ZOLA“Biar saya saja yang menyetir, Pak,” kataku saat Ariq mengambil kunci mobil dari dalam saku lalu siap-siap memasukinya. Aku nggak mau ambil risiko mati muda dengan membiarkan orang separuh mabuk menyetiriku.“Kamu bisa menyetir memangnya?”Heh? Dia malah bertanya. Apa Ariq lupa kalau tiap hari bolak-balik kantor aku selalu menyetir sendiri?Namun kemudian saat ingat kondisinya saat ini, aku pun menjawab, “Bisa, Pak.”Ariq memberikan kunci mobilnya padaku. Aku membantunya masuk ke mobil lalu memasangkan seat belt ke tubuhnya.“Wangi banget kamu, Zola.” Ariq mengomentari aroma tubuhku saat jarakku dengannya hanya berada dalam hitungan senti.Aku tidak menghiraukan kata-katanya. Setelah memasangkan sabuk pengaman langsung menuju tempat dudukku di belakang kemudi.Ada gunanya juga tadi Ariq membawaku ke apartmennya, jadi aku tahu dia tinggal di mana. Kalau tidak mungkin saat ini aku sudah kebingungan sendiri harus mengantar orang mabuk ini pulang ke mana.Sepanjang perjalanan Ariq me
ZOLAAku mencoba keras mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin malam sampai akhirnya berujung di ranjang atasanku sendiri. Jangan katakan telah terjadi sesuatu yang buruk yang membuatku malu dan menyesal seumur hidup.Aku ingat kemarin Ariq mabuk dan setengah sadar. Apa setelahnya aku juga ikut mabuk? Lalu setelahnya kami ...Di ujung kekhawatiranku, aku menyingkap selimut yang menutupi tubuh untuk melihat keadaanku.Thanks God, aku masih berpakaian lengkap. Gaun pemberian Ariq masih melekat sempurna di sana.Tatapanku lantas pindah ke sisi kanan. Permukaan ranjang di sebelahku kosong melompong. Tidak ada Ariq di sana, pun di bagian lain kamar ini.Turun dari tempat tidur, aku menyambar tas lalu mengambil ponsel dari dalamnya. Banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Mbak Zoi dan Mas Javas. Keduanya pasti cemas setengah mati memikirkanku.Aku langsung men-dial nomor seluler Mbak Zoi yang langsung dijawab saat itu juga.“Kamu ke mana aja, La? Kenapa nggak pulang? Kenapa Mbak ne
ZOLAIni adalah bulan ketujuh aku bekerja di Fx Media. Sesuai dengan namanya perusahaan ini bergerak di bidang penyiaran. Fx terbilang baru. Jika diibaratkan pada manusia dia adalah seorang anak yang sedang belajar merangkak. Fx berdiri sekitar dua tahun yang lalu. Fyi, Fx bukanlah perusahaan keluarga.Di usia dua puluh sembilan tahun atau lebih tepatnya dua tahun yang lalu Ariq mendirikannya bermodal latar belakang pendidikan yang dimilikinya serta tekad yang bulat dan keyakinan bahwa usahanya ini akan berhasil. Itulah yang membuatku kagum pada Ariq. Dia seorang pekerja keras, bukan pewaris perusahaan keluarga yang tinggal menjalankan. Sikap optimisnya menularkan energi positif pada para pegawainya.Hari ini aku sedang menemani Ariq meeting. Kami semua membahas mengenai program Gen Z. Program Gen Z adalah sebuah acara yang mengulik profil anak muda berprestasi di rentang usia lima belas sampai tiga puluh tahun. Selain berada pada umur di atas, profil pengisi acara Gen Z biasanya ada
ZOLASetelah meeting selesai orang-orang pun bubar, kembali ke ruangan maupun kubikel masing-masing, termasuk aku. Fx Media menempati lantai delapan sampai lantai sebelas. Dan aku sebagai asisten Ariq tentu saja diletakkan paling dekat dengannya, yaitu di lantai delapan. Ruanganku juga bersebelahan dengan ruangannya.Sambil duduk menyandarkan punggung, aku memijit pelipis yang terasa semakin berat. Mataku kemudian bertemu dengan kalender meja. Aku refleks menghitung hari. Hanya tinggal satu bulan lagi dan aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak bisa menghentikan Zach agar tidak ke sini. Ariq pasti akan curiga jika aku mendesak agar dia mengganti Zach dengan yang lain. Satu-satunya yang akan bisa menggagalkannya adalah Zach sendiri. Produser biasanya akan mengajukan nama kandidat untuk mengisi acara Gen Z. Jika tim setuju maka narasumber tersebut segera dihubungi sejak jauh-jauh hari. Apabila dia keberatan atau tidak bersedia, maka kami akan mencari orang baru untuk menggantika
