ZACHSi Bibi ikut mengarahkan matanya searah tatapanku. Mulutnya setengah terbuka, tapi tidak sepatah kata pun terlontar dari sana.“Bi, itu kamar siapa?” Aku mengulangi pertanyaanku yang belum terjawab.“Oh yang itu ya, Mas Zach?”“Iya, Bi, yang itu.”“Itu kamar Bjorka, Mas.”Ternyata dugaanku tidak meleset. Hanya saja sedikit janggal, kenapa kamar Bjorka berada di belakang? Menurutku kamar tersebut lebih cocok disebut sebagai kamar pembantu sebagaimana umumnya. “Tapi kenapa letaknya di belakang, Bi?” Aku menyuarakan keherananku.“Hmm …” Bibi menggaruk-garuk kepalanya. “Kamar Bjorka ada dua, Mas. Yang ini hanya cadangan. Tapi yang sering dipakai yang di depan, yang di sebelah kamar Mas Javas.” Bibi tersenyum menerangkan padaku.Aku memandang ke arah kamar tersebut begitu lama sedangkan Bibi masih berdiri di dekatku sampai akhirnya terdengar suara seperti gelegar petir.“Zach! Lo ngapain ke sini?”Pandanganku beralih pada Javas yang baru saja muncul disusul Zoia di belakangnya sambil
ZACHAku tidak bisa mencegah ketika Khanza keluar dari mobil. Mau dipanggil juga percuma. Akhirnya aku pergi meninggalkan kantor Zoia dan kembali ke rumah. Mami keheranan karena aku pergi hanya sebentar. Setahunya mana pernah ada kata sebentar kalau aku sudah main ke luar.“Kenapa udah pulang aja? Nggak jadi jalan?” tanyanya setelah aku keluar dari mobil.“Udah, Mi,” jawabku lesu lalu langsung masuk ke dalam rumah.Mami mengikutiku sampai ke kamar termasuk duduk di ranjang saat aku menghempaskan tubuh di sana.Aku berbaring membelakangi Mami sambil memeluk guling dan memejamkan mata.“Zach …” Mami mengusap punggungku lembut.Aku tidak menyahut dan mengatupkan mata lebih rapat.“Tadi itu kamu jalannya ke mana kalau Mami boleh tahu?” Mami masih bertanya meski tidak kuladeni.“Tolong tinggalin aku sendiri, Mi,” pintaku bukan bermaksud tidak sopan.“Kamu masih mencari Zola?”Pertanyaan Mami berikutnya membuat mataku terbuka tapi tubuhku tetap membelakangi Mami.“Tadinya iya, aku udah
ZACHIni adalah hari minggu, dan aku yakin Javas ada di rumah. Sebenarnya aku nggak punya kewajiban buat berpamitan pada Javas. Dia juga nggak akan peduli. Namun, entah mengapa aku ingin sekali pergi ke sana. Setidaknya aku bisa menggendong ponakanku yang lucu dan mencium pipi chubby-nya untuk terakhir kali.Aku nggak begitu suka dan hampir tidak pernah berinteraksi dengan anak-anak. Tapi Bjorka berbeda, terlepas dari dia adalah anak kakakku.Supir taksi berhenti tepat di depan rumah Javas. Seperti dugaanku Javas ada di rumah. Itu terlihat dari mobilnya yang parkir tepat di halaman.“Ra, kami tunggu di sini ya, aku mau pamitan sebentar,” kataku pada Cassandra. Terlalu beresiko jika dia juga ikut turun. Javas yang memang sudah sentimen akan semakin meradang jika melihatku bersama perempuan lain.“Oke.” Cassandra menyahut singkat. Syukurlah dia tidak meminta turun dan ikut berpamitan dengan Javas.Ada perasaan sedih yang diam-diam merayap saat aku menginjakkan kaki di rumah kakakku itu.
