower di kamar mandi bahkan ia dapat merasakan gerakan-gerakan Javi. Shower dimatikan dan tak lama pintu terbuka. Seketika dadanya berdebar keras dan semakin bergemuruh ketika indra penciumannya menangkap aroma vanila lembut semakin dekat. Terlalu dekat malah. Ternyata dirinya masih belum bisa menjadi wanita dingin materialis yang sebenarnya. Menjalin hubungan nominal tanpa rasa. Kecupan lembut di dahi yang membuat matanya seketika membuka. “Belum tidur?”Key hanya mampu menggeleng sedikit, bahkan tak berani mengerjap. Ia dapat merasakan detak jantungnya yang bertalu-talu. Ia berpikir, jika Javi menjauhkan wajahnya beberapa detik lagi, jantungnya akan berhenti berdetak. Javi terus saja memindai wajah cantik yang telah halal untuknya. Ia menatap setiap inci
“Diusahakan malam ini?”“Apa? Kalian tidak melakukan tindakan memalukan itu kan?”“Kenapa Nenek berpikir begitu?” protes Javi.“Kamu sih! Kebanyakan nikahan grasak-grusuk itu karena ngisi duluan.”“Tidak, Nek. Aku cuma ingin secepatnya.”“Mudah ngomongnya. Mesan tempat saja paling nggak sebulan duluan.”“Nek, ada yang ingin saya sampaikan pada Nenek. Semoga Nenek memaklumi keadaan saya,” sela Key. Ia menundukkan wajahnya. “Tapi, jika memang tak bisa ditoleransi, saya rela mundur dari rencana pernikahan ini. Saya akan kembalikan dari apa telah diberikan pada saya.”Nenek menatap penuh tanya. “Nek, saya mempunyai trauma tak bisa berada di orang banyak bahkan tak bisa menatap orang. Jadi, jika boleh, pernikahan diadakan yang ada hanya kita.”Javi meraih tangan Key dan menggenggamnya. Dadanya berdenyut nyeri. Lebih sakit saat dulu Key yang tak pernah mau menatapnya. Andai ia tahu lebih dulu, seharusnya setahun cukup mengobati luka Key. Ia baru tahu setelah ngobrol dengan calon mertuanya
“Mmm,” shaut Key sambil menggeliat, tetapi dua detik berikutnya ia terlonjak duduk. “Ibu? Kapan Ibu datang?”Ia lebih syok ketika menyadari mereka sedang tidak berada di kamarnya. “Kita di mana?”“Kita di mana? Kau masih belum sadar?!” Zaida langsung menarik sebuah bantal dan memukulkan ke badan Key. “Bagaimana kau bisa ceroboh sekali?! Bagaimana bisa sampai di sini, heh?!”“Ampun, Bu,,” seru Key sambil melindungi badannya dengan mengangkat kedua tangan. “Sebentar-sebentar.”Zaida menghentikan pukulannya. Napasnya tersengal. Kening Key mengerut. Berusaha meraba-raba ingatan terakhir kali. Ia teringat kemarin ke mall, pulang, kakinya yang pegal, tawaran Javi, setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Seketika wajahnya meringis. Fakta tidur di rumah pria membuatnya ingin menenggelamkan diri, belum lagi bagaimana harus menjelaskan kepada wanita yang melahirkannya itu. “Sudah ingat?!” ejek Ibunya. Key mendekat dan menarik lengan ibunya. “Bu,” ucap Key dengan nada antara rayuan dan ta