ZOLAMalam ini kondisiku sudah membaik setelah menenggak dua butir anelgesik dalam sekali teguk.Aku ingat, dulu saat zaman kuliah dan masih tinggal di Semarang, Mama sering memasukkan air hangat ke dalam botol lalu menyuruhku meletakkan di atas perut setiap kali dysmenorrhea. Katanya agar nyerinya berkurang. Entah apa hubungannya. Kadang aku suka ketawa geli kalau ingat hal itu.“Jangan-jangan kamu kena kista, La,” pikir Mama waktu itu. Mama berkali-kali ingin mengajakku periksa ke dokter, tapi aku selalu menolak dan mengatakan aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Mama khawatir, nanti kalau kamu sudah menikah kamu bakalan susah punya anak,” ucap Mama lagi dengan kerut keningnya yang khas.“Apa sih, Ma? Jauh banget mikirnya!” Waktu itu aku melotot. Aku masih terlalu muda. Sekali pun belum pernah berpikir mengenai pernikahan, rumah tangga, apalagi anak.Sekarang semua dugaan Mama terbukti sa
ZOLABoleh nggak sih marah sama Ariq?Aku belum menjawab apa-apa tapi dia sudah memutuskan sendiri. Dia menganggap diamnya aku adalah sebagai pertanda bahwa aku memberi kesempatan padanya untuk mendekatiku.Tapi kejadian malam minggu tersebut tidak lagi penting karena kini sudah hari senin dan aku sudah berada di kantor.Pagi-pagi sekali aku sudah datang. Senin adalah hari tersibukku, termasuk hari ini. Ariq menyuruhku menyiapkan materi presentasi dan membalas beberapa email dari kolega. Saat aku sedang berkutat dengan laptop, Ariq tampak sedang memeriksa daftar rating program unggulan kami.“Pagi, Pak.” Mbak Nia masuk ke ruangan.“Pagi,” jawab Ariq datar.“Pak, saya mau membicarakan mengenai narasumber Gen Z.”Sontak telingaku menajam mendengarnya. Please, jangan sampai Zach menerimanya.“Ya, gimana?” Ariq menegakkan duduk lalu memusatkan perhatian sepenuhnya pada Mbak Nia.
ZACHIt was amazing.Aku nggak nyangka ternyata syarat yang kuajukan dipenuhi oleh Fx Media. Padahal tadinya aku berpikir mereka akan menolak mentah-mentah. Permintaanku sangatlah sederhana. Aku nggak minta bayaranku ditambah, dijemput pakai Limosin ke bandara lalu disediakan karpet merah untuk menyambut kedatanganku. Aku hanya ingin Zola yang meng-interview. Aku mau menghabiskan satu malam untuk makan malam berdua dengannya. Nggak susah kan?Dan sekarang aku bisa tidur dengan tenang karena semua terpenuhi.Memeluk guling, aku memejamkan mata. Tapi aku nggak bisa langsung tidur. Pikiranku berkelana ke mana-mana. Aku memikirkan apa yang akan kulakukan jika sudah bertemu Zola nanti dan bagaimana reaksinya. Entah sambutan seperti apa yang akan kudapat. Apa sambutan yang baik atau mungkin reaksi denial?Rasa rinduku meluap sudah. Andai saja bisa kutambahkan, aku ingin Zola yang menjemputku ke bandara. Tapi pasti Fx Media akan mengan
ZOLASudah empat hari ini dimulai dari hari senin aku berlatih menjadi host. Gampang-gampang susah sih. Aku masih merasa grogi karena ini adalah pengalaman pertamaku tampil langsung di depan kamera. Selama ini aku hanyalah sosok di belakang layar. Pada hari pertama aku benar-benar nervous. Lidahku keseleo saat membaca materi. Gestur tubuhku kaku sejadinya. Tapi makin ke sini aku mulai terbiasa.“Lo santai aja, La, gue yakin Zach orangnya easy going, nggak usah terlalu dipikirin,” kata Mbak Nia memberi semangat.“Aku awalnya dulu gitu juga, La. Malah pernah sampai ngompol di celana.”Aku terbahak mendengar celetukan Gea, host andalan Fx Media, yang pada awalnya direncanakan untuk memandu program Gen Z bersama Zach.Practice makes perfect. Aku sudah jauh lebih baik dari hari Senin, Selasa, dan Rabu. Tinggal tiga hari lagi, maka aku akan bertemu dengan Zach. Bertatap muka dengannya dan bertukar pandang. Pasti aku tegang, tapi aku melarang keras diriku agar tidak terlihat grogi di depann