ZOLAMas Javas merealisasikan kata-katanya. Malamnya setelah pulang kerja Mas Javas memanggilku lalu memberikan selembar kertas padaku.“La, rekrutmennya masih buka. Besok hari terakhir. Semua persyaratan, T&C ada di sana.”Aku menerima kertas tersebut dari Mas Javas lalu membacanya sendiri. Thanks god. Semua kriteria yang dibutuhkan ada padaku. “Makasih banyak, Mas,” ucapku senang lalu kembali ke kamar.Mumpung Fai sedang tidur aku menyiapkan segala sesuatunya. Setelahnya aku menyiapkan pakaian yang akan dipakai besok untuk walk in interview. Jika perusahaan mengadakan walk in interview artinya mereka sedang butuh cepat. Aku harap aku adalah salah satu dari sekian kandidat yang beruntung.***Hari ini untuk pertama kalinya aku harus meninggalkan Fai. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Sedih iya, galau iya, dan masih banyak lagi kegalauan jenis lainnya. Tapi aku tahu, aku harus mengalahkan perasaan itu.Mbak Zoi masuk ke kamarku saat aku sedang bersiap-siap. Aku memandangnya melalui
ZACH“Belum ada, Mami nggak dengar kabar apa-apa tentang dia. Udahlah, kamu yang fokus kerja di sana.”Aku mendesah pelan ketika menelepon Mami dan mendapatkan jawaban yang sama waktu menanyakan Zola.“Mi, apa Mami nggak mau nolongin aku?”“Nolongin apa lagi sih, Zach? Kalau Mami bisa apapun akan Mami lakukan buat kamu.”“Coba Mami bujuk orang tua Zola, Mi, biar mereka mau ngasih tahu alamat Zola. Kalau Mami yang ngomong dan minta sama mereka aku yakin pasti dikabulin.” Aku mulai mendoktrin Mami dengan harapan Mami mau melakukannya. Bukankah baru saja Mami mengatakan akan melakukan apa pun untukku selagi dirinya bisa?Mami tidak seketika memberi jawaban. Tapi aku bisa mendengar embusan nafasnya. Ya, aku jadi tahu pasti Mami akan menolak. Tapi aku bisa apa?Setelah tiga bulan di sini aku masih belum bisa berhenti memikirkan Zola. Dan hari ini adalah puncaknya. Rasa rindu pada Zola sudah sampai di titik didih. Da
“Seriously? Cuma segitu doang?”“Iya, Mbak, Cuma segitu doang.”Mbak Zoi terheran-heran waktu kuceritakan mengenai proses interview tadi siang yang sangat-sangat simpel dan to the point. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan jebakan seputar etos kerja atau uji nyata bahwa aku memiliki kompetensi. Aku tercengang saat Ariq mengatakan bahwa dia menerimaku di perusahaannya. Tidak ada negosiasi gaji yang alot atau sejenisnya. Malah dia sendiri yang bertanya aku mau digaji berapa.Diajukan pertanyaan seperti itu tentu saja aku bingung. Sejujurnya motifku memutuskan untuk bekerja adalah money oriented.“Zola, kamu mau gaji berapa dan fasilitas apa saja?” Suara ngebas Ariq masih terngiang di telingaku.Mengingat waktu kerjaku yang katanya sampai malam, aku pun menyebutkan sejumlah nominal yang worth it menurutku. Siapa sangka Ariq langsung mengiakan. Aku juga menyebutkan beberapa fasilitas lain yang kuinginkan seperti asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, serta annual leave yang jangka wa
ZOLAAku merasa dijebak. Tante Rosella tidak pernah memberi tahu sebelumnya akan menghubungi Zach. Tau-tau sudah langsung bergerak. Ingin menghentikan tapi sudah sangat terlambat. Zach bisa melihatku atau minimal mendengar suaraku jika aku protes. Dan tentu saja hal itulah yang sangat ingin aku hindari. Jadi pilihan terbaik yang bisa aku lakukan adalah mengunci mulut rapat-rapat serta menjaga jarak.Di layar ponsel Tante Rosella aku bisa melihat penampakan Zach saat ini. Zach sedang berbaring di tempat tidur dengan bertelanjang dada. Alih-alih akan terlihat jelek, perpaduan curly hair dan bare face-nya membuat Zach semakin cute. Rasa itu datang lagi. Rasa rindu yang hadir diam-diam tanpa kuinginkan. Semestinya perasaan itu tidak boleh ada. Aku tidak boleh menyimpan perasaan sekecil apapun pada Zach.“Mi, anak siapa sih itu? Kok bisa ada di kamar aku?” Zach mengulang pertanyaannya yang belum dijawab Tante Rosella.Aku melempar pandang pada Tante Rosella dengan sorot penuh peringatan. K
ZOLADua minggu sudah aku bekerja. Pelan tapi pasti aku mulai menyesuaikan diri dengan aktivitas baruku. Hingga sejauh ini aku masih pulang sore. Ariq belum menyuruhku bekerja sampai malam.Sebagai seorang personal assistant, tugasku adalah mengurus segala keperluan Ariq. Mulai dari menyiapkan dan mengingatkan jadwalnya, membuat janji temu, membalas surel, menyediakan minumannya, memesan makanannya hingga yang tidak aku sangka, tadi Ariq menyuruh mengambil pakaiannya ke laundry. Aku pikir pekerjaanku hanya menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan kantoran, bukan mengurus keperluan pribadinya juga.“Sit, PA Pak Ariq sebelum aku siapa?” tanyaku pada Sita, karyawan lain yang paling dekat denganku. Aku merasa penasaran siapa yang sebelumnya berada di posisiku.“Namanya Anggi, tapi dia udah resign dua minggu yang lalu, kenapa, La?”“Cuma mau tau aja. Dia resign-nya kenapa ya?” Rasa ingin tahuku berkembang semakin besar. Apa ada yang salah? Apa mungkin dia melakukan kesalahan